Minggu, 20 Desember 2015

PEKAT MELANDA DI PUNCAK SLAMET

           Jum’at pagi tanggal 27 November 2015, sekitar pukul setengah sepuluh di suatu tempat di Jakarta Pusat, langit yang tadinya cerah kini sudah beranjak gelap terhalang gumpalan awan. Gundah mulai menggelayuti benak kami yang sesaat lagi akan meninggalkan ibukota untuk menuju Purwokerto. Saya, Riki, Puspo, Ari, Adit, dan Randi akan melakukan pendakian ke gunung Slamet, Jawa Tengah, melalui jalur Bambangan, kabupaten Purbalingga. Tidak lama kemudian, langit segera menganugerahi bumi dengan derasnya hujan manakala Bajaj biru yang kami tumpangi baru mencapai Taman Solo. Kendaraan tersebut terus melaju ditengah hujan deras dan gelegar halilintar, hingga akhirnya kami tiba di stasiun Senen dengan kondisi setengah kuyup.

Berpose didepan gerbang pendakian gunung Slamet, di dusun Bambangan, kabupaten Purbalingga. Dari kiri ke kanan: Adit, Puspo Raharjo, Riki Prima, Aldianovsky, Ari Saputra, Varadina “Bunga”, Ahmad Randi.
Desain sticker untuk pendakian kali ini.
Lokasi gunung Slamet dilihat melalui Google Map.
          Beberapa pasang mata di stasiun Senen menatap kami dengan wajah yang sepertinya dihinggapi perasaan heran. Kalau dilihat dari gesture-nya, mereka mungkin merasa aneh dengan saya dan teman-teman yang akan melakukan pendakian disaat musim hujan seperti ini. Sementara Riki tengah mencetak tiket kereta, saya justru sibuk menghubungi adik saya, Bunga, yang juga turut serta didalam pendakian ini. Tidak beberapa lama, Bunga akhirnya tiba didepan pintu selatan. Kami bertujuh segera bergegas naik kedalam gerbong kereta Bengawan yang sudah tiba di stasiun Senen sejak beberapa menit yang lalu.

Repacking dan bersiap untuk menuju stasiun Senen.
Setibanya kami di stasiun Senen, Jakarta Pusat.
                           

           Hujan deras yang disertai angin kencang melanda disekitar stasiun Purwokerto sore hari itu. Kereta api Bengawan yang baru saja mengangkut kami dari stasiun Senen, mulai meninggalkan stasiun Purwokerto. Ada kegelisahan ketika angin kencang dan hujan deras masih terus berkecamuk diluar sana, tak bisa kami bayangkan bila nanti saat kami melakukan pendakian keadaannya akan sama seperti sekarang ini.

Tengah beristirahat di stasiun Cirebon Prujakan, Jawa Barat (dok: Riki Prima).
Setibanya kami di stasiun Purwokerto, Jawa Tengah (dok: Riki Prima).
           Seorang lelaki paruh baya menghampiri kami yang baru saja akan keluar stasiun. Ternyata orang itu adalah supir yang akan mengantar kami ke basecamp di Bambangan, Purbalingga. Ia bernama pak Supri, seorang driver yang direkomendasikan oleh temannya Riki. Lelaki itu sudah hafal diluar kepala jam-jam kedatangan dan keberangkatan kereta-kereta di stasiun Purwokerto, malah ia juga tahu estimasi waktu yang akan ditempuh oleh suatu kereta ke stasiun yang akan ditujunya. Setelah kami sepakat mengenai nominal pembayarannya, kami pun segera menaikkan carrier keatas mobil Avanza berwarna silver. Mobil mulai melaju meninggalkan stasiun Purwokerto.

Sosok gunung Slamet dari kejauhan, difoto dari perbatasan Purwokerto – Purbalingga (dok: Riki Prima).
           Kami akhirnya tiba di basecamp Bambangan sekitar pukul 18.30 WIB. Udara dingin menyejukkan segera menyambut kami yang sudah penat bergumul dengan polusi, kebisingan dan rutinitas di ibukota. Suasana di dusun Bambangan kala itu sangat tenang karena setelah ba’da maghrib warga setempat lebih memilih untuk beristirahat didalam rumah, justru malah lebih sering terdengar gelak tawa dari para pendaki yang singgah di pondokan. Silhouette gunung Slamet yang perkasa terlihat kekar menjulang disisa-sisa cahaya senja yang kian redup ditelan kegelapan. Sebagai gantinya, pijar purnama yang tak lagi sempurna mulai hadir menghiasi langit cerah tak berawan.
                              


          Derap langkah para pendaki terdengar pagi itu, beberapa dari mereka yang tadi malam beristirahat di basecamp terlihat mulai bergegas menuju pos pendaftaran untuk meregistrasi setiap kelompoknya. Pos pendaftaran terletak tidak jauh dari basecamp tempat saya dan yang lainnya menginap. Selepas mandi dan sarapan, kami memutuskan untuk memulai pendakian pada pukul 07.30 WIB mengingat gunung Slamet memiliki track yang cukup panjang dan melelahkan, selain itu kami juga menghindari kemalaman atau kehujanan ditengah-tengah perjalanan.

Pondok pendaki yang sudah berada di ketinggian sekitar 1.300 meter diatas permukaan laut.
           Saya mendongak ke arah puncak Slamet yang tertutup oleh gumpalan awan putih, namun saya tahu itu bukanlah awan melainkan badai gunung. Badai semacam itu pernah saya alami sebelumnya ketika saya mendaki gunung Semeru pada tahun 2013. Kelihatannya saja tenang, namun akan terasa sangat jauh menyeramkan bila berada langsung di area yang tertutup gumpalan putih tersebut. Tidak perlu saya beritahu teman-teman yang lain perihal badai gunung tadi, toh tidak lama lagi mereka akan segera mengalaminya.

Tampilan gunung Slamet dilihat dari dusun Bambangan pada pagi hari. Di puncaknya tampak badai gunung yang berwarna putih seperti awan.
           Kami meninggalkan basecamp untuk terlebih dahulu melapor di pondok pemuda, dan perjalanan pun dimulai.


POS PENDAFTARAN – POS I (1.937 MDPL)

Riki dan Randi didepan pondok pemuda, pondok resmi untuk mengurus perijinan mendaki (dok: Riki Prima).
           Selepas melakukan registrasi di pondok pemuda (pos pendaftaran) yang memiliki ketinggian sekitar ± 1.300 meter diatas permukaan laut, kami segera mengambil jalur setapak yang berada disebelah kanan yang nantinya akan melalui perkebunan warga dan lapangan. Disitu, mata kita akan disuguhi berbagai jenis tanaman sayur-sayuran, terutama tanaman bawang daun, tomat, cabai merah dan cabe rawit yang tampak lebih mendominasi. Setelah melalui perkebunan, kita akan memasuki hutan pinus dan damar, dengan tanjakan-tanjakannya yang ringan namun cukup menguras banyak stamina. Bisa dibilang jalur menuju pos I merupakan jalur yang memakan waktu paling lama, karena di tempat itu tubuh seorang pendaki akan menyesuaikan diri terlebih dahulu dengan medan dan ketinggiannya. Ditambah lagi, pada siang hari jalur menuju pos I merupakan jalur yang tidak sepenuhnya terlindung dari paparan sinar matahari sehingga banyak pendaki yang memutuskan untuk berteduh dibawah pohon.

Rute pendakian menuju puncak gunung Slamet via Bambangan.

POS I : Pondok Gembirung (1.937 MDPL)

Trek selepas pondok pendaki menuju pos I.
          Tepat pukul 11.20, saya akhirnya menjejakkan kaki di pos I atau Pondok Gembirung. Cuaca saat itu memang sedang cerah dan terik sehingga jaket PDL hitam yang saya kenakan sudah hampir basah oleh peluh. Di pos tersebut ada sebuah barak atau shelter dan sebuah warung kecil hasil karya warga setempat yang mengais rezeki dengan cara menjajakan makanan dan minuman kepada para pendaki yang beristirahat. So, anda jangan terkejut apabila nanti sebelum menginjakkan kaki tepat di pos I anda sudah diteriaki bahkan ditawari mendoan atau es jeruk oleh para pedagang yang berada di pos ini.

Sebelum menginjakkan kaki di pos I, kita harus melalui tanjakan terjal semacam ini terlebih dahulu.
           Pos I adalah tempat yang masih memungkinkan kita untuk melihat dusun Bambangan dari kejauhan dan secara terbuka. Para pendaki yang akan beristirahat pun bisa menggunakan shelter yang tersedia di tempat itu untuk bermalam atau sekedar tidur-tiduran saja. Didalam pondokan terdapat kursi yang terbuat dari potongan batang-batang pinus dan juga terdapat sebuah pembaringan yang bisa ditempati sekitar sepuluh orang. Selepas dari pos I, kondisi jalanan akan terus menanjak dan mulai memasuki vegetasi hutan yang lebih rapat.

Saya didepan shelter I atau Pondok Gembirung.
Shelter di pos I yang bisa dijadikan tempat untuk bermalam bagi pendaki. Bila sedang akhir pekan, shelter tersebut biasa ditempati oleh para pedagang.

POS II : Pondok Walang (2.256 MDPL)

          Jangan takut terkena sengatan sinar matahari, karena di jalur menuju pos II cenderung tertutup oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Dikarenakan terbebas dari teriknya matahari, tanah yang kami pijak pun jadi sedikit lebih lembab dan teksturnya didominasi oleh pasir juga batu kerikil. Sepanjang perjalanan dari pos II menuju pos III, kita akan melewati tanaman arbei hutan yang menjorok ke jalur pendakian. Buah arbei hutan disini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan yang sering saya temukan di beberapa gunung di Jawa Barat, buah ini masih aman untuk dikonsumsi.

Beristirahat sejenak di jalur yang sudah memasuki hutan.
           Ada baiknya anda tetap berada di jalur yang jelas terlihat oleh mata dan jangan coba-coba keluar dari track atau menerabas tanaman-tanaman yang berada dipinggir jalur pendakian kalau tidak ingin meringis kesakitan. Tanaman pulus (Laportea Stimulans, syn) atau sejenis jelatang, tampak tumbuh subur di pinggir jalanan. Tampilannya memang low profile, namun racun dari bulu sengat yang terdapat pada daun dan batangnya akan membuat kulit yang terkena tanaman tersebut menjadi merah, terasa panas dan sangat perih.

Sesaat sebelum kehujanan di jalur pendakian.
           Hujan turun saat kami tiba di pos II, kami memutuskan untuk berteduh sampai hujannya mereda. Sebetulnya di pos II atau Pondok Walang ini bisa untuk mendirikan sekitar lima buah tenda, hanya saja medan yang terbilang cukup datar dan sedikit lebih lapang sudah diambil alih oleh pedagang sehingga membuat para pendaki enggan membuka tendanya ditempat itu, kecuali dalam keadaaan genting atau faktor kemalaman. Menurut seorang pendaki yang asli Purbalingga, pedagang-pedagang itu mulai berdatangan dan membuka lapak hampir disetiap pos (kecuali pos IV, VI, VIII dan IX) semenjak pendakian gunung Slamet via Bambangan kembali dibuka untuk umum pasca erupsi tahun 2014. Belakangan ini, beberapa gunung di pulau Jawa sepertinya tidak hanya diinvasi oleh para pendaki saja, para pedagang yang notabene warga kampung sekitar pun turut memanfaatkan euphoria pendakian tersebut.

Beberapa pendaki tengah berteduh dari hujan di pos II.

Berteduh sambil menikmati hidangan yang dijajakan oleh seorang pedagang di pos II.

POS III : Pondok Cemara (2.510 MDPL)

          Sekitar pukul 15.30 WIB, kami tiba di Pos III. Hujan masih terus mengguyur hutan disepanjang lereng gunung Slamet. Lahan di pos III tidak cukup untuk menampung banyak tenda, apalagi dalam kondisi hujan seperti saat itu. Banyak pendaki yang akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka ke pos berikutnya ketika hujan mulai mereda.

Beristirahat di pos III sambil menikmati teh hangat dan beberapa potong mendoan yang sudah dingin (dok: Riki Prima).

POS IV : Samaranthu (2.688 MDPL)

          Pos IV ini berada di ketinggian 2.688 meter diatas permukaan laut, nyaris sama dengan ketinggian yang dimiliki oleh gunung Papandayan di Garut, yaitu 2.665 MDPL. Biasanya, kebanyakan pendaki akan menghindari bermalam di tempat ini karena adanya desas-desus yang berasal dari warga sekitar yang mengatakan kalau pos Samaranthu angker. Dari namanya saja sudah jelas memiliki konotasi yang kurang nyaman untuk didengar, Samaranthu artinya hantu yang tidak terlihat (jelas yang namanya hantu bersifat gaib, tidak bisa dilihat dengan mata telanjang). Perihal reputasinya yang angker atau berhantu, itu semua kembali lagi kepada setiap orang dalam menyikapinya.

           Ari dan Puspo yang tertinggal jauh semenjak di jalur menuju pos I, akhirnya tiba di pos IV disaat gelap mulai menggerayangi hutan disepanjang jalur pendakian. Kedatangan mereka sekaligus menghapus kegelisahan kami yang harap-harap cemas menanti mereka. Saya segera membongkar daypack yang dibawa Ari dan mengeluarkan tenda beserta logistik. Dengan dibantu oleh Puspo dan Ari, tenda pun segera saya buka di lahan yang agak miring. Kami memutuskan untuk bermalam di pos IV karena mendapat kabar dari beberapa pendaki yang baru saja turun kalau pos V hingga pos berikutnya sudah tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda.

Bunga tengah mengolah makanan ketika kami bermalam di pos Samaranthu (dok: Riki Prima).
           Tenda milik saya rampung tepat pukul 18.00 WIB, dimana hutan disekitarnya tidak lagi diterangi oleh sinar matahari, melainkan oleh cahaya headlamp dan lampu tenda. Malam itu, pos Samaranthu yang katanya angker dan dihindari oleh para pendaki, malah terlihat semarak dengan berdirinya enam buah tenda yang benderang oleh masing-masing lampunya.

POS V : Samyang Rangkah (2.795 MDPL)

           Pukul 02.30 dini hari, saya dan rekan-rekan yang lain beranjak untuk melakukan summit attack. Derap langkah dan desah nafas mengisi keheningan hutan malam itu, uap yang berasal dari dalam tubuh tak henti-hentinya mengepul baik dari lubang hidung maupun mulut. Sementara pekatnya kabut masih terus menemani perjalanan kami meski ulahnya kerapkali menutupi pandangan dan jalur pendakian. Temaram sinar rembulan menyeruak dari balik ranting-ranting pepohonan, suara binatang malam menemani perjalanan kami dan beberapa pendaki lainnya. Sesekali hembusan angin dari arah puncak menderu halus menyusuri lereng dan lembah, riuh mendayu bagai orkestrasi yang digubah sendiri oleh sang alam.

           Adegan summit attack seperti waktu di Semeru kembali terulang di tempat ini, dimana kami harus mengantri dalam meniti jalur pendakian yang sempit dan kadang terjal demi bisa hinggap di titik tertinggi. Jelas ini bisa menjadi kerugian bagi mereka yang selama ini ke puncak gunung hanya berorientasi kepada golden sunrise dan lautan awan saja.

          Suara orang-orang yang tengah bercengkrama dan tertawa mulai terdengar tidak jauh dari tempat kami beristirahat. Setelah saya hampiri sumber suara tersebut, saya melihat sebuah papan petunjuk yang menandakan bahwa kami telah sampai di pos V atau Samyang Rangkah. Sinar rembulan yang pucat pasi akibat terhalang kabut bisa kami saksikan dengan jelas tanpa terganggu oleh dahan-dahan pepohonan. Tidak jauh dari papan petunjuk tadi terdapat sebuah pondokan yang terbuat dari batang-batang kayu dan seng, yang didalamnya bisa dijadikan tempat untuk membuka tenda, namun saat itu saya melihat ada pedagang yang juga memanfaatkan pondokan tersebut untuk membuka lapak dagangannya. Sebenarnya di pos V ini terdapat sumber air yang biasa digunakan oleh banyak pendaki untuk mengisi kembali perbekalan airnya, namun dari pihak ranger setempat memberitahukan kepada kami kalau sumber air saat ini sedang keruh karena baru beberapa hari turun hujan, selain itu belum lama juga ditemukan bangkai babi hutan di sumber air tersebut. Maka lengkap sudah penderitaan, pendakian kali ini hanya mengandalkan perbekalan air yang kami bawa dari basecamp saja.

POS VI : Samyang Katebonan (2.909 MDPL)

           Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat lewat lima menit manakala kami menginjakkan kaki di pos VI atau Samyang Katebonan. Dengan space yang tidak begitu luas dan tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda lebih dari lima buah, saya dan teman-teman yang lain pun memutuskan untuk tidak terlalu lama beristirahat di pos VI ini, selain itu agar kami juga bisa cepat sampai di puncak. Samar-samar, saya sudah bisa menyaksikan tanaman Edelweiss tumbuh tidak jauh dari pos VI ini, sayangnya tidak satupun dari mereka yang terlihat merekah.

POS VII : Samyang Kendit (3.040 MDPL)

          Setibanya saya di pos VII atau Samyang Kendit, suasana di tempat itu sudah sangat ramai oleh beberapa pendaki yang tengah beristirahat maupun oleh mereka yang memang sengaja bermalam disitu. Pekik Adzan dari seorang pendaki menggema ditengah udara dingin dan berkabut, sontak hiruk-pikuk di pos tersebut pun menjadi hening seketika. Beberapa dari mereka segera mencari lahan untuk melaksanakan shalat subuh berjama’ah. Hanya sekitar lima menit saja kami beristirahat di pos VII, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju pos VIII.

POS VIII : Samyang Jampang (3.092 MDPL)

           Pukul 04.20 kami tiba di Samyang Jampang atau pos VIII. Ditempat itu hanya berdiri sekitar tiga sampai empat tenda saja. Keadaan di pos VIII sedikit lebih terbuka daripada pos VII atau VIII dan tanpa pondokan. Bermalam di pos ini lebih beresiko terkena angin secara langsung karena sudah memasuki batas vegetasi dan rawan badai. Disini pohon-pohon besar sudah mulai jarang ditemukan dan lebih banyak ditumbuhi oleh semak, lamtoro juga Edelweiss. Kabut tebal betul-betul menyulitkan kami dalam melangkah, ditambah angin yang semakin berhembus sedemikian kencangnya. Disebelah timur, langit mulai berpendaran cahaya meski belum seutuhnya menjamah jalan yang kami lalui.

POS IX : Pelawangan (3.172 MDPL)

           Di pos Pelawangan, langit sudah mulai sedikit terang sehingga saya sudah bisa mematikan headlamp, namun puncak masih belum juga bisa terlihat karena terhalang pekatnya kabut yang berbaur dengan deru angin, dan inilah yang saya maksud di bagian awal mengenai badai gunung. Selamat datang didalam badai gunung!

Randi diantara pekatnya kabut, di pos Pelawangan (dok: Riki Prima).
           Selepas dari pos IX, puluhan pendaki yang juga saat itu hendak menuju puncak samar-samar terlihat dari balik tirai kabut. Mereka tengah berusaha menggapai bebatuan cadas yang tajam dan berpotensi melukai lengan atau merobek sarung tangan. Beberapa dari mereka ada yang merasa terbantu oleh tongkat daki atau trekking poles yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan menopang sebagian beban tubuh ketika melakukan pendakian.

           Jalur menuju puncak Slamet memang terbilang menyulitkan, bisa dikatakan hampir sama sulitnya dengan jalur menuju puncak Ceremai dan Mahameru. Setelah melewati pos Pelawangan, kita akan melalui jalur berbatu yang menanjak dan permukaannya ditutupi oleh pasir juga kerikil. Sepatu gunung merk apapun tentu akan mengalami kesulitan manakala berhadapan dengan jalur terjal berkerikil seperti itu, apalagi banyak bongkahan batu hasil sedimentasi lahar yang kedudukannya tidak solid dan berpotensi runtuh ketika dijadikan tempat berpijak.

Puncak Slamet (3.428 MDPL)

          Selepas dari pos Pelawangan, jalur sudah semakin melebar dan cenderung bercabang. Jarak pandang semakin sempit, headlamp yang saya gunakan hanya mampu menjangkau sekitar tiga meter saja. Jalur yang memiliki banyak pecahan seperti itu bila sudah dikombinasi dengan kabut tebal sangat memungkinkan seorang pendaki mengalami disorientasi atau kehilangan arah pada saat turun dari puncak, terlebih di tempat itu tidak ada petunjuk yang akan mengarahkan seorang pendaki untuk kembali ke jalur yang telah ia lalui. Jalur ini mirip dengan track yang ada di Semeru, yang kadang bisa menuntun seorang pendaki keluar dari jalur yang semestinya dan berujung tragis di dasar jurang sedalam 75 meter yang tersohor dengan istilah Blank 75.

Riki tengah beristirahat di jalur menuju puncak Slamet (dok: Riki Prima).
           Saya, Riki, Bunga dan Adit masih berusaha mendaki jalur berbatu yang kadang membuat kami merosot atau tergelincir. Sesekali Riki dan Bunga mendahului saya untuk kemudian saya susul kembali, begitu dan seterusnya. Semakin tinggi kami mendaki, badai gunung semakin menghantam kami dengan sangat liar, menerpa dan berputar-putar dari berbagai arah disertai riuh gemuruhnya. Ditengah badai itu saya merasakan sakit pada bagian telinga, terasa berdengung dan kepala sedikit pening juga. Mata dan lubang hidung saya tak henti-hentinya meneteskan air. Rasa sakit di kedua telinga ini semakin menjadi saja dan saya baru sadar kalau saat itu saya sama sekali tidak mengenakan down jacket, pelindung wajah juga sarung tangan dari semenjak berada di pos V. Akhirnya saya menepi ke sebuah batu yang berukuran lumayan besar untuk membuka carrier dan mengenakan jaket bulu angsa. Sesekali kami harus berlindung dibalik batu, bahkan harus berjalan dengan sedikit membungkuk atau merangkak bila anginnya sudah sedemikian kencang. Timbul kekhawatiran pada adik saya, Bunga. Apa anak itu sanggup mencapai puncak dalam keadaaan yang tidak bersahabat seperti ini, pikir saya. Namun, saya jadi merasa yakin setelah melihat dia masih tetap semangat untuk menjejakkan kakinya hingga menggapai puncak meski kerapkali langkahnya tertahan badai atau tergelincir. Saya menyusul Bunga sambil tetap memberikan semangat, dia pun segera mengikuti saya.

Bunga masih tetap semangat untuk memacu langkahnya meski ditengah cuaca yang tidak bersahabat (dok: Riki Prima).
           Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB, saya kembali mendaki dengan menaiki dinding batu yang cukup besar dan memanjang. Setelah saya berhasil menaiki batu tersebut, sontak terdengar gelak tawa dan pekik membahana. Saya masih belum tahu ada apa dan darimana sumber kegaduhan tersebut karena jarak pandang yang sangat terbatas, sampai akhirnya saya melongok dengan jelas ke balik dinding batu itu. Ya Tuhan, ternyata batu besar tadi merupakan ujian terakhir bagi semua pendaki yang berdatangan ke tempat ini. Saya baru saja tiba di puncak bayangan, tak ada lagi jalan terjal yang menanjak dan semuanya berubah menjadi rasa gembira manakala tidak jauh dari situ tampak jalur menuju puncak.

Samar-samar, dibelakang kami tampak beberapa pendaki yang juga masih berusaha mendaki (dok: Riki Prima).
           Sesampainya di puncak bayangan, mata saya menyelisik satu-persatu ke arah teman-teman saya. Puspo terlihat duduk berlindung dibalik dinding batu, Riki nampak bersorak-sorai sambil mengibarkan bendera biru yang ia bawa, Ari terlihat menitikkan air mata, ia tak kuasa menahan haru manakala saya menghampirinya untuk memberikan ucapan selamat. Saya kembali menaiki dinding batu tadi untuk mencari Bunga, dan ternyata ia sudah berada di puncak bayangan. Terpaan badai gunung kembali menyambut saya dan seluruh pendaki yang berada di puncak bayangan itu dengan suara yang bergemuruh, beberapa dari mereka tampak ada yang mengabadikan moment tersebut dengan berselfie atau merekamnya dengan mode video. Seketika itu juga saya merasakan menggigil, kedua telapak tangan dan wajah mulai membeku, mungkin karena sudah tidak ada lagi aktivitas yang dilakukan sehingga panas tubuh yang semula bisa mengimbangi suhu udara sedingin itu secara perlahan menurun.

Saya, Ari, Riki dan Puspo setibanya di titik tertinggi di Jawa Tengah.
           Saya mengajak Riki, Bunga, Puspo, Adit, Ari dan Randi untuk menuntaskan perjalanan ini di titik tertinggi di Jawa Tengah, tempat tersebut hanya berada sekitar dua puluh meter dari puncak bayangan. Mereka setuju, saya segera melangkahkan kaki menyusuri jalur sempit berbatu yang akan menuntun kami ke arah puncak yang sebenarnya. Badai gunung kembali berhembus dari arah utara, hampir saja tubuhku terpelanting kesebelah kiri, kearah kawah. Mau tak mau saya harus berjalan agak membungkuk dan jalur sempit itu akhirnya bisa saya lalui meski secara perlahan. Samar-samar saya bisa menyaksikan sebuah plang yang bertuliskan puncak Slamet tertancap kokoh di tanah berbatu tersebut, lalu seorang pendaki lain terlihat dari balik kabut. Ia berjalan menghampiri saya dan segera memberikan ucapan selamat kepada saya;

Puncak Slamet dilihat melalui citra satelit Google Map.
           “Akhirnya sampe juga, bro...!” ucapnya dengan suara yang sengaja diperkeras agar bisa terdengar jelas. Ternyata dia adalah pendaki yang sebelumnya saya jumpai ketika bermalam di basecamp Bambangan. Ya, akhirnya kami berhasil juga menginjakkan kaki di puncak Slamet, puncak dengan ketinggian 3.428 meter diatas permukaan laut.

Riki.
Saya.
Bunga.
Puspo “Samaranthu”.
Ari.
Adit.
Randi.
           Inilah rasa haru yang sesungguhnya, yang datang secara spontan ketika saya dan teman-teman berhasil menjejakkan kaki di puncak tertinggi di Jawa Tengah. Kami semua saling berangkulan ditengah badai dan suhu udara yang mencapai minus empat derajat celcius. Ada rasa bangga terhadap rekan-rekanku pada saat itu, termasuk adik saya sendiri yang meskipun bertubuh mungil namun pantang menyerah dalam menuntaskan apa yang telah dimulainya.

Lengkap sudah kebahagiaan didalam kebersamaan saat itu... (dok: Riki Prima).
                             
           Dikarenakan badai, kami tidak berjodoh dengan sunrise dan samudera diatas awan ketika itu, namun bagaimanapun juga saya merasa harus bersyukur karena alam lebih memilih untuk menggojlok kami dengan kabut tebal, hujan deras, dan badai gunung yang sedemikian rupa. Karena dari situlah kami bisa mengecap nikmatnya sebuah perjuangan, dan pengalaman tersebut jauh lebih indah daripada hanya sekedar berburu sunrise ataupun berselfie diatas lautan awan.

Foto bersama sebelum kembali ke perkemahan.
           Singkat kata, perjalanan menuju puncak Slamet beberapa waktu lalu hanyalah sebuah perjalanan kecil, namun memberikan dampak yang besar bagi kami dalam menyikapi hidup.



ELEGI DI PUNCAK SLAMET

Bogor, 4 Desember 2015


Gemuruh badai di puncak gunung
Mengundang kabut pekat singgahi lerengnya
Alam menyambut dalam balutan embun dan halimun
Mengumbar salam santun pada sang pemilik langkah-langkah kecil
Yang terseok diantara tanjakan terjal bercadas

Selamat datang, wahai penjejak puncak
Diatas tangga-tangga berlapis awan
Diatas sana......
Berdamailah dengan udara yang membekukan tubuh
Berkawanlah dengan hujan yang membasuh wajah-wajah lusuh

Semoga jiwa bersahaja
Senantiasa ungguli ego dan ambisi kita
Diatas puncaknya......
                            


Rincian Biaya Perjalanan

(27 November 2015):
Kereta Api Bengawan jurusan St. Senen – Purwokerto       Rp.80.000
Sewa mobil dari St.Purwokerto – basecamp Bambangan         Rp.300.000
Simaksi                                                    Rp.5.000
Total :                                                    Rp.385.000

(30 November 2015):
Sewa mobil dari basecamp Bambangan – terminal bus Bulupitu Rp.300.000
Tiket bus ekonomi jurusan Purwokerto – Rawamangun               Rp.60.000
Total :                                                    Rp.360.000

(Belum termasuk perlengkapan, logistik dan biaya tidak terduga lainnya)*
(Untuk sewa mobil, bila penumpangnya berjumlah 7 orang maka perorang dikenakan biaya ± Rp.43.000)**


Informasi Lainnya :

·            Jangan terlalu mengandalkan sumber air di pos V, karena sumber air tersebut akan mengalir ketika sedang musim hujan saja.

·            Bawalah persediaan air sebanyak mungkin ketika masih berada di basecamp, jerry can atau water jug sangat dibutuhkan untuk penggunaan air yang optimal selama di camp area.

·            Gunakan sepatu gunung dengan sol kekar karena medan disepanjang jalur menuju puncak berbatu dan berkerikil.

·            Trekking poles akan lebih membantu ketika tengah melakukan summit.

·            Pada saat melakukan pendakian ke arah puncak, Gaiter kadang diperlukan agar pasir dan bebatuan kecil tidak masuk kedalam sepatu.

·            Sebaiknya menggunakan jasa kereta api untuk perjalanan pergi dan pulang. Berdasarkan pengalaman juga cerita dari beberapa orang yang menggunakan bus, ditengah perjalanan awak bus seringkali memindahkan penumpangnya ke bus lain, bahkan sering mengalami keterlambatan.

·            Jalur pendakian gunung Slamet merupakan jalur yang panjang dan melelahkan. Disarankan agar melakukan persiapan fisik terlebih dahulu beberapa hari sebelum memulai pendakian.



GALERI  FOTO :


Packing ulang sebelum menuju stasiun Senen (dok: Riki Prima).

Santai sejenak sambil menunggu kedatangan Bunga (dok: Riki Prima).
Saya dan Bunga.

Foto bersama sebelum naik kedalam gerbong KA Bengawan.

Adit dan Randi (dok: Riki Prima).

Di tepi peron ketika tengah beristirahat di stasiun Cirebon Prujakan.

Suasana sarat mimpi dan dengkuran didalam basecamp pendakian.
Menghela nafas di pagi hari yang mulai panas.

Di jalur menuju pos I, dahan-dahan pinus kerapkali dijadikan tempat untuk berteduh.

Mencetak jejak di jalur bersemak.
Tetap semangat meski terik mulai menyengat.
Masih satu jam perjalanan lagi untuk sampai di pos I.
Plang di Pondok Gembirung.
Ari “Basardus” dan plakat puncak Slamet.

Masih betah mengambil gambar meski ditengah udara dingin.

Adit: Berkibarlah benderaku...

Semakin berdiam diri, semakin mudah untuk menggigil.

Kubawa memori 17 tahun lalu ke puncak tertinggi di Jawa Tengah.

Akhirnya, menjejak puncak bersama adik tercinta.

Judulnya: anak kecil naik gunung.

Sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk bisa melihat kawah gunung Slamet.

Pendaki lain yang juga turut menikmati suasana puncak Slamet yang berkabut.

Jarak pandang menjadi terbatas manakala badai tengah melanda seperti ini.

Badai masih belum berlalu, nak.

Bertahan dari dinginnya udara puncak Slamet saat itu.

Mengukir kebersamaan diatas puncaknya...

Ketika beristirahat tidak jauh dari pos VIII, diantara sabana dan Edelweiss yang meranggas.

Kembali menuju perkemahan di pos IV.

Suasana di pos VIII.

Dipertengahan pos VII dan VIII, terdapat jalur tanah yang menyempit dan menyerupai lorong dengan akar gantungnya.

Perjumpaan tak terduga: Di jalur selepas pos VII ini, saya bertemu dengan seorang sahabat dari Komunitas Pendaki Gunung di Google+ (KGPG). Beliau baru akan menuju puncak siang itu.

Pos VI.

Shelter di pos V yang juga tidak luput dari invasi para pedagang.

Tempat kami membuka tenda di pos Samaranthu. Suasananya tetap berbalut kabut meski siang hari.

Bunga, Adit dan Riki tengah menyiapkan hidangan makan siang sebelum kami turun ke basecamp Bambangan.

Saya dengan latar belakang gunung Slamet yang tampak bersih dari cincin badai (dok: Riki Prima).

Istirahat di stasiun Purwokerto meski pada akhirnya kami pulang dengan menggunakan bus.

Mencari kesibukan ditengah penantian dan kepastian untuk bisa kembali ke Jakarta menggunakan jasa kereta api (dok: Riki Prima).

Hasil iseng ketika berada di terminal bus Bulu Pitu, Purwokerto.

Suasana kala senja di terminal Bulu Pitu, Purwokerto.




*Thanks to Riki Prima for the photo...