Sabtu, 27 Juni 2015

SECARIK KISAH DI PONDOK SALADAH


             Rona matahari perlahan mulai menjamah dinding-dinding berbatu yang tampak kekar mengelilingi pelataran parkir Camp David pagi itu. Pancar keemasan mendominasi bebatuan terjal, terlihat sangat kontras dengan warna langit yang masih sempurna membiru tanpa ternoda oleh bercak awan. Angin pagi mendesau diantara sela-sela dahan Cantigi, merambah halus hingga menyusup kedalam pori-pori sebagian pendaki yang enggan bersembunyi dibalik jaketnya. Beberapa diantara mereka tampak ada yang menyerah dengan segera mengenakan sweater, bahkan sarung tangan. Saya meloncat keluar dari dalam tronton, sontak dinginnya udara pagi pun segera menggerayangi wajah dan tubuh saya. Tidak lama kemudian terdengar pekik salah seorang teman yang tengah berada didalam kamar kecil yang berada didekat mushala. Rupanya ia baru saja dibuat terkejut oleh sensasi air yang mengucur dari pipa di toilet tersebut.
Truk tronton dan para peserta pendakian yang baru saja tiba di pelataran parkir Camp David, gunung Papandayan, Garut (foto: Dimas Yulianto).
           Gile, Aernye udeh kaya aer es aje!” kata Alung dengan nada bergetar, tangannya pun tampak gemetaran. Hampir seluruh peserta pendakian yang berada didekatnya tertawa geli ketika melihat gesture orang itu yang tengah berusaha menahan rasa dingin.
           Waktu menunjukkan baru pukul setengah enam pagi waktu setempat. Di tempat kami hendak melakukan registrasi, saat itu sudah terpapar cahaya matahari pagi sehingga membuat hangat seluruh pendaki yang berada di Camp David. Dyah, Widi dan Menggala mengumpulkan fotokopi KTP dari para peserta untuk didata di pos pemeriksaan. Redi, Dimas dan beberapa peserta lain terlihat sedang menikmati hangatnya kopi di sebuah warung. Saya sendiri tengah sibuk menyetel tripod untuk melakukan pemotretan sebelum pendakian ini dimulai. Bunga, adik saya yang sengaja saya ajak melakukan pendakian bersama ini, terlihat sudah mulai akrab dengan beberapa peserta lain. Inilah pendakian pertama dan terakhir kali yang diadakan oleh komunitas kami, Uwer-Uwer.
Ready, steady, go...!
           Manggala mengumpulkan semua peserta pendakian di pelataran parkir, kemudian dia membuka sebuah trashbag berwarna hitam dihadapan para peserta. Rupanya trashbag barusan berisi gelas berbahan stainless steel yang jumlahnya tentu saja disamakan dengan jumlah peserta. Gelas berbahan logam itu sengaja dipilih sebagai sounvenir karena bisa langsung digunakan pada saat pendakian kali ini maupun pada pendakian selanjutnya. Dari panitia penyelenggara memang tidak menyediakan souvenir yang terbilang wah karena biaya ­open trip ini pun terbilang sangat murah, hanya dua ratus sepuluh ribu Rupiah saja, yang mencakup simaksi, sewa truk tronton pulang pergi juga termasuk BBM. Pendakian ini diadakan tidak mengacu pada keuntungan atau benefit oriented, melainkan karena rasa kebersamaan kami yang rindu bercengkrama di alam terbuka. Tidak ada sepeser Rupiah pun yang masuk kedalam kantong panitia, malah Dyah sampai harus mengeluarkan kocek agar salah seorang peserta bisa ikut serta. Semuanya murni demi kebersamaan dan menjaga tali persaudaraan yang terjalin ketika kami melakukan pendakian ke Semeru, Juli 2013 lalu. Karena rasa keakraban pasca pendakian ke Semeru itulah kemudian terbentuk komunitas Uwer-Uwer.       
          Tepat pukul tujuh lewat sepuluh menit kami pun memulai perjalanan menuju camp area yang berada di Pondok Saladah setelah sebelumnya saya sempat mengabadikan moment di Camp David bersama seluruh peserta pendakian.
           Derap-derap langkah menghujam permukaan tanah yang kering berbatu, tawa canda menyeruak bebas dari balik ranting-ranting Cantigi yang berjejer disisi kiri kanan jalur pendakian. Sekitar dua ratus meter kedepan tampak asap putih yang membumbung ke angkasa lalu pudar terurai oleh udara dan akhirnya membaur bersama birunya atap langit. Dimas, Okki dan Dyah tampak sedang menikmati view yang disajikan didepan sana, tak beberapa lama mereka pun mengabadikan moment di spot tersebut. Jujur selama melakukan beberapa kali aktifitas pendakian, baru sekarang saya menyaksikan langit yang biru cemerlang seperti itu.
Tim mulai melakukan perjalanan menuju kawah hingga ke Pondok Saladah.
           Dimas, Okki, Dyah, Manggala, dan Belly berhasil saya dahului, Bunga sekarang sudah menyelaraskan tempo langkahnya bersama Riri, Ratri, dan Iput. Saya tetap berjalan meniti bongkahan bebatuan yang berpotensi menciderai apabila tidak benar-benar teliti dalam memilih celah yang pas untuk berpijak. Sesekali saya menghentikan langkah untuk mengambil nafas atau sekedar untuk mengambil gambar dari SLR yang saya bawa. Seorang wanita tua yang tengah membawa beban di pundaknya terlihat berjalan dari arah berlawan, kulitnya legam akibat biasa bergumul dibawah terik matahari. Saya menyapa wanita tua itu, lalu ia membalas sapaan saya dengan senyum renta bersahaja. Tak selang beberapa lama, kembali saya melanjutkan perjalanan setelah wanita tua tadi menghilang dari pandangan.
Wanita tua yang saat itu saya jumpai di jalur menuju kawah.
           Baru saja melangkah beberapa depa dari tempat semula, sayup-sayup telingaku menangkap deru mesin yang entah bersumber darimana. Awalnya aku berpikiran itu mungkin hanya suara mesin mobil yang tengah dipanaskan di pelataran parkir yang berada di Camp David, tapi suara tersebut semakin lama seperti semakin mendekati. Aku menoleh ke arah belakang karena rasa penasaran tadi. Ternyata bising mesin yang mengusik keterpukauanku terhadap panorama Papandayan saat itu berasal dari sebuah motor trail yang tengah dipacu oleh seorang ranger setempat. Orang itu terlihat sangat lincah diatas motornya meskipun jalur yang tengah ia jajaki merupakan medan yang cukup terjal berbatu. Sesekali roda motor trail itu mengalami selip diatas batu yang licin, terkadang sang ranger juga harus jatuh bahkan tertimpa motornya sendiri karena memilih jalur yang salah. Saya segera memberi ruang bagi sang ranger untuk berlalu mendahului saya. Wajah orang itu terlihat datar seolah tidak acuh terhadap orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya, sedingin ia melewati bongkahan bebatuan yang teronggok diam di sepanjang jalur pendakian.
Seorang ranger Papandayan yang tengah berpatroli disepanjang jalur pendakian.
           Matahari sudah semakin menjulang, sementara itu gemulai angin membawa aroma sulfur ke arah para pendaki yang tengah melintas di sisi kawah yang terus saja mendesah. Dari spot yang lebih tinggi, saya bisa melihat Dimas, Redi dan Belly yang sedang menyusuri jalan menuju tempat dimana saya menyaksikan mereka. Orang pertama yang berhasil menyusul saya adalah Alung, ia segera mengambil posisi ternyaman di dekat saya, dibalik sebuah batu besar yang membuat kami terhalang dari sengatan matahari pagi itu. Alung menawarkan air minum kepada saya, kebetulan saya memang sedang haus. Saya menyodorkan kembali botol air mineral itu kepada Alung setelah sebagian isinya kandas kedalam kerongkongan.
           “Bang Aldi emang ga bawa aer minum?” Alung bertanya sedikit heran seraya memasukan botol air minumnya kedalam tas yang ia bawa.
           “Bawa, bang Alung. Ada disamping carrier nih 2 botol, masih full” ucapku sambil mengarahkan telunjuk ke ransel yang sedang diletakkan didepanku. Memang untuk urusan air minum, saya selalu berusaha menyiasati agar tidak kehabisan ditengah-tengah perjalanan meskipun itu bisa mengakibatkan dehidrasi. Namun berhubung Alung menawarkan saya air minum, maka akan sangat bodoh rasanya bila saya menampik tawaran tersebut.

***** 

           Ada suatu tempat yang terletak tidak begitu jauh dari kawah Papandayan yang bisa digunakan para pendaki untuk beristirahat sejenak, begitu juga saya dan Alung yang segera bersembunyi dari terik matahari dibalik pepohonan Cantigi. Alung menjadikan tas pinggang yang ia bawa sebagai bantalan bagi tengkuk dan kepalanya, orang itupun kemudian merebahkan tubuhnya disebelah saya. Tidak beberapa lama, rombongan lain yang berada di belakang saya segera tiba di tempat kami beristirahat. Kami memutuskan untuk santai sejenak atau hanya sekedar untuk berfoto-foto di tempat itu hingga semua peserta kembali siap untuk melanjutkan perjalanan.
Dyah, Afgan, Menggala, Bunga dan Riri, tengah beristirahat di tempat yang tidak begitu jauh dari kawah.
           Cukup lama juga kami beristirahat di tempat ini dan waktu saat itu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Saya bisa melihat dari kejauhan beberapa pendaki yang sudah terlebih dahulu melanjutkan perjalanan mereka, tengah berada disebuah tanjakan curam yang mana terdapat jurang disebelah kirinya. Setelah memastikan tidak ada perlengkapan yang tertinggal, saya pun memutuskan untuk terlebih dahulu melanjutkan perjalanan, Bunga beserta yang lain perlahan menyusul.
Saya, Afgan, dan Dimas sebelum mendaki tanjakan yang cukup curam.
           Singkat cerita, akhirnya saya tiba juga pada sebuah tanjakan curam yang baru saja saya lihat. Saat itu adalah bulan September, dimana langit sama sekali belum menganugrahi gunung Papandayan dan beberapa kabupaten yang dinaunginya dengan derai-derai hujan. Tak ayal jalur sempit menanjak yang terbentang didepan mata terlihat sangat kering berdebu dan hanya menyisakan jejak-jejak sepatu dari para pendaki saja, untuk kemudian jejak-jejak tersebut nantinya akan lenyap tertimbun debu yang berterbangan entah karena tersapu hembusan angin ataupun karena jejak langkah manusia.
           Saya sempat mengalami masalah saat melalui tanjakan curam itu. Dengan tangan kiri yang memegang tas kamera juga tangan kanan yang berusaha mencari tumpuan pada batang-batang pohon, saya meniti celah yang kira-kira aman untuk melangkah. Afgan, Bunga, Okki, Dyah dan Dimas berhasil menyusul saya, kembang pada sol sepatu mereka memang jauh lebih nyaman dari sepatu yang saya gunakan. Beberapa kali saya tergelincir di jalur kering berdebu itu gara-gara sol sepatu saya yang tidak mampu mencengkram tanah dengan baik, bahkan nyaris saja saya terjatuh ke sisi kiri, semuanya terjadi akibat salah membeli trekking shoes. Karena kejadian inilah maka saya sarankan bagi para pendaki pemula yang sekiranya hendak membeli sepatu gunung, lebih baik mengeluarkan kocek lebih banyak agar bisa mendapatkan barang yang orisinil tapi aman ketimbang membeli barang KW dengan harga yang jomplang namun berpotensi mencelakakan keselamatan sendiri.
           Setelah cukup puas bergulat dengan tanjakan curam, akhirnya saya tiba juga disebuah jalanan lebar berbatu yang nantinya akan menuntun kami pada sebuah persimpangan antara Pengalengan dan Pondok Saladah. Jalanan lebar ini terputus akibat longsor yang terjadi beberapa waktu lalu sehingga kami diharuskan memotong jalan melalui tanjakan sempit dan curam tadi. Ah, kalau saja jalur nyaman ini tidak habis tergerus longsoran, mungkin tidak akan terjadi adegan dimana saya harus tergelincir seperti barusan. Sementara itu Dyah, Bunga, Afgan, Oki dan Dimas tengah mengobrol, saya lebih memilih merebahkan diri disisi jalan yang ditumbuhi Cantigi dan Pakis. Namun belum lama saya berbaring, seketika itu juga saya merasakan pening dan mual. Semenjak keberangkatan kami dari Jakarta pada malam hari, saya memang belum tidur sama sekali. Mungkin pening dan mual yang saya rasakan lebih dikarenakan masuk angin, ditambah lagi ketika tadi pagi tiba di Camp David saya tidak sempat mengisi perut meski hanya dengan sebungkus nasi atau setangkap roti.
Terkapar di jalur berbatu dan berdebu.
           Beberapa menit telah berlalu, saya memaksakan berdiri untuk kembali melanjutkan perjalanan. Berlama-lama di tempat ini pun tidak baik juga karena bisa terpapar langsung oleh sinar matahari. Saya memutuskan untuk berjalan santai bersama Afgan dan Dyah, meski sudah berjalan dengan pelan tapi kepala ini masih saja terasa pening. Botol air mineral yang masih utuh akhirnya kukeluarkan, kutenggak isinya hingga hanya menyisakan setengah botol saja. Selang beberapa menit, saya sudah merasa agak baikan. Saya berhenti sejenak untuk menyaksikan pemandangan yang membentang didepan mata. Dari tempat ini tampak sangat jelas jalan yang baru saja kami lalui, jauh disebelah timur sana terlihat sosok kekar gunung Cikuray yang wujudnya mulai memudar dari pandangan karena hari mulai beranjak siang. Angin yang menjalar dari dinding bukit-bukit berbatu disekitarku seolah menjadi penyejuk raga yang mengaburkan rasa letih meski hanya sesaat. Sejauh mata memandang, terlihat jelas sekali tanaman jenis Cantigi lebih mendominasi di tekstur tanah seperti pada gunung Papandayan ini.
View disekitar jalur longsoran dan kawah Papandayan. Bila hari belum siang, kita bisa melihat sosok gunung Cikuray dari spot ini (Foto: Dimas Yulianto).
           Ratri dan Iput sudah tampak didepan mata, mereka pelan beriringan menyusul saya, Afgan, dan Dyah yang masih takjub akan tampilan alam Papandayan dari sudut ini. Tak beberapa lama kemudian, kami berlima melanjutkan perjalanan hingga di suatu tempat yang tak berada jauh dari persimpangan antara Pondok Saladah dan Pengalengan. Saya duduk dan bersandar pada carrier, kembali saya merasakan pening dan mual. Beberapa kali saya membuang ludah guna mengurangi rasa mual.
Ratri dan Iput 
           “Bang, didalam carrier bang Aldi kan ada roti sobek punya aku, ya? Keluarin aja, bang” ujar Dyah.
           “Hah? Masa sih?” timpalku dengan wajah heran.
           “Iya, kemarin aku nitip roti sobek sama sari lidah buaya di carrier bang Aldi” balas Dyah lagi. Ransel yang saya bawa akhirnya saya bongkar, dan memang betul didalam ransel itu ada beberapa logistik milik Dyah yang ia sisipkan tanpa sepengetahuan saya. Pantas saja tampilan ransel jadi semakin padat, ckckck. Roti sobek pun dibuka kemasannya lalu dibagi menjadi tiga bagian. Di tempat itu, saya, Afgan dan Dyah, mengisi perut dulu meski hanya dengan sepotong roti yang berselaikan coklat.

***** 
          
           Pukul satu siang, saya, Afgan, Dyah, Bunga, Redi, Oki, Belly dan Riri, tiba di camp site Pondok Saladah yang berada di ketinggian sekitar 2.400 meter diatas permukaan laut atau setara dengan ketinggian danau Ranu Kumbolo yang berada di gunung Semeru, Jawa Timur. Gunung Papandayan sendiri memiliki ketinggian 2.665 MDPL, yang secara geografis terletak di kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Sebetulnya kami bisa tiba di tempat ini sebelum pukul satu, hanya saja kami tersesat karena salah pilih jalur ketika berada di persimpangan. Firda dan Adit yang sebelumnya pernah ke tempat ini, melakukan kesalahan dengan tidak stand by di persimpangan sehingga hampir semua peserta pendakian yang belum pernah ke Papandayan akan kebingungan manakala berada di tengah-tengah persimpangan tersebut. Selain itu, papan petunjuk yang terbuat dari kayu yang mengarah ke Pondok Saladah dipasang terhalang dahan pohon, sehingga besar kemungkinan banyak pendaki yang tidak melihatnya.
Riri dan Belly yang turut tersesat ke arah Pengalengan, harus balik arah menuju Pondok Saladah.
           “Kemana dulu, bang Aldi?” Canda Dimas. Ia tampak bertelanjang dada, bajunya yang basah oleh peluh terlihat sedang dijemur disebuah batang pohon.
           “Ke Pengalengan, cari susu!” balas saya dengan wajah datar, Dimas kembali terbahak diikuti oleh beberapa teman yang lain.
           Ketika saya sampai di area kemping, sebagian besar teman-teman sudah memasang tenda mereka di tempat yang saling berdekatan, hanya saya, Afgan dan Dimas yang belum memasang tenda. Tenda Dimas kebetulan dibawa oleh Belly yang juga ikut tersesat ke arah Pengalengan bersama saya. Setelah mendapatkan spot yang ideal dan tanah yang cukup rata, tenda pun saya pasang dengan dibantu oleh Redi juga Adit (yang tentu saja merasa berdosa karena tidak menanti kami di persimpangan).
Suasana perkemahan yang berada di Pondok Saladah (Foto: Dimas Yulianto).
           Ratri, Iput, Bunga dan Dyah langsung mengambil posisi mereka di bagian dapur, sementara Dimas, Alung, Teguh, dan Afgan memasang flysheet di dapur umum agar bila terjadi hujan, airnya tidak mengenai perkakas memasak yang berada disitu. Beberapa peserta lain ada yang tengah mengobrol, ada juga yang tertidur didalam tendanya karena kelelahan. Saya sendiri lebih memilih untuk melihat-lihat pemandangan disekitar Pondok Saladah.
Ratri, orang yang didapuk sebagai pimpro di dapur umum.
           Menjelang pukul setengah dua siang waktu setempat, langit mulai sedikit teduh karena terhalang sekawanan awan yang lambat berjalan. Terlihat sangat menawan sosok Hutan Mati yang berada tidak begitu jauh dari perkemahan, nan tandus berhiaskan dahan-dahan Cantigi yang meranggas gersang akibat tersapu awan panas hasil erupsi beberapa waktu lalu. Pohon-pohon Edelweiss yang didominasi warna coklat keputihan berjejer disepanjang jalur menuju Hutan Mati, jumlahnya memang sudah tidak banyak lagi namun tetap ikhlas menyumbang keindahan bagi setiap manusia yang menjejakkan kakinya di Pondok Saladah. Warna-warni tenda tumpah ruah memenuhi pelataran camp area, seakan tak ingin kalah bersaing dengan gempita tawa dan canda. Sementara itu, sekelompok muda-mudi terlihat sangat khusyuk bersimpuh. Mereka menunaikan shalat Dzuhur ditengah hiruk-pikuk manusia yang tetap asyik dengan aktivitasnya. Disini, di siang hari yang menyejukkan dimana sang alam tetap berlaku ramah terhadap para tamunya, meski yang kita lakukan ini tak berbeda halnya dengan hanya sekedar rekreasi yang mengumbar basa-basi, yang tanpa esensi. Alam senantiasa tulus menerima kehadiran para pendaki meskipun kita hanya bisa menyumbang sampah dan kotoran.

SISA-SISA KEABADIAN DI PONDOK SALADAH

Diantara dahan-dahan Cantigi yang meranggas gersang
Dibawah hamparan langit biru menjulang
Bersedekah keindahan didalam keheningan
Diam bersemedi dibalik canda gempita
Mengayun bebas kemana belai angin menerpa
Mekarmu menjadi tugas mulia...
Mempersolek rupa Pondok Saladah

Lereng dan lembah hijau membentang tinggi
Satu-persatu pendaki menghampiri
Mengabadikan kesetiaan
Mengisahkan pengabdian...
Dari segala sisa-sisa keabadian
Di Pondok Saladah

Bogor, 20 April 2015

Edelweiss jenis Anaphalis Javanica yang biasa ditemukan di Papandayan. Jumlahnya sudah banyak berkurang semenjak terjadi erupsi beberapa waktu lalu.
           “Bang Aldi, makan dulu! Udah dingin dari tadi tuh nasinya” Dyah memanggil, maka hilanglah seketika lamunan saya. Saya beranjak menyiuk nasi beserta lauk pauknya, perut yang keroncongan semenjak tadi pagi akhirnya bisa diredam juga dengan sepiring nasi, tempe goreng, tumis mie, dan sambel goreng. Menu makan siang kali ini dipimpin langsung dan dimasak oleh Ratri, sementara Dyah belum unjuk gigi dalam mengolah bahan makanan yang tersedia namun ia sudah berjanji untuk membuatkan Sup Jamur kegemaran saya. Siang itu, saya memberikan penilaian untuk masakan Ratri dengan nilai: 7!
           Ada sedikit penyimpangan program yang tidak sesuai dengan itinerary yang telah kami sepakati bersama sebelum melakukan pendakian ini. Satu jam selepas makan siang, tiba-tiba Dimas mengajak para peserta untuk melakukan perjalanan ke Tegal Alun dan puncak Papandayan, sedangkan didalam itinerary akan dilakukan beberapa jam menjelang sunrise. Jelas saya protes karena saya belum tidur sama sekali dari saat keberangkatan tadi malam dan bila dipaksakan untuk summit khawatir akan berdampak buruk bagi saya, namun sepertinya kebanyakan peserta cenderung pro terhadap keputusan Dimas. Dengan berat hati akhirnya saya memutuskan untuk tidak turut serta dalam perjalanan tersebut, saya lebih memilih beristirahat. Saya menyerahkan raincoat dan headlamp kepada Bunga, sebagai antisipasi andai kata nanti turun hujan atau kemalaman diatas sana. Dimas cs pun meninggalkan camp area untuk menuju hutan mati hingga puncak Papandayan, sedangkan saya, Redi dan Manggala tetap berada di perkemahan.

***** 
          
           Udara dingin ala Papandayan mulai mengusik tidur yang lelap, menyusup halus melalui pori-pori kulit hingga belulang. Badan saya menggigil dan pada akhirnya harus terbangun juga, ternyata hari sudah petang. Tanganku menggapai-gapai berusaha mendapatkan senter yang kuletakkan didalam kantung tenda. Setelah mendapat cahaya, barulah saya memburu down jacket untuk segera dikenakan. Saya pun beranjak keluar dari dalam tenda untuk menuju dapur umum, beberapa peserta yang tadi sore berangkat menuju Hutan Mati terlihat sudah kembali ke perkemahan, kecuali Dimas, Riri, Okki dan Belly, mereka belum juga tiba di perkemahan. Saya menanyakan keberadaan Dimas cs kepada Afgan dan Dyah.
           “Bang Dims (Dimas) barusan misah sama kita, bang. Mereka nggak ke Hutan Mati dulu, tapi langsung ke puncak. Kita aja cuma sampe Tegal Alun, abis itu langsung turun” ucap Dyah.
           Jelas sudah ceritanya, jadi rombongan ketika itu terbelah menjadi dua bagian. Disatu sisi ada yang betul-betul berniat untuk menuntaskan misi hingga ke puncak, disisi lain ada yang cukup berbesar hati langkahnya harus terhenti sampai Tegal Alun saja. Sekarang kami hanya memikirkan Dimas cs yang masih belum jelas keberadaannya, sementara itu pendaran jingga senja di riak-riak awan sudah tak menanggalkan bekas.
           Pijar api memancar dari kompor gas portable yang dinyalakan oleh Dyah, petang itu ia akan menepati janjinya untuk membuatkan sup jamur. Saya menemani Dyah sambil perlahan mereguk segelas sereal yang masih hangat. Adam, Okki, dan Adit tengah menjalankan shalat Isya disebelah dapur umum, Redi, Manggala, Alung dan Widi terlihat sedang mengatur letak kayu untuk membuat perapian nanti malam, sementara Bunga, Firda, dan Iput terdengar sedang asyik mengobrol didalam tenda berwarna oranye. Saya membantu Dyah membersihkan jagung, jamur Enoki, dan daging kepiting. Dyah sangat antusias membuat sup jamur lantaran ketika diadakan acara buka puasa bersama dirumahnya, ia melihat sendiri saya dan beberapa teman yang lain begitu lahap menikmati sup buatannya dalam keadaan masih hangat. Beberapa hari sebelum keberangkatan, saya memang memintanya untuk dibuatkan sup itu lagi karena saya pikir pasti akan terasa semakin enak bila dinikmati ditengah udara dingin seperti saat ini.
           “Bang Aldi, tadinya aku mau beli agak banyakan Enokinya, tapi pas aku liat harganya ternyata udah naik. Jadi aku cuma beli segini” ucap Dyah dengan nada manja khasnya, saya tertawa geli.
           Udah dibikin gratis juga udah alhamdulillah, Dy” timpalku. Tak beberapa lama kemudian, mulai tercium aroma sedap yang memprovokasi penghuni perut untuk kembali berunjuk rasa meminta pasokan makanan. Tentu saja aroma penggugah nafsu makan itu tidak dimonopoli oleh saya sendiri, hembusan angin kiranya cukup berlaku adil dengan mengirimkannya ke setiap lubang hidung orang yang menghirup udara. Afgan yang dari semenjak berada di perkemahan jarang sekali melontarkan kata-kata, tiba-tiba menghampiri kami dengan raut wajah yang berseri-seri.
           “Asyik nih” ujarnya sambil cengengesan, sementara tangan kanannya menyodorkan gelas stainless ke arah wajan yang terus mengepulkan asap. Hmmm, bahasa tubuh yang sangat implisit, pikirku geli.

***** 

           Sekitar pukul delapan malam, dua berkas cahaya menyorot perkemahan kami dari jarak yang tidak begitu jauh. Tidak begitu jelas siapa mereka yang sedang menuju kemari, namun dari perawakannya bisa dipastikan itu adalah Dimas. Terlihat uap yang mengepul deras dari setiap dengus nafas keempat orang tadi, dan kekhawatiran kami akhirnya sirna setelah Dimas, Okki, Riri dan Belly menyapa semua yang ada di situ. Saya dan Dyah bergegas menyediakan mereka segelas sup jamur yang baru saja dihangatkan. Dimas dan Okki terlihat bahagia karena misi muncaknya telah rampung meski harus kemalaman saat tiba diatas sana.
           Langit malam kian mengukuhkan kepekatannya, didalam gelap kami berkumpul mengelilingi perapian untuk bercengkrama, mendengarkan lagu, ataupun hanya sekedar untuk membebaskan diri dari udara dingin yang mulai terasa menggeragoti tubuh. Saya dan Ratri duduk di matras yang berada tak jauh dari perapian, kami memasak air untuk membuat mie instant, kopi ataupun sereal sambil menikmati suasana malam hari yang penuh rasa damai. Malam itu kami dapat menyaksikan gugusan gemintang yang tidak lagi malu untuk menampilkan kemilaunya, tidak seperti di ibukota dimana wujudnya semakin redup karena kalah berdigjaya oleh lampu gedung-gedung bertingkat dan bangunan lain. Sayup-sayup terdengar kidung syahdu yang dilantunkan oleh binatang malam yang memanjatkan puji-pujian atas mahakarya Sang Pencipta, seolah menyindir segelintir orang yang datang ke tempat ini bukan untuk berintrospeksi diri atau bertafakur dalam sunyi. Sekali lagi, alam seolah menyuguhkan apa yang ia miliki demi menjamu kami, para pendaki yang dalam ketiadaberdayaan dibawah semesta raya yang membentang sedemikian megahnya, subhanallah...
           Ditengah-tengah keintiman kami dengan heningnya malam, saat itu juga terdengar sebuah lagu yang dibawakan oleh grup band asal Inggris, King Crimson, yang berjudul “I Talk To The Wind” dari handphone usang milik Redi. Alunan mendayu dari flute dan clarinet yang mendominasi lagu tersebut bagaikan hembusan angin yang sedang bertutur kisah kepada bukit, lembah, pepohonan, binatang, dan juga kepada mereka yang masih mau menyisihkan waktunya untuk berbaur dengan alam.

Said the straight man to the late man
"Where have you been?"
I've been here and I've been there
And I've been in between
I talk to the wind
My words are all carried away
I talk to the wind
The wind does not hear, the wind cannot hear
I'm on the outside looking inside
What do I see
Much confusion, disillusion
All around me

           Selepas lagu itu berkumandang mengisi malam, lantas saya segera berpamit diri dari teman-teman yang masih ingin menghabiskan waktu didekat perapian. Malam itu bintang-bintang bermunculan, menghibur setiap jiwa yang datang membawa dahaga akan karya cipta Sang Kuasa.



THE PICTURES OF US:

Belly dan Dimas.
Uwer-Uwer In Memoriam.
Foto di Camp David sesaat sebelum memulai pendakian.
Dimas, Dyah dan Okki.
Pendakian dimulai (Foto: Varadina).
Dibawah langit yang membiru tanpa awan.
Bunga, the cute one I had.
Walk on, guys.
Salah satu keuntungan yang diperoleh dari pendakian di pagi hari : bisa mendapatkan moment dimana langit masih sebiru ini.
Jalur pendakian Papandayan termasuk jalur yang sangat disukai oleh pendaki pemula.
Bunga dan Riri (Foto: Dimas Yulianto).
Redi, Dimas dan Belly.
Istirahat sejenak.
Belly (Foto: Dimas Yulianto).
Alung (Foto: Dimas Yulianto).
Redi (Foto: Dimas Yulianto).
Dimas
Di bibir kawah (Foto: Dimas Yulianto).
Papandayan ranger, taken from another camera (Foto: Varadina).
Salah satu spot menarik dengan background kawah (Foto: Rizky Rohayat).
Dimas dan kamera tempurnya.
Okki dan Redi.
Feels comfort with my style.
Saya, Widi, Firda, Heru, dan Teguh.
Track berikutnya setelah checking point pertama.
Spot ini merupakan salah satu bagian dari jalur pendakian yang tergerus longsor.
Okki dan teman barunya, Redi.
Bukit, lembah, dan langit.
With my sister.
With Afgan.
Bunga
Jalur yang terputus karena terkena longsor (Foto: Dimas Yulianto).
Afgan dan Dyah.
Jalan lebar berbatu setelah kita melewati tanjakan sempit yang cukup curam.
Puncak gunung Cikuray samar-samar terlihat di kejauhan.
Pendaki lain yang sedang menjalankan shalat Dzuhur di Pondok Saladah.
Sepatu treking yang berkontribusi menciptakan kecelakaan karena kembang pada sol sepatunya yang tidak mampu mencengkram permukaan tanah dengan baik.
Widi dan Amri yang tak kuasa menahan lelah dan kantuk (Foto: Dimas Yulianto).
Manggala (Foto: Dimas Yulianto).
Ratri dan Teguh.
Alung dan Dimas tengah mengikat tali di dahan Cantigi untuk memasang flysheet.
Afgan
Okki yang sedang mencoba memasak nasi menggunakan nesting.
Perut membuncit jadi beban tersendiri bagi Redi selain ransel, tas slempang dan tenda.
Bakwan goreng ala Ratri.
Tetap menjalankan kewajiban meski diantara hiruk-pikuk suasana perkemahan.
Gelas souvenir murah meriah yang bisa digunakan pada pendakian-pendakian berikutnya.
Listening...
Menunggu makan siang yang belum kunjung datang.
Heru, saya dan Dimas di area merokok.
Menikmati makan siang.
Firda, Widi, Dyah, Riri dan Bunga, di hutan mati (Foto: Putri).
Ladies hiker yang masih berjuang melawan rasa kantuk dan dinginnya angin pagi.
Pekerjaan pagi seorang seksi dokumentasi.
Diantara pohon-pohon Edelweiss, di jalur menuju hutan mati.
Di bibir jurang yang berada di hutan mati, dengan latar belakang kawah Papandayan.
Ratri dan Iput.
Ratri
Kawah Papandayan dari spot di hutan mati.
Salah satu medan yang cukup menantang di jalur pendakian Papandayan.
Melintasi sungai yang pada saat itu sedang surut airnya.
Widi dan Bunga.
Uwer-Uwer - Papandayan, Garut - West Java.

Uwer-Uwer Troops:

Dimas Yulianto (Dimas)
Aldianovsky
Sukarno manggalatama (Meng)
Dyah Wulandari (Dyah)
Nurratri Utari (Ratri)
Rizky Rohayat (Okki)
Rahmat Suryadi (Redi)
Afgan Rosyadi (Afgan)
Varadina Ashoka Sekar Arumi (Bunga)
Widh Ciho (Widi)
Yunisa Firda (Firda)
Belly Meuraksa (Belly)
Adit
Adam Putra Perwira
Heru
Amri
Alung
Teguh
Riri
Putri (Iput)