Selasa, 21 Februari 2017

BADUY: ROMANTISME MANUSIA DENGAN SANG ALAM

           Suasana di terminal Ciboleger pagi itu terbilang sangat sepi pengunjung, bisa dikatakan saya sama sekali tidak menemukan satu pun kendaraan wisatawan yang terparkir di sekitar situ. Mungkin karena hari ini hari kerja, pikir saya. Saya pun berdiri di sebelah patung selamat datang sambil terus melepas pandangan ke berbagai arah. Tidak banyak perubahan yang terlihat di tempat ini sejak kedatanganku 13 tahun lalu bersama rombongan pegawai Bank Mandiri, Jakarta. Sekarang, di Ciboleger sudah dibangun pos pendaftaran bagi para pengunjung yang akan menuju perkampungan adat Baduy. Tampilan patung selamat datang yang menjadi landmark terminal Ciboleger pun sudah dipercantik dengan ditambahkannya coran beton berbentuk lingkaran yang mengelilingi patung tersebut. Pada permukaan coran tadi dihiasi con block yang tersusun rapi dan menyerupai sebuah mozaik sehingga siapa saja bisa duduk diatasnya.

Bergaya etnik ala Baduy di jembatan bambu kampung Gajeboh, Baduy Luar.

Perlengkapan untuk menuju Baduy.

           Saya, Linda, bang Ian dan bang Radi mengikuti seorang anak muda yang akan jadi pemandu kami menuju pos registrasi. Setibanya di pos, kami melakukan pendaftaran dengan cukup menuliskan satu nama saja sebagai perwakilan rombongan. Untuk biaya pendaftaran tidak dipatok harga, kita cukup membayar seikhlasnya. Sayangnya, saat itu kami diberitahu oleh seorang warga kalau mulai Februari, para wisatawan tidak diperkenankan mengunjungi perkampungan suku Baduy Dalam karena disana sedang ada perayaan Kawalu. Pantas saja suasana di sekitar terminal Ciboleger sangat sepi dari pengunjung, namun bagaimanapun juga saya tetap akan bermalam meski hanya di perkampungan Baduy Luar. Kami akhirnya memutuskan untuk singgah di Gajeboh, perkampungan Baduy Luar yang bersebelahan dengan sungai Ciujung.

Patung selamat datang yang berada di terminal Ciboleger, pintu gerbang menuju perkampungan Baduy Luar.

Lokasi terminal Ciboleger, Banten, dilihat dari Google Maps.


Disambut Rimbun Yang Menyejukkan

           Pukul 10.26 kami mulai meninggalkan terminal Ciboleger untuk menuju Gajeboh. Diawali dengan berjalan di jalur menanjak selebar 2 meter yang di kiri dan kanannya terdapat warung-warung warga non Baduy, disitu saya sudah bisa melihat ada beberapa orang dari Baduy Luar yang tengah berlalu lalang. Pada sebuah warung yang berada di sebelah kanan saya, ada sekitar 4 remaja Baduy Luar yang sedang berkumpul sambil bercanda, salah satu dari mereka berparas cantik dan berkulit kuning langsat. Saya hanya menatap sesaat saja tanpa ada maksud sama sekali untuk mengusik keasyikannya dengan lensa kamera. Tak lama kemudian, saya sudah tiba di gapura selamat datang yang menjadi batas antara perkampungan warga dengan Kaduketug, perkampungan Baduy Luar yang berada di sebelah utara dan paling terluar. Berjalan melewati gapura pembatas tadi, kami pun mulai memasuki Kaduketug yang suasananya tidak sebising dan seramai di perkampungan warga non Baduy. Rata-rata beranda rumah warga Kaduketug dijejali barang dagangan semacam kerajinan tangan dan hasil bumi khas Baduy. Banyak wisatawan yang singgah untuk membeli cenderamata, namun sebaiknya kita harus lebih cermat lagi dalam memilih barang dagangan tadi sebab yang diperdagangkan tidak semuanya buatan Baduy. Beberapa barang dagangan yang dijajakan di situ ada yang dibuat oleh warga luar Baduy. Berjalan terus hingga ke dalam maka kita akan melalui rumah-rumah tradisional khas Baduy Luar yang berjejer rapi saling berhadapan. Warga Baduy tinggal di rumah-rumah panggung yang konstruksinya terbuat dari kayu dan bambu. Pada dindingnya mereka menggunakan anyaman kulit bambu, atapnya terbuat dari daun kiray dan lantainya menggunakan palupuh atau batang bambu yang dipecah.

Selepas gapura selamat datang, kita akan memasuki perkampungan Baduy Luar yang terluar, Kaduketug.

           Suasana menjadi sedikit gelap karena langit sudah tertutup oleh pepohonan yang menjulang tinggi layaknya kanopi alam. Aroma khas tanah yang dibasuh oleh tetesan embun mulai tercium. Bukit atau yang biasa disebut warga sekitar dengan sebutan Gunung Baduy tampak menyembul dari balik alang-alang dan rimbunnya pepohonan. Namun, objek yang belum lama kuduga sebagai alang-alang tadi rupanya hamparan tanaman padi. Sangat menarik, sebab warga Baduy tidak menanam padi di sawah seperti petani di pedesaan pada umumnya. Sesuai ketentuan karuhun atau tradisi dari leluhur, mereka tidak diperkenankan untuk merubah struktur tanah dengan cara meratakannya, dan kontur Gunung Baduy yang terjal bukan masalah bagi mereka untuk menanam padi. Persis seperti yang pernah saya baca dari beberapa artikel kalau masyarakat Baduy menanam padi di ladang atau huma, sehingga jangan heran bila suatu saat berkunjung ke Baduy anda akan temukan tanaman padi yang bersanding dengan tanaman-tanaman lain seperti pisang, kelapa atau duren.

Anak-anak Baduy Luar yang akan menuju Ciboleger dengan membawa hasil bumi.

           Sepanjang perjalanan, rimbunnya pohon-pohon yang menyejukkan mata senantiasa menemani kami. Berkali-kali saya berpapasan dengan warga Baduy Luar yang akan menuju Ciboleger maupun kembali ke rumahnya. Ikat kepala juga motif kain yang dikenakan menjadi penanda identitas mereka, dan untuk yang pernah ke Baduy dipastikan tidak akan kesulitan dalam membedakan mana orang Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Beberapa kali kami berpapasan dengan warga Baduy Luar yang baru saja kembali dari Ciboleger.

Gajeboh, Perkampungan Diantara Geliat Sungai Ciujung

           Setelah melewati dua perkampungan Baduy Luar, yaitu Balimbing dan Marengo, sayup-sayup saya mendengar gemuruh sungai. Memang tidak jauh dari jembatan bambu yang baru saja kami lalui, ada aliran sungai Ciujung yang berhulu di kawasan hutan larangan. Saya dan teman-teman menyusuri tepiannya dengan hati-hati sebab tanah yang kami pijak cukup licin. Sesampainya di sini, jalanan akan mengikuti alur sungai Ciujung yang meliuk-liuk dan akan melalui dua buah sumber air yang langsung mengalir menuju sungai. Diawali dengan memasuki perkampungan yang memiliki sebidang tanah datar dan luas seperti lapangan, akhirnya kami berempat tiba di Gajeboh pada pukul 12.08.

Perkampungan Gajeboh yang terletak bersebelahan dengan sungai Ciujung.

Lapangan tanah ini menjadi indikasi kita telah tiba di Gajeboh.

           Lelah menyusuri jalanan yang naik turun, kami pun beristirahat di sebuah rumah warga yang nantinya akan kami jadikan tempat untuk bermalam. Keadaan di Gajeboh saat itu terbilang sepi, mungkin sebagian penghuninya masih berada di ladang. Meski warga Baduy sebagian besar menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam, namun ada juga yang diam di rumah untuk menenun atau menjemur padi dan kayu bakar. Hampir di setiap rumah bisa saya temukan perempuan-perempuan Baduy Luar yang sedang asyik menenun kain. Usia mereka terbilang belia meski ada diantaranya yang sudah berstatus sebagai ibu rumah tangga. Di lain tempat, beberapa perempuan lanjut usia tampak sedang duduk-duduk sambil bercengkrama. Bila ada ayam yang mendekati padi yang tengah dijemur, mereka akan segera bangun dan mengusirnya dengan menggunakan tongkat bambu. Baik yang sedang menenun maupun yang tengah menjemur padi sama sekali tidak begitu menghiraukan kehadiran kami, mereka tetap asyik dengan pekerjaannya.

Istirahat sejenak di beranda rumah warga yang rumahnya kami jadikan tempat untuk bermalam.

Seorang warga tengah menenun kain khas Baduy di beranda rumahnya.

           Kami berbincang-bincang dengan seorang pedagang cenderamata khas Baduy yang sepertinya sudah mengetahui kedatangan kami ke dusun ini. Berbagai macam kerajinan tangan seperti ikat kepala, pakaian khas Baduy Luar, kain tenun Baduy, gantungan kunci, kalung, gelang akar, madu hutan, koja atau tas selempang terbuat dari akar tanaman, dan kaus diperdagangkan oleh orang itu. Saya pun tertarik untuk membeli ikat kepala khas Baduy Dalam yang berwarna putih atau biasa disebut talekung. Ikat kepala itu terbuat dari serat daun pelah yang kemudian ditenun oleh warga Baduy Luar, ketentuan adat membuat warga Baduy Dalam tidak diperkenankan menggunakan alat menjahit seperti jarum. Sebelumnya, saya sudah memiliki ikat kepala khas Baduy Luar yang bermotif batik dan berwarna biru hitam. Selain talekung, saya juga membeli madu hutan sebagai buah tangan dari Baduy.

Cenderamata khas Baduy yang dijajakan kepada kami.


Bergumul Dalam Ketenangan Dan Kebersahajaan Alam

           Ada berkah tersendiri buatku ketika orang-orang Baduy tengah menjalankan tradisi Kawalu seperti saat ini. Dengan adanya ketentuan adat yang melarang wisatawan untuk berkunjung ke Baduy Dalam selama 3 bulan ke depan, maka minat para pengunjung untuk berwisata ke Baduy pun akan turun secara drastis sebab Baduy Dalam merupakan destinasi kebanyakan para turis. Dengan demikian, saya bisa menikmati suasana Baduy yang tenteram, hening dan terbebas dari gelak tawa para wisatawan. Kawalu sendiri merupakan momen tersakral yang harus dihormati seluruh warga Baduy, biasanya ditandai dengan berbunganya tanaman padi hingga masa panen padi selesai. Istilah lain menyebutkan Kawalu adalah kembalinya tanaman padi dari ladang ke lumbung sebanyak tiga kali dalam setiap bulan Kawalu. Tiga bulan tersebut adalah Kawalu Tembeuy (awal), Kawalu Tengah dan Kawalu Tutug (akhir). Berhubung di tahun ini perayaan Kawalu jatuh pada bulan Februari, maka wisatawan baru bisa mengunjungi Baduy Dalam sekitar bulan Mei.

Siang hari dimanfaatkan oleh warga untuk menjemur hasil panen padinya.

Seorang anak perempuan Baduy Luar yang belum dibebani oleh tugas dan pekerjaan masih bisa duduk-duduk santai di beranda rumahnya.

           Eksotisme suku Baduy memang sudah cukup lama menyita perhatian para wisatawan, terlebih para pemburu berita. Kebersahajaan dan kesederhanaan mereka menjadi daya tarik tersendiri, dan perjalanan saya yang sudah sejauh ini jadi sangat mubazir rasanya bila tidak mengeksplorasi setiap sudut di perkampungan Gajeboh. Dengan berjalan kaki sekitar 40 meter, saya pun tiba di sebuah jembatan bambu yang menjadi icon Gajeboh. Jembatan tersebut membentang di atas sungai Ciujung yang memiliki lebar kira-kira 20 meter. Selain bentuknya yang artistik, jembatan berkonstruksi bambu tadi juga jadi terlihat semakin menarik karena tampilannya yang tanpa tiang-tiang penyangga, melainkan menggantung pada dahan-dahan pohon. Jembatan atau yang menurut orang Baduy disebut rawayan itu terbuat dari bambu, kayu dan tali ijuk. Seketika saya pun jadi takjub dengan suku Baduy yang kata orang-orang anti teknologi, namun jembatan bambu tersebut seolah membuktikan kalau mereka juga memiliki teknologi tersendiri yang berakar dari keraifan lokal dan tradisi leluhurnya.

Jembatan bambu yang menjadi ikon Gajeboh, tampilannya terlihat artistik karena konstruksinya yang menggantung pada dahan-dahan pohon.

           Saya mencoba untuk menyebrangi sungai Ciujung dengan jembatan bambu tadi, jarak permukaan sungai dengan jembatan hanya terpaut enam meter saja. Kondisi cuaca yang memang sedang aktif menumpahkan hujan membuat arus sungai Ciujung menjadi deras dan berwarna keruh, oleh sebab itu saya harus berhati-hati ketika meniti jembatan tersebut. Sesampainya di seberang, saya menjumpai sederetan leuit atau lumbung padi. Di tempat itulah orang Baduy biasa meletakkan hasil panen padinya. Mereka sengaja membuat lumbung padi yang letaknya agak jauh dari permukiman dengan maksud bila suatu saat terjadi kebakaran, persediaan padi mereka tetap aman. Uniknya, warga Baduy banyak yang memiliki simpanan padi hingga berton-ton dan tetap tersimpan bertahun-tahun di dalam lumbung karena padi yang telah dipanen tidak untuk mereka makan. Sikap mengantisipasi adanya kemungkinan krisis bahan pangan yang akan terjadi di masa depan membuat orang Baduy lebih memilih membeli beras daripada memakan hasil panennya sendiri. Itu sebabnya tak pernah terdengar kabar orang Baduy mengalami kelangkaan bahan pangan.

Diseberang sungai Ciujung, inilah tempat dimana lumbung padi didirikan.

Berpose di atas jembatan bambu.

           Saya tadinya berniat melanjutkan perjalanan hingga ke kampung Cicakal yang berjarak sekitar lima kilometer dari Gajeboh, namun urung saya lakukan karena langit mulai dirundung awan mendung. Akhirnya saya memutuskan untuk menikmati view perkampungan Baduy dari seberang sungai Ciujung saja. Walaupun bukan orang Baduy, namun saya bisa merasakan keheningan dan kebersahajaan alam saat itu yang sunyi dari gelak tawa dan damai tanpa isu SARA.

Leuit atau lumbung padi yang punya andil memperkokoh ketahanan pangan masyarakat Baduy.

Memanfaatkan potongan-potongan kayu sebagai latarbelakang foto.


Kembang Desa Yang Menutup Diri

           Gadis-gadis Baduy Luar yang siang tadi menyibukkan dirinya dengan menenun kain, sore itu mulai meninggalkan pekerjaannya untuk pergi mandi. Beberapa dari mereka yang telah selesai mandi tampak sedang duduk di teras rumah sambil sesekali melirik ke arah kami. Sangat berbeda dengan kebiasaan para gadis dari suku Baduy Dalam, menjelang senja mereka akan keluar dari dalam rumah untuk mandi setelah itu mereka akan kembali mengurung diri di dalam rumahnya. Perawan Baduy Dalam hanya diperbolehkan keluar rumah untuk mandi pada pagi dan sore hari, selebihnya mereka bagai calon pengantin wanita yang sedang dipingit oleh orang tuanya. Itu dilakukan karena orang-orang dari Baduy Dalam lebih tertutup terhadap tamu-tamu yang datang ke kampungnya dan mereka tidak akan membiarkan orang-orang luar bisa leluasa menatap anak-anak gadisnya.

Jelang senja, biasanya dimanfaatkan oleh satu keluarga untuk duduk di beranda.

           Suatu ketika manakala saya berkunjung ke perkampungan Baduy Dalam yang berada di Cibeo, saya hendak mandi di anak sungai yang nantinya akan mengalir ke sungai Ciujung. Langit masih berpendaran cahaya senja meski tak lama lagi akan beranjak gulita. Beberapa saat akan keluar dari permukiman, saya pun berpapasan dengan dua orang perempuan Baduy Dalam yang masih belia. Paras kedua gadis tadi sangat cantik, berkulit kuning langsat dan rambutnya dibiarkan terurai dalam keadaan masih basah. Namun entah karena mereka polos atau memang sudah jadi kebiasaan selepas mandi di sungai, kedua gadis tadi terlihat hanya membalut bagian bawah tubuhnya saja dengan kain berwarna hitam sedangkan buah dadanya dibiarkan membusung bebas tanpa terlindungi sehelai kain sama sekali. Keesokan harinya ketika fajar belum menerangi perkampungan di Baduy Dalam, saya kembali ke sungai tersebut untuk mengambil air wudhu. Di jalur menuju sungai itu pun saya bertemu dengan beberapa perempuan muda yang akan mandi, dan menjelang siang saya sudah tidak menemukan kembang-kembang desa itu lagi karena yang berada di luar rumah hanya kaum lelaki, anak-anak dan perempuan-perempuan yang sudah menikah.

Kucing merupakan salah satu hewan yang kerap ditemukan di perkampungan Baduy selain ayam dan anjing.

           Paras wanita suku Baduy Dalam jadi terlihat makin menawan walaupun mereka hidup di pedalaman dan tabu menggunakan kosmetik, shampo, pasta gigi juga sabun. Dibalik kecantikannya, seperti ada sebuah tirai gaib yang senantiasa menutupi dan melindungi mereka dari tatapan liar orang-orang luar.

Sarni, cucu pak Ijom yang baru berusia 2 tahun.

Ahok Sampai Ke Baduy

           Pak Ijom, sang empunya rumah yang kami tempati sudah pulang dari ladang, ia menyambut kami dengan ramah. Lelaki berusia 65 tahun itu tampak kewalahan saat berkomunikasi dengan bang Radi dan bang Ian yang sama sekali tidak mengerti bahasa Sunda sehingga saya pun bertindak selaku penerjemah.

           Tak lama kemudian, bang Radi dan bang Ian beranjak ke dalam rumah untuk sekadar meluruskan badan. Saya pun menggunakan kesempatan itu untuk mengobrol dengan pak Ijom. Ia terlihat sangat menikmati setiap hisapan kretek di mulutnya, asap membumbung di sekitar beranda untuk kemudian sirna terurai oleh udara. Iseng-iseng, saya pun bertanya mengapa saat ini buah duren tidak terlihat di rumah-rumah warga Baduy.

Bang Ian, saya, pak Ijom dan bang Radi.

           “Tahun ini, dipastikan tidak ada duren dari Baduy. Duren biasanya sudah dipanen saat awal tahun, tapi bulan kemarin kembang duren pun sama sekali tidak terlihat” kata pak Ijom. Tak lama kemudian, ia pun melanjutkan ucapannya;

           “Sekarang, kami (orang Baduy) hanya mengutamakan pisang sebab pisang mah tidak mengenal musim. Tidak perlu menunggu sampai kuning, asal sudah besar langsung dibawa ke Ciboleger.” tambahnya.

           Sekali waktu, saya pun bertanya perihal Kawalu dan Saba, beliau pun kembali menjelaskan kepada saya;

           “Kalau sedang bulan Kawalu seperti sekarang ini, kami akan berpuasa. Tidak semua warga Baduy mengikuti ritual Kawalu, hanya perwakilan saja. Kalau Saba lebih kepada kunjungan, kami yang berasal dari dalam dan luar wajib membawa hasil bumi untuk diserahkan ke pemerintah. Itu sudah dilakukan sejak jaman leluhur, kami hanya berusaha untuk tetap melestarikan” jawabnya sambil tersenyum.

           Seketika itu kami berdua terdiam, pak Ijom kembali menghisap kreteknya dalam-dalam. Tidak lama kemudian beliau bertanya kepada saya, namun pertanyaan itu sedikit mengejutkan.

           “Si Ahok bagaimana kabarnya?” kata lelaki itu sambil tertawa, aku jadi tercengang dibuatnya. Betapa tidak, saya pikir setelah melakukan perjalanan sejauh ini ke tengah belantara maka saya tidak akan mendengar nama Ahok, pilkada, pil KB atau sejenisnya lagi. Ternyata sama saja, Ahok sudah terlanjur terkenal bahkan hingga ke tempat terpencil seperti ini.

           “Wah, bapak tahu Ahok?” saya balik bertanya.

           “Ah, saya mah cuma dengar dari tamu-tamu yang datang kemari. Kalau tahu sih tidak, lihat muka pun belum pernah” jawabnya sambil terkekeh. Pada akhirnya, saya pun menceritakan siapa Ahok dan mengapa gaungnya bisa sampai menembus perkampungan yang dihuni oleh masyarakat adat tradisional seperti Baduy. Saya mengisahkan dari mulai sepak terjang Ahok menjadi gubernur DKI hingga dirinya tersandung isu penistaan agama. Pak Ijom hanya mengangguk tanpa bersuara.

“Ngomong-ngomong masalah agama, pernah ada tamu yang datang kemari, sepertinya sih mahasiswa. Mereka datang tapi seperti mau membuat kegaduhan” pak Ijom berkisah, saya pun memasang telinga dengan seksama.

           “Mereka memperdebatkan keyakinan kami yang Sunda Wiwitan, ada yang bilang keyakinan kami aliran sesat karena tidak tercantum di KTP. Ada juga yang menuduh kami tidak bertuhan karena mereka sangka kami memuja roh dan bebatuan, ah kami mah diamkan saja. Prinsip kami, agama mereka untuk mereka, agama kami untuk kami” tambahnya sambil tersenyum. Saya pun tertawa geli mendengar pak Ijom berkata demikian. Sungguh sebuah pemikiran yang sangat bijaksana dari seorang Baduy yang tidak mengenyam bangku sekolah dan tanpa menyandang status mahasiswa atau sarjana namun perbuatan juga tutur katanya jauh lebih beradab dari mereka yang katanya berpendidikan. Rupanya orang-orang yang gemar mencari pembenaran mulai mengusik ketenteraman dan keharmonisan masyarakat Baduy.

Bocah-bocah Baduy Luar menikmati senja dengan bermain bola.



Pagi Hari Di Gajeboh

          Hampir sebagian warga di dusun Gajeboh mengurungkan niatnya untuk berladang karena pagi itu sedang turun hujan. Riuh arus di sungai Ciujung semakin santer bergemuruh lantaran debit airnya yang semakin bertambah. Ayam-ayam jantan berkokok, sementara burung-burung di hutan kembali memperdengarkan kicaunya yang merdu. Kaum ibu mulai menyiapkan suluh untuk membuat sarapan bagi anak-anak lelakinya yang siang nanti akan membawa hasil panen ke Ciboleger. Para gadis yang kemarin siang terampil mempertontonkan kebolehannya dalam menenun, pagi itu sudah bersiap diri menuju MCK untuk mandi dan mencuci pakaian. Cucu perempuan pak Ijom yang baru berusia sekitar 17 tahun terlihat keluar dari pintu rumah bagian samping dengan hanya berkemben kain bermotif batik Baduy, tak lama kemudian remaja itu menghilang di balik pintu MCK.

Pagi hari, ketika dusun Gajeboh dibalut gerimis dan kabut.

           Ketika langit tidak lagi hujan dan mulai terang, satu-persatu warga Gajeboh mulai melengkapi dirinya dengan topi caping, golok dan kantung kain yang biasa digunakan untuk menyimpan makanan. Mereka menyebrangi sungai Ciujung melalui jembatan bambu dan mendaki tanjakan curam untuk menuju ladangnya. Mereka akan pergi ke ladang pada pukul 07.00 dan kembali lagi ke rumah selepas pukul 15.00. Jadwal keberangkatan Baduy Luar menuju ladang berbeda dengan orang-orang Baduy Dalam yang dari sejak matahari belum terbit pun mereka sudah melesat di dalam kegelapan. Perempuan-perempuan Baduy Dalam memang sangat perkasa, tanpa dibantu alat penerangan mereka bisa cekatan meniti jembatan yang terbuat dari dua bilah bambu saja, itu sebabnya saya menyebutnya seperti ninja.

Warga Gajeboh yang baru kembali dari ladang.

           Suasana terasa sejuk karena matahari masih tertutup awan mendung. Saya, bang Ian, bang Radi dan pak Ijom menikmati pagi itu dengan hangatnya kopi. Tak lama kemudian, anak perempuan pak Ijom yang telah berkeluarga datang menghampiri kami sambil membawakan sepiring pisang goreng yang masih panas. Pisang yang dijadikan penganan itu berasal dari jenis pisang nangka yang teksturnya tidak terlalu lembek dan rasanya juga tidak terlalu manis, salah satu komoditas masyarakat Baduy selain duren, madu dan petai. Sedang asyiknya mengobrol di teras, tiba-tiba kami mendengar suara benda yang tengah ditumbuk dari arah belakang rumah. Ketika saya melongok ke sebuah saung yang berada tidak jauh dari bibir sungai, saya pun melihat ada dua orang cucu pak Ijom dan seorang nenek tengah menumbuk padi. Padi-padi tersebut ditumbuk di sebuah lesung berukuran panjang yang terbuat dari batang pohon. Menariknya lagi, mereka tidak asal menumbuk padi melainkan menciptakan ritme tertentu yang dihasilkan dari tumbukan-tumbukan tadi.

Menumbuk padi dengan lesung berukuran panjang, menjadi rutinitas kaum hawa ketika musim panen tiba.

           Siang menjelang, kami berempat harus segera pulang ke peradaban yang penuh sesak dengan kepenatan meski masih ingin berlama-lama di tempat itu. Selepas sarapan, kami berpamit kepada pak Ijom dan berjanji akan kembali berkunjung dalam beberapa bulan ke depan. Saya juga ketiga kawan saya mulai melangkahkan kaki meninggalkan bumi Baduy yang lestari dan asri dibalik hijaunya rerimbunan.

Foto bersama pak Ijom dan Mamat, si pedagang souvenir khas Baduy.



Catatan Kaki

          Baduy, satu kata itu akan menggiring imajinasi kita pada suatu tempat terpencil yang menyajikan eksotisme masyarakat adat yang hidup selaras dalam kebersahajaan alam, serta perkampungan yang dianugerahi ketenteraman serta dinaungi lebatnya hutan yang rimbun menghijau. Masyarakat Baduy hidup berbalut kesederhanaan, apa adanya dan menghindari hiruk-pikuk kehidupan ala perkotaan yang glamor dan serba modern. Tidak heran para wisatawan rela berdatangan ke tempat itu demi bisa menikmati ketenangan dan keunikan masyarakatnya, demi bisa menggali juga belajar dari kearifan lokal dan adat-istiadat setempat, dan yang tidak mungkin tidak adalah demi bisa memburu gambar bahkan berselfie dengan latar belakang rumah-rumah panggung khas Baduy beserta warganya.

           Masyarakat Adat Baduy mendiami lahan yang luasnya lebih dari 5.136,58 hektar dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu hutan lindung (3.000 hektar) dan tanah garapan serta pemukiman (2.136,85 hektar). Bila dilihat dari tabel demografi masyarakat adat Baduy, pada tahun 2000 populasinya mencapai 7.317 jiwa. Masyarakat Adat Baduy juga membagi perkampungan menjadi 18 kampung, diantaranya;

1.   Kaduketug
2.   Kadujangkung
3.   Cihulu
4.   Karahkal
5.   Gajeboh
6.   Cigula
7.   Cicakal Muara
8.   Cipaler
9.   Cipiit
10.  Ciwaringin
11.  Sorokokod
12.  Panyerangan
13.  Kaduketer
14.  Cisaban
15.  Cikulingseng
16.  Batubeulah
17.  Cisadane
18.  Pamowean

Teguh Dalam Pikukuh

           Kehidupan orang-orang Baduy senantiasa dibentengi peraturan adat yang kuat, peraturan-peraturan tersebut berasal dari karuhun atau leluhur yang disebut pikukuh. Pikukuh bukan berupa tulisan melainkan ujaran lisan secara turun-temurun. Peraturan tadi dibuat guna melindungi mereka dari gempuran arus modernisasi yang mampu membuat silau mata dengan hal-hal yang serba canggih dan praktis.

           Masyarakat Adat Baduy tidak diperkenankan menikmati segala sesuatu hasil peradaban modern oleh ketua adat tertinggi atau biasa disebut puun karena khawatir akan merubah tatanan dan nilai-nilai yang sudah ditetapkan oleh leluhur. Hidup di bawah gemerlap modernisasi bagi mereka justru malah menambah kecemasan akan pudarnya eksistensi dan rasa setia terhadap pegangan hidup yang telah mereka jalani selama beberapa generasi, itu sebabnya mereka menolak program pembangunan jalan dan listrik masuk desa yang dulu pernah diusulkan pemerintah. Masyarakat Adat Baduy sadar betul betapa ringkihnya mereka bila terperangkap dalam pola hidup yang modern. Sekali mereka terperosok di dalamnya, maka akan ada konsekuensi mengerikan yang berimbas pada musnahnya jati diri dan kehidupan sosial budaya mereka. Sekali lagi, Pikukuh bukanlah suatu hal yang membebani mereka, lebih dari itu masyarakat Baduy merasa bertanggungjawab untuk tetap menjaga apa yang telah diamanatkan oleh leluhurnya.

Beda Di Dalam Dan Di Luar

           Umumnya, warga Baduy Luar lebih bersifat toleran kepada hal-hal yang berasal dari luar, mungkin itu sebabnya mereka mencirikan dirinya dengan ikat kepala berwarna hitam biru bermotif batik sebagai tanda bahwa mereka telah terkontaminasi budaya luar. Orang Baduy Luar tidak tabu mengenakan alas kaki, kaus, telepon genggam, Bahkan belakangan ini, penerangan pada rumah-rumah di perkampungan Baduy Luar sudah menggunakan lampu sollar cell yang memanfaatkan energi sinar matahari. Ini menandakan, secara perlahan pengaruh luar mulai mengikis tembok pikukuh yang sekian lama berdiri kokoh mengiringi dinamika jaman. Meski demikian, mereka tetap tegas memberi batasan terhadap keterbukaan demi menjaga identitas mereka yang orang Baduy.

           Lain halnya dengan warga Baduy Dalam yang lebih tertutup dan memang sengaja menutup diri dari pengaruh dunia luar. Mereka adalah benteng terakhir dari sebuah tradisi dan kebudayaan, itu sebabnya mereka hidup di bawah peraturan adat yang jauh lebih ketat ketimbang Baduy Luar. Lelaki dari Baduy Dalam biasa mengenakan ikat kepala berwarna putih dan pakaian serba putih sebagai simbol belum tercemar oleh pernak-pernik modernisasi. Di dalam kehidupan sehari-harinya, mereka rela tidak mengenakan alas kaki setiap melakukan perjalanan jauh maupun dekat. Selain itu, mereka juga pantang menggunakan sabun, pasta gigi dan sampo ketika mandi di sungai, bahkan tidak diperbolehkan merokok karena dapat mencemari udara. Semuanya mereka lakukan demi melestarikan alam dan menjaga tradisi para leluhur.

Seorang warga Baduy Dalam yang tengah mengantarkan pengunjung menuju Ciboleger.

Bukan Sekadar Berwisata

           Berkunjung ke Baduy memang bukan lagi mempersoalkan masalah selera ataupun gaya hidup, lebih dari itu seharusnya ada banyak pengalaman dan pengetahuan yang bisa kita peroleh baik secara fisik maupun batin. Mendatangi suatu tempat, sudah pasti kita dituntut untuk mematuhi semua tata tertib dan peraturan yang berlaku di tempat tersebut, termasuk di Baduy. Ada banyak peraturan adat yang harus kita hormati selama berada di Baduy. Dengan menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang mereka tabukan, niscaya kita telah mengimplementasikan rasa saling menghargai meski dalam skala yang terbilang sangat kecil.

Perjalanan ke Baduy sudah sepatutnya menjadi ajang untuk belajar dan mempelajari kearifan lokal juga kesederhanaan masyarakat setempat dalam merajut keharmonisan dengan alam. Justru sangat disayangkan bila kunjungan ke tempat itu hanya digunakan untuk berselfie ria atau untuk mengumbar candaan dan obrolan tidak karuan. Karena Baduy tidak cuma menarik dari sisi pariwisatanya saja, lebih dari itu kita juga bisa mengasah moral dan sisi spiritual kita dengan menjalin sikap saling memahami perbedaan antar sesama serta mencoba menyelaraskan jiwa dan pikiran dalam dekapan alam.

Pecinta Alam Yang Sesungguhnya

           Dari generasi ke generasi, masyarakat Baduy tetap teguh berpedoman pada pikukuh atau peraturan adat. Salah satu falsafah hidup orang Baduy ada pada Amanat Buyut, Buyut disini memiliki pengertian sebagai pantangan, segala hal yang ditabukan atau hal-hal yang melanggar ketentuan adat. Berikut adalah sedikit petikan dari Amanat Buyut;

Gunung teu meunang dilebur (gunung tidak boleh dihancur)
Lebak teu meunang diruksak (lembah tidak boleh dirusak)
Larangan teu meunang ditempak (larangan tidak boleh dilanggar)
Buyut teu meunang dirobah (larangan tidak boleh dirubah)
Lojor teu meunang dipotong (panjang tidak boleh dipotong)
Pondok teu meunang disambung (pendek tidak boleh disambung)

Potongan Amanat Buyut di atas tadi bukan untuk dibaca atau dihafal oleh orang-orang Baduy melainkan langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menerapkannya dalam ucapan dan perbuatan, juga sebagai bentuk interaksi dengan alam dan Tuhannya. Amanat Buyut ada karena kesadaran masyarakat Baduy yang beranggapan kalau setiap perlakuan manusia terhadap alam dan lingkungan sekitarnya sangat menentukan keberlangsungan diri, keturunan dan kelompoknya.

           Alam adalah sahabat bagi orang-orang Baduy sehingga tindakan yang bersifat merusak, mencemari atau bahkan mengganggu ekosistem suatu lingkungan sangat mereka haramkan. Mereka tidak perlu mengklaim diri sebagai anggota pecinta alam karena dalam kesehariannya mereka justru lebih menyatu dengan sang alam. Kesadaran melestarikan lingkungan tersebut tumbuh dalam perbuatan dan tanpa dibumbui teori atau wacana belaka. Jauh sebelum istilah Go Green menjadi tren di kalangan komunitas penggiat alam, masyarakat Baduy sudah terlebih dahulu buka mata dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, yang tulus tanpa minta dipublikasi.


JELAJAK GAMBAR :


Jalanan dari terminal Ciboleger menuju gapura selamat datang.
    
Sesaat sebelum menuju Gajeboh.
          
Linda dan gapura selamat datang yang jadi batas antara permukiman Baduy Luar dan warga non Baduy.
      
Meninggalkan Ciboleger, kita akan disambut oleh rindangnya pepohonan.
                    
Gunung Baduy yang sebagian besar permukaan tanahnya ditanami padi jenis gogo.


Memasuki kawasan yang ditanami pohon Jengjeng.

Tidak semua warga Baduy Luar memiliki ladang di dalam area tanah ulayat, sebagian dari mereka ada yang memiliki ladang di luar wilayah Baduy seperti di Cisimeut.

Suasana di kampung Balimbing.

Menuju Gajeboh, kita akan melalui jembatan bambu berukuran mini seperti ini sebanyak 2 kali.

Ini adalah jembatan bambu terakhir yang berada di kampung Marengo.

Istirahat sesaat sambil menikmati gemericik air yang mengalir di bawah jembatan bambu.

Seorang warga Gajeboh tengah menuju Ciboleger dengan membawa hasil panennya.

Suasana kampung Gajeboh di siang hari.

Saya dan Mamat, di beranda rumah pak Ijom.

Berteduh dari terik.

Peralatan tenun, alat yang memberi pendapatan kepada warga Baduy Luar dari generasi ke generasi.

Madu hutan khas Baduy, menjadi oleh-oleh yang diminati para wisatawan.

Gula aren khas Baduy, dibawa langsung dari tempat pengolahannya di tengah hutan.

Cukup sebatang kayu dan sedikit imajinasi untuk membuat seorang bocah Baduy betah bermain sendiri tanpa harus turun ke Ciboleger demi menyaksikan tayangan televisi.

Inilah berkah dari perayaan Kawalu, suasana di Gajeboh menjadi hening dan tak banyak wisatawan yang berkunjung.

Saya dan Linda.

Masih dalam tema mengeksplorasi spot foto.

Jembatan berkonstruksi bambu yang jadi alat untuk menyebrangi sungai Ciujung.

Perkampungan Gajeboh dilihat dari seberang sungai Ciujung.

Aliran sungai Ciujung yang saat itu keruh akibat meningkatnya debit air di bagian hulu sungai.

Leuit khas Baduy memang cocok untuk dijadikan background pemotretan.

Menjelang senja, kaum ibu segera memasukkan padi-padi yang telah dijemur ke dalam karung.

Kucing dan anjing menjadi binatang berkaki empat yang boleh di pelihara oleh masyarakat Baduy, sedangkan kambing dan kerbau sangat dilarang untuk dipelihara.

Seekor kucing kampung tengah terlelap sambil berjemur.

Seperti inilah rupa atau tampilan dari rumah panggung khas Baduy Luar.

Seorang wanita lanjut usia yang baru saja kembali dari hutan dengan membawa kayu bakar.

Salah satu sudut perkampungan Gajeboh yang diambil tidak begitu jauh dari jembatan bambu.

Para lansia tengah menjaga padi yang dijemur dari gangguan ayam.

Seorang turis asal Rusia yang baru saja tiba di Gajeboh.

Foto barng menantu pak Ijom beberapa saat sebelum kembali ke Jakarta.

Tiba di Ciboleger: waktunya kembali ke rumah.