Selasa, 23 Februari 2016

PELANTIKAN ANGGOTA MUDA PALAPSA 2016 : MENYAPA KESUNYIAN GUNUNG SALAK

              Derap langkah beberapa pasang sepatu mengusik malam yang mulai hening, mencetak jejak-jejak kekar di setiap tanah basah yang kami lalui. Jumat malam tanggal 5 Februari 2016, saya, beberapa anggota Palapsa, dan tiga orang calon anggota Palapsa, tiba di desa Girijaya, kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sekitar pukul 00.30 WIB, kami beristirahat di sebuah pos ronda yang letaknya tidak jauh dari gapura pasarean Eyang Santri. Ya, saya kembali berpartisipasi dalam pelantikan anggota Palapsa tahun ini yang memilih rute dari desa Girijaya hingga ke puncak Salak I, lalu kembali turun ke desa Girijaya. Adapun anggota Palapsa yang ikut serta didalam pelantikan kali ini diantaranya:

Pagi hari didepan rumah kang Ali, Girijaya, Sukabumi.
Kak Djati meluangkan waktunya untuk datang dan menemui tim yang akan melakukan pelantikan anggota muda di pasar Cicurug, Sukabumi.
1.   Hendi Roswandi       (No PAL:8971013)
2.   Andri Sutarno        (No PAL:8972018)
3.   Suhaemi              (No PAL:8669059)
4.   Eko Purwanto         (No PAL:9176022)
5.   M.Usman              (No PAL:9568040)
6.   Slamet Dwi Rahardja  (Rimba Liar)
7.   Dwiki Budiawan       (Kabut Lembah)
8.   Ari Saputra          (Kabut Lembah)
9.   Sri Yuni Nur Linda   (Kabut Lembah)

Sedangkan ketiga calon anggota yang akan dilantik diantaranya:

1.   Dimas Agung          (No AM:1600001)
2.   Faisal Reza          (No AM:1600002)
3.   I Putu Hening Cahya  (No AM:1600003)

Logo PALAPSA
Lokasi gunung Salak dilihat dari Google Map.
Ketiga calon anggota muda sedang diistirahatkan didekat gapura pasarean eyang Santri, desa Girijaya.

           Sebelumnya, mungkin perlu saya sedikit beberkan tentang Palapsa yang merupakan organisasi pencinta alam. Palapsa atau Pencinta Alam Perguruan Ksatrya, Jakarta Pusat, adalah organisasi pencinta alam yang lahir pada tanggal 25 Desember 1971 di desa Girijaya, Sukabumi. Keanggotaan Palapsa terdiri dari alumni SMP, SMA dan SMK Ksatrya, pelajar SMA dan SMK Ksatrya, bahkan ada juga yang berasal dari kalangan non perguruan Ksatrya. Palapsa tidak selalu berorientasi kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat petualangan saja, bakti sosial pun kerap kali mereka adakan. Beberapa anggotanya ada yang rutin mengikuti pelatihan penanggulangan bencana alam yang diadakan oleh pihak Badan SAR Nasional. Palapsa sendiri bukan kelompok pencinta alam yang terdengar baru di telinga saya. Sejak tahun 1994, saya sering mendengar nama itu dari kedua orangtua saya yang juga eks pelajar perguruan Ksatrya. Almarhum paman yang bernama Erwin Iskandar juga pernah menjadi anggota Palapsa pada tahun 1976. Palapsa bukan organisasi pencinta alam kemarin sore, yang terlahir langsung berkoar-koar tentang pelestarian alam dan lingkungan. Tercatat sudah ada beberapa prestasi yang pernah diperoleh dimasa jayanya dulu. Lomba Kebut Gunung yang diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Djakarta atau IMADA di gunung Gede pada era 70an, sempat beberapa kali diikuti oleh Palapsa dan menjadikannya juara lebih dari sekali. Mungkin beberapa senior seperti kak Jati, kak Yaya, kang Lukman, kak Alex, kak Sentot dan kak Heru yang masih bisa menceritakan secara detail bagaimana mereka mengalami masa-masa kejayaan Palapsa kala itu. Desember tahun ini Palapsa akan menjemput usianya yang ke 45 tahun, dan itu bukanlah usia yang terbilang muda untuk sebuah organisasi.



Chapter 1: Pondok Gusti Refill Station

           Tepat pukul 05.00 WIB, nada alarm terdengar keras dari speaker seluler milik seorang anggota Palapsa. Suaranya lebih menyerupai nada peringatan pada Tsunami Warning System ketimbang suara alarm, pikir saya. Saat itu,kami bermalam di rumah kang Ali yang letaknya hanya beberapa puluh meter saja dari rumah mang Aos, tempat yang biasa saya singgahi bila hendak mendaki gunung Salak I. Ari dan ketiga calon anggota segera menyiapkan cooking set untuk membuat minuman dan makanan sebelum kami beranjak menuju flying camp. Tidak beberapa lama, beberapa gelas kopi, teh dan sereal hangat sudah tersaji disusul mie instant sebagai menu sarapan pagi.

Tim sedang mengadakan evaluasi setibanya di rumah kang Ali.
Putu dan Faisal sedang memasak air untuk membuat sarapan dan minuman.
           Ada perubahan rencana ketika tadi malam kami mengadakan evaluasi perihal pengeluaran dana yang ternyata membengkak dan diluar prediksi awal. Agar sisa dana yang ada bisa digunakan untuk pulang sampai ke jakarta, maka bang Andri dan bang Eko memutuskan untuk melakukan pelantikan di puncak Salak I namun tidak turun ke Girijaya lagi melainkan melintas menuju Kawah Ratu dan turun di Pasir Reungit, Bogor. Bila nanti kondisi cuacanya memang mendukung untuk turun melewati Kawah Ratu, maka perjalanan kali ini sudah pasti akan lebih banyak memakan waktu dan tenaga ketimbang pelantikan pada beberapa angkatan sebelumnya.

Sedikit arahan dari bang Andri sebelum memulai perjalanan menuju flying camp.
           Selepas sarapan, kami pamit diri sekaligus menyempatkan mengambil gambar bersama sang empunya rumah. Sekitar pukul 07.58, rombongan Palapsa mulai meninggalkan tempat tersebut. Langkah-langkah kecil menghentak jalan sempit yang licin karena ditumbuhi lumut. Sementara langit masih biru sempurna tanpa disesaki gumpalan awan, disebelah kanan kami gunung Salak kian mengukuhkan puncaknya yang menjulang perkasa menghimpit angkasa. Pendaran matahari pagi menguak selimut kabut sehingga terlihat jelas kontur lereng serta lembahnya yang menghijau terlindung rerimbunan. Desah nafas kami menyeruak dibalik kidung alam yang terlantun dalam kicauan burung-burung kecil serta gemericik air parit yang mengalir dengan jernihnya.

Foto bersama kang Ali dan keluarga sebelum keberangkatan.
           Beberapa saat kemudian, kami tiba di satu tempat yang di kiri kanannya ditumbuhi pohon-pohon damar (Agathis Dammara). Sekarang keadaan di tempat ini sudah tertutup rindangnya pepohonan damar, tidak seperti ketika sepuluh tahun lalu dimana pohon-pohon damar tersebut tingginya baru mencapai kurang dari satu meter saja sehingga terik matahari akan langsung mengenai tubuh mereka yang sedang mendaki. Tidak lama kemudian, kami sampai di sebuah tempat petilasan yang dulu kerap kali dikunjungi oleh eyang Santri untuk bertafakur. Oleh warga setempat, petilasan itu dinamakan Pondok Gusti.

Puncak Salak yang terlihat jelas meski dari kejauhan.
           Nama eyang Santri mungkin terdengar masih asing di telinga kita, namun siapa sangka kalau beliau ternyata adalah guru dari HOS Cokroaminoto, Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan mantan presiden Soekarno. Eyang Santri memiliki trah langsung dari Mangkunegara dan berguru kepada Raden Ngabehi Ronggowarsito. Beliau memilih meninggalkan kampung halamannya menuju desa Girijaya, Sukabumi, akibat diburu oleh pihak kolonial Belanda karena enggan diajak bekerjasama. Di bukit Girijaya inilah eyang Santri alias eyang Joyokusumo menghabiskan sisa hidupnya.

Tengah beristirahat di Pondok Gusti, tempat petilasan eyang Santri.
           Ada dua buah kolam berbentuk lingkaran untuk menampung air yang berasal langsung dari gunung Salak yang terdapat di petilasan Pondok Gusti. Sumber air ini biasa digunakan oleh para peziarah untuk kebutuhan berwudhu atau minum. Saat itu air hanya tertampung di kolam yang berada di jajaran paling atas saja, itupun harus secara perlahan ketika saya mengambil airnya agar kotoran yang mengendap didasar kolam tidak ikut terangkat. Kami mengisi ulang botol-botol air sampai kembali penuh untuk persediaan saat nanti kami berada di flying camp dan tentu saja untuk perbekalan selama menapaki track yang mulai menanjak ini.

Ari dan Dwiki sedang menanggapi banyolan dari ngkong Usman.
           Di Pondok Gusti, kami melepas rasa letih dengan mengumbar candaan. Untuk urusan yang satu itu, dijamin ngkong Usman tidak akan kehabisan bahan banyolan. Seekor Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi) yang merupakan hewan endemik disekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), terlihat mengangkasa dengan sepasang sayapnya yang membentang lebar. Gunung Salak sendiri terpilih sebagai daerah burung penting dengan nomor registrasi ID075 oleh Bird Life, sebuah organisasi internasional pelestari burung. Bang Eko yang melihatnya terlebih dahulu, segera memberitahu saya untuk membidiknya dengan menggunakan lensa tele. Hingga kami akan melanjutkan perjalanan, elang tersebut masih saja berputar-putar bebas di udara.

Elang Jawa yang sedang berputar-putar mengincar mangsa diatas bukit Girijaya.
Chapter 2: Tersesat...!

           Tiga belas tahun yang lalu, sekitar 200 meter dari Pondok Gusti terdapat pohon jackpot. Dinamakan pohon jackpot karena di tempat itu dulu ada sebuah pohon yang menjulang lebih tinggi dari pohon-pohon yang lain dan setiap pendaki yang mencapai tempat itu dipastikan selalu ada beberapa dari mereka yang merasa mual hingga akhirnya muntah-muntah. Tapi itu dulu, dimana punggungan bukit setelah Pondok Gusti masih dalam keadaan terbuka tanpa penghalau sinar matahari. Sekarang punggungan tersebut sudah rapat oleh belukar dan ranting liar yang menjorok hingga ke jalur pendakian, sehingga pendaki yang melaluinya tidak akan tersengat terik dan terkena hembusan angin yang akan mengakibatkan mereka pusing atau mual.

           Saya, Dwiki dan ketiga calon anggota Palapsa (capal) sudah memasuki pintu gerbang hutan Salak. Suasananya kian gelap karena cahaya matahari tidak bisa menembus lebatnya pepohonan, seperti tengah memasuki koridor alam yang terbuat dari dahan-dahan kokoh serta dedaunan. Tanah disekitar hutan gunung Salak selalu basah meski tidak sedang musim penghujan, itu dikarenakan gunung ini memiliki tingkat kelembababan udara sekitar 88% dengan suhu bulanannya yang berkisar antara 19,7-31,8 derajat celcius. Mungkin bisa dibilang gunung Salak adalah gunung yang memiliki tingkat kelembababan tertinggi dibanding dengan beberapa gunung yang ada di jawa Barat. Pakis hutan (Nephrolepehis Bisserata), Honje (Etlingera Elatior) dan tanaman Begonia hutan (Begonia Fusca) banyak tumbuh disini, ketiganya bisa dikonsumsi dan merupakan tanaman yang mendukung seorang pendaki untuk bisa survive. Setibanya kami disebuah persimpangan, Dwiki yang berada di barisan paling depan mengambil jalur kiri yang memang lebih terang dan terbuka ketimbang jalur kanan yang tidak tampak akibat terhalang ranting-ranting pohon. Saya masih berada dibelakang ketiga capal saat kami menemui sebuah persimpangan lagi, hingga beberapa saat kemudian Dwiki terlihat kebingungan dan menghentikan langkahnya, ia bertanya kepada saya;
           “Beneran yang ini jalurnya, kak?”
           “Ada apa emangnya?” timpal saya sambil berdiri di jalan setapak yang disebelah kirinya terkikis akibat longsor. Dwiki memberitahu kalau jalur yang sekarang ada dihadapannya sangat curam untuk didaki. Setelah melihat langsung rupa tanjakan yang dimaksud tadi, mendadak saya merasa ada kejanggalan karena tidak seharusnya kami melalui jalur securam itu setelah melewati pintu gerbang hutan.

Faisal dan Dwiki sedang beristirahat diperbatasan pintu masuk hutan gunung Salak.
           “Balik arah, kita nyasar!” perintah saya kepada yang lain. Kami berlima segera berbalik arah, kembali ke persimpangan terakhir. Setibanya di persimpangan itu, Dwiki segera mengambil jalur yang satunya lagi diikuti saya, capal, dan dua orang pendaki dari organisasi pencinta alam Tradyakala yang juga tampak tersesat. Tidak lama kemudian, kami tiba di satu tempat yang lagi-lagi nyaris terlihat seperti persimpangan. Khawatir jalur yang kami pilih ini termasuk jalur yang salah, maka kami memutuskan untuk menunggu rombongan yang lain tiba di tempat tersebut. Ari yang baru saja datang bersama Slamet, bang Andri dan Linda, segera diperintahkan untuk mensurvey jalur yang mengarah ke kanan, sementara Slamet mengecek jalur yang berada disebelah kiri dan agak menanjak. Hasil laporan dari Slamet dan Ari sama-sama meragukan, fix saat ini kami tengah tersesat!

Seperti inilah Linda yang selalu bisa bergaya meski kenyataannya kami sedang tersesat.
           Hampir sejam lamanya kami menunggu rombongan yang berada di belakang. Sinar matahari sudah berkali-kali timbul tenggelam tersapu kabut pekat yang melayang perlahan terbawa angin. Mereka yang ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya, sedangkan semakin lama kami berdiam diri maka semakin menggigil tubuh ini. Pekik seekor Owa Jawa (Hylobates Moloch) terdengar tidak jauh dari tempat kami beristirahat, ia seperti sedang bersenandung ria di tengah belantara gunung Salak yang menjajakan kepadanya kehidupan yang lepas dan bebas.

Tersesat: Relax dulu sambil menanti kedatangan rombongan yang paling terakhir
            Tidak lama kemudian, ngkong Usman dan bang Hendi muncul. Ia mengatakan kepada saya, seharusnya kami mengambil arah ke kanan pada saat berada di persimpangan pertama sebab ia melihat ada tali plastik berwarna merah terikat disebuah ranting yang menggantung. Setelah bang Helmi dan bang Eko datang, kami segera kembali ke persimpangan pertama yang baru saja dimaksud oleh ngkong Usman. Setibanya di tempat tersebut, saya melihat seutas tali plastik berwarna merah yang terikat pada sebuah ranting disebelah kanan persimpangan. Saya memeriksa ke jalur sebelah kanan untuk memastikan kalau jalur yang sekarang ini benar, dan memang seperti yang saya harapkan: sepuluh meter dari pertigaan jalur tadi terdapat tali plastik bermotif police line yang terikat di sebuah pohon. Saya yakin itu pasti tanda milik bang Eko ketika tahun lalu ia mendaki gunung ini bersama beberapa temannya. Setelah memastikan jalur yang satu ini jalur yang tidak menyesatkan, saya segera memanggil yang lain untuk lanjut bergerak. Bang Helmi yang memang sengaja membawa golok tebas, segera ia keluarkan dari sarungnya untuk membabat habis ranting-ranting yang menghalangi jalur, yang sempat membuat rombongan ini terkecoh.

Membuka peralatan memasak, it’s time to lunch...!
           Inilah konsekuensi bila kita mendaki menuju puncak Salak I melalui desa Girijaya. Track disini memang terkenal memiliki banyak percabangan akibat ulah para penebang yang kian merajalela merambah hutan, mereka membuka jalur baru sedangkan jalur yang lama dibiarkan semakin tertutup tanaman akibat sangat jarangnya pendaki yang melalui jalur ini. Pendaki dengan jam terbang tinggi pun tidak tertutup kemungkinan untuk tersesat disini, itu sebabnya tali atau pita dengan warna cerah dibutuhkan sebagai penanda manakala kelak kita menjumpai persimpangan. Siang itu, rombongan Palapsa tersesat berjamaah dan menyebabkan waktu kami terbuang sebanyak kurang lebih dua jam.

Ekspresi kekesalan bang Hendi yang tidak bisa mengakses internet didalam hutan.

Chapter 3: Senandung sunyi di flying camp

          Pukul 13.30, saya dan ketiga capal akhirnya menjejakkan kaki di flying camp, sebuah tempat petilasan yang memiliki surau kecil dan pondokan bagi para peziarah.  Langit beranjak gelap karena tertutup pekatnya kabut, gerimis pun turun seketika. Tidak jauh dari tempat kami beristirahat, terdengar gelak tawa dari arah pondok peziarah. Handy Talky saya nyalakan, segera saya mengontak dan menginformasikan kepada bang Andri kalau saya dan ketiga capal sudah berada di flying camp. Bang Andri mengkonfirmasi, ia juga memerintahkan saya untuk mengecek keadaan di pondokan apakah bisa digunakan untuk bermalam atau memang sedang digunakan oleh pendaki lain. Saya segera menyusuri anak tangga yang menurun dan menghampiri pondok peziarah. Tampak ada sekitar enam orang pendaki dari Tradyakala, Jakarta Pusat, sedang berbincang-bincang dan akan meninggalkan tempat tersebut. Dua diantaranya sempat saya temui manakala kami tersesat beberapa jam yang lalu. Setelah memastikan kondisi pondokan aman dan siap digunakan untuk bermalam, saya segera memanggil ketiga capal tadi untuk turun ke pondokan.

Dimas dan Faisal di flying camp Salak.

           Ngkong Usman, bang Andri, bang Hendi, Ari, Linda dan Slamet tiba di pondokan beberapa menit kemudian. Kami sedikit gelisah lantaran air yang disalurkan melalui selang tidak mengalir. Entah sumber air didekat puncak sedang kering atau selangnya terputus di tengah jalan, tapi dugaan yang pertama sepertinya tidak mungkin mengingat saat ini sedang memasuki musim penghujan. Air hujan yang ditampung kedalam beberapa nesting pun jumlah dan tampilannya tidak meyakinkan. Beruntung Slamet menemukan air yang masih layak digunakan untuk memasak di satu tempat dekat pondokan. Ia, Ari dan ketiga capal segera mengisi kembali botol-botol minum yang sudah kosong. Meski tidak bisa memenuhi semua botol-botol minum, setidaknya kami kembali punya cadangan air untuk bertahan hingga besok pagi.

           Sudah hampir pukul empat sore namun bang Helmi, bang Eko, dan Dwiki belum juga terlihat. Kalau menurut penuturan Ari dan Slamet, bang Eko dan Helmi sudah tampak kepayahan karena ada masalah pada kakinya. Bang Andri jadi sedikit khawatir sebab tak ada respon baik dari bang Eko ataupun bang Helmi saat ia mencoba mengontaknya via handy talky. Ditengah-tengah kegelisahan itu, tiba-tiba terdengar panggilan dari salah satu HT, bang Andri segera menerima kontak tersebut. Ternyata itu suara Bang Eko yang meminta beberapa capal atau anggota muda untuk turun menjemput dan membackup barang bawaan mereka. Bang Andri segera memerintahkan Ari dan ketiga capal untuk turun dan menjemput ketiga orang terakhir tadi. Sekitar lima belas menit kemudian, barulah bang Helmi, bang Eko dan Dwiki sampai di pondokan disusul Ari dan ketiga capal, kekhawatiran bang Andri berakhir sudah.

Wajah cemas bang Andri saat sedang menunggu kabar dari ketiga rombongan terakhir.
           Sore itu, ngkong Usman membuka cooking setnya untuk memasak air. Lembah dan ngarai yang menganga persis didepan pondokan tampak tertutup tebalnya kabut, saya yakin tidak beberapa lama lagi halimunan itu akan segera terbuka seiring dengan gerimis yang mulai mereda. Ketiga capal terlihat sedang mendapat pelatihan gratis dari ngkong Usman tentang cara memasak nasi dengan menggunakan nesting dan camping stove. Bila tidak mengetahui tekniknya, tentu nasi yang dimasak bisa setengah matang bahkan hangus pada bagian bawahnya. Ketiga capal tadi juga dituntut untuk bisa menggunakan peralatan masak serta memasak, namun sejauh ini sepertinya baru Putu saja yang terlihat piawai mengolah bahan makanan.

Putu yang sedang meracik sup Bali buatannya.
           Kabut yang menutupi lembah akhirnya menyingsing ke arah timur sehingga puncak Salak I dan lereng yang berada dibawahnya sekarang terlihat dengan jelas. Sambil bercengkrama kami menikmati pemandangan didepan mata itu dengan ditemani hangatnya kopi dan teh. Menatap ke arah tenggara, kita bisa melihat gunung Gede dan Pangrango yang seperti sedang melayang diatas permadani awan. Semburat lembayung jingga berpendaran di penghujung senja, memikat beberapa ekor burung untuk berkicau diatas dahan pepohonan. Temaram lampu-lampu kota mulai menyala dibalik pekatnya kelam. Selepas makan malam, bang Andri, bang Hendi, bang Helmi dan bang Eko menuju alam mimpinya terlebih dahulu. Ketiga capal pun sepakat untuk berbagi lapak tidur di beranda pondokan, sementara Slamet dan Ari memilih untuk terlelap didalam kamar pondokan. Saya, ngkong Usman dan Linda masih betah untuk menikmati suasana sabtu malam di flying camp dalam berbagai macam obrolan. Linda tampak antusias menanyakan kepada saya cara membuat suatu tulisan, ternyata ia sudah terlanjur berhutang janji dengan bang Andri untuk menyerahkan sebuah karya tulis selepas dari pendakian ini.

Akhirnya bang Andri bisa tertidur pulas setelah bang Helmi, bang Eko dan Dwiki tiba di flying camp.

           Jarum jam terus merayap hingga ke angka sebelas, kami bertiga memutuskan untuk bergegas tidur karena perjalanan esok hari masih sangat panjang. Malam itu suasana di flying camp terdengar riuh dengan dengkuran. Diluar pondokan, belantara raya yang senyap berpadu dengan pekatnya gelap. Desau angin yang menyusuri lembah terdengar mengalun indah, ciptakan senandung sunyi yang melepas lelah.

Penampakan gunung Gede–Pangrango di kala senja yang saya ambil dari flying camp.

SENANDUNG SUNYI DARI FLYING CAMP

Bogor, 22 Februari 2016

Redup mentari senja
Semburat lembayung berpamit dari langit
Gelap merajai semesta raya
Tanpa gemintang nihil purnama
Hanya temaram lampu-lampu kota

Diantara pekatnya belantara
Kunikmati embun lembah yang singgah
Membasuh rasa lelah
Jadi pelengkap kisah...
Karena kelam malam tak lagi mencekam
Ketika tarian angin santun mengucap salam
Kepada para sahabat sang alam


Chapter 4: Menjelujur jejak menuju puncak

           Pukul 07.00 pagi, hari minggu tanggal 7 Februari 2016, tim ini sudah bersiap-siap akan melanjutkan perjalanannya ke puncak I gunung Salak. 2 jam yang lalu, saya masih enggan bergumul dengan dinginnya udara pagi yang menyelisik sekujur tubuh manakala terbebas dari jaket dan kantung tidur. Kami sarapan dengan menu seadanya pada pukul enam lewat, botol-botol air yang kemarin telah terisi kini mulai berkurang kembali setelah terpakai untuk membuat sarapan. Praktis sekarang kami harus mengirit penggunaan air untuk minum sampai kami menemukan sumber air yang letaknya tidak begitu jauh dari puncak.

Camping stove yang sedang digunakan untuk memasak air.

           Saya, Ari dan ngkong Usman didapuk untuk berjalan paling depan agar bisa lebih dulu mencapai mata air. Saya kira, para senior yang pernah ke Salak I melalui jalur Girijaya sudah mengetahui letak sumber air tersebut, ternyata mereka sama sekali belum mengetahuinya. Saya sendiri lupa-lupa ingat akses masuk menuju mata air lantaran sudah sepuluh tahun tidak mengambil air dari tempat itu. Lagipula, sekarang lokasinya pun mungkin sudah tertutup belukar atau ranting-ranting karena hanya para peziarah saja yang tahu akan keberadaannya, pendaki jarang sekali ada yang mengetahui.

           Perjalanan kami lanjutkan, radius seratus meter selepas flying camp jalur yang akan dilalui masih terbilang tidak terlalu menguras stamina. Saya dan Slamet akhirnya mendahului Ari dan ngkong Usman, menyibak ranting-ranting yang menjorok ke arah jalanan, kadang harus membungkuk atau melalui beberapa dahan pohon yang tumbang ke badan jalan. Ada kalanya harus sedikit bersusah payah mendaki jalur yang terbilang cukup terjal, ada juga spot yang mengharuskan kami menggunakan teknik scrambling saat melipir pinggiran jalan yang tergerus longsor dengan hanya mengandalkan celah dinding berbatu sebagai tempat untuk berpegangan. Saya dan Slamet susul-menyusul, sementara ngkong Usman dan Ari sudah tidak terlihat dari pandangan. Ngkong Usman sudah tidak lagi seperti tiga belas tahun yang lalu dimana saat itu saya menyaksikan sendiri bagaimana ia mendaki jalur ini dengan cekatan meski dengan carrier yang menempel di badan. Ya, faktor usia memang tidak bisa dimanipulasi dengan tindakan yang direkayasa atau berpura-pura seolah masih belia. Namun berkurangnya kelincahan seorang pendaki yang beranjak tua bukanlah masalah, karena saat melakukan pendakian ia tidak lagi mengandalkan kegesitannya, melainkan menggunakan pengalamannya.

           Nafas saya mulai tersengal karena semakin mendekati puncak medannya semakin aduhai. Saat itu Slamet sudah tertinggal, namun masih bisa saya dengar suaranya ketika ia berteriak memanggil saya dan ngkong Usman. Saya sudah memasuki track yang jalurnya semakin licin karena ada banyak genangan air akibat hujan, warna tanahnya pun cenderung kekuning-kuningan. Hal itu mengindikasikan kalau saya sudah tidak berada jauh dari sumber air, hanya saya masih harus mencari persimpangan untuk menuju ke tempat tersebut. Pada tahun 2002, pencinta alam dari SMA Regina Pacis di Bogor atau biasa disebut dengan Recipala, pernah memasang plakat besi di persimpangan mata air itu, namun pada tahun 2006 saya kembali kesini bersama Redi (Palapsa 2005) dan Awang (Palapsa 2001), benda tersebut sudah tidak ditemukan lagi.

           Saya berbelok ke arah kiri setiap tampak percabangan, sampai tiga kali saya mencoba mengecek namun semuanya bukan jalur menuju mata air. Apa mungkin jalurnya sudah terhalang oleh dedaunan atau dahan-dahan pohon, entahlah. Masih terus mendaki jalanan yang curam dan semakin licin, hingga keadaan hutan disekitar saya mulai agak terang karena terjamah sinar matahari. Saya mendongak ke atas, ada sebuah pohon dengan dahan yang besar dan lurus. Pohon tersebut menjulang tinggi melebihi pohon-pohon disekitarnya, saya percepat langkah menuju ke arahnya. Setelah melalui tanjakan-tanjakan yang curam, akhirnya saya tiba didekat pohon tinggi tadi dan medannya pun sudah tidak lagi menanjak seperti sebelumnya, malah terbilang datar. Sedikit mencurigakan sebab jalur menuju mata air tidak terang dan tidak sedatar ini. Tidak lama kemudian, didepan saya melihat ada sebuah plang besi dan persimpangan. Plang tersebut ternyata merupakan milik TNGHS yang memberi petunjuk antara menuju ke Cidahu dan Puncak Salak I, artinya saat itu saya sudah berada sangat dekat dengan puncak, dengan kata lain saya sudah bablas melewati akses menuju sumber air, sue! Sekarang sisa air minum saya tidak lebih dari setengah botol lagi, semoga saja ngkong Usman berhasil menemukan mata air tersebut.

Dimas, saya dan ngkong Usman sedang berteduh diantara dahan-dahan Cantigi yang daunnya lumayan rindang.

Chapter 5: Inaugurasi di puncak Salak


Tampilan gunung Salak melalui citra satelit Google Map.
           Saya menjejakkan kaki di puncak Salak I pada pukul 09.25 disusul oleh ngkong Luken dan ketiga capal. Suasana puncak kebetulan sedang ramai, beberapa kali saya berpapasan dengan pendaki-pendaki remaja yang tengah berselfie dengan tongkat narsisnya, terhitung ada sekitar enam tenda yang berada tempat itu. Setelah satu rombongan berkemas dan meninggalkan area puncak, saya dan yang lainnya segera meletakkan barang bawaan dan beristirahat tidak jauh dari plang puncak Salak I. Terik matahari kembali pamer digjaya, membuat kami harus bersembunyi dibalik bayang-bayang belukar arbei hutan (Rubus Reflexus). Sambil menunggu kedatangan anggota yang lain, saya memerintahkan ketiga capal untuk memetik buah arbei hutan untuk dikonsumsi, hitung-hitung mengimplementasikan teknik survival kepada mereka.

Suasana puncak Salak I yang saat itu tengah disinggahi oleh beberapa pendaki.
           Bila hari sedang cerah, dari tempat ini kita bisa melihat puncak Salak II yang berada di sebelah barat laut puncak Salak. Pada tanggal 21 Februari tahun 1987, track di Salak II pernah meminta korban dari kalangan pendaki yang juga masih berstatus sebagai pelajar. Sekitar empat orang pelajar STM Pembangunan Jakarta Timur ditemukan tewas, tiga jenazah ditemukan dalam keadaan terbaring basah sedangkan yang satunya lagi ditemukan dalam kondisi telanjang bulat dan kakinya patah. Pada tanggal 9 Mei tahun 2012, gunung Salak kembali tersohor setelah pesawat Sukhoi Superjet 100 menabrak dinding utara gunung Salak I, 45 orang tewas dalam tragedi itu.

Putu dan Dimas, capal yang lebih dulu tiba di puncak Salak I.
           Bang Andri Sutarno tiba di puncak pukul setengah sebelas siang, Slamet segera menyuguhinya dengan segelas kopi putih dan setangkap roti berselai strawberry. Menurut rencana awal, seharusnya kami sudah melakukan upacara pelantikan anggota baru tepat pada pukul 10 siang ini, namun faktor teknis di lapangan rupanya masih selalu unggul ketimbang wacana atau retorika. Berkali-kali bang Andri mencoba menghubungi bang Eko melalui handy talky namun tidak ada jawaban, malah saluran kami sepertinya bocor sehingga ada orang lain yang berbicara menggunakan bahasa Jawa di frekuensi yang sama. Menjelang pukul 11.00, bang Hendi, bang Helmi, Linda lalu disusul oleh Dwiki dan bang Eko akhirnya tiba di puncak, acara pelantikan jadi mulur sejam.

Bang Helmi dan bang Hendi akhirnya sampai juga di puncak Salak I. Dimana ransel milik bang Helmi...?
           Pukul 11.19, semua anggota Palapsa mengenakan pakaian dinas lapangannya kecuali bang Eko, ketiga capal dibariskan. Dwiki dikultuskan menjadi pemimpin upacara, sementara bang Hendi sebagai pembina. Upacara pengukuhan anggota baru Palapsa atau inaugurasi berlangsung lancar meski di puncak sedang ada pendaki yang berkemah, namun mereka tampak menghargai kami dengan hanya duduk diluar barisan sambil menyaksikan proses pelantikan yang sedang berlangsung. Setelah proses simbolisasi rampung, tiga anggota Palapsa lainnya yakni: Slamet, Dwiki dan Linda, juga akan mendapatkan nomor keanggotaan Palapsa setelah mereka menyelesaikan karya tulisnya, semoga ketiganya bisa segera memperoleh nomor keanggotaannya. Inaugurasi sudah selesai, ketiga capal telah resmi menjadi anggota muda Palapsa dengan nama angkatan Tri Kikam dan angkatan ini sepertinya menjadi angkatan yang pertama kali dilantik di puncak Salak. Pukul 11.48, kami melakukan sesi foto bersama sebelum melanjutkan perjalanan turun ke shelter Badjuri.

Proses upaca pelantikan anggota muda Palapsa 2016 di puncak Salak I.

Chapter 6: Tanjakan Ngehe dan jembatan Shiratal Mustaqim

           Saya, Slamet, Dwiki, Ari dan ketiga anggota muda yang baru saja dilantik, mempercepat langkah demi bisa melintasi Kawah Ratu sebelum hari gelap. Jalur dari puncak I menuju shelter Badjuri memang tersohor karena medannya yang terbilang cukup ekstrim dan saya telah mengetahui reputasi track ini sejak lama meski belum pernah melaluinya. Menurut penuturan dari beberapa teman yang pernah melewati jalur ini, dulu setiap akan melintas dari puncak I ke Kawah Ratu para pendaki harus menyediakan webbing karena ada beberapa track yang mewajibkan si pendaki naik atau turun tebing dengan menggunakan teknik rappelling. Salah satu turunan curam yang dimaksud oleh teman saya tadi baru saja saya lalui namun masih terbilang aman terkendali sebab kemiringannya tidak terlalu parah. Tali sling yang disambung dengan webbing terlihat sudah terpasang di tempat itu sehingga sekarang para pendaki tidak perlu lagi membawa webbing.

           Pukul 12.42 siang, mendadak rombongan yang ada didepan saya terhenti, seperti ada sesuatu yang membuat langkah mereka terhambat. Setelah saya berhasil menghampiri rombongan, baru saya bisa mengerti mengapa mereka menghentikan langkahnya. Ternyata ada tebing curam setinggi 6-7 meter dengan tingkat kemiringan nyaris 90 derajat. Bebatuan tempat berpijak terlihat berlumut dan basah akibat embun, tingkat kesulitan pun semakin bertambah. Karena belum memiliki nama, maka saya menamai spot itu dengan nama Tanjakan Ngehe. Slamet sudah menghilang entah kemana, Ari, Putu, dan Dimas sudah berhasil menuruni tebing tersebut. Sekarang giliran Faisal, ia terlihat grogi saat harus berbalik badan menghadap dinding batu. Beberapa kali bang Andri menasihati Faisal agar tetap kuat berpegangan pada tali webbing yang berwarna merah itu. Pegal juga rasanya mengantre di jalur sempit semacam ini, sedangkan Faisal baru menuruni tebing beberapa depa saja. Tak lama kemudian, Faisal akhirnya berhasil sampai di zona aman meski secara perlahan. Sekarang giliran saya tapi tas kamera yang saya letakkan didepan malah menghambat pergerakan. Ari akhirnya mengambil tas kamera itu, dan saya bisa turun dengan leluasa meski menyalahi peraturan dalam teknik rappelling. Bang Andri dan Ari seperti terlihat kebingungan karena saya sama sekali tidak turun menggunakan tali webbing, justru malah membelakangi dinding tebing sambil berpegangan pada celah-celah bebatuan selama menuruni turunan tersebut, maklum saya tidak pernah belajar teknik-teknik mountaineering. Perjalanan pun kembali dilanjutkan.

Bang Andri tengah membantu Linda menuruni Tanjakan Ngehe yang curam.
           Harus diakui bahwa jalur yang satu ini jauh lebih aduhai ketimbang jalur Girijaya, terbukti dengan adanya jalan setapak sepanjang hampir dua meter yang kiri dan kanannya langsung terpampang jurang yang menganga. Untuk yang phobia ketinggian, tentu akan merasakan pusing manakala melewati jalur itu. Karena tak ada satu pun dahan pohon yang bisa dijadikan penyeimbang tubuh, akhirnya saya lebih memilih untuk berjalan dengan agak membungkuk agar tidak merasakan pusing.

           Tiba-tiba saya mendengar Slamet yang berteriak memanggil saya dan bang Andri. Kami berdua menghampiri Slamet, semakin lama jalan yang kami lalui semakin mengecil dan disebelah kanan kami tampak jurang dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Samar-samar saya bisa melihat sosok Kawah Ratu dari atas situ meski terhalang kabut, aroma sulfur pun terasa menyengat. Kami melihat ada jalur sepanjang satu setengah meter yang terputus akibat tergerus longsor, Slamet sudah berada di seberang jalan yang terputus tadi. Slamet menginstruksikan kami untuk kembali ke belakang dan ambil jalur alternatif disebelah kiri. Ternyata memang ada jalur alternatif selain jalur yang barusan saya lalui, tidak lama kemudian saya dan bang Andri sudah berada di sebuah tanjakan yang agak curam. Ada seutas tali webbing yang sudah terikat kencang disebuah dahan pohon yang tumbang, saya menggunakan tali tersebut untuk mendaki sisi jurang.
           “Ini dia jembatan shiratal mustaqim, bang Al. Tapi sekarang udah putus. Dulu pas gue kemari sama bang Eko jembatan akarnya masih ada” ucap Slamet sambil menunjuk pada jalan yang terputus yang dulunya ternyata jembatan akar gantung. 

           Tamat sudah hikayat jembatan shiratal mustaqim di jalur pendakian puncak I via shelter Badjuri. Jembatan yang terbuat dari akar-akar pohon yang saling terjalin dan menggantung ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi para pendaki gunung Salak. Sedikit saja melakukan kesalahan dalam melangkah atau berpegangan, maka jurang sedalam ratusan meter yang berada disebelah kanan (apabila dari arah puncak) siap melumat tubuh si pendaki naas tersebut. Saya melongok kearah jurang ketika kabut mulai tersibak oleh angin, sungguh mengerikan pikirku saat itu. Saya dan Slamet kembali bergerak, sedangkan bang Andri memantau yang lain di jalur bekas jembatan shiratal mustaqim tadi.

Chapter 7: Air...!

           Setelah melalui tiga kali turunan curam serupa tanjakan ngehe dan jembatan shiratal mustaqim, saya sempat tumbang di tempat yang sedikit luas dan datar akibat kehabisan air minum semenjak berada di puncak Salak. Gerimis mulai turun namun saya sama sekali belum beranjak untuk mengambil raincoat dari dalam daypack atau melanjutkan perjalanan. Nafas saya turun naik, berharap ada sumber air terdekat dari tempat saya terkapar tadi. Tiba-tiba, Putu dan Dimas datang dan turut beristirahat didepan saya. Putu yang melihat botol air milik saya sudah melompong akhirnya menawarkan air minum miliknya kepada saya, pucuk di cinta ulam tiba! Seperti mendapatkan nyawa baru, saya pun bangun dan melanjutkan perjalanan bersama ngkong Usman, Putu dan Dimas.

           Satu setengah jam sudah kami berjalan dari ketika melewati jembatan shiratal mustaqim. Bang Andri berhasil melewati saya dan ngkong Usman, sedangkan Putu serta Dimas sudah jauh meninggalkan kami untuk menyusul Slamet. Dibelakang saya dan ngkong Usman ada Faisal yang berjalan sangat lambat, bahkan ada satu adegan dimana ngkong Usman sampai frustasi dan jengkel akibat gerakan Faisal yang dianggap menghambat laju ngkong Usman. Sebab bagaimanapun juga seorang senior tidak akan meninggalkan adiknya berjalan sendirian ditengah rimba belantara yang belum pernah ia lalui sebelumnya. Ketika kami melewati turunan curam untuk yang kesekian kali, ngkong Usman tampak berulang kali menasihati Faisal yang kembali grogi dalam mempraktekkan teknik rappelling.

Ngkong Usman yang sedikit jengkel saat menasihati Faisal yang (kembali) grogi saat menuruni turunan yang agak curam.
           Asam lambung saya kambuh lantaran lapar, mulai terasa mual sehingga saya kerap kali membuang ludah. Tenggorokan mengering tanpa ada asupan air sama sekali, sedangkan shelter Badjuri masih jauh. Sudah hampir pukul empat sore manakala saya memasuki spot kolam lumpur yang dikelilingi oleh tanaman pandan berduri. Seandainya di gunung Salak masih terdapat hewan langka seperti badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus), pasti hewan itu akan puas bermain di kubangan lumpur semacam ini. Disini kita harus jeli dalam memilah jalur setapak yang aman kalau tidak ingin terpeleset atau terperosok kedalam lumpur sedalam setengah meter. Tidak ada sumber air disekitar situ kecuali lumpur, akhirnya saya terus berjalan sambil memperlambat langkah agar tidak terlalu lelah.

           Sudah sekitar lima kali saya melewati kolam berlumpur, ngkong Usman tak lagi terlihat dari pandangan. Saya hanya mengikuti tanda-tanda berupa tali plastik yang diikatkan pada sebatang pohon saja apabila menemui persimpangan. Faisal sudah tertinggal jauh dibelakang, untuk menunggu anak itu rasanya menjadi hal yang menyebalkan. Harapan saya saat itu hanya ingin menemukan sumber air dan minum sepuas-puasnya. Saya pun kembali mempercepat langkah hingga akhirnya saya menemukan sungai kecil, namun saya urung mengambil airnya untuk diminum karena tidak terlalu jernih. Tiba-tiba dari kejauhan Slamet dan ngkong Usman berteriak memanggil saya, memberitahu kalau shelter Badjuri sudah sangat dekat. Setelah lima menit berjalan mengikuti jalur yang sudah ada, akhirnya sampai juga saya di persimpangan Badjuri. Bang Andri terlihat sedang duduk santai sambil menikmati segelas white coffee hangat, ia memberitahu kepada saya arah menuju sungai. Tanpa pikir panjang, saya segera menyusul ngkong Usman dan Slamet yang sudah terlebih dahulu berada di sungai.

Papan petunjuk di persimpangan shelter Badjuri.
           Saat itu baru pukul lima sore ketika saya menemukan sungai dengan air yang sangat jernih yang berada tidak jauh dari simpang Badjuri. Botol minum segera dikeluarkan dan langsung saya isi penuh untuk kemudian saya minum sepuas-puasnya. Segar nian, tenggorokan ini akhirnya kembali dibasahi oleh segarnya air sungai di gunung Salak. Setelah mengisi botol minum hingga full dan membasuh wajah, saya, ngkong Usman, Slamet dan ketiga anggota muda segera mencari lapak untuk memasak. Bang Andri memilih untuk stay di simpang Badjuri sambil menunggu rombongan yang tertinggal di belakang.

Aliran sungai kecil yang terletak tidak jauh dari simpang Badjuri.


Chapter 8: Camping darurat

           Selepas mengisi perut dengan hangatnya mie instant dan minum sari jahe merah didekat sumber air, badan saya jadi sedikit lebih segar. Bang Hendi, bang Helmi, bang Eko, Ari, Dwiki dan Linda baru saja tiba di tempat kami nyaris pukul enam sore. Wajah bang Helmi terlihat pucat, tak bersemangat dan tampak mulai kepayahan. Selidik punya selidik ternyata kakinya kembali mengalami masalah, bahkan bang Eko sampai berkali-kali meledeknya, hanya saja bang Helmi selalu pandai berkelit. Melihat kondisi bang Helmi yang tengah mengalami cidera, saat itu juga ngkong Usman memutuskan untuk menginap semalam lagi di lapangan gas.
           “Kalau mau dipaksain turun sekarang juga gue sih hayo aja, cuma kasian si Kemet (Helmi). Kalau nanti die kenape-kenape di tengah jalan, gimane...?” ucap ngkong Usman yang akhirnya diamini oleh bang Eko, bang Andri dan bang Hendi selaku anggota senior.
           
            Kejadian semacam ini pernah saya dan ngkong Usman alami ketika mendaki gunung Salak bulan April tahun lalu, dimana ada rekan kami, pelajar SMK Ksatrya yang mengalami cidera di kakinya sehingga dia tidak bisa melanjutkan perjalanan kembali ke desa Girijaya hari itu. Akhirnya ngkong Usman memutuskan pada kami untuk bermalam lagi di flying camp, membiarkan kondisi anak itu pulih dulu agar esok paginya bisa melanjutkan perjalanan pulang. Hanya sangat disayangkan, kejadian delayed sehari itu berujung kisruh di Whatsapp grup Palapsa. Mendadak nama saya dan ngkong Usman menjadi buah bibir, seolah jadi main suspect dari terlambatnya kepulangan anak-anak SMK yang ikut naik bersama kami. Sebagian orang ada yang terhasut, sebagian lagi ada yang bisa memahami keadaan dan kondisi kami saat diatas sana. Logikanya, seorang pendaki seperti bang Helmi saja yang sudah wara-wiri ke beberapa gunung masih bisa mengalami cidera, apalagi anak SMK itu yang sama sekali belum pernah mencium tanah gunung. Kembali lagi di kasus bang Helmi dan anak SMK Ksatrya tadi bahwa serapih-rapihnya manusia memiliki rencana, pada saat berada di lapangan realita bisa saja melenceng jauh dari ekspektasi, karena faktor teknis tidak bisa disepelekan seperti saat kita bebas mengumbar wacana atau berteori.

Tim sedang beristirahat tidak jauh dari simpang Badjuri untuk sekedar makan dan minum. Bisa kita lihat disini ekspresi wajah bang Helmi yang sudah kepayahan akibat didera cidera.
           Selepas Isya, tiga buah tenda telah berdiri di sebuah lapangan yang luas. Bang Eko dan ngkong Usman menyalakan camping stovenya masing-masing untuk memasak air dan membuat teh atau kopi. Bang Helmi yang belum lama terlihat seperti orang yang sudah putus asa, sekarang malah tampil lincah dengan berpindah-pindah tenda mulai dari tenda anggota muda hingga akhirnya bersemayam di tenda milik bang Hendi. Karakter asli dari anggota Palapsa yang beken lantaran memiliki seragam lapangan terbanyak ini pun kembali kumat, saya dan ngkong Usman sampai pusing karena ada saja hal kecil yang selalu dikomentarinya.

           Malam kian larut dan terus berlanjut, hanya menyisakan saya, ngkong Usman, Ari dan Linda diluar tenda sambil menikmati lagu dan kopi yang perlahan surut. Gerimis ringan berkali-kali turun, namun beberapa menit kemudian kembali reda. Beberapa tenda pendaki yang berada disebelah kiri kami sudah hening tanpa suara, sama halnya dengan ketiga tenda Palapsa. Tiga orang anggota muda yang tadi pagi masih berstatus sebagai calon anggota, kini sudah terlelap dan bersembunyi dibalik kantung tidur mereka. Menjelang pukul 00.00, saya memutuskan untuk masuk kedalam tenda karena pagi harinya kami harus turun ke Pasir Reungit. Ngkong Usman, Ari dan Linda menyusul, kami sama-sama mempersiapkan tenaga baru untuk kembali ke peradaban masing-masing.
Chapter 9: It’s time to go home...

           Pukul 06.00 pagi tanggal 8 Februari 2016, Slamet dan ketiga anggota muda terlihat tengah mempersiapkan sarapan dan beberapa gelas minuman hangat sebelum tim meluncur menuju Pasir Reungit. Beberapa anggota lainnya tampak sedang mengemasi barang bawaannya masing-masing baik didalam maupun diluar tenda. Bang Helmi kembali berkicau, pertanda kondisinya sudah membaik daripada kemarin sore. Kemudian kami sarapan bersama dengan menu nasi hangat, ikan sarden dan mie kornet yang digelar diatas hamparan trashbag. Sekitar pukul tujuh, tim bergegas meninggalkan lokasi camping darurat tersebut.

Slamet dan ketiga anggota muda sudah mempersiapkan sarapan sebelum kami turun ke Pasir Reungit.
           Sekitar pukul setengah delapan kami sudah tiba di Kawah Ratu dan akan melintasi sungai Cikuluwung yang pagi itu terlihat sangat indah dengan warna biru nan cerah laksana aquamarine, citra biru tosca itu dikarenakan oleh endapan belerang yang menempel pada batu-batu di dasar sungai yang airnya jernih dan hangat. Sungai ini diapit oleh dua punggungan lembah berbatu dan mengalir sepanjang satu kilometer. Aroma belerang terasa sangat menyengat sehingga kami harus menutup sebagian wajah dengan kain buff. Perlahan kami menuruni jalur berbatu tadi agar tidak tergelincir untuk kemudian membelah asap sulfur yang sedemikian pekat dengan langkah yang akhirnya dipercepat. Aktifitas kawah pagi itu memang sedang meningkat, asap tebal menyembur dari dalam perut bumi dengan disertai dengusan yang terdengar sangat keras. Kita tidak bisa berlama-lama berada di tempat ini karena khawatir keracunan gas belerang, kalau hanya sekedar untuk mengabadikan gambar saja mungkin masih bisa.

Bang Helmi dan bang Hendi sedang melintas di track kawah.
           Biasanya Palapsa memiliki tradisi untuk melakukan upacara pelantikan anggota baru di Kawah Ratu, itu berlaku untuk semua angkatan. Entah karena terinspirasi dari mitologi pewayangan yang menceritakan sosok Jabang Tetuka alias Gatot Kaca kecil yang digembleng didalam kawah Candradimuka agar mental dan fisiknya semakin kuat atau memang sesepuh Palapsa pada saat itu lebih memilih Kawah Ratu karena alasan lain.

Tampilan sungai Cikuluwung yang membelah Kawah Ratu dengan aliran airnya yang bernuansa biru cerah.
           Setelah melalui Kawah Ratu dan kawah mati, tim masih terus melaju hingga kembali menembus rimba raya. Slamet, Dwiki, Ari dan ketiga anggota muda sudah berjalan lebih dulu. Saya, Linda, ngkong Usman, bang Eko, bang Hendi, bang Andri dan bang Helmi lebih memilih berjalan santai dibelakang. Disini, saya tidak merasa khawatir akan kekurangan air karena jalur dari Kawah Ratu menuju Pasir Reungit merupakan surganya air.

           Pukul 08.20 tim sudah tiba di sungai terakhir yang airnya jernih dan bisa untuk langsung diminum. Kami beristirahat dulu beberapa menit sambil mengisi wadah-wadah air yang sudah berkurang. Pagi itu, jalur pendakian ramai dilewati para pengunjung. Rata-rata, mereka akan mengunjungi Kawah Ratu saja dan bukan untuk melakukan pendakian ke puncak Salak. Setelah puas bermain air dan bersih-bersih tubuh, kami meneruskan perjalanan lagi. Pukul 09.37 ketika kami sedang beristirahat di sebuah tanah lapang yang datar dan berlumpur, tiba-tiba terdengar panggilan dari handy talky yang dipegang bang Andri. Ternyata itu suara kak Wisnu yang masih berada di Gunung Bunder, ia menanyakan posisi kami saat ini. Setelah kami mengonfirmasi posisi, kak Wisnu dan anggota Palapsa lain yang memang sudah berada di basecamp Gunung Bunder sejak dari malam Minggu segera berangkat menuju Pasir Reungit untuk menyambut kami.

Ketiga anggota muda ini tampak antusias bermain air sungai.
           Tepat pukul 10.30, tim akhirnya menginjakkan kaki di Pasir Reungit dan telah menuntaskan perjalanannya kali ini. Kami sekarang bisa bernafas lega karena sudah bisa menjumpai nasi. Kak Wisnu menjadi orang pertama yang menyambut kami didekat jembatan, saya juga bisa menyaksikan ada banyak anggota Palapsa lain dan simpatisan yang berada di tempat itu. Mereka menyalami dan (mau) memeluk kami yang beraroma belerang plus belum mandi selama 3 hari. Tim Gunung Bunder bersyukur kami semua tiba di Pasir Reungit dengan selamat meski mengalami keterlambatan.

Chapter 10: Nasi hangat, ikan asin, sambal dan pohpohan

           Tidak ada hal yang lebih nikmat ketika baru saja turun gunung lantas berjumpa dengan nasi yang masih hangat, ikan asin, sambal juga lalapan, dan semua itu sudah tersedia di basecamp Gunung Bunder yang merupakan rumah milik kak Wisnu dan kak Utet. Suasana sejuk di teras rumah kak Wisnu yang baru saja diguyur hujan ala Imlek membuat kami jadi semakin nafsu makan, tidak seperti waktu diatas sana yang makanpun hanya beberapa suap saja. Semua yang hadir disana baik itu anggota Palapsa atau non anggota duduk dan makan siang bersama, menyatu dalam kebersamaan.

Tim sudah stand by didepan menu makan siang yang sudah dihidangkan.
           Selepas makan siang, kami mengadakan evaluasi bersama tim Gunung Bunder di ruang tengah termasuk membahas penyebab kami mengalami keterlambatan. Selesai evaluasi, acara dilanjutkan dengan pemakaian seragam Palapsa kepada ketiga anggota muda oleh tiga orang senior Palapsa, yaitu: kak Wisnu, bang Alex dan mas Boy. Ada yang menarik disini, sebab selain ketiga anggota muda yang disematkan seragam Palapsa ternyata kang Lukman juga mendapat kejutan. Kang Lukman yang merupakan anggota Palapsa di era 70an, turut diberikan seragam berwarna krem tersebut dengan harapan bisa kembali dekat dengan Palapsa.

Bukan door prize : Bang Hendi tengah menyerahkan seragam kepada kang Lukman, salah seorang senior Palapsa yang kini berdomisili di Gunung Bunder.
           Pada pukul 15.00, semua anggota Palapsa dan simpatisan berkumpul di halaman belakang rumah kak Wisnu yang dulu merupakan bekas rumah emak Gunung Bunder. Disitu, kami melakukan sesi foto bersama sebelum akhirnya kembali ke Jakarta, kembali kepada rutinitasnya masing-masing.


Foto para anggota Palapsa bersama beberapa simpatisan di halaman belakang rumah kak Wisnu, Gunung Bunder.
JEJAK GAMBAR :



Ari dan ngkong Usman saat tim baru tiba di pasar Cicurug, Sukabumi.

Bang Andri dan bang Eko masih terlibat pembicaraan serius perihal akomodasi menuju desa Girijaya.

Setibnya kami di desa Girijaya.

Evaluasi perihal pengeluaran dana dan sisanya.

Slamet, Ari dan Dwiki tengah bergumul dengan rincian pengeluaran, uang dan kalkulator.

Beberapa renceng minuman instant, anda tinggal pesan lalu tunggu beberapa menit kemudian.

Bang Hendi dan saya.

Bang Helmi, bang Andri, Slamet, bang Hendi, saya dan Linda.

Masih dalam persiapan sebelum take off.

Tim meluncur ditengah-tengah rimbunnya pohon Damar menuju Pondok Gusti.

Tetap wangi sekalipun di track yang bikin pegal hati.

Bang Hendi terlihat serius mengamati petilasan eyang Santri di Pondok Gusti.

Santai sejenak sambil mengisi ulang perbekalan air minum.

Putu serius mendengarkan obrolan para seniornya.

Ketika baru memasuki pintu gerbang hutan gunung Salak.

Menu makan siang ditengah lebatnya hutan.

Ngkong Usman, anggota Palapsa yang hobi mengobral guyonan.

Bang Hendi tengah melepas penat dengan segelas white coffee hangat.

Putu terlihat gahar ketika sedang lapar.

Linda tetap asyik walau udara dingin kerap mengusik.

Track didalam hutan gunung Salak yang lembab dan sedikit gelap.

Setibanya kami di flying camp.

Entah apa maksud dari adegan adu pantat seperti ini.

Dwiki, Gede dan Pangrango.

Menatap Gede – Pangrango : Slamet tengah mencari inspirasi untuk membuat cerpen dan puisi. 

Menunggu rombongan lain tiba di puncak Salak I. 

Saya dan plang puncak Salak I. 

Slamet, menjamah puncak Salak I untuk yang kedua kalinya.

Sedikit melipir mendekati belukar agar tidak terpapar langsung terik matahari. 

Maqom Mbah Gunung Salak yang kondisinya tidak lebih baik dari saat sebelum terjadi tragedi Sukhoi di tahun 2012.

Slamet dan bang Andri. 

Ari Saputra, perdana di puncak Salak.

Bang Andri kembali cemas memikirkan rombongan yang belum juga datang. 

Mejeng bersama plang puncak Salak I sesaat sebelum upaca pelantikan dimulai. 

Linda menjadi anggota Kabut Lembah wanita kedua yang berhasil mencapai puncak Salak I.

Saya, Linda dan plang puncak Salak I. 

Ketiga capal dibariskan untuk mengikuti proses upacara pelantikan. 

Penghormatan kepada pembina upacara.

Laporan pemimpin upacara kepada pembina upacara

Slamet, sang protokoler upacara. 

Bang Andri menyerahkan lembar surat keputusan kepada bang Hendi.

Bang Hendi membacakan isi pada surat keputusan.

Inilah rupa dari surat keputusan tersebut.

Sesi pemakaian syal pada ketiga anggota muda yang baru saja dilantik.

Pemberian selamat kepada ketiga anggota baru. 

Pemberian seragam kepada tiga anggota Tri Kikam. 

Sedikit arahan dari bang Hendi. 

Sikap nyaris sempurna. 

Potong rambut : Simbolisasi yang selalu dilakukan oleh setiap ketua BPH terhadap para anggota yang baru saja dilantik.

Masih dalam suasana inaugurasi.

Bang Hendi menutup rangkaian acara pelantikan tahun ini.

Bang Eko, tengah mendokumentasikan proses upacara pelantikan dalam bentuk gambar hidup.

Masing-masing anggota memberikan ucapan selamat kepada ketiga anggota muda baru.

Disusul Slamet dan bang Eko.

Still recording the moment...

Slamet, Dwiki dan Linda, tiga anggota muda yang akan mengambil nomor keanggotaannya.

Bang Helmi dengan seragam favoritnya yang serba oranye.

Foto bersama di puncak Salak I sebelum turun ke shelter badjuri.

Ari sedang stand by di tanjakan ngehe.

Ngkong Usman tergelincir saat sedang menuruni turunan curam lainnya.

Sungai kecil dengan airnya yang jernih, yang terletak didekat simpang Badjuri.

Bang Andri sedang menunggu rombongan terakhir.

Patok beton yang membatasi wilayah Bogor dengan Sukabumi.

Akhirnya bang Helmi sudah bisa tersenyum lagi setelah sembuh dari cidera.

Repacking barang-barang bawaan sebelum sarapan dan melanjutkan perjalanan.

Kawah Ratu, surganya gunung Salak.

Sungai Cikuluwung yang airnya mengalir berwarna biru aquamarine dan terasa hangat.

Dua sejoli : Bang Helmi dan bang Hendi sesaat setelah melintasi sungai Cikuluwung.

Duo kabut lembah : Ari dan Dwiki diantara pekatnya asap kawah.

Serba simple tanpa kostum pendakian.

Linda, masih tetap semangat.

Dwiki dan Ari tengah mendaki tanjakan di Kawah Ratu.

Bang Hendi dan Linda, menuruni jalan berbatu di Kawah Ratu.

Suasana di sungai terakhir, sekitar satu jam lagi menuju Pasir Reungit.

Bersih-bersih ala Ari.

Adakalanya melepas lelah dan penat dengan bercanda seperti ini.

Seperti inilah ritual mandi wajib yang dilakukan Dwiki bila menemui kubangan lumpur.

Ketika para senior sudah bersiap berhadapan dengan lauk, sambal dan lalapan.

Suasana di rumah kak Wisnu saat tim sedang mengadakan evaluasi kronologi perjalanan.

Sesi pemakaian seragam oleh beberapa senior Palapsa.

Tim dapur yang berkontribusi dalam urusan menghidangkan menu makan siang saat itu.
Sesi foto bersama tim Gunung Bunder, sekaligus menyudahi seluruh rangkaian acara pelantikan anggota baru Palapsa 2016.