Sabtu, 25 Juli 2015

SUATU WAKTU DI KAWAH RATU


           “Ceklek...!” kamera SLR yang ditopang tripod itu menuntaskan tugasnya dalam mengabadikan moment sesaat sebelum tim “Smile Trip” ini beranjak menuju objek wisata Kawah Ratu, Gunung Salak, Bogor. Dengan mengandalkan landscape gunung Pongkor serta perbukitan yang berjejer indah di sebelah barat kota Bogor, membuat setiap orang yang melewati desa Kebon Kopi, kecamatan Pamijahan, akan tergoda hatinya untuk berpose dan mengabadikannya, tidak terkecuali kami. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua saya selaku tuan rumah dimana kami transit untuk bermalam, tim ini pun segera melangkah ke arah bumi perkemahan Gunung Bunder yang letaknya hanya sekitar 500 meter saja dari rumah peristirahatan tersebut.

Tim "Smile Trip" foto bersama sesaat sebelum menuju bumi perkemahan Gunung Bunder. Dari kiri ke kanan : Syaiful, ngkong Usman, Aldi, Bila, Vita, Alin, Claudia, Dwi, Nevi, Devi, Neva.
           Hari masih pagi manakala kami tiba di Bedeng atau sebutan lain untuk bumi perkemahan Gunung Bunder. Sebagian besar warung terlihat tutup, hanya satu dua saja yang tetap buka walau saat itu bukan weekend. Sebenarnya 500 meter bukanlah jarak yang jauh untuk ditempuh, namun dikarenakan kondisi jalan yang terus menanjak maka cukuplah kiranya jarak seperti itu membuat pakaian kami basah oleh keringat. Ngkong Usman yang dinobatkan sebagai team guide sekaligus anggota tertua, memutuskan beristirahat didepan warung ngkong Rahmat Kite, salah satu warga yang lama berdomisili di tempat tersebut. Warung nkong Kite memang tutup, namun kami merasa cukup beristirahat di depan warungnya saja. Selain kepada Devi, Neva dan Nevi, saya masih merasa sedikit kaku terhadap empat orang lainnya, yaitu : Bila, Dwi, Alin, Claudia dan Vita. Maklum, baru pagi itu saya mengenal keempatnya. Mata jelalatan milik Syaiful a.k.a Ipul, selalu tertuju pada Dwi Shaniah yang hobi berdiam diri.

Beristirahat sejenak didepan warung ngkong Kite, di bumi perkemahan Gunung Bunder.
           Peluh di baju sudah beranjak kering, kami pun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan berbatu yang dikiri kanannya dihiasi batang-batang Pinus yang kekar menjulang. Suasana Bedeng pagi itu masih sepi dari gelak tawa manusia, namun sesekali tetap terdengar deru bising knalpot kendaraan yang lalu lalang di jalan beraspal dibawah sana. Jalan yang kami lalui ini merupakan jalan pintas yang nantinya akan melalui tangga seribu, jalur teringkas untuk menghemat waktu ketimbang menyusuri jalan aspal yang berliku. Setibanya di tempat yang cukup lapang dan datar, kami memutuskan untuk kembali beristirahat sejenak. Tidak jauh dari tempat kami beristirahat, terlihat oleh saya kotoran babi hutan yang berserakan di jalur dimana nanti kami akan melaluinya. Beruntung itu bukan kotoran macan, pikir saya. Meski demikian, pandangan saya dan ngkong Usman tetap awas terhadap keadaan disekeliling kami sebab tempat itu sudah berada jauh dari keramaian.

           “Yuk ah, kita cabs” ujar ngkong Usman. Kami pun segera pergi dari tempat itu.
Melanjutkan perjalanan melalui jalan berbatu dengan pohon-pohon pinus yang tumbuh dikiri dan kanannya, membuat suasana jadi terasa teduh.
           Sekitar hampir pukul sebelas siang, rombongan ini tiba juga di Pasir Reungit, tempat dimana kami harus melakukan registrasi di pos penjagaan yang dikelola oleh pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Salah seorang penjaga pos tersebut menyarankan kepada kami agar sebaiknya kami membawa pemandu atau setidaknya ada salah seorang dari tim ini yang pernah berkunjung ke Kawah Ratu. Setelah saya berikan penjelasan bahwa saya, Redi dan ngkong Usman sudah sering ke tempat yang akan kami tuju, pegawai pos penjagaan itu pun akhirnya mengerti dan mempersilahkan kami untuk melanjutkan perjalanan. Perlahan rombongan “Smile Trip” mulai meninggalkan pos penjagaan, memasuki belantara gunung Salak yang senyap dibalik pekatnya rerimbunan.

Track lurus dan datar akan sering kita jumpai di jalur menuju Kawah Ratu, itu sebabnya akses menuju kesana bisa terbilang mudah untuk khalayak umum.
                              *****

           Nevi dan Devi terlihat sangat intim, mereka bercanda sedemikian akrabnya, sangat berbeda dengan kembarannya, Neva. Neva merupakan sosok yang tidak banyak bicara namun sangat gesit dalam meniti jejak di sepanjang jalur. Saat itu, Neva mungkin sedang ingin mempertontonkan kemampuan berjalan cepatnya kepada teman-temannya, namun ia juga akan dengan senang hati menghentikan langkahnya manakala berada di spot yang menurutnya cukup bernuansa mistis dan membuat bulu kuduknya meremang.

           Sementara itu, ngkong Usman, Redi, dan Ipul harus berurusan dengan empat perempuan lainnya yang ternyata belum terbiasa dengan kegiatan mendaki seperti ini. Keempat orang itu adalah, Claudia, Vita, Dwi, dan Alin. Dengan sabar ngkong Usman dan Redi mendampingi mereka dan tentu saja itu membuatnya jadi semakin tertinggal jauh dibelakang saya, Neva, Nevi, Devi dan Bila. Rasanya terlalu egois bila harus terburu-buru untuk jadi bagian yang terdepan, toh kami tidak sedang berlomba mencari sesuatu. Maka, saya meminta kepada Neva dan yang lainnya untuk menunggu ngkong Usman, Redi, Ipul, Claudia, Vita, Alin dan Dwi, di sebuah tempat yang agak terbuka dan berbidang datar. Tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu pun datang menyusul. Redi, Ipul dan Devi segera mengisi persediaan air minum mereka di sungai kecil yang berair sangat jernih, yang berada tidak jauh dari tempat kami beristirahat.

Beristirahat di shelter yang memiliki tanah cukup datar dan luas sebelum menuju ke kali terakhir.
           Perjalanan kami lanjutkan lagi hingga akhirnya sayup-sayup dapat saya dengar gemericik air didepan sana. Benar saja, tak lama kemudian kami pun telah tiba di jalur yang dipenuhi air dengan ketinggian dari mulai semata kaki hingga nyaris selutut. Airnya sangat jernih dan terasa begitu menyegarkan, meski demikian jalur ini bisa menjadi sangat berbahaya dan mematikan ketika musim hujan datang. Menurut penuturan dari ngkong Usman, pernah ada orang yang tewas karena terseret derasnya arus air di jalur ini. Memang bila sedang memasuki musim hujan, airnya bisa mencapai ketinggian sepinggang orang dewasa, beruntung hari sedang cerah meski kami melakukan trip ini di pertengahan bulan Desember. Selain saya, Redi, ngkong Usman dan Ipul, kedelapan peserta lainnya yang bergender perempuan harus merelakan sepatunya kuyup direndam dinginnya air di jalur tersebut. Saya sudah mengetahui medan menuju Kawah Ratu yang seperti itu sehingga saya memutuskan untuk tidak menggunakan sepatu, cukup sandal gunung saja.
Hampir disepanjang jalan menuju Kawah Mati kita akan dimanjakan oleh gemericik air sungai yang jernih dan menyegarkan.
           Rupa-rupa bebatuan yang terdampar didasar aliran jalur air itu bisa kita lihat dengan jelas, bahkan Redi sangat antusias sekali memilah-milah batu yang mungkin bisa ia bawa pulang ke rumah lalu ia bentuk menjadi sebuah batu cincin. Selidik punya selidik, rupanya euforia batu akik itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa ia mau turut serta didalam trip ini. Sayangnya mencari batu yang dapat dijadikan perhiasan tidaklah semudah yang ia bayangkan. Akhirnya dari sekian banyak batu yang telah ia sortir, tak ada satupun batu yang memenuhi kriteria sebagai batu akik. Redi pun kembali melangkah dengan tetap menelisik setiap bongkahan yang dianggapnya menarik.

Menikmati sensasi kesegaran air sungai yang bening dan segar.
                              *****

           Ngkong Usman membuka daypack dan mengeluarkan kompor Trangia miliknya. Ia segera memasak air untuk membuat mie instant, kopi dan teh manis. Inilah spot dimana kami akan mengisi perut dengan menu seadanya, orang-orang biasa menyebutnya dengan nama kali terakhir. Disebut sebagai kali terakhir mungkin lebih bermaksud kepada aliran sungai terakhir yang airnya masih bisa digunakan untuk minum atau untuk keperluan memasak, sebab selepas dari tempat itu sudah tidak ditemukan lagi sungai yang airnya jernih dan bisa dikonsumsi.

Tengah mempersiapkan cooking ware untuk menyediakan makan siang.
           Di tempat itu pula kami bertemu dengan serombongan anak SMP yang mengenakan pakaian Pramuka dan pakaian olahraga, sontak suasana kali terakhir yang semula hening kini dipenuhi oleh derai tawa mereka. Saya pun bertanya kepada ketua rombongannya;

           “Dari kawah, mang?”

           “Iya, kang” jawabnya singkat.

          “Rame disana?” tanyaku lagi.

           “Lumayan, tadi sih ada yang ngelintas dari arah Cidahu” timpalnya lagi. Orang itu kemudian berpamit diri setelah saya berterimakasih atas informasinya. Saya berharap sesampainya nanti di Kawah Ratu, keadaannya tidak ramai oleh pengunjung mengingat saat itu sudah memasuki masa-masa liburan sekolah.

           Redi dan Ipul terlihat sedang sibuk membantu ngkong Usman memasak air dan menyediakan teh manis hangat untuk semua peserta perempuan. Alin, Vita, Dwi dan Claudia sepertinya mendapat prioritas untuk pertama kali mengecap hangatnya teh tubruk buatan ngkong Usman, paras mereka sudah terlihat kepayahan padahal baru melakukan setengah perjalanan. Setelah kopi dan teh manis tersaji, kini giliran mie instant yang harus segera dihidangkan sebab saat itu sudah hampir pukul satu siang. Saat hidangan matang dan siap dimakan, Devi segera berinisiatif untuk mengambil alih nesting berisi mie yang masih mengepulkan asap itu untuk kemudian menyuapi Neva dan Nevi. Sementara kedelapan anak perempuan tadi makan, saya dan Ipul bergantian memasak mie, Redi dan ngkong Usman mengambil nafas dulu dengan menikmati segelas kopi panas sambil menghisap kretek. Dwi yang sudah makan dan minum terlihat masih saja diam, alhasil beberapa kali Devi dan ngkong Usman mengingatkannya agar tidak melamun apalagi sampai kosong pikiran. Alin, Vita dan Claudia tampak sudah kembali segar wajahnya, mereka sudah kembali bisa melontarkan ejekan-ejekan kepada sesama anggota gengnya. Nabila yang saat itu saya kenal masih terkesan pemalu, meski demikian ia lah orang yang suatu saat akan mengocok perut saya pada trip selanjutnya ke puncak Salak I. Sementara Neva tetap asyik sendiri melihat beberapa rekaman video yang ada pada kamera milik Devi.

    Suasana makan siang di kali terakhir.


           Sangat berkesan rasanya menikmati makan siang di alam terbuka seperti itu, diantara gemericik ria air sungai yang menjajakan kejernihan dan kesegaran, ditengah rimba liar yang mengawal kami dalam jubah rerimbunan, dan diantara kicau burung-burung yang masih bisa bebas bermain di dahan-dahan, walaupun menu saat itu hanyalah sepiring mie instant dan segelas teh manis hangat saja. Untungnya ini hanya perjalanan singkat ke Kawah Ratu sehingga kami tidak perlu membawa banyak perlengkapan.

Belum tentu bisa sebulan sekali merasakan dan menikmati suasana menenangkan seperti ini.
           Sambil menunggu Ipul dan ngkong Usman menghabiskan batang kreteknya, terkecuali Devi dan Neva, geng cewek yang lain mengisi waktunya dengan bermain air. Redi lebih memilih untuk mengeksplorasi aliran sungai terakhir untuk mencari (lagi) batu-batu yang dianggapnya bisa dijadikan batu cincin. Saya cukup menikmati suasana saat itu di sebuah batu besar. Dari tempat saya duduk bisa terlihat sosok gunung Sumbul yang mencuat dari balik kabut, penampakannya timbul tenggelam seiring bergeraknya kabut yang terbawa hembusan angin. Dari jauh juga bisa terdengar suara owa gunung atau sejenis primata lainnya yang loncat dari satu dahan ke dahan yang lain. Lalu kembali saya menatap ke arah geng cewek tadi, perempuan-perempuan kota itu membiarkan tubuh dan pakaian mereka basah dijamah oleh dinginnya air pegunungan, rasa lelah mereka terbayarkan sudah oleh percik-percik kejernihan yang menghapus kepenatan, kejenuhan mereka terhapus oleh nuansa hijau belantara yang masih suci dari asap polusi.

Bermain air, mereka sadar di kota tidak dapat mereka temukan hal menyenangkan seperti ini.
                              *****

           “Selamat datang di Kawah Mati” ucapku manakala rombongan terakhir yang dipandu oleh ngkong Usman tiba. Beberapa pasang mata terbelalak tanpa berkedip menyaksikan keeksotisan alam yang tersaji di tempat tersebut.

Kawah Mati, salah satu spot menarik sebelum mencapai situ Hyang dan Kawah Ratu.
           “Ini namanya Kawah Mati” kata ngkong Usman mencoba menjelaskan pada Nevi. Ia juga memberikan pengertian bahwa Kawah Mati bukan Kawah ratu, karena Kawah Mati merupakan area kawah gunung Salak yang sudah lama tidak aktif lagi. Sebelumnya, beberapa peserta ada yang mengira kalau Kawah Mati adalah destinasi wisata yang akan kami singgahi. Tidak jauh dari Kawah Mati terdapat aliran sungai yang airnya berwarna putih keruh akibat tercemar belerang kawah. Ribuan dahan Cantigi yang meranggas gersang seolah menjadi pemanis di tempat itu, sementara bukit-bukit kapur nan kokoh membentengi area sekitar Kawah Mati dengan segala kebisuannya. Kami kembali melanjutkan perjalanan untuk menuju ke titik berikut, yaitu: situ Hyang.
Ngkong Usman sedang memberikan penjelasan kepada Nevi perihal asal-usul dinamakan Kawah Mati.
           Tidak mudah jalur yang harus kami lalui sebelum mencapai turunan curam dimana kami bisa memandang situ Hyang dari kejauhan. Lumpur yang dihasilkan oleh tanah berkapur serta endapan sulfur yang bercampur dengan genangan air hujan ditempat tersebut semakin mempersulit kami dalam melangkah. Tidak jarang ada saja peserta yang terjebak didalam kubangan lumpur berwarna putih itu akibat salah menjejak. Track di tempat ini betul-betul menjadi penghambat meskipun pada akhirnya kami bisa mengatasinya. Dari semua peserta wanita yang ada disitu, hanya Neva yang tetap cool menjelajak tanpa mengumbar sepatah kata apapun.

Neva yang selalu asyik dengan dunianya sendiri.
           Sebelum menuruni turunan yang cukup curam dan licin, saya menyempatkan diri untuk memandang sosok situ Hyang dari atas sini. Nevi, Neva, Devi dan Bila juga turut serta melihatnya. Tampak ada kabut tipis yang mengambang tenang diatas permukaan airnya yang berwarna coklat agak kehijauan, menjadikan situ Hyang kian misterius saja dibalik pesona alam Kawah Mati. Setiap berkunjung ke Kawah Ratu, saya selalu tertarik menyaksikan situ Hyang dari spot ini. Danau sunyi itu sepertinya tercipta akibat erupsi gunung Salak yang terjadi sekitar tahun 1800-an, yang getarannya mampu meluluhlantakkan istana Bogor yang kala itu masih bertingkat tiga.

Berpose di tempat yang tidak jauh dari situ Hyang.
           Aroma sulfur yang terhirup kian tajam menyengat, sayup-sayup bisa terdengar suara gas panas yang mendengus keras dari dalam perut bumi. Tak lama kemudian, kami pun tiba di tempat yang kami tuju: Kawah Ratu! Decak kagum beberapa peserta wanita atas keelokan Kawah Ratu mulai mengisi keheningan di siang itu, tak ada lagi keluh kesah akibat gelisah memikirkan kapan sampainya atau bagaimana nanti pulangnya. Siang itu tidak kami temukan pengunjung lain yang berada di Kawah Ratu sehingga kami bisa bebas memilih tempat untuk mengambil foto.

Sesampainya di Kawah Ratu.
           Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menikmati keindahan Kawah Ratu, sementara hari mulai menjelang sore. Khawatir kadar gas beracun yang dihasilkan oleh uap sulfur semakin meningkat, kami pun akhirnya bergegas pulang. Saya dan ngkong Usman enggan mengambil resiko bila harus berada di tempat itu terlalu lama. Kawah Ratu sudah sering meminta korban jiwa karena kasus menghirup gas beracun. Terakhir yang saya temui adalah kasus meninggalnya enam anggota Pramuka asal Tangerang, Banten, pada bulan Juli 2007 silam. Menurut penuturan pihak yang mengevakuasi jenazah korban, beberapa orang dari rombongan itu sesampainya di Kawah Ratu langsung menghampiri tepian sungai Cikuluwung yang terlihat menarik karena berwarna putih namun agak jernih. Aliran sungai Cikuluwung merupakan aliran air yang berasal dari kawah Cikuluwung Putri, salah satu kawah aktif di Kawah Ratu selain kawah Hirup. Sesampainya ditepi sungai, mereka berjongkok untuk membasuh lengan dan wajah mereka. Karena terlalu lama jongkok, besar kemungkinan mereka menghirup gas beracun sehingga mereka tidak sadarkan diri dan tubuhnya ambruk ke aliran sungai yang airnya memiliki suhu cukup panas tersebut. Melihat hal itu, sang komandan regu dengan spontan berlari ke tempat kejadian untuk memberikan pertolongan kepada anak buahnya, sayangnya sang komandan pun melupakan peraturan untuk tidak terlalu lama berjongkok (karena gas beracun mengambang di udara hanya sekitar setengah meter dari permukaan tanah yang artinya sejajar dengan lubang hidung orang dewasa). Komandan malang itu pun mengalami hal yang sama dengan anak buahnya, mereka meninggal dunia ditepian aliran sungai Cikuluwung yang terus menerus mengepulkan asap putihnya ke udara. Ketika tim evakuasi yang sempat saya temui di puncak Salak I itu mengangkat jenazah para korban dari aliran sungai, ada sebagian korban yang kulit wajah dan tangannya terlepas dari dagingnya, itu dikarenakan sudah terlalu lama tubuh mereka berada didalam air yang bersuhu panas.

Foto bersama sebelum kembali turun ke Pasir Reungit.
                                *****

           Saya, Devi dan Nevi menuruni bebatuan yang tajam dan cukup terjal. Devi bahkan sempat terjatuh dan tubuhnya menimpa kamera yang ia bawa, beruntung kameranya tak mengalami kerusakan. Saat itu kami bertiga hendak menuju situ Hyang, sementara peserta yang lain enggan turut serta dan lebih memilih untuk menunggu kami diatas sana. Jalur menuju situ Hyang bisa dibilang cukup merepotkan karena bagian yang agak landainya terputus oleh ranting kering, dahan yang tumbang serta semak belukar yang memiliki duri tajam, sehingga kami mau tidak mau harus menuruni bebatuan tadi dengan hati-hati. Sesampainya dibawah, kami pun mengikuti aliran air bercampur sulfur yang nantinya akan membawa kami menuju tepian situ Hyang.

Seperti inilah jalur menuju situ Hyang, sebelumnya kami harus menuruni turunan terjal berbatu terlebih dahulu untuk mencapai spot ini.
           Suasana senyap dan terkesan amat mencekam mulai terasa di tempat itu, sebab tak ada lagi suara kicau burung ataupun pekik owa gunung. Kabut tipis yang mengambang di permukaan air danau yang saya lihat dari kejauhan beberapa saat sebelum tiba di Kawah Ratu pun sudah tidak tampak. Sekilas saya jadi teringat cerita dari beberapa orang yang sudah lama menetap di kaki gunung Salak kalau situ Hyang merupakan pintu gerbang untuk memasuki alam tengah atau Buana Panca Tengah, yaitu alam yang berada diantara alam manusia dengan alam gaib. Selain itu, konon ditempat itu juga masih sering ditemukan macan tutul atau macan kumbang yang sedang mengisi kerongkongannya dengan air telaga. Bukan tidak mungkin kalau macan sering datang ke tempat ini untuk minum, menurut pengamatan saya situ Hyang merupakan salah satu tempat yang tidak tersentuh oleh orang-orang yang berkunjung ke Kawah Ratu selain karena aksesnya yang sulit, juga karena wujudnya yang terlihat tidak begitu menarik perhatian bila dilihat dari kejauhan. Pantas saja atmosfir di tepian situ Hyang selalu terasa hening mencekam meski tidak tampak sosok makhluk apapun pada saat itu. Dan akhirnya, rasa penasaran saya terhadap tempat ini terobati juga meski dengan perasaan yang waswas, khawatir bentrok dengan macan yang sedang minum air di tepian telaga ataupun khawatir tidak bisa kembali ke rumah karena terjebak di alam tengah. Setelah puas mengabadikan gambar di situ Hyang, saya, Devi dan Nevi akhirnya segera kembali menyusul ngkong Usman beserta yang lainnya. Diatas sana, langit sudah kian meredup, pertanda kami harus berpacu dengan sang waktu agar tidak kemalaman di jalur pendakian. Perjalanan singkat ini pun kami akhiri...


Saya dan Nevi di tepian situ Hyang.





PICTURES OF THE MOMENT :

Saya dan Redi.
Awal perjalanan yang langsung dimulai dengan jalanan menanjak.
Di suatu tempat yang sudah berdekatan dengan tangga seribu.
Menyusuri lekuk-lekuk jalanan tanah dan berbatu.
Sepatu dan celana basah? Tidak masalah...!
Tak pernah puas bermain-main dengan sejuknya air pegunungan.
Redi.
Menikmati rokok sambil menanti yang lain selesai beristirahat.
Devi.
Dwi.
Neva.
Aldi.
Nevi.
Ngkong Usman.
Nabila.
Vita.
Claudia.
Alin.
Syaiful.
Dampak terlalu intim dengan Redi, Syaiful pun jadi ikut-ikutan terkena demam batu.
Nabila, Devi dan Nevi.
Foto menjelang pulang.
Foto bersama diantara asap kawah yang mengambang tenang.
All together now...!
Nevi dan Alin tampak asyik mencari bongkahan belerang untuk dijadikan sebagai masker.
Syaiful dan Redi berpose dengan mengenakan masker belerang selepas dari Kawah Ratu.
Setelah melalui jalur yang cukup menyulitkan, akhirnya saya bisa mengabadikan situ Hyang dari jarak dekat.