Kamis, 18 Juni 2015

MENITI JEJAK KE PUNCAK SALAK


                                Ada belaian halus di wajahku pagi itu, namun saat aku membuka mata ternyata belaian tadi bukan berasal dari sosok eksotis yang masih terpejam, yang masih asyik meringkuk berbalut kantung tidurnya. Nevi masih pulas dalam mimpinya disampingku, sementara angin pagi menyelusup kedalam pondokan, belaiannya menyapa siapapun yang masih terjaga di tempat itu. Kedua mataku masih sangat berat untuk membuka lebih lebar lagi, tapi kuurungkan niat untuk kembali ke pembaringan. Kong Usman terlihat tengah menikmati kreteknya, asap putih kelabu hasil hisapannya pun membumbung ke udara menciptakan polusi dikala pagi baru memulai hari. Dari arah tenggara nampak puncak Pangrango yang berdigjaya diatas permadani mega. Matahari belum berpijar sepenuhnya sehingga kabut-kabut tipis masih saja hilir mudik dari arah puncak Salak menuju pondokan tempat kami beristirahat. Perlahan kubebaskan diriku dari atribut penahan dingin seperti sarung tangan, jaket bulu angsa, kaus kaki dan sleeping bag. Seketika tubuh ini langsung merespon dinginnya udara pagi saat itu, dingin yang tak lain adalah sambutan sang alam bagi kami. Jelas saja aku menggigil hebat tapi aku enggan untuk menolak sambutan kehormatan tersebut dengan kembali menggunakan jaket, dengan menikmati santunnya rasa dingin itu maka nantipun akan mereda dengan sendirinya.
Selepas subuh di flying camp, puncak gunung Gede dan Pangrango tampak dari kejauhan.

           
            Kong Usman menyetel lagu-lagu classic rock andalannya yang sudah ia simpan didalam kartu memori. Ada beberapa dari lagu-lagu itu yang aku kenal, sebagian lagi masih terasa asing di telinga. Pria paruh baya itu tampak khusyuk menikmati alunan musik yang menyeruak dari speaker MP3 portable yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, dan tentu saja ia juga tampak asyik menikmati segelas kopi hitam panas yang baru saja ia seduh. Bersandar di dinding pondokan, aku juga sedikit menikmati beberapa lagu yang kuketahui tanpa mengabaikan semilir angin yang membawa kicau burung-burung serta pekik owa gunung yang bercengkrama didalam rerimbunan belantara. Sesekali aku menatap lurus kedepan dimana tampak jelas sekali puncak Salak I yang menjadi destinasi pendakian kami kali ini. Diluar pondokan, Vita, Bila, dan Claudia sibuk berselfie dengan kamera handphone mereka sementara Nevi masih belum mau mimpinya terusik udara dingin, ia masih saja terlelap meski gelak tawa teman-temannya dan alunan lagu sudah mengisi keheningan rimba.
Memulai hari dengan segelas teh hangat di pagi yang menyejukkan.
           
            Pipi Nevi yang sedikit lebih padat dari biasanya itu kucubit-cubit, sesekali aku meletakkan telapak tanganku dipermukaan pipinya namun ia hanya mendengus saja. Mencoba membangunkan perempuan itu tapi belum juga terbangun akhirnya kubiarkan saja, toh nanti pun ia pasti akan bangun dengan sendirinya. Aku segera membawa segelas teh hangat yang baru saja dibuat oleh Bila kedepan pondokan yang berada tepat disebelah bibir jurang. Kali ini kong Usman terlihat tengah melinting tembakau kedalam beberapa helai kertas papir, disebelahnya sudah menunggu Alfi yang memang tidak memiliki keterampilan melinting tembakau namun gemar sekali merokok. Alfi memang terbilang baru mendaki gunung, namun ia terlihat santai menikmati track Salak yang menuntut kesabaran hati itu. Kalau kata kong Usman “gunung Salak emang kagak tinggi, tapi tracknya bikin sakit hati”. Ya, memang tidak berlebihan apabila kong Usman berujar demikian. Gunung Salak memang tidak tinggi bahkan tidak sepopuler gunung yang kerapkali disinggahi para pendaki seperti, Kerinci, Semeru, Rinjani, Slamet, ataupun Gede, namun medan di gunung Salak bisa dibilang cukup ekstrim dan menyusahkan dibanding semua gunung yang baru saja disebut diatas karena memiliki banyak jurang yang curam dan cukup dalam. Selain medannya yang menyulitkan kegiatan pendakian, gunung ini juga sudah cukup lama memiliki reputasi yang buruk di mata para pendaki maupun para pilot pesawat. Sebagian besar pendaki menganggap gunung Salak sarat bernuansa mistis karena memiliki banyak makam kramat atau petilasan, sedangkan di dunia penerbangan gunung ini sudah resmi menyandang predikat sebagai gunung maut dikarenakan puncaknya atau seluruh badan gunung kerapkali diselimuti kabut tebal. Kong Usman yang memulai naik gunung sejak tiga puluh tahun yang lalu sudah tidak terhitung berapa kali ia mendaki gunung ini, saya sendiri baru delapan kali. Hutan di gunung Salak merupakan hutan hujan tropis yang tentu saja memiliki tingkat kelembaban yang tinggi, oleh karena itu ketika kita berada didalam hutannya meski tengah hari sekalipun kita tidak perlu khawatir tersengat sinar matahari karena sinar matahari tidak mampu menerobos rimbunnya atap dedaunan sepanjang jalur pendakian. Justru karena tidak terjamah sinar matahari maka hampir semua akar dan batang pohon yang kekar menjulang itu tampak ditumbuhi lumut yang berwarna hijau pekat, sepanjang jalur pendakian yang akan kita saksikan hanyalah nuansa hijau. Manakala selimut kabut tengah menuruni lereng gunung hingga merambah ke jalur pendakian, niscaya kita akan disuguhi suasana rimba belantara yang lebih hening mencekam.


***

                     Nafas Bila dan Nevi terdengar saling berpacu, kedua wanita tangguh itu tampak bermandikan peluh. Ya, tepat pukul sembilan pagi kami memutuskan untuk menuju puncak Salak I yang memiliki ketinggian 2.211 meter diatas permukaan laut. Baru saja beberapa menit kami meninggalkan flying camp atau pondokan tempat para peziarah dan pendaki beristirahat, tubuh kami sudah kuyup oleh keringat. Aku sendiri bukan tidak mungkin ngap-ngapan seperti Bila dan Nevi mengingat tidak adanya persiapan fisik saat hendak melakukan pendakian ini. Seperti biasa aku berjalan terlebih dahulu dengan diikuti oleh kedua wanita tadi.
          
     Nevi dan Bila tengah meniti jejak di jalur pendakian yang nyaris rapat oleh rimbunnya pepohonan.              

            Hanya derap langkah dan jeritan owa gunung yang mengisi kesunyian hutan gunung Salak, sesekali burung-burung terdengar meracau saling bersahutan, semuanya berbaur menjadi kidung indah yang digubah sendiri oleh sang alam. Kadang kabut pekat yang luruh bersama kami dan seisi hutan menciptakan gemigil pada tubuh ini, jarang sekali kulitku mendapat sentuhan dari hangatnya mentari pagi. Seringkali langkahku tertahan dikarenakan terantuk batu atau akar-akar pohon yang mencuat dari permukaan tanah, bahkan karena kehilangan keseimbangan tubuhku sempat terhuyung hingga hampir terjerembab. Harus kuakui, diusia yang mulai menginjak tiga puluh tahun ini sudah tidak lagi bisa disamakan dengan pada saat aku melakukan pendakian di tahun 2003, 2006 dan terakhir 2007 bersama Cecep Rojali. Di tahun-tahun tersebut, aku masih mampu berloncatan menggapai akar dan dahan atau melompat dari satu pohon ke pohon yang lain untuk menuju puncak Salak, tapi diusiaku yang sekarang tidak bisa lagi kulakukan hal itu, mungkin karena perut yang mulai sedikit membuncit dan sudah jarang berolahraga seperti waktu dulu.
          
Foto bersama di flying camp sesaat sebelum kami menuju puncak Salak I. Dari kiri ke kanan : Alfi, Aldi, Vita, kong Usman, Nevi, Bila, Claudia.
            
            Ada satu jalur pendakian yang mengharuskan kami melipir ke dinding bebatuan yang berlumut atau melakukan teknik scrambling, sementara tepat dibelakang kami terbentang jurang. Kami hanya mengandalkan bebatuan keras yang berlubang juga akar dan batang tanaman sebagai tumpuan. Jalan setapak itu habis tergerus longsoran sehingga memutus jalur sampai sekitar semeter. Memang ada beberapa perubahan fisik sepanjang jalur pendakian menuju puncak Salak I diantaranya jalan yang terputus akibat longsor, ada juga jalur yang terhalang pohon besar yang tumbang akibat diterjang badai. Nevi dan Bila mulai tampak dari balik tanjakan terjal berbatu, seperti biasa pula aku melontarkan candaan agar suasananya tidak terlalu kaku dan memang mereka berdua akan meresponnya dengan tertawa atau hanya sekedar tersenyum saja. Tidak pernah aku mendengar keluh kesah yang terucap dari bibir mereka berdua sepanjang perjalanan itu, mereka betul-betul tidak patah semangat dalam mewujudkan keinginannya untuk menggapai puncak Salak I meski Nevi sempat terjatuh karena salah berpijak juga Bila sempat terkilir pergelangan kakinya. Sepertinya mereka menyadari kalau terjatuh atau terkilir merupakan bagian yang tidak akan terpisahkan dari kegiatan mendaki gunung.


***

             Langkah yang jadi sedikit lebih lambat karena faktor kelelahan itu akhirnya terhenti didepan sebuah plang petunjuk yang mengindikasikan bahwa puncak Salak I tidak begitu jauh dari persimpangan dimana aku berada, dan memang aku juga mencium aroma sulfur yang menyengat. Sedikit ada perasaan terharu yang spontan datang kala itu, akhirnya aku bisa kembali lagi di puncak tersebut, tempat yang tidak pernah membuatku merasa bosan hanya karena view yang disajikannya tidaklah seindah bila kita melihat pemandangan dari puncak Mahameru, Gede atau Rinjani, tempat yang nyaman dan menenangkan pikiran karena jarang dikunjungi oleh para pendaki akibat stigma angker dan kesan mistis yang melekat pada namanya. Setelah Nevi dan Bila menyusul, kembali kulanjutkan langkahku yang tak berapa lama lagi segera sampai di titik tertinggi.
           Sayup-sayup bisa kudengar suara beberapa orang yang tengah bercengkrama didepan sana, sepertinya puncak Salak saat ini sedang dikunjungi oleh pendaki lain. Wajah Nevi dan Bila yang ketika diperjalanan dihinggapi rasa gusar karena lelah dan penasaran, seketika menjadi sedikit berbinar manakala keduanya menyaksikan sebuah plakat yang terbuat dari plat logam dan bertuliskan puncak Salak I menggantung di sebilah batang kayu. Di tempat itulah matahari yang memang sudah sejak tadi pagi mulai angkuh memamerkan supremasi pijarnya, kini bisa dengan leluasa menjamah langsung kulitku tanpa terhalang oleh dahan maupun dedaunan hutan. Di tempat itu, kami bertemu dengan sekelompok pendaki yang akan kembali turun dan entah berasal dari mana. Setelah satu-persatu mereka menyalami aku, Nevi dan Bila, mereka segera beranjak dari titik tertinggi tersebut dan perlahan menghilang dibalik pepohonan. Sekarang hanya tinggal kami dan sepasang pendaki yang juga tampaknya umurnya masih seusiaku yang masih betah berada di tempat itu meskipun hari sudah mulai siang. Setelah kami mengobrol sekitar duapuluh menit, kedua orang barusan akhirnya berpamit diri juga.
Tampilan puncak Salak I saat ini yang mengalami perubahan setelah dijadikan tempat untuk mengevakuasi korban pesawat Sukhoi pada tahun 2012.

           Sudah hampir sejam aku, Nevi dan Bila menunggu kedatangan kloter berikutnya yang pastinya tertinggal cukup jauh. Kong Usman, Alfi, Claudia dan Vita belum juga terlihat tanda-tanda kehadirannya. Sementara terik matahari semakin menggila saja diatas kepala, kami lantas segera berlindung disisi belukar. Sambil berteduh, mataku menyapu pemandangan disekitar puncak Salak I. Sekarang semuanya betul-betul sudah berubah, jadi lebih lapang dan benderang dibanding terakhir kali aku ke tempat itu. Sebagian pepohonan yang menjadi tumpuan para pendaki untuk berteduh sudah dipapas, beberapa potongan kayunya terlihat masih ada yang berserakan disekitar camping ground. Selain itu, belukar dan pepohonan Cantigi yang menghiasi bibir jurang pun tidak sebanyak kala itu, padahal para pendaki mendapatkan keuntungan juga dari keberadaan pohon Cantigi serta belukar tersebut, yaitu sebagai penahan dari terjangan langsung badai gunung. Ketika terjadi kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 buatan Rusia yang menabrak dinding utara gunung Salak pada tahun 2012, semua pohon dan belukar yang berada di puncak tertinggi itu segera dibabat habis dengan tujuan untuk mempermudah proses evakuasi jenazah-jenazah korban kecelakaan. Gundukan tanah yang menonjol lebih tinggi pun segera diratakan dengan permukaan tanah yang berada dibawahnya agar jadi lebih luas dan bisa digunakan untuk melakukan apel atau briefing, namun sayangnya pondokan peziarah dan makam kramat yang berada di tempat itu juga turut merasakan dampaknya. Ubin makam banyak yang mengalami kerusakan dikarenakan tertimpa logistik yang diluncurkan dari helikopter Puma milik TNI juga terinjak oleh puluhan bahkan ratusan manusia yang pada saat itu ikut serta mengevakuasi para korban. Meski demikian, dari pihak TNI akhirnya memutuskan untuk merapihkan kembali makam kramat tersebut setelah para relawan baik dari pihak TNI, Brimob ataupun warga yang berada di lokasi evakuasi mengeluh ketakutan karena diterjang badai dan kabut tebal beberapa saat setelah makam itu hancur tertimpa perbekalan. Kembali lagi kesisi belukar tempat dimana kami berteduh dari panas matahari yang menyengat. Seekor lebah hitam membuatku sedikit gusar lantaran ia selalu berputar-putar disekitar kami padahal tidak ada tanaman berbunga disitu. Tak beberapa lama kemudian Bila berkata “Itu buah apa ya, kak? Mirip-mirip Strawberry”. Aku hanya tersenyum saja, mana ada buah Strawberry tumbuh di puncak Salak, pikirku. Namun aku jadi sedikit penasaran juga karena Nevi pun turut mengiyakan ucapan Bila. Ketika aku melirik objek yang tengah dimaksud oleh Bila, 

Rubus Reflexus atau yang biasa disebut sebagai arbei hutan dapat dijumpai di beberapa gunung di Indonesia, salah satunya di puncak Salak. Rasanya hampir sama dengan Strawberry dan aman dikonsumsi.

aku pun terheran-heran. Ada beberapa buah berwarna oranye dan agak merah tampak menggantung di beberapa tangkai pohon yang selama ini aku anggap sebagai belukar.
           “Itu arbei hutan, coba kamu petik yang warnanya agak merah” ucapku pada Bila. Setelah Bila berhasil memetik buah tersebut, aku segera mengambil beberapa buah dan segera mencicipinya. Nevi dan Bila sepertinya masih ragu untuk memakannya, mereka khawatir buah itu beracun atau tidak aman untuk dikonsumsi. Setelah aku berhasil meyakinkan keduanya bahwa buah arbeinya terasa menyegarkan dan aman dimakan akhirnya mereka berani mengkonsumsi buah tersebut, malah Bila dan Nevi untuk selanjutnya tampak asyik mencari arbei hutan tadi disekitar bibir jurang.


***

            Menjelang pukul setengah satu siang, dari arah depan tampak Claudia dan Alfi yang baru saja tiba menyusul kami. Wajah Claudia terlihat seperti orang yang baru saja kalah main lotre, berbeda dengan Alfi yang tetap tenang tanpa sepatah kata apapun. Nevi dan Bila kuperintahkan untuk menyambut Claudia dan memberinya selamat agar ia tetap semangat. Bagaimanapun juga seorang pendaki pemula apalagi wanita, harus disupport secara moril agar tetap termotivasi untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Tidak lama setelah kehadiran Claudia dan Alfi, terlihatlah Vita dan kong Usman. Wajah Vita tampak lebih mengkhawatirkan dari Claudia. Menurut info yang didapat dari kong Luken dan Alfi, Vita sudah mengalami beberapa kali terjatuh sehingga secara fisik ia sudah payah alias habis-habisan manakala sampai di puncak Salak I.
           Untuk selanjutnya, Keempat perempuan itu mengisi waktu dengan berselfie. Tidak lupa mereka melakukan ritual wajib yang kerapkali dilakukan para “pendaki di masa kini”, yakni mengabadikan foto sendiri-sendiri sambil memegang secarik kertas yang dibubuhi tulisan. Biasanya tulisan itu ada yang berupa ajakan kepada teman mereka untuk mendaki gunung, mengucapkan selamat ulang tahun, namun tak jarang ada juga kalimat yang bertendensi menyindir pihak-pihak tertentu.
           Pada akhirnya, keempat perempuan itu betul-betul menikmati petualangannya meski ada diantara mereka yang secara fisik mengalami cidera. Namun, menikmati hasil dari yang telah diimpikan tidaklah sempurna bila tanpa terlebih dahulu merasakan perjuangan yang habis-habisan. Keempat perempuan itu baru saja memulai petualangan mendaki mereka langsung di gunung yang disegani oleh sebagian besar pendaki tanpa keluh-kesah dan tanpa menimbulkan efek jera bagi psikologis mereka untuk melakukan pendakian selanjutnya lagi.

Foto bersama di puncak Salak I sesaat sebelum kembali ke flying camp.
           Kong Usman selaku koordinator pendakian saat itu segera membuka ransum dari dalam daypacknya. Sisa air mineral yang bercokol didalam botol milik kong Usman pun segera kugasak, Nevi dan Bila menanti mendapatkan giliran minum dari botol yang sama. Ya, kami bertiga resmi kehabisan persediaan air minum manakala setibanya di puncak karena hanya membawa satu botol air berukuran satu liter saja dari flying camp. Buah arbei hutan yang secara tidak sengaja ditemukan oleh Bila rupanya sedikit menolong kami dalam mendapatkan asupan sedikit air meski kandungan airnya tidaklah banyak. Kong Usman membuka kacang hijau dan koktail kalengan yang didapatnya dari Rumah Relawan, sementara Nevi, Bila, Claudia dan Vita sudah berjejer antri menanti makanan ringan itu disajikan, persis seperti warga yang berkerumun menanti mendapatkan jatah raskin saja. Setelah selesai makan dan puas mengabadikan moment di puncak Salak I, kami segera kembali turun menuju flying camp.
          
OUR PICS


Setibanya kami di rumah mang Aos, tempat yang sering disinggahi oleh para pendaki yang akan menuju puncak Salak I via desa Girijaya, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. 

Tengah beristirahat di Pondok Gusti sekaligus mengambil persediaan air untuk kebutuhan memasak dan minum di Flying Camp.

Siap melanjutkan perjalanan menuju Flying Camp.


          
Menjelang senja di Flying Camp.

Memasak mie instant.
           
Bercengkrama sambil menanti segelas kopi dan teh hangat.

Kong Usman yang tengah memasak air menggunakan peralatan masaknya.

Alfi, the silence one.

Kong Usman, the team leader.

Bila, the laugh maker.

Nevi, the mood booster.

Claudia, the good listener.

Vita, slow but sure.

Sebelum memulai pendakian ke puncak Salak I.


Foto bersama seorang pendaki lain yang juga tengah berada di puncak Salak I.


With Nevi.


Jiwa muda dengan selera yang luar biasa.


Done !


As she want, standing on the top.


And you proove it !


They loves you too...

So you deserve to called “gaoel”.



Foto terakhir menjelang turun menuju Flying Camp.











































2 komentar: