Kamis, 27 Agustus 2015

RANU KUMBOLO, NIRWANA YANG TERSEMBUNYI DI GUNUNG SEMERU



          Tiga tahun belakangan ini, nama Ranu Kumbolo sudah bukan lagi nama yang asing di telinga khalayak umum. Telaga seluas 15 hektare di gunung Semeru tersebut mendadak jadi popular setelah keindahannya diekspose dalam sebuah film layar lebar besutan salah seorang sutradara terkenal di tanah air. Alhasil, ribuan pendaki berduyun-duyun menuju kesana, baik itu pendaki kawakan ataupun pendaki dadakan. Mereka rela berjalan sekitar empat sampai lima jam dari desa Ranu Pani, kabupaten Lumajang, hanya untuk bisa menikmati pesona danau ini. Mereka juga tidak peduli berapa biaya yang harus mereka keluarkan untuk bisa menyaksikan atau bernarsis ria langsung dihadapan Ranu Kumbolo demi memenuhi kepentingan eksistensinya di jejaring sosial. Dengan keadaannya yang sudah krodit sedemikian rupa, jangan pernah kita berekspektasi bisa merasakan keasrian alam Ranu Kumbolo seperti sebelum merebaknya euforia film tersebut.

Pagi yang cerah dan damai disisi timur Ranu Kumbolo.
           Pada saat musim pendakian di bulan Mei 2014 lalu, saya kembali menyinggahi danau yang berada di ketinggian 2.400 meter diatas permukaan laut itu setelah kedatangan pertama saya pada bulan Juni tahun 2013. Kegagalan mencapai puncak Mahameru pada pendakian tahun 2013 membuat saya berniat untuk kembali datang kemari, hanya saja suasananya jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Pagi itu, pelataran camping disebelah barat Ranu Kumbolo terlihat disesaki oleh ratusan tenda para pendaki. Warna-warni flysheet tenda turut menyemarakkan suasana ditepian telaga. Agak terkejut juga saya yang kala itu berpikir antara sedang berada di gunung atau di sebuah pasar. Rupanya, dampak dari film yang baru saja kita bahas diatas bisa sedemikian hebatnya. Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak sampah yang nanti akan berserakan disitu, dan berapa banyaknya kotoran manusia yang akan menumpuk dipermukaan tanah yang tertutup rerumputan. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam melangkah...!

Disisi barat, terlihat basecamp yang telah dipenuhi oleh warna-warni tenda para pengunjung Ranu Kumbolo.  Disaat musim pendakian telah dimulai, anda akan merasakan hal seperti ini juga.
           Tidak bisa dinafikan bahwa Ranu Kumbolo memang surganya gunung Semeru. Ketika langit cerah, permukaan airnya akan tampak menghijau. Ketika sedang mendung tertutup kabut, kita bisa menyaksikan kabut tersebut mengambang diatas permukaan airnya. Menurut kesaksian beberapa pendaki senior yang pernah berkunjung ke tempat ini pada akhir 80an, mereka masih bisa melihat sepasang atau sekawanan belibis yang tengah berenang di Ranu Kumbolo. Sekarang tentu sudah tidak bisa kita temukan lagi kejadian seperti itu, mungkin invasi para pendaki belakangan ini kian meresahkan belibis-belibis yang hidup di tempat tersebut.

Pedagang asongan juga bisa anda temukan disekitar Ranu Kumbolo. Beberapa tahun lagi, mungkin disini bisa kita jumpai pedagang nasi uduk atau bahkan toko swalayan.
           Berikut ini saya akan mencoba sedikit menggambarkan tentang Ranu Kumbolo. Meskipun sudah sangat banyak artikel membahas objek yang sama, namun saya akan berusaha mendeskripsikannya melalui sudut pandang saya sendiri.

                                                                          *****

           Danau Kumbolo yang berada di gunung Semeru, terbentuk akibat letusan gunung Jambangan. Beberapa pohon Cemara gunung tumbuh disekitar tepiannya, tanaman Verbena Brasiliensis yang berasal dari Amerika Latin dan memiliki warna khas, yaitu warna ungu juga tumbuh liar tidak jauh dari danau. Tanaman ini biasa disebut Lavender (Lavandula Angustifolia) oleh para pendaki meskipun tanaman tersebut bukanlah tanaman yang dimaksud. Tanaman ini diklaim oleh pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sebagai tanaman liar yang mengancam keberadaan tanaman endemik gunung Semeru, lebih khususnya di jalur Oro-Oro Ombo. Meski tersohor karena reputasinya sebagai tanaman yang invasif, namun kehadirannya yang berbunga ungu cerah ini seolah menjadi anugerah bagi para penggiat fotografi. Hamparan luas tanaman Verbena Brasiliensis di padang rumput Oro-Oro Ombo adalah salah satu spot yang unik dan memiliki keeksotisan tersendiri di mata para fotografer. Hanya saja, tidak semua pendaki bisa beruntung menyaksikan bunga-bunga ini merekah dengan warna ungu cerahnya. Andai kita datang di waktu dan musim yang tidak tepat, maka yang akan kita temukan hanyalah hamparan luas ilalang berwarna coklat tua saja.

Tanaman asal Amerika Latin, Verbena Brasiliensis, yang kerapkali disangka Lavender oleh hampir sebagian besar pendaki.
           Disebelah barat Ranu Kumbolo ada sebuah shelter yang dulu biasa digunakan sebagai tempat beristirahat bagi para pendaki, namun saat ini shelter tersebut terlihat sudah sangat tidak layak untuk digunakan. Disitu juga terdapat permukaan tanah yang cukup luas dan datar sehingga para pendaki bisa membuka tenda dan istirahat ditempat tersebut sebelum melanjutkan perjalanannya kembali menuju Kalimati.

Pendakian pertama ke gunung Semeru pada bulan Juni tahun 2013.
           Meski tubuh sudah didera rasa lelah karena perjalanan yang cukup jauh, namun sebaiknya kita jangan terburu-buru untuk melewati malam dengan mimpi dan dengkuran. Kenakanlah jaket dan sarung tangan anda, sebab suhu di Ranu Kumbolo pada malam hari bisa mencapai 5 derajat celcius. Buka tirai tenda, segeralah keluar dan bentangkan matras tidur anda didepan tenda. Ambil posisi ternyaman, lalu mendongaklah ke angkasa raya dimana langit kelam menjajakan gugusan bintang dengan pendaran kilaunya. Menikmati malam dibawah hingar-bingarnya gemintang dan dihadapan telaga Kumbolo akan jadi kisah yang tak pernah pudar dimakan zaman.

           Menjelang pagi, dari sisi barat ini kita akan dimanjakan oleh kehadiran matahari yang terbit sedemikian indahnya diantara sela-sela bukit yang berada disebelah timur. Hal ini kembali mengingatkan saya kepada lukisan mainstream karya bocah-bocah yang menggambarkan pemandangan alam, dimana terdapat matahari yang diapit diantara dua buah gunung atau bukit, lalu ada aliran sungai atau danau dibawahnya. Kadang, ada beberapa pendaki dan porter yang datang ke Ranu Kumbolo dengan membawa tongkat pancing, ditepi telaga itulah mereka menyalurkan hobi mereka hingga berjam-jam lamanya. Menurut informasi yang saya dapat dari seorang porter, dulu sebelum keadaan Ranu Kumbolo menjadi ramai seperti sekarang ini masih tersedia ikan Mujair dengan jumlah yang cukup banyak. Bahkan menurut penuturan dari paman saya, ngkong Usman, ikan yang ada di Ranu Kumbolo rasa dagingnya lebih gurih ketimbang ikan yang ada di Segara Anak, di gunung Rinjani. Jelas saja, itu dikarenakan air di Segara Anak mengandung belerang sehingga mempengaruhi citarasa dari ikan-ikan yang hidup didalamnya.

Suasana ketika sunrise muncul dari balik perbukitan yang berada disebelah timur Ranu Kumbolo (Dok : Deden Hamdani). 
           Ada sebuah tanjakan yang cukup curam di Ranu Kumbolo, kita mengenalnya dengan sebutan Tanjakan Cinta. Jalur pada tanjakan ini akan terasa sangat berdebu dan licin manakala sedang memasuki musim kemarau. Yang menggelitik di benak saya adalah ketika ada sekelompok pendaki belia yang termakan oleh mitos di tanjakan tersebut, bahkan ada dari mereka yang betul-betul enggan menolehkan kepalanya kearah belakang. Setelah lelah menjejak di jalanan menanjak, kita akan tiba disebuah medan datar yang juga menjadi bagian atas dari Tanjakan Cinta. Dari atas tanjakan ini, view selanjutnya yang akan kita dapatkan dijamin tidak akan membuat kita menyesal karena sudah datang jauh-jauh ke tempat ini.

Jalan menanjak dan berdebu di jalur Tanjakan Cinta.
           Kita bisa beristirahat sejenak setelah lelah menanjak ditempat itu. Sambil melepas letih, anda boleh mencuri pandangan kearah Ranu Kumbolo yang permukaan airnya terlihat berkilau diterpa sinar matahari. Air danaunya yang berwarna hijau akan tampak menawan, jangan lupa untuk mengabadikan moment tersebut sebagai bahan cerita kepada teman-teman anda di kota.

                              *****

           Ranu Kumbolo selain menjadi primadonanya gunung Semeru, sekaligus jadi penyambung nyawa bagi seluruh pendaki, baik yang hanya sebatas berkemah disitu ataupun yang akan melanjutkan kembali perjalanannya ke Kalimati. Para pendaki akan transit dan mengisi persediaan air mereka di Ranu Kumbolo, oleh karena itu kebersihan di air telaga tersebut wajib dijaga dan harus selalu diperhatikan. Terlebih lagi, Ranu Kumbolo merupakan salah satu sumber air di gunung Semeru yang disucikan oleh masyarakat Hindu Tengger. Mereka menganggap Ranu Kumbolo adalah tempat mandi para Dewa sehingga tidak diperkenankan bagi para pengunjung yang datang ke tempat itu untuk mandi apalagi berenang. Dengan ditampilkannya adegan berenang pada film layar lebar yang booming tiga tahun lalu, saya merasa baik dari pihak sutradara maupun para pemeran film tersebut belum memiliki kesadaran untuk bisa menghormati budaya dan tradisi setempat, atau mungkin juga karena mereka sama sekali tidak mengetahui hal tersebut. Pernah saya melihat tiga orang remaja yang terpengaruh oleh film tadi, berenang di Ranu Kumbolo dengan diselingi gelak tawa yang dibuat-buat. Beberapa pendaki ada yang menyaksikannya dengan tatapan sinis, sebagian lagi ada yang menganggapnya wajar bahkan cenderung terpicu untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh ketiga orang tadi. Tidak lama kemudian, beberapa orang ranger dari TNBTS menghampiri ketiga remaja itu, mereka menyuruh ketiganya untuk segera naik dari danau dengan suara sedikit membentak. Ketiga anak muda tadi akhirnya dikenai sanksi untuk memunguti sampah disepanjang danau, salah seorang ranger memberikan mereka masing-masing satu buah trashbag. Kejadian itu saya saksikan sendiri ketika saya datang ke tempat ini tahun 2013.

           Tidak jauh dari Tanjakan Cinta terdapat sebuah prasasti yang dipercaya sebagai salah satu peninggalan kerajaan Majapahit. Batu prasasti itu tampak dikelilingi oleh pagar kawat dan bertuliskan  Ling Deva Mpu Kameswara Tirthayatra.  Seorang ahli sejarah memprediksi tulisan pada prasasti tersebut dibuat sekitar tahun 1.182 Masehi. Umat Hindu Tengger yang datang ke tempat itu sering meletakkan sesajen dan menabur bunga didekat prasasti sebagai persembahan bagi para leluhur mereka. Puncak gunung Semeru atau puncak Mahameru diyakini masyarakat Hindu Tengger sebagai tempat bermeditasi bagi para leluhur mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi. Wajar rasanya bila mereka akan berusaha sekeras mungkin untuk menjaga situs-situs peninggalan leluhur maupun para pendahulunya.

                             *****

            Pada akhirnyaRanu Kumbolo tidak hanya menjadi destinasi wisata yang menawarkan pesona alamnya semata, lebih dari itu tersimpan juga rekam jejak dan napak tilas dari sejarah yang pernah ada di Nusantara. Sebagai bangsa yang berbudaya, sudah sepantasnya kita menjaga kelestarian serta kebersihan tempat itu dan bukannya datang untuk menciptakan persoalan lingkungan yang baru. Selama kita bertamu dan  menjunjung tata krama serta menghormati kearifan lokal yang ada, dengan demikian kita telah membuktikan diri menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Be a wise hikers...!



Ranu Kumbolo Dibalik Lensa :

Foto saya dengan background hamparan tanaman Verbena Brasiliensis di jalur Oro-Oro Ombo.
Lukisan alam yang terefleksi diatas permukaan air telaga di Ranu Kumbolo.   
Ikan-ikan kecil yang sedang bermain disekitar tepian danau.
Mat Jigrig diantara tanaman Verbena  yang tumbuh liar disepanjang jalur Oro-Oro Ombo.
Saya dan Syaiful.
Untuk bisa bergaya diatas bongkahan batu besar ini, kita harus bersedia mengantri dengan para pendaki lain.
Suasana dipinggiran Ranu Kumbolo saat ini yang selalu ramai oleh berbagai macam aktivitas dari para pendaki.
Foto saat mengunjungi Ranu Kumbolo untuk yang kedua kalinya pada bulan Mei tahun 2014.
Foto bersama kawan baru asal Ciracas, Jakarta Timur.
View tepian Ranu Kumbolo dari sisi timur.
Tampilan Ranu Kumbolo dari atas Tanjakan Cinta.
Pagi hari di basecamp sebelah timur.
Tampilan Ranu Kumbolo dari sisi lain. Diambil dari jalur pendakian setelah pos 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar