Minggu, 15 Mei 2016

GUNUNG DAN REALITA PENDAKI MASA KINI

           Sekarang ini, kata pendaki sudah seperti hal yang biasa didengar publik dan mudah dijumpai orang-orangnya. Di stasiun Senen, Jakarta Pusat, hampir setiap hari bisa kita temui sekelompok remaja maupun orang dewasa yang akan pergi mendaki. Peralatan pendakian yang kini sangat mudah didapat, memungkinkan bagi siapa saja untuk memulai petualangannya menjejak ketinggian dan berbaur dengan dinginnya udara gunung. Beberapa toko outdoor pun kian menjamur seiring dengan merebaknya virus mendaki yang sempat menjadi tren beberapa tahun belakangan ini. Harga barang yang mahal bukanlah penghalang bagi segelintir orang yang sudah kadung terkena candu mendaki untuk mendapatkan apa yang mereka kehendaki.


Foto        : Agung
Lokasi     : Simpang Apuy, gunung Ciremai, Kuningan – Jawa Barat
           Berbicara tentang pendaki, rasanya saya ingin berbagi sedikit opini dari sudut pandang saya sebagai seorang amatir yang juga hobi naik gunung. Perkenalan saya dengan orang-orang yang gemar hiking dimulai dipertengahan tahun 1996, kala usia saya baru beranjak 12 tahun. Semuanya berawal dari rasa ingin tahu yang akhirnya membuat saya tertarik untuk mendaki.
                              
Foto        : Aldianovsky
Model     : Deden Hamdani
Lokasi    : Padang rumput gunung Bromo, Probolinggo – Jawa Timur


           Mata ini masih belum mau terpejam meski sudah larut malam. Bukan karena gerahnya udara didalam kamar yang membuat sekujur tubuh bermandikan peluh, namun dikarenakan pandanganku yang tak henti-hentinya menyelisik beberapa sudut kamar dimana terdapat perlengkapan pendakian milik paman saya dan teman-temannya. Kerapkali saya mengutak-atik perlengkapan hiking milik mereka yang memang sengaja disimpan disitu dan berharap suatu saat nanti saya juga bisa memilikinya. Sadar belum memiliki penghasilan, maka saya cukup berbesar hati dengan melihat dan menyentuh hiking gear yang ada didepan mata saja. Ketika itu saya baru duduk di kelas satu SMP. Ya, dua puluh tahun yang lalu.


Foto        : Aldianovsky
Model    : Ready Krueger
Lokasi    : Cemoro Kandang, gunung Semeru, Lumajang – Jawa Timur
           Keinginan untuk mendaki mulai ada ketika akrab dengan teman-teman paman saya yang sebagian besar dari mereka merupakan anggota pencinta alam. Mereka sering menceritakan pengalamannya ketika sedang mendaki gunung. Foto-foto dan karya tulis selepas mereka turun gunung pun kerapkali diperlihatkan kepada saya. Tak ayal saya pun jadi terinfeksi oleh racun yang ditularkan mereka melalui artikel dan hasil jepretan foto-fotonya. Virus sudah terlanjur menyebar kedalam otak dan hati saya, sehingga timbul hasrat untuk memulai pendakian meski ketika itu saya belum memiliki perlengkapannya sama sekali.


Foto        : Aldianovsky
Model    : Calon anggota PALAPSA angkatan “Kabut Lembah”
Lokasi    : Kawah Ratu, gunung Salak, Bogor – Jawa Barat
           Saya masih ingat betul saat itu dimana aktivitas pendakian belum menjamur seperti sekarang ini. Di kalangan anak muda, jangankan mendaki gunung, melihat sekelompok pendaki yang tengah membawa carrier di punggungnya pun mereka masih menganggap itu sebagai hal yang aneh. Saat itu, belum terngiang merk peralatan outdoor seperti Deuter, Osprey, Marmot, Jack Wolfskin ataupun Arcteryx. Buat mereka yang kala itu sudah memiliki carrier dengan merk The North Face ataupun Karrimor, sudah sepatutnya bersyukur karena harganya yang masih setinggi langit. Di awal dan pertengahan era 90an, adalah era dimana beberapa produk lokal seperti Alpina dan Jayagiri mengalami masa-masa jayanya. Sekarang kedua produk tersebut sudah meredup sinarnya, tersisihkan brand luar negeri yang mampu membuat silau mata pendaki remaja meski dibandrol dengan harga yang membuat kita geleng-geleng kepala.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Ahmad Randi
Lokasi    : Pos VIII, gunung Slamet, Purbalingga – Jawa Tengah
           Ada rasa takjub setiap saya melihat pendaki yang bersiap diri melangkahkan kaki ke puncak gunung dengan atribut kependakiannya. Rata-rata pendaki di era 90an berambut gondrong, menggunakan ikat kepala atau sejenis bandana, mengenakan gelang yang terbuat dari tali prusik, memakai seragam dan celana lapangan juga sepatu boot. Itu baru dari pakaiannya saja, belum termasuk perlengkapan lain yang mereka jejalkan kedalam carriernya. Entahlah, setiap melihat mereka tengah memanggul carrier yang kadang terlihat menjulang seperti batu menhir, selalu saja ada rasa takjub bahkan cenderung ingin melakukan hal yang sama seperti mereka.


Foto      : Agung
Model    : Aldianovsky
Lokasi    : Antara Goa Walet & puncak Ciremai, gunung Ciremai, Kuningan – Jawa Barat
           Di pertengahan tahun 2000, akhirnya saya baru bisa mewujudkan hasrat untuk mendaki. Dengan menikmati perjalanan dan keindahan alam, saya pun mulai merasa jatuh hati terhadap kegiatan yang satu ini. Untuk selanjutnya, saya tidak segan-segan mengumpulkan uang demi bisa melengkapi peralatan mendaki. Tidak perlu yang bermerk luar, cukup produk lokal yang murah meriah saja. Dilain waktu, kesunyian hutan gunung Salak ternyata membuat saya yang pada dasarnya merupakan pribadi yang tertutup dan suka menyendiri, menjadi kecanduan terhadap rasa tenang, hening dan damai ketika pertama kali berada di tempat itu. Flying camp yang berada di gunung Salak memang menyuguhkan suasana rimba belantara yang menenangkan dan terbebas dari bisingnya guyonan maupun kelakar para pendaki, selain itu keasriannya masih sangat terjaga. Kentalnya rasa keakraban yang terjalin manakala kami berjumpa dengan pendaki lain, masih bisa saya rasakan kala itu. Buat saya, mendaki tidak hanya sebatas hobi namun ajang untuk saling berbagi ilmu dan informasi setiap kali kami merajut keakraban dengan sesama pendaki. Gunung sejatinya adalah rumah kedua disaat saya tengah merindukan santunnya salam sang alam, tempat yang bisa menaungi kami dari kepenatan ataupun sederet rutinitas yang kian mengebiri kebebasan.


Foto      : Deden Hamdani
Model    : Deden Hamdani & Aldianovsky
Lokasi    : Lautan Pasir, gunung Bromo, Probolinggo – Jawa Timur
           Menjelang malam di tengah belantara raya, biasanya paman saya akan berkisah. Saya sangat suka ketika ia sedang berbagi pengalamannya saat singgah ke puncak-puncak gunung, sebab ia menceritakan semua itu dalam kapasitasnya yang sebagai pendaki di era 80an. Ia pernah bercerita tentang indahnya gunung Argopuro dan Semeru yang berada disebelah timur pulau Jawa. Pada era 90an dimana ia mengunjungi Semeru, ia pernah menyaksikan sepasang belibis tengah memadu kasih di jernihnya permukaan Ranu Kumbolo yang masih sepi dari aktivitas para pendaki. Terkadang kabut tebal yang datang dari arah timur menyapu pelataran danau, tak lama kemudian kabut itu akan hilang terbawa angin. Ia juga mengisahkan bagaimana cantiknya tanaman sejenis ilalang yang bunganya berwarna ungu cerah, tumbuh disepanjang lembah Oro-Oro Ombo. Di lain waktu, ia juga menuturkan pengalamannya saat mendaki gunung Argopuro. Di gunung tersebut katanya masih sering ditemui rusa, babi hutan dan burung merak. Beberapa lembar foto ketika ia mendaki Argopuro juga pernah saya lihat. Semua yang terekam di album fotonya ataupun melalui kisahnya, sanggup membangkitkan rasa penasaran saya untuk mengunjungi kedua gunung tadi.


Foto      : Agung
Model    : Aldianovsky
Lokasi    : Puncak gunung Ciremai, Kuningan – Jawa Barat
           Pada pertengahan tahun 2013, akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk mendaki gunung Semeru. Segala cerita yang pernah diuraikan oleh sang paman, saya rekam dan akan saya sesuaikan sesampainya saya di tempat tujuan. Namun alangkah terkejutnya ketika saya melihat Ranu Kumbolo dengan mata kepala sendiri. Tidak ada sepasang belibis yang bermain diatas permukaan danau tersebut. Jangankan sepasang, seekorpun tak nampak. Keadaan di tempat itu sangat memprihatinkan akibat sampah logistik yang masih berserakan diatas tanah. Kondisinya sangat jauh berbeda dengan apa yang pernah paman saya ceritakan. Di sisi barat Ranu Kumbolo, warna-warni puluhan tenda terlihat memenuhi lahan yang berbidang datar. Sampah tissue berceceran diantara rimbunnya belukar, hanya membuat kesan yang menjijikkan. Alhasil malam pertama berkemah di tempat itu, saya mengalami susah tidur dikarenakan ulah beberapa pendaki yang berada disekitar saya yang masih saja getol bercanda, tertawa, bahkan berteriak seenak perutnya. Hati ini jadi berucap; apakah benar saya sedang berada di Ranu Kumbolo atau tersesat disisi lain gunung Semeru? Entahlah.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Aldianovsky
Lokasi    : Ranu Kumbolo, gunung Semeru, Jawa Timur

Foto      : Aldianovsky
Model    : Aldianovsky
Lokasi     : Kali Mati, gunung Semeru, Jawa Timur
           Mungkin saya hidup di waktu yang salah, dimana alam sudah enggan menyajikan rasa tenang dan damai bagi segelintir pendaki yang memang melakukan pendakian untuk tujuan tersebut. Kesan kumuh dan bising justru melekat pada beberapa gunung yang jadi favorit pendakian, terlebih setelah para generasi muda terpengaruh oleh tayangan film layar lebar yang pada tahun 2012 lalu mampu menghipnotis sebagian penontonnya untuk menjadi pendaki dadakan. Adalah hak setiap orang untuk berkarya, termasuk dalam membuat film. Namun sangat disayangkan kalau para sineas tadi hanya berorientasi pada rating dan keuntungannya saja, lantas bagaimana dengan dampaknya terhadap lingkungan maupun ancaman terhadap kearifan lokal setempat?


Foto      : Aldianovsky
Model    : Ready Krueger
Lokasi    : Ranu Kumbolo, gunung Semeru, Jawa Timur
           Pasca pemutaran film layar lebar yang ditayangkan pada tanggal 12 bulan 12 tahun 2012 itu, sontak ribuan anak muda bertransformasi jadi pendaki musiman yang siap menginvasi keasrian alam gunung Semeru. Tak bisa dibantah jika seandainya saat itu ada beberapa pihak yang menyebut gunung Semeru bagaikan taman rekreasi. Ya, di film itu memang menceritakan perjalanan sekelompok remaja yang merayakan pertemuan mereka dengan melakukan pendakian ke puncak Mahameru. Dampaknya, tak ayal para ranger TNBTS jadi uring-uringan lantaran pendaki-pendaki dadakan tadi datang ke Semeru hanya untuk menyumbangkan sampah perbekalannya. Pendaki-pendaki yang tidak mengerti tata krama dan tidak bisa menghargai kearifan lokal setempat juga kerapkali dipergoki ranger TNBTS tengah mandi di Ranu Kumbolo. Padahal, danau itu adalah salah satu sumber air di gunung Semeru yang disucikan dan disakralkan oleh warga suku Tengger. Selain itu, sudah ada peringatan yang dipasang agar siapapun yang berkunjung kesitu tidak mandi ataupun berenang. Dengan adanya kasus “oknum pendaki” yang tertangkap basah sedang mandi atau nyebur ke telaga Kumbolo, maka jelas sudah bahwa untuk menjadi seorang pendaki tidak hanya dibutuhkan perlengkapan yang mahal dan otot-otot yang kekar saja.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Dimas Yulianto
Lokasi    : Kawah gunung Papandayan, Garut – Jawa Barat
           Danau Kumbolo yang kata para pendaki di era 80an biasa dikunjungi oleh rusa dan macan kumbang untuk mengisi kerongkongannya, kini tak lagi bisa dijumpai satupun dari mereka yang tengah minum ditepiannya. Serbuan pendaki yang singgah di Ranu Kumbolo membuat hewan-hewan itu menyingkir dan menjauh dari sumber keramaian. Aah, sepertinya kisah tentang belibis yang berenang bebas di permukaan danau Kumbolo, sekarang ini hanya menjadi dongeng dari para pendaki senior untuk adik-adik mereka yang baru saja mulai mengangkat ranselnya.
                                
Foto      : Aldianovsky
Model    : Sri Yuni Nur Linda
Lokasi    : Alun-alun Suryakancana, gunung Gede, Cianjur – Jawa Barat

           Segalanya telah berubah. Sekarang, hampir tak bisa kurasakan hangatnya keakraban yang terjalin antar sesama pendaki seperti saat enambelas tahun yang lalu. Tak ada lagi cerita didalam segelas teh, karena hampir semua pendaki yang kutemui terlalu asyik dengan perabot narsisnya masing-masing. Sangat menyedihkan, karena saat ini gunung telah didominasi oleh para pendaki yang datang hanya demi memenuhi nafsu untuk bereksistensi ketimbang mencari esensi dari mendaki. Di masa sekarang, rasanya sebagian besar pendaki tengah mengalami disorientasi serta kesulitan dalam membedakan antara tongkat mendaki (trekking pole) dan tongkat narsis (tongsis/selfie stick), juga membedakan mana headlamp dan mana GoPro.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Aldianovsky
Lokasi    : Cemoro Kandang, gunung Semeru, Jawa Timur
           Semoga sekarang predikat yang disandang oleh para pendaki bukan lagi soal stigma sosial. Bukan hal yang aneh kalau pendaki selalu menjadi sorotan publik dan kerapkali mendapat tanggapan negatif dari segelintir orang, mulai dari perilaku, mengotori dan merusak lingkungan, hingga stigma pendaki yang hingga saat ini masih setia melekat : tebar pesona alias modus! Tapi ada baiknya jangan terlalu sinis dan skeptis dulu dengan pendaki, sebab masih banyak dari mereka yang telah berdedikasi dan membuat harum nama bangsa ini dengan segudang prestasinya. Karena setiap manusia pasti memiliki plus minus dalam kehidupannya, kalaupun ada sisi negatif dari seorang pendaki maka biarlah itu menjadi tanggungjawab ia dengan moralnya. Baik secara sengaja ataupun tak disengaja, saya pun tidak tertutup kemungkinan untuk turut berkontribusi dalam terjadinya kerusakan lingkungan. Buat saya pribadi, belum terlalu banyak ilmu dan wawasan tentang pendakian yang saya dapat. Pengetahuan serta pengalaman mendaki saya tidak ada seujung kukunya mereka yang sudah melanglang buana ke titik-titik tertinggi di negeri ini.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Ready Krueger
Lokasi    : Padang Verbenna Oro-Oro Ombo, gunung Semeru, Jawa Timur
           Pada akhirnya, kita tidak tahu sampai kapan hiruk-pikuk pendakian seperti saat ini akan berakhir. Kita juga tidak akan mampu meramal kapan puncak-puncak gunung akan kembali kepada jati dirinya yang hening, tenang dan bersahaja. Setiap kali saya membuka album foto milik sang paman kala ia masih sering mendaki, rasanya seperti tersisip kedamaian didalam tiap-tiap lembarnya. Ketenangan itu hadir dari gambaran lembah serta gunung yang belum terusik euphoria pendakian dan juga kebersahajaan alam yang masih terlindungi oleh kearifan lokal setempat. Sungguh beruntung mereka yang yang pernah jadi pendaki di era 70,80 dan 90an, dimana gunung-gunung masih asri terjaga dan belum jadi objek yang dikomersialisasi. Ah, seandainya saja saya pernah merasakan hal yang seperti itu...



Senin, 02 Mei 2016

SURYAKANCANA : SETITIK SURGA DI TATAR SUNDA

          Awan mendung berarak diatas kepala kami pagi itu, padahal waktu baru saja menunjukkan pukul 09.40 WIB. Jumat tanggal 15 April 2016, saya dan keempat rekan saya, Syaiful (Ipul), Riki, Linda dan Randi, mulai bergegas meninggalkan pos pemeriksaan di jalur Putri. Tidak ada kesan yang menyenangkan ketika tengah melalui prosedur pemeriksaan di pos ini lantaran salah seorang petugas yang memeriksa kami terlalu berlebihan dalam memberikan saran dan masukan sehingga terkesan menggurui. Berusaha untuk tidak turut memperkeruh suasana di pagi hari, maka saya cukup diam tanpa berkomentar apapun juga.

Syaiful, Randi, saya dan Linda saat baru saja tiba di depan gang menuju pos pemeriksaan gunung Putri.

Sarapan terlebih dahulu di pasar Cipanas sebelum memulai pendakian.

Desain sticker  untuk pendakian kali ini.

           Tampilan fisik gunung Gede yang seharusnya tampak jelas, pagi itu justru bersembunyi ditelan pekatnya halimunan. Udara sejuk di ketinggian sekitar 1.400 meter itu mulai menyambut kedatangan kami berlima, hangatnya mentari pagi seolah tertahan oleh sekawanan kabut tebal yang turun menyusuri lereng gunung. Saya bersama keempat kawan saya berjalan diantara ladang dan perkebunan warga yang sekaligus menjadi titik awal perjalanan kami menuju surganya gunung Gede, alun-alun Suryakancana. Tanaman brokoli, wortel, bawang daun dan sawi tampak mendominasi ladang yang kami lalui. Setelah melewati jembatan dan sebuah sungai kecil, akhirnya jalanan mulai menanjak dan perlahan menjauh dari ladang serta perkebunan warga.

Istirahat  sekaligus melakukan pengecekan simaksi dan perlengkapan di pos pemeriksaan gunung Putri.

lokasi gunung Gede dilihat dari Google map.

Peta rute pendakian gunung Gede via Putri – Cibodas.

           Suasana seketika menjadi gelap saat kami memasuki hutan pegunungan dimana cahaya matahari tidak leluasa menembus rimbunnya kanopi pepohonan yang tingginya bisa mencapai 20 meter dari permukaan tanah. Dikarenakan tidak terjamah oleh sinar matahari juga tingkat kelembabannya yang terbilang tinggi, tak ayal dahan-dahan pohon dan bebatuan yang ada didalam hutan itu nyaris tertutup oleh tumbuhan lumut. Derap langkah dan dengusan nafas terdengar saling memburu diatas tanjakan berbatu, detak jantung semakin cepat dan kepala sedikit pening, padahal perjalanan belum ada setengahnya. Tidak lama kemudian kabut tebal kembali menggerayangi setiap sudut belantara, menimbulkan kesan hening mencekam. Kami terus berjalan meski perlahan hingga akhirnya kami menjumpai sebuah shelter dan gapura beton bertuliskan “Taman Nasional Gede Pangrango”, siang itu saya dan kawan-kawan berhasil menjejakkan kaki di pos I, Legok Leunca.

Linda ketika berada di antara perkebunan warga.

Berselfie di persimpangan jalur sambil menunggu kedatangan Ipul dan Riki.

Track yang gelap dan berkabut mulai menyambut manakala kami memasuki hutan.


1. POS I: Legok Leunca (1.900 mdpl)

           Kami tiba di pos I pada pukul 11.02 WIB, suasananya sedikit terang dengan dilengkapi sebuah shelter yang atap dan penopangnya dibentuk menyerupai payung. Tanah di tempat itu terbilang datar dan cukup untuk menampung sekitar tiga sampai empat buah tenda, namun demikian sangat jarang pendaki yang hendak berkemah disitu.

Tim ketika baru menginjakkan kaki di pos I, Legok Leunca.

Sebelum tiba di shelter  Legok Leunca, para pendaki akan disambut oleh Gapura yang telah ditumbuhi lumut terlebih dahulu.

           Riki dan Ipul terlihat asyik dengan kepulan rokoknya, sementara saya lebih memilih untuk membaringkan diri diatas tempat duduk yang terbuat dari semen dan bebatuan kali. Rasa kantuk hinggap manakala kabut tebal lagi-lagi menghampiri kami, apalagi saat itu kondisi saya memang belum tidur dari semenjak H-1. Tak lama kemudian, terdengar suara beberapa orang dari arah luar gapura hingga akhirnya tampak dari balik rerimbunan sosok empat orang pendaki lengkap dengan peralatan hikingnya. Mereka semuanya lelaki, tapi usia mereka sudah jauh dari kata muda. Perjalanan hidup telah menganugerahi mereka dengan helai-helai uban di rambutnya, kulit dan wajah mereka tampak jelas mengeriput, meski demikian postur tubuh dan nafas mereka terbilang masih bisa diadu dengan pendaki yang masih belia.

Plang informasi milik TNGGP tentang kekayaan flora dan fauna yang ada didalam kawasan gunung Gede Pangrango.

           Kami berdiri dan menyalami mereka satu-persatu, dari penampilannya saya sudah menduga kalau keempat orang tersebut adalah para pendaki senior. Ternyata mereka berasal dari Jakarta dan sama-sama teman semasa kuliah di ISTN Cikini, Jakarta Pusat. Rata-rata usia mereka sudah lebih dari setengah abad, hampir seusia orang tua saya. Kami mengobrol penuh keakraban, bahkan tidak ada kesan menggurui walaupun jam terbang serta pengalaman mereka sudah berada jauh diatas saya ataupun keempat rekan saya. Rasanya ingin tersenyum geli oleh kelakuan segelintir pendaki jaman sekarang yang merasa dirinya sudah lebih tahu, lebih berpengalaman dengan “menaklukkan” puncak-puncak gunung, merasa dirinya paling benar dalam bertindak atau berargumen, serta cenderung tidak menghargai pendaki lain, padahal keangkuhannya itu merupakan sebuah blunder bagi reputasinya sendiri. Meski demikian, saya yakin masih banyak pendaki di era sekarang yang berwawasan dan berpengalaman luas namun mereka tetap tampil low profile.

Tengah bercengkrama dengan empat orang pendaki senior di shelter pos I.

           Pukul 11.40, kami berpamit diri pada keempat pendaki tua tadi untuk kembali melanjutkan perjalan menuju pos II yang berjarak sekitar 400 meter dari shelter Legok Leunca.

2. POS II: Buntut Lutung (2.300 mdpl)

           Jalanan menanjak menuju pos kedua ini sudah mulai sedikit menguras stamina. Disini, tanah yang licin akibat ditumbuhi lumut dan akar-akar pohon yang mencuat dari permukaan tanah akan lebih sering kita jumpai ketimbang track berbatu seperti jalur sebelumnya. Dengan nafas yang terengah-engah, saya menggapai tembok sebuah bangunan yang rusak dan sepertinya sudah lama terbengkalai, saya duduk bersandar pada tembok tersebut sambil mengatur nafas. Desau angin sejuk menyelisik dari balik ranting serta dedaunan. Pekik Owa Jawa (Hylobates Moloch) terdengar bersahutan, seolah jadi musik pengiring yang menemani perjalanan kami.

Mengatur nafas dulu sesampainya di pos II.

Wajah-wajah yang tengah didera rasa lelah.

           Di tempat ini sama sekali tidak ada ruang bagi para pendaki untuk membuka tenda karena minimnya tanah yang datar. Selang beberapa menit, Ipul, Riki dan Randi tiba. Kami hanya beristirahat sebentar saja disini karena kami menargetkan tiba di alun-alun Suryakancana sebelum pukul empat sore.


3. POS III: Lawang Seketeng (2.500 mdpl)

          Beberapa meter sebelum saya tiba di pos III, mulai terdengar hiruk-pikuk dan gelak tawa dari para pendaki yang tengah beristirahat. Setibanya saya di tempat itu, tampak shelter di pos tersebut sudah terlebih dulu dibooking pendaki lain sehingga kami harus puas dengan beristirahat atau sekedar duduk di lembabnya sebuah batang pohon yang telah tumbang.

Shelter  di pos III yang dipenuhi oleh beberapa orang pendaki.

           Di pos III ini, suhunya sedikit lebih hangat dikarenakan posisinya yang hampir berada di ketinggian 2.500 meter dimana pepohonan yang menjulang ke angkasa tidak sebanyak dan serapat saat kami berada di pos-pos sebelumnya sehingga ada celah lebar yang mampu diterobos oleh sinar matahari. Saya kembali merasakan kantuk yang sangat luar biasa sehingga saya memutuskan untuk tidur disisi jalur pendakian, sementara itu Riki dan Randi lebih memillih memasak air untuk membuat teh hangat. Seorang pendaki yang juga merangkap sebagai pedagang souvenir asal Karawang, datang menghampiri. Ia menjajakan barang dagangannya kepada kami namun sepertinya hanya Riki yang tertarik untuk membelinya. Saya terbangun oleh kehadiran orang tersebut. Iseng-iseng, saya pun menanyakan waktu yang harus kami tempuh dari pos ini sampai ke alun-alun Suryakancana pada orang itu, dan dia bilang sekitar satu jam lagi. Saya sempat ucapannya, sebab dari beberapa pendaki yang turun dan berpapasan dengan kami hampir semuanya memberikan jawaban yang sama. Apalagi saya hafal betul kelakuan pendaki yang rata-rata suka memberikan harapan palsu pada pendaki lainnya agar mereka tetap semangat menuju tempat yang dituju. Setelah memasukkan peralatan masak dan gelas plastik kedalam carrier, kami pun kembali melanjutkan perjalanan, semuanya berharap tiba di lembah Suryakancana sebelum senja.

Tidur disisi jalan pun menjadi pilihan terbaik saat rasa kantuk tak lagi bisa diajak berkompromi.


4. POS IV: Simpang Maleber (2.625 mdpl)

          Dari mulai shelter Lawang Seketeng, jalur menanjak yang cukup melelahkan sudah siap menyongsong kami. Nafas mulai tidak beraturan, timbul tenggelam dipermainkan terjalnya tanjakan. Dari kelima orang di tim ini, hanya Randi yang stamina dan nafasnya masih terbilang stabil.

Ipul dan Riki ketika beristirahat antara pos III dan pos IV.

          Dengan ditemani seorang pedagang minuman dan mie instant, Randi sudah lebih dulu melesat mendahului saya, Ipul, Linda dan Riki. Ia optimis betul kalau alun-alun Suryakancana sudah berada sangat dekat didepan mata, tidak seperti kami berempat yang merasa perjalanan ini bagaikan tanpa penghujung. Beban pada carrier ditambah tanjakan-tanjakan “gemes” yang seperti tidak ada habisnya membuat stamina saya, Linda, Ipul dan Riki betul-betul habis terkuras, bahkan untuk mendaki satu anak tangga pun rasanya dibutuhkan nafas yang panjang dan energi yang banyak. Entah kapan tanjakan-tanjakan seperti ini akan berakhir, pikir saya saat itu.

Tetap beriringan dalam meniti setiap tanjakan.

           Sesampainya di pos IV yang penampakannya hanya berupa tanah datar namun tidak cukup lega untuk beristirahat karena ada beberapa batang pohon yang roboh, saya pun segera meluruskan kedua kaki yang mulai terasa ngilu. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.35 WIB, tidak lama lagi matahari akan lenyap dari perederannya di langit sedangkan kami bertiga masih berada di jalur pendakian, di tengah hutan. Target saya untuk bisa sampai di alun-alun Suryakancana sebelum jam empat sore, kandas sudah.

Beban pada carrier kerapkali membuat langkah Linda tertahan.

           Dengan waktu yang tersisa tidak lebih dari satu setengah jam saja untuk menghabiskan cahaya senja, kami berempat pun akhirnya kembali melangkahkan kaki mengikuti tanjakan-tanjakan yang sepertinya masih betah bercanda dengan saya dan ketiga rekan saya.

5. Alun-alun Suryakancana (2.750 mdpl)

           Riki dan Ipul sudah hilang entah kemana, sementara saya dan Linda masih berkutat dengan tanjakan ala jalur Putri. Sudah pukul lima sore namun lembah Suryakancana yang ada di benak saya belum juga terlihat. Sedikit gelisah, ada perasaan khawatir kemalaman di jalur pendakian sebelum sampai di tempat tujuan. Sesekali kami berdua menghentikan langkah untuk beristirahat lalu melanjutkan perjalanan lagi, begitu dan seterusnya sampai suatu ketika ada seseorang yang meneriaki saya dari arah depan, ternyata orang itu adalah Randi yang memang berinisiatif untuk menjemput kami berdua. Ia menyemangati saya dan Linda untuk terus memacu langkah.

Menyatukan semangat diantara nafas yang sudah mulai turun naik menyusuri jalan menanjak.

           “Ayo kak! Didepan udah sampe (alun-alun Suryakancana)” ujar Randi seraya mengambil alih carrier yang saya bawa. Saya dan Linda mempercepat langkah agar segera bisa menginjakkan kaki di alun-alun Suryakancana dan memang tidak beberapa jauh dari tempat Randi menyusul tadi, jalanan sudah tidak lagi terjal dan menanjak, dengan kata lain cenderung datar. Sangat kontras perbedaannya ketika kami masih berada didalam koridor hutan yang dikelilingi oleh dahan dan akar pepohonan bila dibandingkan dengan kondisi di jalur ini yang tak lama lagi akan mengarahkan kami pada alun-alun Suryakancana. Suasana jadi terang benderang tanpa dahan dan batang yang jadi penghalang, saya dan Linda akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Inilah alun-alun Suryakancana, setitik surga di gunung Gede.

Ekspresi kegembiraan ketika saya dan Linda akhirnya tiba di alun-alun Suryakancana beberapa saat sebelum matahari tenggelam.

           “Subhanallah”, hanya satu kata itu saja yang berulangkali terucap dari mulut ini. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan atau melukiskan kekaguman serta rasa takjub saya dan Linda manakala kami berdua tiba di alun-alun Suryakancana yang tersohor itu. Saya, Linda dan Randi melipir ke sisi kiri untuk menuju ujung dari lembah tersebut. Semburat awan jingga di penghujung senja seolah mempercantik tampilan alun-alun Suryakancana timur yang mashyur. Perdu jenis Anaphalis Javanica atau yang lebih popular di telinga para pendaki dengan julukan si bunga abadi, tampak tumbuh subur di padang rumput ini. Sayangnya kami datang di waktu yang tidak tepat, tidak ada satupun bunga Edelweiss yang terlihat sedang mekar. Pohon-pohon Cantigi gunung yang anggun turut berbagi keindahan dengan warna daunnya yang hijau dan merah cerah, namun kerapkali para pendaki tak mengetahui namanya padahal mungkin sudah berkali-kali mereka melihat rupanya. Tak ingin kehilangan moment menjelang senja, saya dan Linda segera saja mengabadikan gambar dengan kamera masing-masing.

Masih dengan wajah yang kelelahan.

Ketika  rasa letih dan takjub berbaur dalam ketertegunan.

Ipul dan ekspresi datarnya.

Riki dan peralatan huntingnya.

Hanya Randi yang stamina juga nafasnya masih stabil.

           Setelah puas berfoto ria di penghujung lembah Suryakancana timur, kami berlima segera meninggalkan tempat itu untuk menuju ke alun-alun Suryakancana barat. Gumpalan awan menelan sisa-sisa cahaya senja, sekarang langit beranjak gelap gulita. Derap langkah kaki kami membuyarkan keheningan di lembah yang diapit oleh puncak Gede dan puncak Gumuruh itu. Sudah nyaris tiga puluh menit kami berjalan kaki menyusuri jalur yang ada di alun-alun Suryakancana ini, namun kami belum juga menemui satupun tenda dari pendaki yang sedang berkemah. Tidak lama kemudian saya mendengar gemericik air, entah sungai entah aliran air biasa. Suaranya seperti berada disebelah kiri saya, disekitar kaki gunung Gumuruh. Bersamaan dengan itu pula kami mendengar suara gelak tawa dan suara orang-orang yang tengah bercengkrama. Kami melipir kearah kanan ketika kami melihat beberapa tenda milik pendaki lain yang sudah terpasang sekaligus tempat dimana sumber dari suara-suara tadi berasal. Setelah memilah lahan yang cukup datar serta terlindungi tanaman Cantigi dan Edelweiss, saya, Ipul dan Randi segera mendirikan dua buah tenda yang kami bawa.

Berjalan menyusuri hamparan alun-alun Suryakancana timur.

Pemandangan kala senja di alun-alun Suryakancana timur dengan latarbelakang kota Cianjur.


6. Suryakancana, nama besar yang melegenda

          Dengkuran Riki seolah menyaingi desau angin yang tengah berpatroli dari satu sisi lembah ke sisi lembah yang lain. Malam itu, cuma saya dan Ipul saja yang belum bersedia memejamkan mata hanya demi bisa menikmati indahnya lukisan Sang Pencipta alam raya. Cahaya rembulan yang belum bulat sempurna tetap bisa menjamah hamparan padang rumput di Suryakancana. Sementara itu, bintang-bintang perlahan menampakkan wujudnya dan memamerkan kilaunya di angkasa. Saya dan Ipul menyaksikan atraksi alam raya tadi diluar tenda sambil tak hentinya menyeruput teh tubruk hangat. Malam terasa syahdu dibawah rengkuhan sinar rembulan, semakin malam semakin senyap suasana. namun dinginnya udara saat itu betul-betul menyadarkan kami untuk tidak terlalu lama berada diluar tenda, terlebih saya yang sama sekali tidak mengenakan jaket atau mantel.


DIALOG SUNYI DI LEMBAH SURYAKANCANA

 Nyaman yang bukan karena dekapan
Malam dan gemintang bersedekah keindahan
Bisik halus sang angin terabaikan
Udara dingin isyarat sebuah ucapan
Santunnya salam persahabatan...
Saat tubuh terpaku di teduhnya pancar rembulan

Wahai, alun-alun Suryakancana...
Setitik surgawi sarat pesona
Tulus ikhlas haturkan Edelweiss-Edelweiss muda
Yang kadang bernasib naas di tangan-tangan durjana
Disini, di alun-alun Suryakancana
Dimana embun lembah lepaskan dahaga
Dibawah langit bersulam cahaya
kurambah nikmat dihamparan mahakarya-Nya

Bogor, 27 April 2016


Malam itu, Ipul menjadi juru masak istana sedangkan Riki yang jadi kaisarnya.

           Alun-alun Suryakancana memang terbilang luas dan besar, layaknya nama eyang Suryakancana yang melegenda di tatar Sunda. Pemberian nama lembah Suryakancana pun bukan tanpa alasan mengingat putra dari Raden Jayasasana atau yang lebih dikenal sebagai Raden Aria Wira Tanu Datar I alias eyang Cikundul ini memang bersemayam di gunung Gede. Masyarakat Cianjur meyakini tokoh ini memiliki istana tak kasat mata yang terletak tepat di hamparan padang rumput seluas 50 hektare tersebut, sehingga mereka menyebutnya dengan nama alun-alun Suryakancana.

           Secara terminologi, kata Suryakancana memiliki arti yitu, cahaya matahari yang berwarna keemasan. Arti nama tersebut menyerupai kejadian yang pernah dialami oleh ayahanda dari eyang Suryakancana, eyang Wira Tanu Datar I. Ketika itu putri dari raja jin muslim di timur tengah, sedang melakukan perjalanan di angkasa. Tiba-tiba ia melihat ada seberkas cahaya sinar berwarna keemasan dan menyilaukan yang sanggup menerobos atmosfer bumi hingga mencapai angkasa raya. Merasa penasaran akan sumber cahaya itu, sang putri jin pun terbang menuju bumi dan menyusuri cahaya tadi sampai akhirnya ia menemui seorang manusia paruh baya yang tengah berkhalwat, rupanya cahaya keemasan yang mampu menyeruak hingga menembus lapisan terluar dari bumi tadi bersumber dari diri lelaki tua tersebut. Sang putri jin merasa takjub dan terpesona dengan keindahan yang terpancar dari si petapa yang merupakan eyang Jayasasana atau eyang Wira Tanu Datar I. Ia pun akhirnya segera kembali menemui ayahandanya dan melaporkan hal itu, sang putri juga menceritakan perasaan kagumnya kepada si petapa hingga akhirnya timbul keinginan untuk menjadikan lelaki tua itu sebagai suaminya. Sang raja jin merestui anak putrinya menikah dengan petapa tersebut, setelah kedua jin muslim itu menemui Wira Tanu Datar I untuk mengutarakan maksud dan tujuannya. Eyang Wira Tanu Datar I tidak langsung menyetujui, namun sebelumnnya Beliau memohon diri terlebih dahulu untuk bertafakur dan memohon petunjuk dari Yang Maha Esa. Setelah mendapatkan petunjuk, Beliau akhirnya mau menikah dengan putri raja jin tersebut. Dari pernikahannya itu, Beliau dikaruniai seorang putra bernama Suryakancana dan seorang putri bernama Endang Sukaesih.

           Eyang Suryakancana dan Endang Sukaesih memiliki darah setengah manusia dan setengah jin, namun Endang Sukaesih menikah dengan menusia sehingga memiliki keturunan hingga saat ini. Sementara itu, eyang Suryakancana memilih tidak menikah dan memutuskan untuk bertapa di gunung Gede hingga tiba masanya bagi Beliau menyaksikan pertunjukkan di akhir jaman nanti. Adik kandungnya, Endang Sukaesih, memilih untuk bersemayam di gunung Ceremai.

           Sempat geli juga saat saya membaca sebuah artikel yang menyebutkan kalau Prabu Silihwangi merupakan anak kandung dari eyang Suryakancana. Sungguh tulisan yang sangat menggelitik perut orang Sunda, bagaimana mungkin eyang Suryakancana yang tidak menikah bisa memiliki anak? Selain itu, era saat eyang Suryakancana lahir ke bumi adalah sekitar pertengahan abad ke 17 sedangkan kerajaan Pajajaran sendiri berakhir pada abad ke 16. Itu artinya, eyang Suryakancana tidak pernah mengalami masa dimana Sri Baduga Maharaja berkuasa sekalipun Beliau masih memiliki trah Pajajaran yang sangat kuat. Entah pihak mana yang menulis artikel tersebut, apakah itu segelintir orang yang sentimen terhadap Sunda ataukah memang orang iseng yang hanya sekedar ingin berbagi cerita.

7. Selamat Pagi...!

           Suara orang-orang yang sedang bercanda dan tertawa diluar tenda telah membangunkanku dari tidur. Sinar matahari pagi yang mengenai langsung pada tenda membuat tubuh ini jadi hangat. Saya mulai keluar perlahan dari kantung tidur dan membuka resleting tenda, ternyata diluar sudah ada Ipul, Riki dan Randi yang sedang membuat sarapan. Riki, Randi dan Linda baru saja turun dari puncak Gede untuk memburu sunrise, hanya saja mereka belum beruntung karena objek yang diburu ternyata sudah terlebih dahulu mencuat ke angkasa sebelum mereka berhasil menjejakkan kakinya di titik tertinggi.

Penampakan gunung Salak yang terlihat dari puncak gunung Gede.

Pagi hari yang berkabut ketika Linda baru saja menjejakkan kakinya di puncak Gede.

           Saya beranjak menuju tengah alun-alun untuk menghangatkan badan yang kedinginan dari sejak tadi malam. Pagi itu tampak beberapa pendaki remaja yang asyik berfoto ria dengan menggunakan tongkat narsisnya. Disebelah timur alun-alun, terdapat sekelompok pendaki yang sepertinya baru saja tiba dan mereka terlihat sedang beristirahat di cekungan yang berada tidak jauh dari sumber air. Saya menatap ke arah utara dimana terpampang dinding alam yang agak lonjong memanjang berbalut rimbunnya pepohonan Cantigi, yang sekaligus menjadi titik tertinggi di tempat ini. Ya, itu adalah puncak dari gunung Gede yang tingginya hanya terpaut beberapa puluh meter lebih tinggi dari sesosok bukit yang berada dihadapan saya, puncak Gumuruh. Siapa yang sangka kalau sepanjang alun-alun Suryakancana ini dulunya merupakan lubang kawah hasil erupsi besar-besaran dan akhirnya ditumbuhi belukar serta tanaman perdun seperti Edelweiss dan Cantigi gunung. Pada saat gunung Gede belum mengalami serangkaian letusan yang pada akhirnya membuat cekungan lembah antara puncak Gede dan puncak Gumuruh seperti sekarang ini, besar kemungkinan gunung Gede memiliki ukuran yang lebih tinggi dari pesaing abadinya, Pangrango. Apabila dilihat dari salah satu kutipan yang terdapat pada naskah Bujangga Manik, disitu tertera kalimat;

           “Setelah tiba di Putih Birit, aku harus melakukan sebuah pendakian yang panjang (yang aku lakukan sedikit demi sedikit). Setelah tiba di Puncak, aku duduk di atas sebuah batu pipih, dan mengipasi diriku sendiri. Di sana ia melihat pegunungan: Terdapat Bukit Ageung  (sekarang Gunung Gede) , tempat tertinggi dalam kekuasaan Pakuan”.

           Naskah Bujangga Manik diperkirakan ditulis pada akhir abad ke 13 sehingga bisa dipahami apabila Pangeran Jaya Pakuan a.k.a Bujangga Manik menyebut gunung Gede sebagai titik tertinggi di tatar Pasundan pada saat itu sebab gunung Gede baru mulai erupsi pada tahun 1747/1748, 1761, 1780, 1832, 1840, 1852, 1886, 1940, 1950, dan letusan yang terakhir kalinya pada tahun 1957. Dengan jumlah letusan sebanyak tadi, wajar bila gunung Gede memiliki empat buah kawah, yakni; kawah Lanang, kawah Wadon, kawah Ratu dan kawah Baru. Pada letusan yang pertama, aliran lavanya mengalir sejauh 2 kilometer dan membentuk sumber air panas yang kini biasa dilalui oleh para pendaki apabila mendaki dari jalur Cibodas.

Tenda pedagang yang bisa kita temukan di puncak gunung Gede.

Membuat sarapan sebelum turun ke Cibodas.

           Padang rumput ini betul-betul luas, memang terlalu mubazir rasanya apabila hanya didominasi oleh semak rumput, Cantigi gunung ataupun tanaman Edelweiss saja. Namun tanaman yang sanggup bertahan hidup diatas ketinggian 2.500 meter diatas permukaan laut seperti disini ya hanya mereka. Andaikan saat itu bunga-bunga Edelweiss sedang bermekaran, mungkin suasana di alun-alun Suryakancana akan jadi semakin menarik, namun kita sadar betul kalau pesona dari bunga Edelweiss justru malah mengundang bencana bagi tanaman itu sendiri. Meski memetik bunga Edelweiss ataupun tanaman jenis lain sudah ada larangannya, namun masih tetap saja ada orang-orang yang tidak memperdulikannya. Padahal bunga Edelweiss akan lebih indah dipandang bila masih ada didalam satu kesatuan antara pohon, bunga juga lansekap alam disekitar yang mendukung kecantikannya, dan bukan dalam keadaan terpisah dari pohonnya. Sebagai tambahan, saya menyisipkan dialog antara Karen dan Husin tentang Edelweiss Suryakancana dari sebuah novel Sarongge:
          “Kita yang menamakan diri pencinta alam, menjadi ancaman paling berbahaya dari kelestarian alam. Kalaupun tidak menebangi cantigi, tidak membuat api unggun yang bisa membakar padang edelweiss, tenda kita pastilah menutup kemungkinan bibit edelweiss berkembang…… Makin banyak tenda dipasang, makin luas bibit edelweiss yang tak sempat tumbuh… Kita para pencinta alam hanya bisa menikmati. Tetapi apa yang kita lakukan untuk membayar kembali kepada alam, termasuk merawat edelweiss di Suryakencana? Tak ada! Kita menutup mata, bahwa bunga abadi di alun-alun itu sedang menuju kepunahan
Bukit hijau yang menyembul ini adalah bagian dari puncak Gede, yang jadi salah satu landmark di alun-alun Suryakancana.

Tanaman Edelweiss dan Cantigi gunung yang daunnya berwarna cerah, terlihat harmonis di cekungan lembah Suryakancana.

Sekelompok pendaki tampak baru saja tiba di alun-alun Suryakancana pagi itu.

           Langit berbalut biru cerah nan indah, aku segera membangunkan Linda yang sedang tertidur didalam tenda untuk sarapan sekaligus mengajaknya mengambil gambar selagi kabut dan awan mendung belum datang. Selepas sarapan, saya, Linda juga Ipul memanfaatkan sisa waktu untuk berfoto-foto, sementara Randi dan Riki memutuskan untuk tidur sebelum turun ke Cibodas.

Berlindung dari teriknya matahari dibawah flyingsheet tenda.

Menikmati luasnya hamparan padang rumput di lembah Suryakancana.

Foto bersama sebelum membongkar tenda.



8. Puncak Gede (2.958 mdpl)

           Pukul 12.45 WIB, kami berlima tiba di puncak Gede yang juga menjadi akhir dari perjalanan kali ini. Saya dan Linda bersandar pada dahan pohon Cantigi yang daunnya rindang melindungi kami dari terik matahari. Tidak jauh dari tempat saya berteduh, ada sebuah tenda yang lebih menyerupai bivak dan digunakan sebagai lapak untuk berdagang. Nasi uduk, rokok, mie instant sampai minuman siap saji, semuanya tersedia di “café” tertinggi se-Jawa Barat ini. Para pedagang tersebut rela membawa jerigen, termos, teko, wajan, kompor serta gas tabung untuk keperluan memasak air atau membuat menu gorengan. Ditengah jalan menuju puncak, saya memang beberapa kali berpapasan dengan pedagang di puncak Gede yang baru saja mengambil air di alun-alun Suryakancana, perjuangan yang cukup menguras tenaga. Tidak perlu disinggung pantas atau tidaknya mereka berdagang di gunung, toh belakangan ini gunung tidak hanya dieksploitasi oleh pedagang saja. Para pendaki yang bermental oportunis pun sering menumbalkan keasrian alam khususnya gunung, demi sebuah kepentingan. Kerapkali mereka mengatasnamakan kegiatannya dengan nama Lomba Kebut Gunung, Lintas Alam, Operasi Bersih, atau yang hingga saat ini masih digandrungi oleh para pendaki yaitu, Pendakian Massal alias Open Trip. Pada akhirnya, alam kembali dijadikan kedok atau modus untuk mendulang keuntungan yang sebesar-besarnya. Setelah acara selesai diadakan, maka disitulah awal penderitaan bagi para ranger dan warga setempat: gunungnya dibanjiri lautan sampah logistik. Seperti yang pernah terjadi di Semeru pada tahun 2012, dimana acara pendakian massal yang diadakan oleh salah satu produsen peralatan outdoor malah berubah menjadi bencana bagi alam Semeru itu sendiri.

Selfie bersama Ari yang baru saja tiba di alun-alun Suryakancana bersama rombongan yang berbeda.

Berteduh dibawah pohon Cantigi.

Alun-alun Suryakancana, puncak dan kawah Gede dilihat dari Google map.

           Tidak jauh dari papan penunjuk arah, terdapat sebuah tugu triangulasi dengan tinggi sekitar 1,5 meter yang sepertinya baru dibuat oleh pihak TNGGP. Hanya sangat disayangkan, kebersihan tugu tersebut sudah “diperawani” oleh tangan usil oknum pendaki yang mencoret-coret bagian ujungnya dengan menggunakan spidol hitam.

Linda dan tugu triangulasi gunung Gede.

Panorama kawah gunung Gede dan puncak Pangrango yang diambil dari puncak Gede.

Syaiful dan plang menuju alun-alun Suryakancana.

           Menjelang pukul satu siang, intensitas awan dan kabut mulai meningkat sehingga puncak Pangrango yang sejatinya menyembul kini jadi tidak terlihat. Pendaki lain mulai berdatangan baik yang melalui jalur Putri ataupun dari Cibodas, suasana di puncak Gede siang itu berangsur-angsur mulai ramai. Tidak ingin berlama-lama di puncak, kami berlima pun segera meninggalkan tempat itu. Di sepanjang jalur yang merupakan bibir kawah gunung Gede, angin mulai berhembus kencang dari arah tenggara. Di sisi sebelah kanan jalur terdapat untaian sling yang memagari bibir kawah, beberapa pagar beton juga tampak ada yang tercabut dari permukaan tanah. Ya, gunung Gede memang gunung yang terbilang cukup baik pengelolaan maupun manajemennya, bahkan almarhum Norman Edwin melalui sebuah tulisannya di tahun 1984 pernah mengatakan;

           “Gede-Pangrango merupakan gunung yang terbaik pengelolaannya untuk suatu kegiatan pendakian, ketimbang gunung-gunung lain di Indonesia. Disepanjang lintasan disediakan shelter-shelter bahkan pos. Malah dibeberapa tempat dipasangi pagar untuk melindungi pendaki dari kemungkinan terjatuh. Rambu-rambu tertentu juga dipasang di tempat-tempat yang strategis. Tidak aneh, fasilitas tersebut disediakan lantaran kompleks gunung ini merupakan suatu taman nasional”.

Plang penunjuk arah yang terdapat di puncak Gede.

Suasana di puncak Gede beberapa saat sebelum ramai dikunjungi para pendaki.

           Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sendiri merupakan salah satu taman nasional tertua di Indonesia dengan luas 22.851,03 hektare dan ditetapkan pada tahun 1980. Kekayaan dan keindahan gunung Gede Pangrango tidak hanya menarik hati wisatawan masa kini, seorang peneliti berkebangsaan Jerman di tahun 1819 yang juga pendiri dan direktur pertama Kebun Raya Bogor, Caspar Georg Carl Reinwardt (1773-1854), tercatat sebagai orang yang pertama kali mendaki gunung Gede. Pemberian nama pada beberapa pos yang ada di jalur pendakian pun sepertinya masih memiliki relevansi dengan kondisi alam gunung Gede Pangrango di masa lalu, sebagai contoh, Pos Kandang Badak. Dua tahun pasca Reinwardt mendaki gunung Gede, datanglah sepucuk surat yang dialamatkan ke Buitenzorg pada awal Agustus 1821.Kuhl dan Van Hasselt mengkalim kalau mereka baru saja melakukan pendakian dan penelitian ke puncak Pangrango. Pada tahun itu, mereka sepertinya kesulitan untuk menemukan jalur menuju puncak Pangrango hingga akhirnya mereka menemukan dan mengikuti jejak serta lintasan Badak Jawa (Rhinocheros Sondaicus) yang ternyata malah mempermudah mereka untuk menembus hutan menuju puncak Pangrango. Ketika itu, diperkirakan disekitar air terjun Panca Weuleuh yang berada tidak jauh dari campsite Kandang Badak merupakan tempat bermain bagi sekelompok hewan yang sekarang ini nyaris punah dari peredaran.

Tampilan alun-alun Suryakancana yang terlihat dari puncak Gede.

Siang menjelang, mari kita pulang.

Menyusuri jalur berkerikil disepanjang bibir kawah.

           Hujan mendera kami di jalur sebelum persimpangan Kandang Badak. Beberapa pendaki kekinian yang tadinya tengah asyik berselfie disisi jalan, sontak kocar-kacir manakala derasnya hujan membasahi seisi hutan. Kami memutuskan untuk menepi di pos Kandang Badak sambil menunggu hujan mereda. Tak lama kemudian hujan memang sempat reda, kami pun segera kembali menuntaskan perjalanan hingga tiba di Cibodas selepas Isya. Alhamdulillah, kami berlima telah menuntaskan perjalanan kali ini dengan selamat.

Lubang kawah yang selalu mengepulkan asap.

Terpaksa membuka flyingsheet untuk berlindung dari derasnya hujan.

Suasana di pos Kandang Badak yang saat itu disesaki dengan tenda-tenda pendaki.
                           


           Untuk mendapatkan surat ijin memasuki wilayah konservasi atau simaksi dari pihak TNGGP memang terbilang cukup rumit. Kita diwajibkan booking secara online dan pembayaranpun diharuskan melalui transfer ke rekening milik TNGGP. Melampirkan fotokopi KTP dan surat keterangan sehat dari dokter tetap menjadi prioritas utama dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh simaksi. Pengelolaan serta manajemen semacam ini kerapkali ditiru oleh beberapa taman nasional lain di Indonesia yang usianya terbilang masih muda. Pasca invasi pendaki ke Semeru yang jumlahnya mencapai 2000 orang pada tahun 2012, pihak TNBTS akhirnya dengan legowo mau meniru metode TNGGP untuk memberlakukan sistem booking online hingga saat ini.

Tampilan ketika akan melakukan booking online di situs resmi TNGGP.


           Selain menerapkan peraturan yang rumit, beberapa taman nasional juga kadang membuat kebijakan dengan menaikkan tarif simaksi. Tujuan ini dimaksudkan agar gunung tidak terlalu mudah untuk dimasuki ataupun didaki oleh orang-orang yang nantinya hanya berpotensi membawa masalah lingkungan, seperti memetik atau merusak tanaman dan lain sebegainya. Namun sepertinya cara ini tidak begitu ampuh, harga simaksi yang mahal akan tetap dibayar demi memenuhi ambisi mereka untuk tetap bisa eksis di jejaring sosial. Manakala perusakan alam oleh beberapa oknum pendaki sudah terjadi, maka masyarakat umum pun perlahan akan tersadar dan memiliki opini tersendiri terhadap pendaki. Jangan salahkan publik seandainya mereka beranggapan kalau pendaki hanya sebatas segel saja, tetapi secara mental belum tentu bahkan tidak mencerminkan pribadi yang betul-betul cinta kepada alam maupun lingkungan. Lantas kalau hanya untuk sekedar bereksistensi, untuk apa lelah mendaki?




Jelajak Langkah :



Randi dan Ipul di terminal angkot Cipanas.

Meniti langkah menuju pos GPO gunung Putri.

Beberapa saat sebelum tiba di pos pemeriksaan.

Beristirahat di perbatasan antara ladang warga dan pintu gerbang hutan.

Papan ultimatum yang terpasang di jalur pendakian, beberapa meter sebelum memasuki hutan.

Relax  sejenak...

Saya dan Linda di pos I.

Linda dibawah gapura pos I.

Beberapa pendaki yang masih berjuang untuk tiba di pos II.

Kembali beristirahat di shelter.

Ada cerita didalam kemasan sekotak susu.

Meluruskan pinggang sesaat sebelum melanjutkan perjalanan.

Mereguk segelas teh tubruk hangat di pos III.

Foto terakhir sebelum  meninggalkan pos III.

Syaiful dan dua gelas white coffee hangat.

Menyelisik  yang enak untuk dibidik.

Menyambut senja di alun-alun Suryakancana bersama hangatnya segelas kopi.

Linda dan senja.

Satu angkatan, satu perjuangan.

Selaras dengan awan.

Randi sedang asyik menggoreng kentang.

I’m sorry, but it’s time for us...

Syaiful dan Randi sekembalinya dari sumber air di alun-alun Suryakancana.

Mulut  gua yang berada di lembah Suryakancana. Di waktu-waktu tertentu, gua ini biasa digunakan untuk bertapa oleh para penganut Sunda Wiwitan.

Sumber air yang terletak di cekungan lembah, di tengah alun-alun.

Gua yang berada tidak jauh dari gunung Gumuruh.

Menikmati kesunyian lembah, sebelum diinvasi oleh para pendaki yang akan menikmati akhir pekannya di gunung Gede.

Linda dan kabut lembah.

Entah apa yang sedang ia pikirkan...

Menikmati panorama di alun-alun Suryakancana.

Antara memori dan pesona alam.

Bergaya didalam tenda. Mohon abaikan sosok penampakan yang ada dibelakangnya.

Dibawah lindungan flyingsheet  merah.

Menjelang siang hari, pendaki-pendaki pun mulai berdatangan ke lembah ini.

Foto di tugu triangulasi ketika baru saja tiba di puncak Gede pada pagi harinya.

Randi dan puncak Pangrango.

Linda dan sekelompok pendaki yang pagi itu sama-sama melakukan summit.

Pedagang ini tetap bertahan meski terik matahari sudah menyengat sedemikian panasnya.

Numpang bergaya di depan plang penunjuk arah.

Apakah Pangrango mengenal slogan peace atau angka dua...?

Kawah dan bibir  jurang gunung Gede yang terbentuk dari serangkaian letusan beberapa abad yang silam.

Randi dengan landscape bukit-bukit di sekitar Cianjur dan Bandung Barat.

Dihadapan bibir  kawah.

Puncak Gede yang mulai didatangi beberapa pendaki.

Saya dan korban vandalisme.

Karena request dari seseorang, maka jadilah kami pendaki alay...

Pemandangan dari puncak gunung Gede yang diambil saat tengah hari.

Sekitar bibir kawah gunung Gede dan puncak Pangrango yang diambil dengan mode panoramic.

Sekarang waktunya untuk  pulang.

Berjalan sambil menatap ke arah kawah...

Cukup melihat kawah dari jarak yang aman, jangan pernah menerobos tali sling  yang memang dipasang demi keamanan para pendaki.

Sisi bibir  kawah yang dalam.

Menanti hujan reda di pos Kandang Badak.