Kamis, 27 Agustus 2015

RANU KUMBOLO, NIRWANA YANG TERSEMBUNYI DI GUNUNG SEMERU



          Tiga tahun belakangan ini, nama Ranu Kumbolo sudah bukan lagi nama yang asing di telinga khalayak umum. Telaga seluas 15 hektare di gunung Semeru tersebut mendadak jadi popular setelah keindahannya diekspose dalam sebuah film layar lebar besutan salah seorang sutradara terkenal di tanah air. Alhasil, ribuan pendaki berduyun-duyun menuju kesana, baik itu pendaki kawakan ataupun pendaki dadakan. Mereka rela berjalan sekitar empat sampai lima jam dari desa Ranu Pani, kabupaten Lumajang, hanya untuk bisa menikmati pesona danau ini. Mereka juga tidak peduli berapa biaya yang harus mereka keluarkan untuk bisa menyaksikan atau bernarsis ria langsung dihadapan Ranu Kumbolo demi memenuhi kepentingan eksistensinya di jejaring sosial. Dengan keadaannya yang sudah krodit sedemikian rupa, jangan pernah kita berekspektasi bisa merasakan keasrian alam Ranu Kumbolo seperti sebelum merebaknya euforia film tersebut.

Pagi yang cerah dan damai disisi timur Ranu Kumbolo.
           Pada saat musim pendakian di bulan Mei 2014 lalu, saya kembali menyinggahi danau yang berada di ketinggian 2.400 meter diatas permukaan laut itu setelah kedatangan pertama saya pada bulan Juni tahun 2013. Kegagalan mencapai puncak Mahameru pada pendakian tahun 2013 membuat saya berniat untuk kembali datang kemari, hanya saja suasananya jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Pagi itu, pelataran camping disebelah barat Ranu Kumbolo terlihat disesaki oleh ratusan tenda para pendaki. Warna-warni flysheet tenda turut menyemarakkan suasana ditepian telaga. Agak terkejut juga saya yang kala itu berpikir antara sedang berada di gunung atau di sebuah pasar. Rupanya, dampak dari film yang baru saja kita bahas diatas bisa sedemikian hebatnya. Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak sampah yang nanti akan berserakan disitu, dan berapa banyaknya kotoran manusia yang akan menumpuk dipermukaan tanah yang tertutup rerumputan. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam melangkah...!

Disisi barat, terlihat basecamp yang telah dipenuhi oleh warna-warni tenda para pengunjung Ranu Kumbolo.  Disaat musim pendakian telah dimulai, anda akan merasakan hal seperti ini juga.
           Tidak bisa dinafikan bahwa Ranu Kumbolo memang surganya gunung Semeru. Ketika langit cerah, permukaan airnya akan tampak menghijau. Ketika sedang mendung tertutup kabut, kita bisa menyaksikan kabut tersebut mengambang diatas permukaan airnya. Menurut kesaksian beberapa pendaki senior yang pernah berkunjung ke tempat ini pada akhir 80an, mereka masih bisa melihat sepasang atau sekawanan belibis yang tengah berenang di Ranu Kumbolo. Sekarang tentu sudah tidak bisa kita temukan lagi kejadian seperti itu, mungkin invasi para pendaki belakangan ini kian meresahkan belibis-belibis yang hidup di tempat tersebut.

Pedagang asongan juga bisa anda temukan disekitar Ranu Kumbolo. Beberapa tahun lagi, mungkin disini bisa kita jumpai pedagang nasi uduk atau bahkan toko swalayan.
           Berikut ini saya akan mencoba sedikit menggambarkan tentang Ranu Kumbolo. Meskipun sudah sangat banyak artikel membahas objek yang sama, namun saya akan berusaha mendeskripsikannya melalui sudut pandang saya sendiri.

                                                                          *****

           Danau Kumbolo yang berada di gunung Semeru, terbentuk akibat letusan gunung Jambangan. Beberapa pohon Cemara gunung tumbuh disekitar tepiannya, tanaman Verbena Brasiliensis yang berasal dari Amerika Latin dan memiliki warna khas, yaitu warna ungu juga tumbuh liar tidak jauh dari danau. Tanaman ini biasa disebut Lavender (Lavandula Angustifolia) oleh para pendaki meskipun tanaman tersebut bukanlah tanaman yang dimaksud. Tanaman ini diklaim oleh pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sebagai tanaman liar yang mengancam keberadaan tanaman endemik gunung Semeru, lebih khususnya di jalur Oro-Oro Ombo. Meski tersohor karena reputasinya sebagai tanaman yang invasif, namun kehadirannya yang berbunga ungu cerah ini seolah menjadi anugerah bagi para penggiat fotografi. Hamparan luas tanaman Verbena Brasiliensis di padang rumput Oro-Oro Ombo adalah salah satu spot yang unik dan memiliki keeksotisan tersendiri di mata para fotografer. Hanya saja, tidak semua pendaki bisa beruntung menyaksikan bunga-bunga ini merekah dengan warna ungu cerahnya. Andai kita datang di waktu dan musim yang tidak tepat, maka yang akan kita temukan hanyalah hamparan luas ilalang berwarna coklat tua saja.

Tanaman asal Amerika Latin, Verbena Brasiliensis, yang kerapkali disangka Lavender oleh hampir sebagian besar pendaki.
           Disebelah barat Ranu Kumbolo ada sebuah shelter yang dulu biasa digunakan sebagai tempat beristirahat bagi para pendaki, namun saat ini shelter tersebut terlihat sudah sangat tidak layak untuk digunakan. Disitu juga terdapat permukaan tanah yang cukup luas dan datar sehingga para pendaki bisa membuka tenda dan istirahat ditempat tersebut sebelum melanjutkan perjalanannya kembali menuju Kalimati.

Pendakian pertama ke gunung Semeru pada bulan Juni tahun 2013.
           Meski tubuh sudah didera rasa lelah karena perjalanan yang cukup jauh, namun sebaiknya kita jangan terburu-buru untuk melewati malam dengan mimpi dan dengkuran. Kenakanlah jaket dan sarung tangan anda, sebab suhu di Ranu Kumbolo pada malam hari bisa mencapai 5 derajat celcius. Buka tirai tenda, segeralah keluar dan bentangkan matras tidur anda didepan tenda. Ambil posisi ternyaman, lalu mendongaklah ke angkasa raya dimana langit kelam menjajakan gugusan bintang dengan pendaran kilaunya. Menikmati malam dibawah hingar-bingarnya gemintang dan dihadapan telaga Kumbolo akan jadi kisah yang tak pernah pudar dimakan zaman.

           Menjelang pagi, dari sisi barat ini kita akan dimanjakan oleh kehadiran matahari yang terbit sedemikian indahnya diantara sela-sela bukit yang berada disebelah timur. Hal ini kembali mengingatkan saya kepada lukisan mainstream karya bocah-bocah yang menggambarkan pemandangan alam, dimana terdapat matahari yang diapit diantara dua buah gunung atau bukit, lalu ada aliran sungai atau danau dibawahnya. Kadang, ada beberapa pendaki dan porter yang datang ke Ranu Kumbolo dengan membawa tongkat pancing, ditepi telaga itulah mereka menyalurkan hobi mereka hingga berjam-jam lamanya. Menurut informasi yang saya dapat dari seorang porter, dulu sebelum keadaan Ranu Kumbolo menjadi ramai seperti sekarang ini masih tersedia ikan Mujair dengan jumlah yang cukup banyak. Bahkan menurut penuturan dari paman saya, ngkong Usman, ikan yang ada di Ranu Kumbolo rasa dagingnya lebih gurih ketimbang ikan yang ada di Segara Anak, di gunung Rinjani. Jelas saja, itu dikarenakan air di Segara Anak mengandung belerang sehingga mempengaruhi citarasa dari ikan-ikan yang hidup didalamnya.

Suasana ketika sunrise muncul dari balik perbukitan yang berada disebelah timur Ranu Kumbolo (Dok : Deden Hamdani). 
           Ada sebuah tanjakan yang cukup curam di Ranu Kumbolo, kita mengenalnya dengan sebutan Tanjakan Cinta. Jalur pada tanjakan ini akan terasa sangat berdebu dan licin manakala sedang memasuki musim kemarau. Yang menggelitik di benak saya adalah ketika ada sekelompok pendaki belia yang termakan oleh mitos di tanjakan tersebut, bahkan ada dari mereka yang betul-betul enggan menolehkan kepalanya kearah belakang. Setelah lelah menjejak di jalanan menanjak, kita akan tiba disebuah medan datar yang juga menjadi bagian atas dari Tanjakan Cinta. Dari atas tanjakan ini, view selanjutnya yang akan kita dapatkan dijamin tidak akan membuat kita menyesal karena sudah datang jauh-jauh ke tempat ini.

Jalan menanjak dan berdebu di jalur Tanjakan Cinta.
           Kita bisa beristirahat sejenak setelah lelah menanjak ditempat itu. Sambil melepas letih, anda boleh mencuri pandangan kearah Ranu Kumbolo yang permukaan airnya terlihat berkilau diterpa sinar matahari. Air danaunya yang berwarna hijau akan tampak menawan, jangan lupa untuk mengabadikan moment tersebut sebagai bahan cerita kepada teman-teman anda di kota.

                              *****

           Ranu Kumbolo selain menjadi primadonanya gunung Semeru, sekaligus jadi penyambung nyawa bagi seluruh pendaki, baik yang hanya sebatas berkemah disitu ataupun yang akan melanjutkan kembali perjalanannya ke Kalimati. Para pendaki akan transit dan mengisi persediaan air mereka di Ranu Kumbolo, oleh karena itu kebersihan di air telaga tersebut wajib dijaga dan harus selalu diperhatikan. Terlebih lagi, Ranu Kumbolo merupakan salah satu sumber air di gunung Semeru yang disucikan oleh masyarakat Hindu Tengger. Mereka menganggap Ranu Kumbolo adalah tempat mandi para Dewa sehingga tidak diperkenankan bagi para pengunjung yang datang ke tempat itu untuk mandi apalagi berenang. Dengan ditampilkannya adegan berenang pada film layar lebar yang booming tiga tahun lalu, saya merasa baik dari pihak sutradara maupun para pemeran film tersebut belum memiliki kesadaran untuk bisa menghormati budaya dan tradisi setempat, atau mungkin juga karena mereka sama sekali tidak mengetahui hal tersebut. Pernah saya melihat tiga orang remaja yang terpengaruh oleh film tadi, berenang di Ranu Kumbolo dengan diselingi gelak tawa yang dibuat-buat. Beberapa pendaki ada yang menyaksikannya dengan tatapan sinis, sebagian lagi ada yang menganggapnya wajar bahkan cenderung terpicu untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh ketiga orang tadi. Tidak lama kemudian, beberapa orang ranger dari TNBTS menghampiri ketiga remaja itu, mereka menyuruh ketiganya untuk segera naik dari danau dengan suara sedikit membentak. Ketiga anak muda tadi akhirnya dikenai sanksi untuk memunguti sampah disepanjang danau, salah seorang ranger memberikan mereka masing-masing satu buah trashbag. Kejadian itu saya saksikan sendiri ketika saya datang ke tempat ini tahun 2013.

           Tidak jauh dari Tanjakan Cinta terdapat sebuah prasasti yang dipercaya sebagai salah satu peninggalan kerajaan Majapahit. Batu prasasti itu tampak dikelilingi oleh pagar kawat dan bertuliskan  Ling Deva Mpu Kameswara Tirthayatra.  Seorang ahli sejarah memprediksi tulisan pada prasasti tersebut dibuat sekitar tahun 1.182 Masehi. Umat Hindu Tengger yang datang ke tempat itu sering meletakkan sesajen dan menabur bunga didekat prasasti sebagai persembahan bagi para leluhur mereka. Puncak gunung Semeru atau puncak Mahameru diyakini masyarakat Hindu Tengger sebagai tempat bermeditasi bagi para leluhur mereka untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi. Wajar rasanya bila mereka akan berusaha sekeras mungkin untuk menjaga situs-situs peninggalan leluhur maupun para pendahulunya.

                             *****

            Pada akhirnyaRanu Kumbolo tidak hanya menjadi destinasi wisata yang menawarkan pesona alamnya semata, lebih dari itu tersimpan juga rekam jejak dan napak tilas dari sejarah yang pernah ada di Nusantara. Sebagai bangsa yang berbudaya, sudah sepantasnya kita menjaga kelestarian serta kebersihan tempat itu dan bukannya datang untuk menciptakan persoalan lingkungan yang baru. Selama kita bertamu dan  menjunjung tata krama serta menghormati kearifan lokal yang ada, dengan demikian kita telah membuktikan diri menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Be a wise hikers...!



Ranu Kumbolo Dibalik Lensa :

Foto saya dengan background hamparan tanaman Verbena Brasiliensis di jalur Oro-Oro Ombo.
Lukisan alam yang terefleksi diatas permukaan air telaga di Ranu Kumbolo.   
Ikan-ikan kecil yang sedang bermain disekitar tepian danau.
Mat Jigrig diantara tanaman Verbena  yang tumbuh liar disepanjang jalur Oro-Oro Ombo.
Saya dan Syaiful.
Untuk bisa bergaya diatas bongkahan batu besar ini, kita harus bersedia mengantri dengan para pendaki lain.
Suasana dipinggiran Ranu Kumbolo saat ini yang selalu ramai oleh berbagai macam aktivitas dari para pendaki.
Foto saat mengunjungi Ranu Kumbolo untuk yang kedua kalinya pada bulan Mei tahun 2014.
Foto bersama kawan baru asal Ciracas, Jakarta Timur.
View tepian Ranu Kumbolo dari sisi timur.
Tampilan Ranu Kumbolo dari atas Tanjakan Cinta.
Pagi hari di basecamp sebelah timur.
Tampilan Ranu Kumbolo dari sisi lain. Diambil dari jalur pendakian setelah pos 4.

Kamis, 20 Agustus 2015

MENYELISIK ALAM PERMAI DI PUNCAK CEREMAI


          Kumandang adzan Subuh terdengar bersahutan, menggema disetiap jalan raya ibukota yang sebelumnya senyap dibalik mimpi warganya yang terlelap. Saat itu juga sang supir bus yang akan saya tumpangi kendaraannya, menyeruput kopi hangatnya hingga habis. Ia lalu meminta semua penumpang yang masih berada diluar bus untuk segera naik karena tak lama lagi bus akan berangkat. Mesin menderu, transportasi darat itupun melaju ditengah suasana Jakarta yang saat itu masih sepi.

Dari kiri ke kanan : Arif, Aldi, kong Usman, Syaiful, Agung.            
           Perjalanan saya kali ini akan menuju ke arah kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Saya dan juga beberapa rekan lainnya akan melakukan pendakian ke gunung Ceremai yang memiliki ketinggian 3.078 meter diatas permukaan laut (mdpl). Kelompok ini terdiri dari saya, kong Usman, Syaiful, Agung dan Arif. Seperti biasa kong Usman terpilih menjadi ketua rombongan, sementara Syaiful menjadi koordinator keuangan. Kami menggunakan bus Luragung Jaya kelas ekonomi tujuan Jakarta – Kuningan yang berangkat dari Galur, Jakarta Pusat, dengan tarif sebesar Rp.60.000. Kami turun di Cirendang, kabupaten Kuningan, tepat pukul 09.00 pagi. Kemudian saya dan yang lainnya melanjutkan perjalanan dengan menyewa angkutan umum menuju Palutungan yang terletak di desa Cisantana, kecamatan Cigugur, sebab kami akan menggunakan jalur Palutungan untuk memulai pendakian hingga ke puncak Ceremai. Kong Usman sebelumnya meminta sang pengemudi angkot mengantar kami ke pasar baru Kuningan untuk belanja beberapa bahan makanan ditempat itu. Hanya sekitar dua puluh menit kami belanja di pasar, perjalanan pun kembali dilanjutkan. Dari Cirendang hingga menuju pos registrasi di Palutungan, kami dikenakan biaya sewa angkot sebesar Rp.25.000 perorang.

Pasar Baru, Kuningan, tempat kami membeli bahan-bahan makanan sebelum menuju Palutungan.
            Setibanya di Palutungan, Arif dan Kong Usman segera menuju pos pendaftaran untuk melakukan registrasi. Persyaratan yang diberlakukan di pos itu tidaklah serumit ketika saya hendak mendaki ke gunung Semeru. Anda cukup membawa satu buah KTP sebagai perwakilan dari rombongan, mengisi serta menandatangani formulir pendaftaran, dan membayar uang simaksi sebesar Rp.50.000 perorang. Meski pos pendaftaran yang berada di jalur Palutungan tidak dikelola secara langsung oleh pihak Balai Taman Nasional Gunung Ceremai (BNTGC) melainkan oleh Mitra Pengelola Pendakian Gunung Ceremai (MPPGC), namun pelayanan dan fasilitas yang diberikan ditempat itu sudah cukup memuaskan.

After repacking...
           Dengan membayar simaksi, kita akan mendapat jaminan asuransi, fasilitas beristirahat bagi para pendaki yang hendak atau baru saja melakukan pendakian, ada juga pondokan yang mampu menampung banyak pendaki juga beberapa buah toilet yang disediakan untuk keperluan mandi dan mencuci. Selain itu, kita juga akan diberikan kupon untuk makan di tempat yang sudah ditentukan oleh pihak penjaga pos. Fasilitas penginapan yang disediakan oleh pihak MPPGC untuk para pendaki sebenarnya sudah sangat layak untuk disinggahi, namun sayangnya masih ada saja beberapa oknum pendaki yang membuang sampah logistiknya secara sembarangan sehingga dibagian depan penginapan tersebut kerapkali terlihat kotor oleh sampah.

Pos pendaftaran di jalur Palutungan, kecamatan Cigugur, Kuningan.
           Sebelum kita memulai pendakian, sebaiknya pastikan tiket masuk, peta jalur pendakian dan jaminan asuransi yang baru saja didapat ketika melakukan registrasi di pos pendaftaran tersimpan dengan baik. Itu semua harus diserahkan lagi kepada mereka seusai kita melakukan pendakian untuk ditukarkan dengan kupon makan. Jangan lupa juga untuk membawa turun sampah logistik anda. Selepas mengisi formulir dan membayar simaksi, trash bag akan diberikan secara cuma-cuma kepada anda dari pihak MPPGC.

Simpan dengan baik bukti registrasi ini untuk dikonfirmasi ulang pada saat kembali dari pendakian.
1. Palutungan

           Palutungan menjadi shelter atau pos pertama sekaligus basecamp dimana para pendaki bisa melakukan repacking keperluan yang mereka bawa sebelum memulai pendakian hingga ke shelter berikutnya. Meski saat itu jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang waktu setempat, namun karena Palutungan berada di ketinggian 1.100 mdpl maka kami hampir sama sekali tidak merasakan panasnya matahari. Kabut tebal senantiasa menyelimuti perkampungan itu sehingga hanya kesejukan yang terasa.

Diawal perjalanan, kita akan melalui jalur ini hingga ke ladang penduduk..
           Kami mulai meninggalkan perkampungan penduduk dan memasuki ladang luas yang dipenuhi tanaman sayur-sayuran. Dengan melalui jalanan sempit ditengah ladang, kadang kami juga harus menepi ke sisi jalan untuk memberi ruang bagi petani yang hendak turun membawa hasil buminya. Tanaman sayur yang ditanam ditempat itu terdiri dari tanaman daun bawang, wortel dan kembang kol.

Memasuki lahan pertanian dengan view  tanaman bawang daun, kembang kol dan wortel.
           Siang itu, sepasang elang Jawa (Spizaetus bartelsi) terlihat sedang terbang rendah mencari mangsa diseputar ladang. Menurut informasi yang saya baca dari artikel di internet, beberapa jenis burung elang, termasuk elang Jawa, masih bisa kita temukan di hutan gunung Ceremai. Tidak beberapa lama, akhirnya kami tiba disebuah pondokan yang berada diperbatasan antara ladang penduduk dan pintu gerbang hutan gunung Ceremai. Didepan pondokan terpampang sebuah plang selamat datang milik Kementerian Kehutanan dan BTNGC yang sebagian ruang kosongnya telah disesaki oleh sejumlah sticker komunitas pendaki gunung maupun organisasi pencinta alam.

Plang selamat datang milik Kemenhut yang sekaligus jadi pembatas antara ladang penduduk dengan pintu gerbang hutan gunung Ceremai.
2. Cigowong

          Perjalanan dari Palutungan hingga ke shelter Cigowong atau pos dua akan menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam dengan melewati hutan pinus yang teduh. Jalur yang dilalui pun masih terbilang landai dan hanya terdapat sedikit jalanan menanjak. Sekelompok pendaki terlihat sedang beristirahat sambil bercengkrama disisi jalur pendakian, kami menyapa dan mereka pun mempersilahkan kami untuk mendahuluinya.

Di jalur menuju shelter  Cigowong, kita masih dimanjakan dengan jalanan yang landai.
           Sesampainya di pos Cigowong, disitu kita akan menemukan sebuah pondokan yang lumayan besar. Tidak jauh dari pondokan tadi, terdapat toilet untuk keperluan mandi cuci kakus para pendaki. Gemericik air jernih yang mengalir beberapa meter dari sisi toilet seolah menjadi penawar bagi kegelisahan kami yang sempat berpikir sudah tidak ada lagi sumber air yang bisa kami temukan. Mengingat sumber air hanya ada di shelter ini, maka sebaiknya kita memanfaatkan persediaan air yang ada sepuasnya sebelum melanjutkan kembali perjalanan ke shelter berikut. Wadah-wadah air yang isinya telah berkurang tadi pun bisa kita isi kembali.

Shelter Cigowong.
           Shelter Cigowong berada di ketinggian 1.450 mdpl dan menjadi satu-satunya shelter yang memiliki permukaan tanah datar terluas di jalur pendakian Palutungan. Siang itu, suasana di Cigowong tidak terlalu ramai oleh para pendaki. Kami hanya menjumpai sekitar tiga kelompok pendaki yang juga tengah beristirahat sambil mengisi persediaan airnya.

Sesampainya di pos dua, kami segera memasak air dan mengisi ulang botol-botol air minum yang kosong.
           Setelah kami puas beristirahat di shelter Cigowong, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju pos tiga. Selepas pos dua, para pendaki dituntut untuk bisa memanage persediaan air mereka sebaik mungkin hingga nanti mereka tiba kembali ke tempat ini. Saya sarankan untuk membawa portable water tank atau jerigen untuk daya tampung air yang lebih banyak, dengan begitu kita bisa mengoptimalkan penggunaan air diatas sana dan tidak sebatas untuk keperluan minum saja.

Agung tengah mengisi botol-botol air minum di sumber air Cigowong.
3. Kuta

          Kuta atau pos ketiga tidak seperti shelter lainnya yang rata-rata memiliki permukaan tanah datar, yang bisa digunakan sebagai tempat beristirahat. Kuta hanyalah jalur pendakian biasa yang dijadikan patokan bahwa seorang pendaki telah tiba di pos ketiga. Kuta berada di ketinggian 1.575 mdpl dengan jarak tempuh sekitar 30 menit dari shelter Cigowong. Ditempat ini, sangat jarang pendaki yang beristirahat, termasuk kami. Mungkin karena tempatnya yang tidak memungkinkan untuk beristirahat atau khawatir istirahat mereka akan terganggu oleh lalu lalang orang lain, maka banyak dari para pendaki tersebut yang lebih memilih untuk terus bablas hingga ke pos berikutnya.

Melanjutkan perjalanan kembali menuju ke shelter Kuta.
           Perjalanan dari Kuta menuju pos empat akan memakan waktu sekitar 45 sampai 50 menit, karena mulai dari sini jalanan akan didominasi oleh tanjakan-tanjakan yang bakal menguras tenaga anda. Bersiaplah...!

4. Pangguyangan Badak

          Di shelter Pangguyangan Badak, kami kembali bertemu dengan sekelompok pendaki yang sebelumnya kami susul di jalur menuju pos kedua. Mereka sepertinya bermaksud untuk bermalam ditempat itu, salah satu dari mereka terlihat sedang melaksanakan shalat Ashar. Saya, Arif dan Agung merebahkan diri pada carrier masing-masing sambil mengatur nafas yang terasa mulai kembang kempis. Tidak beberapa lama kemudian, Syaiful dan kong Usman pun datang.

Shelter Pangguyangan Badak.
           Shelter Pangguyangan Badak berada di ketinggian 1.800 mdpl dan mampu menampung sekitar enam hingga delapan buah tenda camping. Kecuali dalam keadaan darurat seperti faktor kemalaman, saya rasa sebagian besar pendaki enggan untuk bermalam ditempat itu karena jarak tempuh yang masih sangat jauh untuk menuju puncak Ceremai, yaitu sekitar 4,5 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 6,5 jam lagi.

Menjelang senja di pos empat.

5. Arban

           Matahari sudah mulai meredup sinarnya manakala kami tiba di pos kelima, yaitu shelter Arban. Saat itu waktu menunjukkan pukul 17.15 waktu setempat, sebentar lagi langit akan gelap. Khawatir kemalaman jika masih memaksakan perjalanan menuju shelter Pasanggrahan, saya pun berniat mengusulkan agar bermalam di shelter ini saja. Namun karena saya merasakan ada sedikit kejanggalan pada pos yang memiliki ketinggian 2.050 mdpl ini, maka saya pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju pos keenam. Bila kita mau memperhatikan, di shelter Arban terdapat papan peringatan yang berbunyi: jangan bicara sembarangan. Papan peringatan semacam itulah yang menjadi pembeda antara Arban dengan shelter-shelter yang lain. Sayangnya, saya sudah tidak mood untuk mengeluarkan kamera dan mengambil gambar papan peringatan itu.

6. Tanjakan Asoy

          Desah nafas kami saling berburu mengisi ruang belantara yang sesaat lagi akan senyap ditelan pekatnya malam. Kemarau panjang menyebabkan sepanjang jalur pendakian menjadi kering dan berdebu. Sepatu-sepatu gunung kami terus menjejak di jalanan menanjak, termasuk tanjakan curam yang saat itu tengah kami lalui. Tampaknya tanjakan curam semacam ini tidak ada habisnya, pikirku saat itu. Kadang akar-akar pohon yang mencuat dari dalam tanah seperti sengaja menahan setiap langkah, alhasil sol sepatu yang saya pakai pun jadi semakin menganga.

Anak tangga setelah shelter Tanjakan Asoy menuju Pasanggrahan.
           Sebuah papan kayu berwarna kuning yang terpampang pada sebuah pohon akhirnya menyudahi langkah kami saat itu. Ya, kami sudah tiba di pos keenam atau shelter Tanjakan Asoy tepat pukul 17.50 petang. Kong Usman dan Syaiful segera memasang tenda, sementara Arif dan Agung memasang tenda yang lain. Permukaan tanah di shelter ini bisa dibilang tidak seutuhnya rata, malah lebih cenderung miring. Dengan adanya beberapa batang pohon yang tumbang, menjadikan pos ini hanya mampu menampung sekitar empat hingga lima buah tenda saja.

Tanjakan Asoy.
           Tanjakan Asoy berada di ketinggian sekitar 2.200 mdpl, hampir setara dengan ketinggian puncak gunung Salak I yang memiliki ketinggian 2.211 mdpl. Dinamakan Tanjakan Asoy mungkin dikarenakan sebelum atau sesudah shelter ini terdapat tanjakan yang cukup curam yang pastinya akan menguji kekuatan otot-otot paha ketika kita melaluinya. Pekik Owa Jawa (Hylobates moloch) bisa terdengar saling bersahut-sahutan di tempat ini, hanya saja jangan pernah berharap bisa menyaksikan mereka lama bergelayutan di dahan pohon karena mobilitasnya sangat tinggi.

Bergegas meninggalkan camp area untuk menuju puncak Ceremai.
7. Pasanggrahan

          Pagi itu, kami tengah bersiap melanjutkan perjalanan menuju puncak Ceremai. Kami hanya membawa perbekalan air minum dan sedikit makanan saja, sementara perlengkapan yang lain ditaruh didalam tenda. Dengan demikian, kami berharap bisa melalui beberapa pos yang tersisa dengan cepat dan mudah.

Foto bersama di Tanjakan Asoy sebelum melanjutkan perjalanan.
           Kerapkali saya menemukan beberapa jenis burung yang sedang mencari makan atau sedang terbang rendah di jalur pendakian, diantaranya adalah Anis Gunung (Turdus poliochepalus) dan puyuh (Arborophila javanica). Burung-burung itu sepertinya sudah terbiasa dengan kehadiran para pendaki ditempat ini, mereka juga tidak segan-segan mendekat meski pada akhirnya mereka akan terbang menghindar ketika kami mulai bergerak untuk melanjutkan perjalanan.

Saat kami baru tiba di shelter Pasanggrahan (Doc : Agung).
           Tepat pukul 08.28 pagi, kami tiba di shelter Pasanggrahan diketinggian 2.450 mdpl. Botol air mineral berukuran besar itu berpindah-pindah tangan, isinya pun perlahan mulai surut kedalam kerongkongan. Seketika rasa dahaga itupun hilang untuk sementara.

Shelter Pasanggrahan.
           Pasanggrahan bisa dibilang shelter terakhir yang masih bisa ditumbuhi pohon-pohon besar, yang rimbunnya senantiasa melindungi dari panas matahari. Selepas pos ketujuh ini, suasananya akan sangat berbeda dimana tidak ada lagi pohon-pohon rindang yang bisa dijadikan tempat untuk berteduh dari terik yang menyengat, dengan kata lain, anda telah memasuki batas vegetasi.

Tempat ini menjadi batas vegetasi, sekaligus jadi perbatasan antara shelter Pasanggrahan dengan Sanghyang Ropoh.
8. Sanghyang Ropoh

          Ruang jalur pendakian di pos kedelapan ini mulai terbuka, tanpa dahan-dahan pohon dan rimbunnya dedaunan yang menjadi penghalang panas. Bila hari masih pagi, anda bisa dengan leluasa menyaksikan birunya langit dari tempat ini. Pohon Cantigi (Vaccinium varingiaefolium), Akasia (Acacia Mangium) dan Edelweiss Jawa (anaphalis javanica) tampak tumbuh mendominasi mulai dari shelter Sanghyang Ropoh sampai ke puncaknya. Disini, anda masih bisa balik kanan seandainya tiba-tiba anda berubah pikiran atau ragu untuk bisa menggapai puncak diatas sana, karena mulai dari sini track pendakian akan terasa menyulitkan. Bukan tidak mungkin seorang pendaki akan mengalami pergulatan batin manakala ia mendongak ke arah puncak.

Shelter Sanghyang Ropoh.
           Dengan ketinggian sekitar 2.650 mdpl atau hampir setara dengan ketinggian gunung Papandayan di Garut, di shelter ini kita juga sudah bisa menikmati sensasi berada diatas awan. Merasa puncak sudah tidak berada jauh dari pelupuk mata, Arif dan Agung kian terpicu adrenalinnya untuk memacu langkah lebih cepat.

9. Gua Walet

          Gua Walet adalah shelter terakhir sebelum mencapai puncak Ceremai dengan ketinggian mencapai sekitar 2.950 mdpl. Jarak dari tempat ini menuju puncak kurang lebih sekitar 300 meter dengan waktu tempuh setengah jam. Disini kita akan banyak menjumpai tanaman Edelweiss yang tumbuh lebih tinggi dari orang dewasa. Aroma sulfur sudah bisa tercium dari pos kesembilan ini. Sebelum tiba di shelter Gua Walet, terlebih dahulu kita akan berjumpa dengan persimpangan jalur antara Palutungan dan ke arah Apuy (Majalengka).

Sesampainya kami di persimpangan antara jalur Palutungan dengan jalur Apuy (Doc : Agung).
           Track yang akan dilalui semakin sulit dengan jalur berbatu yang terbentuk dari hasil pembekuan magma dan permukaan bebatuannya selalu tertutup oleh tanah kering berkerikil. Pada saat kemarau panjang seperti sekarang ini, hembusan angin akan dengan mudahnya menerbangkan pasir serta tanah yang mengering, sehingga semakin menghambat pandangan dan laju kita. Bisa dibilang jalur ini adalah jalur paling berdebu diantara jalur yang lain.

Shelter Gua Walet.
           Angin menderu dari atas puncak sana, menyusuri jalur pendakian dan menyapu jalur kering berdebu menuju ke arah selatan. Partikel-partikel terkecil dari tanah dan pasir menggulung liar ke tempat dimana saya, Syaiful dan kong Usman beristirahat, kami pun segera menutupi sebagian wajah kami dengan scarf. Sementara itu, Arif dan Agung sudah menghilang dari pandangan. Terakhir saya berbarengan dengan mereka ketika kami beristirahat di suatu tempat yang terdapat plakat pendaki yang meninggal ditempat tersebut.

Tugu peringatan yang berada tidak jauh dari plang Gua Walet (Doc : Agung).
           Di track semacam ini, kita bisa mengandalkan kekarnya akar Cantigi sebagai pijakan alternatif apabila anda sedang malas mengangkat kaki terlalu tinggi, sebab ada beberapa jalur yang memiliki tanjakan cukup terjal disini. Kita juga harus pintar memilih jalan mengingat banyaknya jalur yang bercabang, meski pada akhirnya pecahan jalur tersebut sama-sama akan menuju puncak juga.

Beristirahat sejenak sambil menghindari terik matahari (Doc : Agung).
10. Puncak Ceremai

          Udara panas dan tanjakan liar kian menguras stamina saya. Syaiful, kong Usman, Arif dan Agung sudah lebih dulu menjejakkan kaki mereka diatas puncak sana. Sementara saya masih berkutat dengan tanjakan-tanjakan licin berbatu. Saat itu, saya menjadi peserta terakhir yang berjalan dengan sangat perlahan dan hati-hati, khawatir tergelincir karena salah meniti langkah. Sambil terus mendaki menuju puncak, sesekali juga saya melihat ke arah sol sepatu yang kondisinya kian memprihatinkan saja.
           “Al! Puncak, Al!” seru kong Usman memberi semangat dari arah puncak, saya pun mendongak. Ah, ternyata jarak ke puncak tidak sampai limapuluh meter lagi. Semangat yang baru saja terkikis karena medan yang melelahkan, spontan kembali bangkit. Diatas sana, Agung melambai-lambaikan tangannya dengan maksud mensupport saya secara moril agar tak patah arang. Saya berusaha mempercepat langkah meski telinga mulai terasa nyeri dan berdengung akibat aklimatisasi. Agung sudah siap menyongsong saya yang mulai mendekati puncak. Setelah tanjakan terakhir berhasil dilalui, tepat pukul 10.03 waktu setempat akhirnya saya dapat memandang birunya langit dan hamparan segara awan langsung dari atas puncak tertinggi di Jawa Barat, puncak gunung Ceremai. Terharu, pesona semesta raya akhirnya membayar semua derai peluh dan rasa letih yang baru saja mendera tubuh kami.

Detik-detik mencapai puncak : Melangkah perlahan namun pasti (Doc : Agung).
           Beberapa saat setelah berhasil menggapai puncak, saya dan keempat rekan saya lantas segera mengabadikan moment tersebut. Tidak hanya itu, saya pun memberikan informasi kepada Syaiful, Arif dan Agung seputar beberapa gunung yang dapat terlihat jelas dari tempat kami beristirahat. Diatas puncak itu, kita bisa menyaksikan indahnya panorama alam dari bibir kawah yang memiliki lebar kurang lebih dua sampai tiga meter. Dasar kawah yang menganga pun bisa terlihat jelas. Sepanjang bibir kawah terdapat jalur yang biasa digunakan para pendaki untuk mengelilingi kawah atau untuk sekedar menikmati view dari spot yang berbeda. Bila hari masih pagi, langit akan tampak membiru bagai lazuardi. Gumpalan awan putih bersih perlahan merayap, ibarat permadani alam yang sedang melayang lebih rendah dari tempat kita berpijak. Disebelah barat, kita bisa melihat puncak gunung Cikuray yang menyembul dari samudera awan, begitu juga dengan sosok Papandayan, Guntur, Patuha dan Galunggung. Melepas pandangan ke arah timur, maka kita dapat menyaksikan gunung Slamet, bahkan Sindoro dan Sumbing meski dari kejauhan. Disebelah utara, Laut Jawa juga turut serta menunjukkan eksistensinya meski samar-samar terhalang pekatnya mega.

Selamat datang di puncak Ceremai...! (Doc : Agung).
           Sebenarnya kami masih betah berada di puncak sambil menikmati segala sensasi yang ada diatas sana, tapi terik matahari yang langsung menjamah tubuh memaksa kami tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Setelah puas mengambil gambar, kami segera mencari tempat teduh untuk beristirahat dan makan perbekalan yang kami bawa. Sebuah tanah berbidang datar yang terlindungi bayangan Cantigi menjadi pilihan terbaik. Kami beristirahat, saling mengumbar canda tawa satu sama lain dan menikmati makan siang yang terasa nikmat meski dengan menu seadanya. Keakraban begitu nyata saat itu, dibawah langit yang sama dan dalam kisah yang sama pula.

Berteduh setelah puas mengabadikan gambar di puncak (Doc : Agung).
          
         Ceremai adalah satu dari sekian banyak gunung di Indonesia yang menawarkan tantangan sekaligus keelokan alamnya kepada para penggiat olahraga mendaki. Nama Ceremai diambil dari nama tanaman yang buahnya memiliki rasa asam. Karena banyaknya nama tempat di tatar Pasundan yang menggunakan awalan ci, maka seringkali orang-orang salah kaprah dengan menyebutnya Ciremai. Pada tanggal 19 Oktober 2004, status hutan lindung di gunung Ceremai berubah menjadi Taman Nasional yang bertugas melindungi beraneka ragam flora dan fauna yang berada didalamnya. Ketinggiannya yang mencapai 3.078 meter diatas permukaan laut membuatnya jadi sosok gunung tertinggi di provinsi Jawa Barat. Walau namanya tidak sepopular Semeru, Kerinci atau Rinjani, namun gunung ini tetap memiliki daya tarik serta keindahan tersendiri di kalangan para pendaki. Meski demikian, Ceremai juga tidak tertutup kemungkinan akan mengalami nasib naas seperti Semeru yang sekarang ini lebih pantas disebut sebagai pasar ketimbang gunung.
           Pada bulan April 2015, pihak Taman Nasional Gunung Ceremai menaikkan harga simaksi menjadi Rp.50.000. Beberapa kalangan menganggap itu hal wajar dan merupakan upaya untuk menunjang pelayanan yang diberikan oleh pihak TNGC kepada para pengunjung, disisi lain ada juga pihak yang merasa keberatan karena terlalu mahal dan khawatir akan berujung pada sepinya pengunjung yang datang. Harga tiket masuk gunung Ceremai memang sudah dinaikkan, namun bagaimanapun juga antusias dan gejolak para pendaki untuk bisa menikmati sensasi diatas puncak Ceremai tetap tak akan mampu dibendung hanya dengan lima puluh ribu Rupiah saja.
           Mendaki gunung adalah kegiatan positif selama tidak meninggalkan sampah yang berserakan juga tanpa menimbulkan kerusakan pada alam ataupun fasilitas yang disediakan. Namun belakangan ini, mendaki gunung sudah seperti gaya hidup saja, bahkan cenderung jadi ajang pamer barang. Gunung tidak lagi dijadikan sebagai media perenungan atau tempat untuk bertafakur diri, yang ada malah menjadi wahana rekreasi dan objek selfie.
           Introspeksi terhadap diri sendiri serta saling mengingatkan satu sama lain bisa menjadi solusi agar tidak terjadi aksi saling tuding atas rusaknya alam sekitar. Karena pendaki yang baik adalah mereka yang berdedikasi terhadap alam tempatnya berpijak, yang berani bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan dari tempat yang ia kunjungi. Semoga saja euforia mendaki gunung bisa segera mereda seperti bahana batu akik yang saat ini mulai surut dari permukaan. Dan semoga kedepannya, kegiatan mendaki tidak lagi menjadi gaya hidup semata yang pada akhirnya malah memperkosa nurani dan menumbalkan keasrian yang telah lama ada. Ya, semoga... 


VIEW FINDER :


Sesaat di pos perbatasan antara ladang penduduk dengan hutan gunung Ceremai.

Melepas lelah di hutan pinus.

Menjelang shelter Cigowong.

Makan siang di jalur pendakian


Shelter di Cigowong.

Bongkar muatan sekaligus mengisi perbekalan air. 

Sumber air yang menjadi harapan bagi para pendaki, tetap mengalir meski saat ini sedang kemarau panjang.

Syaiful.

Kong Usman.

Arif.

Agung.

Dipertengahan jalan menuju shelter Pasanggrahan.

Pohon Cemara gunung yang banyak tumbuh disekitar shelter Pasanggrahan hingga Sanghyang Ropoh.

Membidik plang shelter (Doc : Agung).

Menjelang siang dipersimpangan Apuy (Doc : Agung).

Bidang datar di bibir kawah.

.Puncak dan kawah gunung Ceremai.


Bibir kawah sebelah barat.

Menatap birunya langit dan sosok gunung Slamet yang berselimutkan awan disebelah timur (Doc : Agung).

Syaiful dan kong Usman (Doc : Agung).

Agung : peace, love and respect (Doc : Agung).

Arif : you made it...! (Doc : Agung).

Kawah Ceremai (Doc : Agung).

Jalur untuk mengelilingi kawah (Doc : Agung).

Santai sejenak dibibir kawah (Doc : Agung).

From different camera (Doc : Syaiful).

Backlight...

Masih menikmati suasana puncak Ceremai dengan segala keasyikannya.

Hanya sebilah papan, namun selalu jadi rebutan para pendaki.

Feels like home...? Indeed.

Reflection of our shadows...

Bercengkrama dibalik dahan Cantigi sambil menanti kong Usman buka perbekalan (Doc : Agung).

Plakat puncak Ceremai.

Di jalur ini, batang-batang Edelweiss bisa tumbuh melebihi tinggi orang dewasa (Doc : Agung).

Harmonis dikaki langit, selaras diatas awan (Doc : Agung).

Anaphalis Javanica atau Edelweiss Jawa, tanaman yang biasa tumbuh di gunung-gunung berketinggian lebih dari 2.400 meter diatas permukaan laut.

Jalur berdebu di persimpangan Palutungan – Apuy (Doc : Agung).

Setibanya di shelter  Cigowong, kami langsung memasak beberapa bahan makanan sekaligus mengisi air.

Sepertinya mie instant kurang mendapat tempat.

Mie instant hanya sebagai appetizer saja, sedangkan main course-nya masih tetap nasi.

Adonan bakwan jagung hasil karya kong Usman.

Menggoreng bakwan jagung bersama chef Syaiful Misbar.

Seperti inilah rupa dari bakwan mendoan ala Syaiful.

Gambaran sekilas tentang orang yang kelaparan karena baru turun gunung.

Pihak TNGC sudah memberikan fasilitas sedemikian rupa untuk kenyamanan para pendaki yang akan beristirahat ditempat itu. Sayangnya, masih ada saja pendaki yang meletakkan sampah logistiknya didepan resort tersebut.

Pondok pendaki disebelah resort Cigugur yang mampu menampung hingga puluhan pendaki.

Tiga buah kamar kecil ini disediakan untuk keperluan mandi cuci kakus para pendaki.

Tidak hanya menjual souvenir, kaus ataupun sticker, kios ini juga menyewakan peralatan camping untuk para pendaki.

Plang pos pendakian jalur Patulungan yang berada didepan loket pendaftaran.

Informasi seputar jalur pendakian via Palutungan yang berada dibalik plang TNGC.

Bagian depan resort Cigugur yang kaca jendelanya sudah disesaki oleh puluhan sticker pendakian ataupun organisasi pencinta alam.

Korban track Salak dan Ceremai : Akankah jejak langkahnya terhenti sampai disini...?

Masih enggan untuk menyudahi mimpi.

Loket registrasi simaksi yang terlihat masih sepi.

Suasana pagi hari disekitar resort Cigugur yang selalu diselimuti kabut.

Tampilan resort Cigugur dari seberang jalan.

Selepas menikmati udara pagi Cigugur yang sejuk tertutup kabut.


*Thanks To Agung For The Photos