Senin, 02 November 2015

JASH-XI : MENGINTIP POTRET KEHIDUPAN IBUKOTA

           Pada Minggu pagi tanggal 11 Oktober 2015, saya dan seorang teman yang juga sama-sama penggiat fotografi, beranjak dari Rawasari, Jakarta Pusat menuju kawasan wisata Kota Tua yang berada di utara Jakarta. Kedatangan kami kesana bukanlah untuk berekreasi di tempat yang beberapa abad lalu mashyur karena julukannya sebagai “Ratu dari Timur” tersebut, melainkan untuk mengikuti event Jakarta Street Hunting XI (JASHXI) yang diadakan oleh Fotografernet, salah satu situs fotografi di Indonesia yang membebaskan para fotografer memasang foto-foto hasil jepretannya. Event tersebut merupakan acara kesebelas yang diadakan oleh Fotografernet.

Salah satu bangunan peninggalan Belanda yang hingga kini masih berdiri kokoh di jalan Kali Besar Barat, di kawasan Kota Tua, jakarta.
           Pukul delapan lewat kami tiba didepan halaman museum Fatahillah, ternyata semua peserta event sudah mendapatkan nametag mereka dan tampak sedang berbaris untuk mendengarkan arahan dari panitia penyelenggara. Setelah selesai registrasi di kafe Mega Rasa, sebuah kafe yang sepertinya dijadikan basecamp bagi para penggiat fotografi, saya dan Riki (nama teman saya) segera masuk kedalam barisan. Ia mulai mengeluarkan Canon 100D dari dalam tas kameranya. Tidak lama kemudian, barisan dibubarkan dan semua peserta mulai berpencar namun tetap mengikuti arahan dari panitia.

Poster Jakarta Street Hunting XI.
           Ada yang membuat saya tertarik dengan beberapa peserta di event ini. Beberapa dari mereka tampak ada yang menggunakan kamera SLR jadul alias jaman dulu yang tentu saja masih analog, bahkan ada beberapa peserta yang datang tanpa membawa kamera SLR karena mereka hanya mengandalkan kamera dari tablet dan handphonenya. Ya, dunia fotografi memang tidak cuma dimonopoli oleh mereka yang berkalungkan SLR dengan moncong lensanya yang kekar saja, karena semua orang bisa menghasilkan gambar terbaik meski hanya dengan menggunakan kamera handphone.

           Pagi itu suasana disekitar museum Fatahillah sudah sangat ramai oleh para pengunjung dan pedagang. Aktivitas pedagang yang tengah bertransaksi dengan para pembelinya pun jadi sasaran puluhan mata lensa yang sudah mengincarnya dari semenjak briefing beberapa saat lalu. Para peserta JASHXI bebas mengambil gambar pada objek manapun yang mereka anggap menarik, sementara beberapa panitia tetap mengikutinya dan mengarahkan mereka untuk tetap berada pada rute hunting. Jalur perburuan JASHXI kali ini akan melalui sebuah pemukiman warga keturunan Tionghoa atau Pecinan yang terletak tidak begitu jauh dari Harco Glodok dan museum Fatahillah.

Pengunjung tengah melihat barang dagangan yang dijajakan disekitar Museum Fatahillah.
           Ada kesan emosional tersendiri di benak saya terhadap kemegahan bangunan-bangunan tua yang saya lalui pagi itu. Seolah masih ada dengus nafas Batavia lama atau oud Batavia yang menghembuskan sedikit nostalgia dari kisah-kisah dimasa kejayaannya dulu. Sejenak saya teringat oleh apa yang ditulis oleh Susan Blackburn didalam bukunya yang berjudul “Jakarta, Sejarah 400 Tahun” bahwa, Batavia sepertinya diciptakan hanya untuk memenuhi ambisi dan kepentingan dari pihak-pihak penguasa saat itu saja. Memang di tahun 1700-an wilayah sekitar kota tua ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan kulit putih, sedangkan untuk pendatang asal Cina, Arab dan India hanya sekian persen saja. Bagaimana dengan penduduk pribumi? Inlander sepertinya harus legowo menempati bagian luar tembok kota, kecuali mereka yang menikah dengan orang Belanda, Cina atau Arab, diperbolehkan tinggal didalam kota. Khusus orang Banten dan Jawa dilarang keras tinggal didalam kota, bisa dimaklumi karena Banten merupakan rival dari pemerintah kolonial Belanda dan pihak Belanda tidak pernah mempercayai orang Jawa karena sudah dua kali Mataram menyerang Batavia meski kedua agresi itu gagal total!

Sebuah ontel tua yang sedang diparkir tidak jauh dari Museum Bank Indonesia dan fly over Pasar Pagi.
          Setelah sekian menit mengamati dan mengambil gambar Museum Bank Indonesia, saya dan beberapa peserta lainnya kembali melanjutkan perjalanan ke arah Glodok. Memasuki koridor toko disepanjang jalan Pintu Besar Selatan menuju Harco Glodok, kali ini giliran pedagang batu akik dan para pelukis jalanan yang menjadi objek mata lensa. Tiga orang panitia yang bertugas mengikuti kami juga terlihat turut ambil bagian dalam membidik target, satu diantaranya tetap berkoordinasi dengan panitia yang lain dengan menggunakan handy talky.

Pelukis jalanan, salah satu pemandangan yang akan sering dijumpai disepanjang jalan Pintu Besar Selatan.
           Yuk, lanjut lagi” ucap salah seorang panitia yang menggunakan SLR berbody besar. Kami pun segera beranjak dari tempat itu sambil tetap mengamati objek disekitar yang sekiranya bagus untuk difoto.

           Sampailah kami dipersimpangan antara jalan Pancoran, jalan Pintu Besar Selatan dan jalan Gajah Mada. Panitia mengarahkan kami untuk belok kanan menuju sebuah tempat, yaitu jalan Kemenangan. Sebuah kawasan bernuansa Cina di Jakarta dengan jalan yang hanya berukuran kurang lebih tiga meter, yang kiri kanan bahu jalannya disesaki oleh lapak para pedagang dan mampu menyedot banyak wisatawan untuk berkunjung. Para pedagang pribumi terlihat berinteraksi dengan pelanggannya yang keturunan Tionghoa, sebagian dari mereka malah ada yang meladeni pelanggannya dengan menggunakan bahasa Mandarin. Aroma bumbu dan rempah-rempah ala orang Cina mulai hinggap di lubang hidung saya, aroma yang masih asing bagi kalangan warga pribumi yang non Tionghoa. Warna-warni manisan dan kembang gula yang dipajang di toples-toples beberapa toko kuliner khas Cina membuat saya jadi sedikit penasaran untuk mencicipinya, namun lagi-lagi panitia JASHXI memberi gesture kepada kami untuk terus melanjutkan perjalanan.

Seorang warga keturunan Tionghoa di Petak Sembilan yang menjual peralatan sembahyang bagi umat Buddha.
           Menyelisik bangunan-bangunan tua disekitar gang tersebut,lamunan saya mengingatkan kembali pada peristiwa berdarah yang membuat warga etnis Tionghoa harus pindah dari sekitar kota tua ke tempat ini. Tragedi memilukan itu terjadi di tahun 1740 yang menewaskan sekitar 10.000 jiwa warga Tionghoa. Adalah seorang gubernur jendral Adriaan Valckenier yang bertanggungjawab atas pembantaian etnis Tionghoa tersebut. Berawal dari keresahan warga Tionghoa yang bekerja sebagai buruh pada pabrik gula akibat menurunnya harga gula di pasar dunia serta pendapatan mereka yang semakin berkurang, mereka pun memberontak dan membakar pabrik. Kejadian itu menewaskan puluhan pasukan Belanda. Berang atas kerusuhan ini, Valckenier segera menurunkan sekitar seribuan pasukan tetap beserta pasukan wajib militer untuk menghentikan kerusuhan tadi, bahkan ia juga memperbolehkan serdadu-serdadunya untuk mengambil tindakan keras sekalipun mematikan. Parahnya lagi, penduduk pribumi menjadi gelisah akibat perbuatan para pemberontak yang menewaskan banyak serdadu Belanda tersebut. Akhirnya merebaklah desas-desus perihal kebrutalan warga Tionghoa yang berujung pada kecurigaan dan prasangka warga pribumi terhadap mereka. Beberapa hari kemudian, akhirnya ratusan warga pribumi mendatangi tembok kota, mereka membakar rumah-rumah warga Tionghoa dan menjarah harta benda miliknya. Penderitaan tidak hanya sampai disitu, diluar rumah pasukan Belanda segera menembaki warga Tionghoa yang berhamburan hendak menyelamatkan diri ketika rumah-rumah mereka dibakar. Serdadu lainnya juga memborbardir rumah-rumah itu dengan meriam sehingga banyak orang Cina yang tewas didalamnya. Mereka yang tertangkap hidup-hidup segera digiring ke tengah jalan untuk kemudian dibantai secara massal lalu mayatnya dilempar ke sungai di sepanjang jalan Kali Besar. Potongan kepala dan anggota tubuh korban pembantaian seperti menjadi pemandangan yang biasa kala itu. Sumber lain juga menyebutkan, beberapa warga Tionghoa yang berhasil kabur dengan menceburkan diri ke sungai juga bernasib sama naasnya. Mereka disambut dengan rentetan senjata para serdadu Belanda yang sudah bersiaga menggunakan perahu kecil. Pasien-pasien keturunan Tionghoa yang sedang dirawat di rumah sakit dipaksa keluar menuju jalan raya untuk kemudian turut dibantai pula. Sebagian besar pelaut Belanda yang miskin dan hobi menghabiskan  malamnya dengan berjudi serta mabuk-mabukan, juga ditemani oleh warga pribumi dari kalangan “etnis tertentu” mendatangi rumah-rumah yang sudah hancur terbakar, mereka lalu menghabisi warga Tionghoa yang kedapatan masih hidup. Tidak bisa dibayangkan kengerian juga banjir darah yang menggenangi jalan-jalan disekitar kota tua dan Kali Besar pada saat itu. Setelah kerusuhan ini mulai mereda, akhirnya dari pihak Belanda mengusulkan untuk berdamai serta melarang orang-orang keturunan Tionghoa untuk bermukim didalam kota. Mereka pun menempati pemukiman yang terletak di batas kota, yaitu disekitar Glodok, agar segala pergerakannya bisa mudah diawasi oleh Belanda.

Suasana pasar yang berada di jalan Kemenangan, Petak Sembilan, Jakarta Barat.
           Saya pun tiba didepan sebuah wihara yang sudah dibangun sejak 400 tahun yang lalu, yaitu wihara Dharma Bhakti. Wihara tertua di jakarta ini terlihat tidak begitu ramai dikunjungi oleh mereka yang hendak bersembahyang pagi itu, kecuali oleh para peserta JASHXI dan belasan pengemis yang mengharapkan jiwa sosial dan rasa iba dari mereka yang datang untuk melakukan sembahyang. Puing-puing sisa dari kebakaran beberapa bulan yang lalu masih bisa saya lihat meski akses kearah situ sudah ditutup oleh pagar seng dan bentangan spanduk berwarna merah. Agak canggung juga saya untuk masuk kedalam wihara tersebut. Bukannya apa-apa, yang namanya rumah ibadah pastinya ditujukan untuk melaksanakan ibadah bagi para penganutnya dan sudah pasti bersifat sangat sakral. Tidak beberapa lama, akhirnya saya memberanikan diri untuk memasuki pekarangan wihara setelah melihat banyak peserta yang juga memburu objek fotonya didalam klenteng tersebut. Warna merah tampak mendominasi bagian luar dan dalam wihara, dibagian atas tergantung puluhan lampion serta kertas yang dibubuhi doa-doa dengan tulisan Cina, aroma hio tercium dari sebuah guci berbahan kuningan yang terletak tidak jauh dari altar, ukiran-ukiran khas Tionghoa dengan cat berwarna emas terlihat menghiasi meja altar itu. Didalam ruangan, saya hanya mengambil foto beberapa objek saja karena tidak tahan terhadap asap hio yang membuat mata terasa panas. Setelah selesai, saya dan Riki segera melanjutkan perjalanan menuju jalan Kemenangan III hingga berakhir di jalan Pintu Kecil. Setibanya di Kali Besar, saya dan Riki tidak segera merapatkan barisan bersama dengan peserta yang lain di kafe Mega Rasa. Sebuah bangunan tua yang masih berdiri kokoh di jalan Kali Besar Barat sangat menggoda saya untuk segera mengarahkan lensa dan membidiknya meski saat itu matahari sudah sedemikian teriknya. Sepuluh menit sudah saya mencari angle untuk mendapatkan gambar bangunan tersebut, saya pun balik badan hendak menuju kafe Mega Rasa dengan melintasi sebuah jembatan yang dibawahnya terdapat sungai yang dulu pernah menjadi saksi bisu atas sebuah tragedi berdarah sekaligus tempat pembuangan bangkai ribuan warga Tionghoa yang tewas akibat pemberontakan Cina tahun 1740.

Altar yang berada didalam ruangan klenteng.
                             


           Dunia fotografi sekali lagi memiliki daya tarik tersendiri dikalangan para penggemarnya. Dengan kamera yang belum memiliki fitur canggih pun, seorang fotografer bisa menghasilkan gambar yang bagus bila ia sudah mengerti dasar-dasar serta tekniknya. Berani dalam mencari angle yang berbeda serta bisa memanfaatkan moment merupakan salah satu kuncinya, namun tetap modal utama seorang fotografer adalah “cahaya”.


           Saya mengapresiasi event ini yang mana tidak hanya melibatkan para fotografer profesional, mereka yang amatir pun diperbolehkan untuk turut serta didalamnya sehingga hobi yang satu ini tidak menciptakan sekat-sekat antara mereka yang sudah memiliki banyak jam terbang dengan mereka yang masih newbie. Semoga kedepannya para penggiat fotografi di tanah air semakin kreatif dengan diadakannya event seperti JASHXI beberapa waktu lalu.



RUANG  BERGAMBAR :

Seorang penjaja mainan anak-anak di halaman depan Museum Fatahillah, Jakarta.

Berbagai macam kerajinan tangan yang dijual di Kota Tua (dok: Riki).

Salah seorang peserta JASHXI yang juga tengah memburu objek.

Suasana koridor toko-toko di jalan Pintu Besar Selatan.

Sebuah bangunan yang tengah dipugar tidak jauh dari Harco Glodok.

Lapak seorang pedagang batu akik (dok: Riki).

Jasa pembuat kunci duplikat (dok: Riki).

Hio didepan wihara.

Riki didepan pintu masuk menuju ruangan persembahyangan.

Penjaga klenteng Dharma Bhakti.

Persembahan diatas meja altar.

Patung sang Buddha atau Siddhartha Gautama yang diletakkan disebuah etalase berkaca di wihara Dharma Bhakti.

Cahaya lilin diantara lampion do’a.

Kobar api di meja altar (dok: Riki).

Suasana didepan jalan Kemenangan 7.

Tembok Gapura di jalan Kemenangan 7 yang dihiasi ornamen-ornamen khas Cina.

Seorang warga yang tengah membakar persembahan disebuah tempat persembahyangan.

Tempat sembahyang yang berada disebelah tembok gapura jalan Kemenangan (dok: Riki).

Aliran sungai disepanjang jalan Pintu Kecil dengan kerimbunan yang tersisa.

Suasana pusat penjualan buku-buku bekas di Pasar Pagi.

Jalan raya yang akan menuju jalan Kali Besar Barat.

Papan petunjuk arah jalan dan kubah bangunan tua.

Pedagang es potong keliling.

Foto bangunan tua yang berada di jalan Kali Besar Barat setelah diberi sedikit sentuhan bernuansa retro. 

Meski sudah berusia ratusan tahun, namun gedung ini masih tetap kokoh.

Tampilan saat ini dari Oud Batavia yang pada abad ke 17 menjadi kebanggaan pihak kolonial Belanda.

Saya didepan stadhuis Batavia atau yang kini lebih populer dikenal sebagai Museum Fatahillah Jakarta.

Salah seorang manusia batu atau patung hidup yang ada disekitar pelataran Museum Fatahillah (dok: Riki).

Patung hidup dan kacamata.

Lelaki paruh baya yang bergaya dan menggunakan kostum bak jawara Betawi tempo dulu. Ia mengais rezeki dari jiwa sosial para pengunjung yang datang ke Kota Tua (dok: Riki).