Selepas subuh di flying camp, puncak gunung Gede dan Pangrango tampak dari kejauhan.
|
Kong Usman menyetel lagu-lagu classic rock andalannya yang sudah ia simpan didalam kartu memori.
Ada beberapa dari lagu-lagu itu yang aku kenal, sebagian lagi masih terasa
asing di telinga. Pria paruh baya itu tampak khusyuk menikmati alunan musik
yang menyeruak dari speaker MP3 portable yang selalu ia bawa kemanapun ia
pergi, dan tentu saja ia juga tampak asyik menikmati segelas kopi hitam panas
yang baru saja ia seduh. Bersandar di dinding pondokan, aku juga sedikit
menikmati beberapa lagu yang kuketahui tanpa mengabaikan semilir angin yang
membawa kicau burung-burung serta pekik owa gunung yang bercengkrama didalam
rerimbunan belantara. Sesekali aku menatap lurus kedepan dimana tampak jelas sekali puncak Salak I yang menjadi destinasi pendakian kami kali ini. Diluar pondokan, Vita, Bila, dan Claudia sibuk berselfie dengan kamera handphone mereka sementara Nevi masih
belum mau mimpinya terusik udara dingin, ia masih saja terlelap meski gelak
tawa teman-temannya dan alunan lagu sudah mengisi keheningan rimba.
Memulai hari dengan segelas teh hangat di pagi yang menyejukkan.
|
Pipi Nevi yang sedikit lebih padat dari biasanya itu kucubit-cubit, sesekali aku
meletakkan telapak tanganku dipermukaan pipinya namun ia hanya mendengus
saja. Mencoba membangunkan perempuan itu tapi belum juga terbangun akhirnya
kubiarkan saja, toh nanti pun ia pasti akan bangun dengan sendirinya. Aku
segera membawa segelas teh hangat yang baru saja dibuat oleh Bila kedepan
pondokan yang berada tepat disebelah bibir jurang. Kali ini kong Usman terlihat
tengah melinting tembakau kedalam beberapa helai kertas papir, disebelahnya
sudah menunggu Alfi yang memang tidak memiliki keterampilan melinting tembakau
namun gemar sekali merokok. Alfi memang terbilang baru mendaki gunung, namun ia
terlihat santai menikmati track Salak
yang menuntut kesabaran hati itu. Kalau kata kong Usman “gunung Salak emang kagak tinggi, tapi tracknya bikin sakit hati”. Ya, memang
tidak berlebihan apabila kong Usman berujar demikian. Gunung Salak memang tidak
tinggi bahkan tidak sepopuler gunung yang kerapkali disinggahi para
pendaki seperti, Kerinci, Semeru, Rinjani, Slamet, ataupun Gede, namun medan di
gunung Salak bisa dibilang cukup ekstrim dan menyusahkan dibanding semua gunung yang baru saja disebut diatas karena memiliki banyak jurang yang curam dan cukup dalam. Selain medannya yang menyulitkan kegiatan pendakian, gunung ini juga sudah cukup lama memiliki reputasi yang buruk di mata para pendaki maupun para pilot pesawat. Sebagian besar pendaki menganggap gunung Salak sarat bernuansa mistis karena memiliki banyak makam kramat atau petilasan, sedangkan di dunia penerbangan gunung ini sudah resmi menyandang predikat sebagai gunung maut dikarenakan puncaknya atau seluruh badan gunung kerapkali diselimuti kabut tebal. Kong Usman yang memulai naik gunung sejak tiga puluh tahun yang lalu sudah tidak terhitung berapa kali ia mendaki gunung ini, saya sendiri baru delapan kali. Hutan di gunung Salak merupakan hutan hujan tropis yang tentu saja
memiliki tingkat kelembaban yang tinggi, oleh karena itu ketika kita berada
didalam hutannya meski tengah hari sekalipun kita tidak perlu khawatir
tersengat sinar matahari karena sinar matahari tidak mampu menerobos rimbunnya
atap dedaunan sepanjang jalur pendakian. Justru karena tidak terjamah sinar
matahari maka hampir semua akar dan batang pohon yang kekar menjulang itu tampak
ditumbuhi lumut yang berwarna hijau pekat, sepanjang jalur pendakian yang akan
kita saksikan hanyalah nuansa hijau. Manakala selimut kabut tengah menuruni lereng
gunung hingga merambah ke jalur pendakian, niscaya kita akan disuguhi suasana rimba belantara yang lebih hening mencekam.
***
Nafas
Bila dan Nevi terdengar saling berpacu, kedua wanita tangguh itu tampak
bermandikan peluh. Ya, tepat pukul sembilan pagi kami memutuskan untuk menuju
puncak Salak I yang memiliki ketinggian 2.211 meter diatas permukaan laut. Baru
saja beberapa menit kami meninggalkan flying
camp atau pondokan tempat para peziarah dan pendaki beristirahat, tubuh
kami sudah kuyup oleh keringat. Aku sendiri bukan tidak mungkin ngap-ngapan seperti Bila dan Nevi
mengingat tidak adanya persiapan fisik saat hendak melakukan pendakian ini.
Seperti biasa aku berjalan terlebih dahulu dengan diikuti oleh kedua wanita
tadi.
Hanya
derap langkah dan jeritan owa gunung yang mengisi kesunyian hutan gunung Salak,
sesekali burung-burung terdengar meracau saling bersahutan, semuanya berbaur menjadi
kidung indah yang digubah sendiri oleh sang alam. Kadang kabut pekat yang luruh
bersama kami dan seisi hutan menciptakan gemigil pada tubuh ini, jarang sekali
kulitku mendapat sentuhan dari hangatnya mentari pagi. Seringkali langkahku
tertahan dikarenakan terantuk batu atau akar-akar pohon yang mencuat dari
permukaan tanah, bahkan karena kehilangan keseimbangan tubuhku sempat terhuyung
hingga hampir terjerembab. Harus kuakui, diusia yang mulai menginjak tiga puluh
tahun ini sudah tidak lagi bisa disamakan dengan pada saat aku melakukan pendakian
di tahun 2003, 2006 dan terakhir 2007 bersama Cecep Rojali. Di tahun-tahun
tersebut, aku masih mampu berloncatan menggapai akar dan dahan atau melompat
dari satu pohon ke pohon yang lain untuk menuju puncak Salak, tapi diusiaku
yang sekarang tidak bisa lagi kulakukan hal itu, mungkin karena perut yang
mulai sedikit membuncit dan sudah jarang berolahraga seperti waktu dulu.
Foto bersama di flying camp sesaat sebelum kami menuju puncak Salak I. Dari kiri ke kanan : Alfi, Aldi, Vita, kong Usman, Nevi, Bila, Claudia. |
Ada
satu jalur pendakian yang mengharuskan kami melipir ke dinding bebatuan yang
berlumut atau melakukan teknik scrambling, sementara tepat dibelakang kami terbentang jurang. Kami hanya mengandalkan bebatuan keras yang berlubang juga akar dan batang tanaman sebagai tumpuan. Jalan setapak itu
habis tergerus longsoran sehingga memutus jalur sampai sekitar semeter. Memang
ada beberapa perubahan fisik sepanjang jalur pendakian menuju puncak Salak I
diantaranya jalan yang terputus akibat longsor, ada juga jalur yang terhalang pohon
besar yang tumbang akibat diterjang badai. Nevi dan Bila mulai tampak dari
balik tanjakan terjal berbatu, seperti biasa pula aku melontarkan candaan agar
suasananya tidak terlalu kaku dan memang mereka berdua akan meresponnya dengan
tertawa atau hanya sekedar tersenyum saja. Tidak pernah aku mendengar keluh
kesah yang terucap dari bibir mereka berdua sepanjang perjalanan itu, mereka
betul-betul tidak patah semangat dalam mewujudkan keinginannya untuk menggapai
puncak Salak I meski Nevi sempat terjatuh karena salah berpijak juga Bila
sempat terkilir pergelangan kakinya. Sepertinya mereka menyadari kalau terjatuh
atau terkilir merupakan bagian yang tidak akan terpisahkan dari kegiatan
mendaki gunung.
***
Langkah
yang jadi sedikit lebih lambat karena faktor kelelahan itu akhirnya terhenti
didepan sebuah plang petunjuk yang mengindikasikan bahwa puncak Salak I tidak
begitu jauh dari persimpangan dimana aku berada, dan memang aku juga mencium
aroma sulfur yang menyengat. Sedikit ada perasaan terharu yang spontan datang
kala itu, akhirnya aku bisa kembali lagi di puncak tersebut, tempat yang tidak
pernah membuatku merasa bosan hanya karena view yang disajikannya tidaklah
seindah bila kita melihat pemandangan dari puncak Mahameru, Gede atau Rinjani,
tempat yang nyaman dan menenangkan pikiran karena jarang dikunjungi oleh para
pendaki akibat stigma angker dan kesan mistis yang melekat pada namanya.
Setelah Nevi dan Bila menyusul, kembali kulanjutkan langkahku yang tak berapa
lama lagi segera sampai di titik tertinggi.
Sayup-sayup
bisa kudengar suara beberapa orang yang tengah bercengkrama didepan sana,
sepertinya puncak Salak saat ini sedang dikunjungi oleh pendaki lain. Wajah
Nevi dan Bila yang ketika diperjalanan dihinggapi rasa gusar karena lelah dan
penasaran, seketika menjadi sedikit berbinar manakala keduanya menyaksikan
sebuah plakat yang terbuat dari plat logam dan bertuliskan puncak Salak I
menggantung di sebilah batang kayu. Di tempat itulah matahari yang memang sudah
sejak tadi pagi mulai angkuh memamerkan supremasi pijarnya, kini bisa dengan
leluasa menjamah langsung kulitku tanpa terhalang oleh dahan maupun dedaunan
hutan. Di tempat itu, kami bertemu dengan sekelompok pendaki yang akan kembali
turun dan entah berasal dari mana. Setelah satu-persatu mereka menyalami aku,
Nevi dan Bila, mereka segera beranjak dari titik tertinggi tersebut dan
perlahan menghilang dibalik pepohonan. Sekarang hanya tinggal kami dan sepasang
pendaki yang juga tampaknya umurnya masih seusiaku yang masih betah berada di
tempat itu meskipun hari sudah mulai siang. Setelah kami mengobrol sekitar
duapuluh menit, kedua orang barusan akhirnya berpamit diri juga.
Tampilan puncak Salak I saat ini yang mengalami perubahan setelah dijadikan tempat untuk mengevakuasi korban pesawat Sukhoi pada tahun 2012.
|
Sudah
hampir sejam aku, Nevi dan Bila menunggu kedatangan kloter berikutnya yang
pastinya tertinggal cukup jauh. Kong Usman, Alfi, Claudia dan Vita belum juga
terlihat tanda-tanda kehadirannya. Sementara terik matahari semakin menggila
saja diatas kepala, kami lantas segera berlindung disisi belukar. Sambil
berteduh, mataku menyapu pemandangan disekitar puncak Salak I. Sekarang
semuanya betul-betul sudah berubah, jadi lebih lapang dan benderang dibanding
terakhir kali aku ke tempat itu. Sebagian pepohonan yang menjadi tumpuan para
pendaki untuk berteduh sudah dipapas, beberapa potongan kayunya terlihat masih
ada yang berserakan disekitar camping
ground. Selain itu, belukar dan pepohonan Cantigi yang menghiasi bibir
jurang pun tidak sebanyak kala itu, padahal para pendaki mendapatkan keuntungan
juga dari keberadaan pohon Cantigi serta belukar tersebut, yaitu sebagai
penahan dari terjangan langsung badai gunung. Ketika terjadi kecelakaan pesawat
Sukhoi Superjet 100 buatan Rusia yang menabrak dinding utara gunung Salak pada
tahun 2012, semua pohon dan belukar yang berada di puncak tertinggi itu segera
dibabat habis dengan tujuan untuk mempermudah proses evakuasi jenazah-jenazah
korban kecelakaan. Gundukan tanah yang menonjol lebih tinggi pun segera
diratakan dengan permukaan tanah yang berada dibawahnya agar jadi lebih luas dan
bisa digunakan untuk melakukan apel atau briefing,
namun sayangnya pondokan peziarah dan makam kramat yang berada di tempat itu
juga turut merasakan dampaknya. Ubin makam banyak yang mengalami kerusakan
dikarenakan tertimpa logistik yang diluncurkan dari helikopter Puma milik TNI juga terinjak oleh puluhan bahkan ratusan manusia yang pada saat itu
ikut serta mengevakuasi para korban. Meski demikian, dari pihak TNI akhirnya memutuskan untuk merapihkan kembali makam kramat tersebut setelah para relawan baik dari pihak TNI, Brimob ataupun warga yang berada di lokasi evakuasi mengeluh ketakutan karena diterjang badai dan kabut tebal beberapa saat setelah makam itu hancur tertimpa perbekalan. Kembali lagi kesisi belukar tempat dimana
kami berteduh dari panas matahari yang menyengat. Seekor lebah hitam membuatku
sedikit gusar lantaran ia selalu berputar-putar disekitar kami padahal tidak
ada tanaman berbunga disitu. Tak beberapa lama kemudian Bila berkata “Itu buah
apa ya, kak? Mirip-mirip Strawberry”. Aku hanya tersenyum saja, mana ada buah
Strawberry tumbuh di puncak Salak, pikirku. Namun aku jadi sedikit penasaran
juga karena Nevi pun turut mengiyakan ucapan Bila. Ketika aku melirik objek
yang tengah dimaksud oleh Bila,
Rubus Reflexus atau yang biasa disebut sebagai arbei hutan dapat dijumpai di beberapa gunung di Indonesia, salah satunya di puncak Salak. Rasanya hampir sama dengan Strawberry dan aman dikonsumsi.
|
aku pun terheran-heran. Ada beberapa buah berwarna
oranye dan agak merah tampak menggantung di beberapa tangkai pohon yang selama
ini aku anggap sebagai belukar.
“Itu
arbei hutan, coba kamu petik yang warnanya agak merah” ucapku pada Bila.
Setelah Bila berhasil memetik buah tersebut, aku segera mengambil beberapa buah
dan segera mencicipinya. Nevi dan Bila sepertinya masih ragu untuk memakannya,
mereka khawatir buah itu beracun atau tidak aman untuk dikonsumsi. Setelah aku
berhasil meyakinkan keduanya bahwa buah arbeinya terasa menyegarkan dan aman
dimakan akhirnya mereka berani mengkonsumsi buah tersebut, malah Bila dan Nevi
untuk selanjutnya tampak asyik mencari arbei hutan tadi disekitar bibir jurang.
***
Menjelang
pukul setengah satu siang, dari arah depan tampak Claudia dan Alfi yang baru
saja tiba menyusul kami. Wajah Claudia terlihat seperti orang yang baru saja
kalah main lotre, berbeda dengan Alfi yang tetap tenang tanpa sepatah kata
apapun. Nevi dan Bila kuperintahkan untuk menyambut Claudia dan memberinya
selamat agar ia tetap semangat. Bagaimanapun juga seorang pendaki pemula
apalagi wanita, harus disupport secara moril agar tetap termotivasi untuk
melanjutkan perjalanan berikutnya. Tidak lama setelah kehadiran Claudia dan
Alfi, terlihatlah Vita dan kong Usman. Wajah Vita tampak lebih mengkhawatirkan
dari Claudia. Menurut info yang didapat dari kong Luken dan Alfi, Vita sudah
mengalami beberapa kali terjatuh sehingga secara fisik ia sudah payah alias habis-habisan
manakala sampai di puncak Salak I.
Untuk
selanjutnya, Keempat perempuan itu mengisi waktu dengan berselfie. Tidak lupa
mereka melakukan ritual wajib yang kerapkali dilakukan para “pendaki di masa
kini”, yakni mengabadikan foto sendiri-sendiri sambil memegang secarik kertas
yang dibubuhi tulisan. Biasanya tulisan itu ada yang berupa ajakan kepada teman
mereka untuk mendaki gunung, mengucapkan selamat ulang tahun, namun tak jarang ada juga kalimat yang bertendensi
menyindir pihak-pihak tertentu.
Foto bersama di puncak Salak I sesaat sebelum kembali ke flying camp. |
Kong
Usman selaku koordinator pendakian saat itu segera membuka ransum dari dalam
daypacknya. Sisa air mineral yang bercokol didalam botol milik kong Usman pun
segera kugasak, Nevi dan Bila menanti mendapatkan giliran minum dari botol yang
sama. Ya, kami bertiga resmi kehabisan persediaan air minum manakala setibanya
di puncak karena hanya membawa satu botol air berukuran satu liter saja dari flying camp. Buah arbei hutan yang
secara tidak sengaja ditemukan oleh Bila rupanya sedikit menolong kami dalam mendapatkan
asupan sedikit air meski kandungan airnya tidaklah banyak. Kong Usman membuka
kacang hijau dan koktail kalengan yang didapatnya dari Rumah Relawan, sementara
Nevi, Bila, Claudia dan Vita sudah berjejer antri menanti makanan ringan itu
disajikan, persis seperti warga yang berkerumun menanti mendapatkan jatah
raskin saja. Setelah selesai makan dan puas mengabadikan moment di puncak Salak
I, kami segera kembali turun menuju flying
camp.
OUR PICS
Memasak
mie instant.
Bercengkrama
sambil menanti segelas kopi dan teh hangat.
Kong
Usman yang tengah memasak air menggunakan peralatan masaknya.
Alfi,
the silence one.
Kong
Usman, the team leader.
Bila,
the laugh maker.
|
keren bila suka ♥ wkwkwkw. lanjutkan next trip insyaallah
BalasHapusSiap, hehe...
BalasHapus