Rabu, 05 Agustus 2015

MEMBIRU LAUT DI SELATAN GARUT


            Malam itu, beberapa orang yang akan mengikuti trip menuju pantai Santolo, Garut, sudah tiba didepan gapura Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur. Sebagian besar peserta trip ini adalah mereka yang pernah ikut pendakian ke gunung Semeru sekitar 3 bulan sebelumnya, diantaranya adalah : Dimas, saya, Andi Suwandi, Manggala, Deden Hamdani, Okki, Alung, Ratri, Putri, Firda dan Eka Sitohang. Eka dan Alung merupakan wajah-wajah baru pada trip kali ini, namun Alung sempat turut serta ketika kami melakukan trip ke gunung Papandayan, Garut, sebulan sebelumnya. Kami sengaja memilih pantai sebagai trip destination kali ini sebab kami memang sedang ingin melakukan perjalanan nyaman, yang cukup duduk manis didalam kendaraan lalu sampai di tempat tujuan tanpa harus bersusah payah berjalan kaki sambil memanggul beban seperti halnya ketika mendaki gunung. Jujur, sebenarnya saya pribadi kurang suka pergi ke pantai.

Meski dibawah terik, Putri, Dimas, Firda dan Andi tetap menikmati deburan ombak dan birunya laut.
           Pantai Santolo yang akan kami tuju merupakan bagian dari pantai selatan yang berada di kabupaten Garut, lebih tepatnya berada di kecamatan Cikelet. Menurut informasi yang saya dapat, untuk mencapai pantai ini dibutuhkan waktu sekitar dua setengah hingga tiga jam dari kota Garut dengan menggunakan kendaraan.

Pantai Santolo yang memukau wisatawan dengan lautnya yang biru dan pasirnya yang putih.
           Elf yang kami tumpangi mulai melaju dan memasuki pintu tol Rawamangun. Memasuki tol Cipularang hari sudah lewat tengah malam, kami menyempatkan diri beristirahat di rest area untuk makan dan belanja perbekalan. Tidak lama kemudian, kami segera melanjutkan perjalanan dan membelah pekatnya malam diantara dengkuran mereka yang terlelap. Menjelang subuh, minibus ini berhenti pada sebuah stasiun pengisian bahan bakar yang berada di kecamatan Cisurupan. Saya, Deden, Okki, Manggala, Ratri, Firda dan Putri bergegas menuju mushalla. Tidak jauh dari SPBU tersebut ada persimpangan jalan yang bila kita ambil ke arah kiri akan menuju Pameungpeuk, sedangkan bila lurus akan membawa kita menuju pelataran parkir Camp David, gunung Papandayan. Usai melaksanakan shalat subuh, saya dan beberapa teman lainnya kembali beristirahat di sebuah warung kopi ditengah dinginnya udara pagi yang menyejukkan dan diantara harumnya aroma kopi yang tersaji.

Melepas penat dengan segelas teh hangat dan sejuknya udara di dataran tinggi, di kecamatan Cikajang (Dok : Okki).
           Langit beranjak cerah sehingga bisa terlihat sosok Papandayan dan wujud kekar gunung Cikuray yang masih mengerucut sempurna meski kadang puncaknya terhalang oleh gumpalan awan. Sang supir minibus telah menyalakan mobil dan kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan dari mulai simpang Cisurupan, mata kita akan dimanjakan oleh view yang tidak akan membosankan. Kami dihibur oleh kehadiran gunung Papandayan dan Cikuray yang mengapit jalan raya, membuat para peserta trip ini berdecak kagum. Jalan aspal yang kami lalui cukup bagus dan lumayan lebar, hanya sebagian kecil yang tampak berlubang. Siapa sangka perjalanan ke arah pantai ternyata mendapat bonus track berupa bentangan alam pegunungan seindah pagi itu. Namun tenang saja, pemandangan menarik semacam tadi tidak berakhir hanya sampai disitu. Sepanjang perjalanan mulai dari Cikajang hingga menuju Pameungpeuk kita akan senantiasa disuguhi panorama alam tatar Pasundan yang hijau memukau nan variatif, meski harus melalui jalan berliku yang kadang dikiri dan kanannya terbentang jurang yang cukup dalam. Di jalur inilah para pengemudi kendaraan biasa terpacu adrenalinnya, hingga pada akhirnya perut kita jua yang akan diuji kesabarannya. Bila tidak sanggup bertahan, anda cukup membuka kaca jendela mobil lalu sediakan tissue dan kantung plastik.

Korban jalanan berliku : Seperti inilah ekspresi mereka yang tumbang karena mual bahkan mabuk perjalanan (Dok : Okki).
          Hari masih terbilang pagi ketika kami tiba di Pameungpeuk. Minibus yang kami tumpangi mulai memasuki sebuah jalan ke arah pantai Santolo yang tidak terlalu lebar namun berbatu dan berdebu, jalan itu sekaligus menjadi akses menuju sebuah lokasi milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau LAPAN. Tempat itu memang dipilih menjadi lokasi utama untuk meluncurkan roket-roket yang tengah diujicoba oleh LAPAN. Tidak berada jauh dari situ, kita dapat melihat rumah-rumah warga sekitar yang dijadikan homestay bagi para wisatawan yang datang.

Jalanan beraspal yang memisahkan beberapa penginapan dengan bangunan milik LAPAN (Dok : Deden Hamdani).
           Minibus menepi didepan sebuah warung yang juga dijadikan penginapan, saya dan Andi bergegas turun untuk mensurvey kamar dan tentu saja harganya juga harus pas dengan finansial kami. Tak lama kemudian, saya, Andi dan teman-teman yang lain berembug perihal penginapan yang akan kami gunakan untuk bermalam. Setelah deal dengan harga dan fasilitas yang didapat, kami pun segera memindahkan perlengkapan kedalam kamar.

Koridor di tempat kami menginap (Dok : Deden Hamdani).
           Di pantai Santolo kita bisa mendapatkan penginapan dengan harga murah namun tetap meriah, sangat cocok untuk para backpacker yang hobi menikmati suasana pantai tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Ingat, meski dengan budget murah meriah bukan berarti view yang ada jadi kurang menggugah. Di tempat itu kita bisa menikmati birunya air laut yang permukaan airnya senantiasa berkilau terkena pijar-pijar matahari, kita juga bisa bermain di hamparan pasir pantai yang bertekstur sangat halus dan berwarna cerah. Jauh disebelah sana tampak bukit-bukit hijau yang berbaris rapi mengelilingi garis pantai, kehadirannya menjadi pelengkap bagi lansekap alam yang membentang di pantai selatan Garut. Selain menawarkan wisata kuliner dan budaya, Garut juga patut diperhitungkan potensi wisata alamnya.

Andi dan Dimas berjemur setelah menjajal segarnya air laut di pantai Santolo.
           Hanya satu hal yang saya sayangkan dari tempat wisata disini, yaitu masalah kebersihan. Hampir disepanjang pantai bisa saya temukan sisa-sisa sampah logistik yang berserakan diatas pasir maupun sampah-sampah yang berasal dari tengah laut yang kemudian terhempas ke tepi pantai. Sepertinya, tidak semua pengunjung yang datang ke tempat ini sadar akan kebersihan lingkungan, padahal di beberapa lokasi sudah disediakan tempat sampah.
           Suasana di pantai Santolo sangat erat dengan kehidupan ala nelayan. Tidak jauh dari tempat kami menginap, ada sebuah dermaga tempat dimana para nelayan menambatkan perahunya usai melaut. Hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari dermaga, terdapat pelelangan dan pasar ikan yang selalu ramai didatangi para wisatawan yang ingin membeli ikan ataupun hasil laut lainnya. Bagi anda yang menggemari dunia fotografi, mulai dari dermaga, pelelangan hingga pasar ikan, bisa jadi alternatif menarik untuk menelisik dan membidik kehidupan serta aktivitas para nelayan dari balik lensa. Bau amis yang menusuk tentu tidak akan jadi faktor penghambat demi mencetak karya yang kelak bisa dijadikan portfolio pada folder anda. Di tempat ini kita juga bisa membeli oleh-oleh berupa ikan asin yang sudah dikemas dalam ukuran tertentu.

Berbagai jenis ikan tangkapan para nelayan yang bisa kita temukan di pasar ikan, di pantai Santolo (Dok : Deden Hamdani).
           Sebagai pengunjung pantai Santolo, ada baiknya kita tidak terpaku di satu tempat saja. Asal mau berjalan sebentar ke arah dermaga, maka kita akan bertemu aliran muara yang memisahkan pantai yang satu dengan pantai yang lain. Ada sebuah sampan bercadik yang biasa digunakan untuk menyeberangi muara tersebut. Dengan membayar sekitar empat ribu Rupiah, kita sudah bisa menyeberangi muara sekaligus mengeksplorasi sisi lain pantai ini. Di tempat itu kita masih bisa menjumpai rimbunnya hutan ala pesisir, kita juga dapat menjelajahi bibir pantai yang didominasi oleh karang. Bila kondisi air laut sedang surut, kita bahkan bisa berjalan ke tengahnya dengan berpijak pada karang-karang yang mengeras tersebut. Tak jauh dari situ, ada sebuah pos yang dilengkapi alat pemantau tsunami. Selain itu, kita bisa menyusuri sebuah bangunan beton yang menyerupai jembatan. Disela-sela tiang penyangganya terdapat air yang mengalir deras dari arah laut dan airnya cukup jernih, warga setempat dan para pengunjung biasanya berenang ditempat itu menjelang sore. Kita juga dapat berjalan menyusuri sebuah dermaga yang sudah rusak atau sekedar untuk berfoto ria diatasnya. Spot terakhir yang akan anda temui disini adalah penampakan sebongkah batu karang yang menjulang setinggi kurang lebih delapan meter, bisa anda jadikan sebagai objek untuk berfoto juga.

Manggala, Deden, Andi, Dimas dan Alung tengah menyeberangi muara dengan perahu bercadik yang memang biasa digunakan untuk keperluan menyeberang.
           Bosan berjalan kaki menyusuri pantai? Jangan khawatir, di tempat ini juga tersedia wahana permainan air seperti banana boat, anda juga bisa menyewa papan seluncur berukuran mini lalu meluncur diatas gulungan ombak laut yang bersahabat. Ya, pantai Santolo secara geografis terletak di sebelah selatan Garut, dengan kata lain pantai ini berhadapan langsung dengan samudera Hindia yang tersohor karena ombak lautnya yang ganas. Namun karena letaknya yang berada pada daerah teluk, dengan demikian pantai Santolo menjadi salah satu pantai selatan di pulau Jawa yang masih aman untuk digunakan berenang ataupun bermain air. Tidak hanya itu, kita juga bisa menyewa perahu kecil yang nantinya akan membawa kita menjelajahi pantai.

Okki, Eka, Ratri, Putri, Firda, Dimas dan Andi siap terpelanting dari atas Banana Boat.
           Jangan takut kelaparan di kampung orang karena kita berada sangat dekat dengan perkampungan nelayan, pelelangan dan pasar ikan. Tidak ada salahnya anda meluangkan waktu ke tempat itu untuk mencari ikan tangkapan para nelayan. Disitu kita bisa mendapatkan berbagai macam ikan yang masih segar, tapi sebaiknya kita juga harus jeli dalam menawar agar terhindar dari aksi tembak harga. Cumi, layur, tongkol, dan kakap merupakan muka-muka lama yang kerap diperjualbelikan di pelelangan maupun di pasar ikan. Andai kata anda sedang malas mengolahnya, kita bisa meminta sang empunya penginapan untuk mengolah hasil laut tersebut. Memang selain menyediakan kamar, para pemilik penginapan juga biasanya selalu menawarkan jasa untuk menyediakan menu makan siang dan makan malam. Meja makan di beberapa penginapan memang didesain sedemikian rendah dengan tujuan agar para tamu bisa makan secara lesehan dan langsung menghadap ke arah lautan.

Suasana makan siang dengan menu yang telah disiapkan oleh pemilik penginapan (Dok : Okki).
          Jangan bangun siang! Itulah slogan bagi para penggiat fotografi. Malangnya, hal itu malah terjadi pada saya. Saat itu jam dinding di kamar yang saya tempati sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi waktu setempat. Saya terkejut, namun bukan karena faktor kesiangan, melainkan kamera SLR milik saya sudah tidak ada pada tempatnya. Kelimpungan sendiri, tiba-tiba Deden masuk kedalam kamar sambil senyam-senyum manakala melihat saya sedang sibuk mencari SLR di tas kamera hingga daypack. Deden segera menyerahkan SLR saya, ternyata dia yang membajak kamera tersebut. Lelaki itu kemudian menunjukkan hasil jepretannya saat matahari baru saja terbit sedangkan saya sudah kehilangan satu moment.

Rona Sunrise di Minggu pagi (Taken By : Deden Hamdani).
           Deden Hamdani adalah seorang guru seni budaya yang juga penggiat fotografi dan jebolan seni rupa Universitas Negeri Jakarta. Saya mengenal lelaki ini ketika saya mengikuti trip ke gunung Semeru pada bulan Juli 2013. Dia tipikal tukang foto yang mampu mencari dan mencuri moment yang saya sendiri belum tentu ngeh. Kemampuan fotografinya cukup baik dan orangnya juga asyik untuk diajak berburu objek. Sedangkan Dimas Yulianto, seorang guru seni rupa yang juga adik kelas dari Deden Hamdani sewaktu kuliah di UNJ, adalah orang yang humoris dan sama-sama menggeluti dunia fotografi namun dengan gaya serta tipikal yang berbeda. Dimas lebih cenderung menggunakan teknik makro pada beberapa hasil jepretannya, oleh sebab itu dia tidak akan pernah menyesal meski harus bangun sesiang apapun.
Deden pun tertidur setelah makan siang.
           Pagi hari adalah waktu dimana orang-orang kembali kepada rutinitasnya untuk mengais rezeki, aktivitas seperti itulah yang telah saya dan Deden nanti. Dengan masing-masing membawa kamera, kami berjalan tanpa alas kaki menuju muara. Pagi itu, suasana di dermaga begitu ramai oleh para nelayan yang baru saja kembali dari laut. Tampak oleh saya nelayan yang sibuk mengatur haluan perahunya agar tidak bersenggolan dengan perahu lain yang sedang ditambatkan di pinggir dermaga. Disisi lain, ada seorang nelayan yang sedang merajut jala. Sementara itu, seorang pemuda belia terlihat sedang menurunkan muatan beserta ikan hasil tangkapan nelayan dari sebuah sampan. Beberapa moment yang ada didepan mata tadi berhasil kami abadikan kedalam memori kamera.

Deden sedang membidik sebuah perahu milik Dinas Perikanan dan Kelautan yang sedang berlalu dari muara (Dok : Deden Hamdani).
           Saya dan Deden segera memutar arah ke pelelangan dan pasar ikan untuk melihat aktivitas yang tengah berlangsung disana. Sontak aroma amis pun mulai menyeruak, namun kami tidak merasa terusik karenanya. Pagi itu, suasana di pasar cukup ramai sehingga kami tidak bisa terlalu lama berada disitu, khawatir mengganggu lalu-lalang orang-orang yang akan berbelanja. Gambar yang saya dapat di pasar hanya sedikit, meski demikian cukuplah kiranya untuk menjadi pelengkap pada tulisan ini. Deden mengajak saya mencari warung kopi, akhirnya kami berdua menyudahi perburuan singkat di pagi ini.

Memotong ikan yang baru datang dari laut menjadi salah satu aktivitas para pedagang di pasar ikan.
           Langit mulai terang, pengunjung di pantai Santolo mulai banyak yang berdatangan dari berbagai daerah. Suasana sekitar bibir pantai menjadi sangat ramai baik oleh mereka yang bermain air maupun oleh sekelompok anak muda yang hanya berjalan-jalan diatas hamparan pasir yang berbuih. Dengan lensa tele yang masih menempel pada badan kamera, saya kembali membidik beberapa objek yang terbilang “enak” untuk dicandid.

Mungkinkah ini yang dinamakan “bonus” bangun di pagi hari...?
           Selepas makan siang, saya dan yang lainnya bergegas meninggalkan pantai Santolo untuk mengunjungi pantai Sayang Heulang yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ini. Sambil mengamati barang-barang yang diletakkan di bagian belakang mobil, pandangan saya lalu terhenti pada sosok Dimas dan Okki. Tidak ada yang ganjil pada keduanya, hanya saja hari itu mereka berdua tampak kompak dengan mengenakan celana pantai hitam bermotif bunga sepatu. Setelah merasa tidak ada satupun barang yang tertinggal, kami pun segera pamit kepada pasangan suami istri pemilik penginapan itu.

Foto bersama sebelum meninggalkan pantai Santolo.
          Menjelang siang, kami mulai meninggalkan tempat itu untuk kemudian menuju pantai yang berada tidak begitu jauh dari pantai Santolo, yaitu pantai Sayang Heulang yang berada di desa Mancagahar. Ketika kami tiba di pantai Sayang Heulang, suasana pantainya sangat berbeda dengan pantai Santolo. Disini kami tidak menemukan seorang wisatawan sama sekali, yang ada hanya satu atau dua orang lelaki yang sedang memancing diatas hamparan bebatuan karang. Selain itu, matahari di tempat ini sangat terik sehingga kerapkali hasil jepretan saya mengalami over exposure. Meski panas matahari sedang merajalela, namun toh akhirnya kami dimanja juga oleh deru angin yang berkecepatan cukup tinggi. Karena faktor tingginya kecepatan angin di tempat itu, maka gelombang air laut yang dihasilkan di pantai Sayang Heulang bisa mencapai lima hingga enam meter. Gelombang air laut atau pipeline itu akan pecah saat menyentuh tepian pantai yang permukaannya berlapiskan karang. Ketika gelombang itu menggelegar membentur karang, pecahan ombaknya bisa membumbung ke udara dengan ketinggian delapan meter. Dengan keadaan air laut yang seperti ini, wajar rasanya kalau para wisatawan jarang ada yang berkunjung kemari, kecuali pada saat sedang liburan panjang, untuk kepentingan fotografi ataupun untuk kencan kilat.

Seorang pemancing yang berhadapan langsung dengan ganasnya ombak pantai Sayang Heulang.
           Tidak jauh dari tempat dimana minibus diparkir, terdapat menara pengawas yang dicat dengan warna merah cerah. Dari atas menara kita bisa melihat garis cakrawala yang jadi pembatas antara langit dan lautan dengan sangat jelas. Tanaman pandan laut (Pandanus Odorifer) yang bunga jantannya bisa digunakan sebagai pengharum ruangan, tampak tumbuh rimbun disepanjang garis pantai Sayang Heulang. Pantai ini juga memiliki pasir putih yang halus, sama seperti tetangganya, pantai Santolo. Dengan berjalan menyusuri bentangan karang yang menjorok ke arah lautan, anda bisa mengabadikan gambar berlatarkan gelombang air laut yang tengah bergejolak, dengan catatan tetap harus waspada.

Para pencari rumput laut tetap berusaha menyambung hidup meski dibawah terik yang menyengat dan diantara ancaman gelombang laut yang tidak bersahabat.
           Disebelah saya, seorang ibu dan anaknya terlihat sedang mengumpulkan karung-karung berisi rumput laut yang nantinya bisa mereka jual ke pasar ataupun ke pengepul, sementara diujung sana suaminya masih berusaha menjemput harapan meski harus berkejar-kejaran dengan ombak laut selatan. Tuntutan hidup membuat mereka harus bergumul akrab dengan ganasnya lautan, bercanda dengan kematian yang setiap saat mengintimidasi. Meski hasil yang didapat sangat tidak sebanding dengan kerja keras serta resikonya, namun bagaimanapun juga alam tetap santun bersahaja dengan bermurah hati memberikan mereka sumber penghidupan. Inilah potret kehidupan yang bisa didapat di pantai Sayang Heulang, yang tidak pernah mengenal istilah "kekinian" ataupun euforia trip di akhir pekan. Para pencari rumput laut itu akan terus mengurai peluh, tetap berjuang sekalipun tanggal merah terpampang.

Seorang perempuan pencari rumput laut sedang membuka perbekalan untuk anaknya yang menanti di tepi pantai (Dok : Deden Hamdani).

ROTASI NAFAS

Letih terpejam
Sesaki malam penat mendalam
Merayap awan memerah jingga
Menahan gundah tangisnya
Dalam kelam......
Terkapar raga didera rutinitas
Tuntutan hidup hingga penghujung nafas

Begitu dan seterusnya
Meregang jiwa menjemput asa
Karena hidup tak sekedar tertawa
Namun membubuhkan dosa dan melukis luka
Bahagia jadi bingkainya
Ibadah sebagai harganya...



Jakarta, 3 September 2013




SANTOLO DALAM FOTO:

Tidak hanya didalam perjalanan saja, kebersamaan pun tetap ada diatas meja makan (Dok : Okki).
Manggala mencoba mengayuh sampan ketika menyeberangi muara.
Putri dan Firda.
Tampilan sisi lain pantai Santolo dengan landmark berupa dermaga tua yang kondisinya sudah rusak..
Penasaran namun masih enggan berbasah-basahan.
Dimas terlihat heran dengan kedua ABG ini yang secara tiba-tiba mengejar Andi.
Bermain air, sejenak melupakan persoalan yang menjadi beban.
Okki belum tertarik untuk bermain air, ia masih penasaran dengan gadget barunya.
Beberapa nelayan pantai Santolo yang baru saja melaut.

Mulai terbiasa bermain dengan elang laut yang satu ini.
Elang laut yang sengaja dipelihara oleh pemilik penginapan.
Sejak kapan bersiul bisa memikat burung elang...?
Ekspresi Dimas yang histeris sesaat setelah dipatuk oleh sang burung.
Menjelang sore, akhirnya keempat orang ini mulai berani keluar menuju pantai.
Deden Hamdani.
Dimas Yulianto.
Foto disaat senja.
Nurratri Utari.
Alung.
Eka Sitohang.
Rizki Rohayat.
Sukarno Manggalatama.


Yunisa Firda.
Putri Febrina.
Siap meluncur dengan Banana Boat.

Tanpa Camera Armor, saya harus turut ke tengah laut demi bisa mengabadikan mereka diatas Banana Boat.
Menuju ke tengah laut...!
One lap remaining.
It’s time to sunbathing (Dok : Deden Hamdani).
Melompatlah selagi bisa (Dok : Deden Hamdani).
Pose teraneh yang tidak pernah saya lihat sebelumnya (Dok : Deden Hamdani).
Putri, Ratri dan Perahu (Dok : Deden Hamdani).
Menikmati senja di tepi pantai.
Tepian pantai yang mulai berangsur sepi (Dok : Deden Hamdani).
Seperti inilah suasana pantai yang berada di seberang muara. Disini, batu karang terlihat mendominasi pinggiran pantai (Dok : Deden Hamdani).
Sebuah dermaga lama yang sudah rusak. Menjelang sore hari, banyak orang yang mengunjungi tempat itu untuk memancing (Dok : Deden Hamdani).
Bongkahan batu karang besar ini berada tidak jauh dari dermaga lama (Dok : Deden Hamdani).


Ditempat ini, warga sekitar sudah terbiasa mandi atau bermain air manakala hari sudah beranjak sore (Dok : Deden Hamdani).
Bersantai di hamparan pasir yang lembut sambil menanti hidangan ikan bakar (Dok : Okki).
Malam itu, Okki menjadi asisten Manggala untuk urusan memanggang ikan (Dok : Okki).
Suasana pagi hari di tepi muara.
Beberapa nelayan yang tidak melaut lebih memilih untuk merajut jala, seperti halnya lelaki ini.
Seorang nelayan yang baru kembali dari laut tengah menurunkan ikan hasil tangkapannya.
Pemuda ini akan membawa ikan-ikan yang ada ditangannya menuju pelelangan.
Deden tengah membidik objek dengan kamera saya.
Saya menjajal kamera Olympus milik Deden.
Seorang pengunjung wanita sedang membasahi kaki dan lengannya dipinggir pantai.
Menyusuri bibir pantai yang mulai ramai didatangi oleh para wisatawan.
Saya dan Dimas.
Andi juga tidak mau ketinggalan.
Putri dan sapu terbangnya.
Take one.
Take two.
Take three.
Take four.
Akhirnya, Manggala mau mencoba difoto dengan gaya terbarunya.
Firda pun tak mau kalah eksis.
Pemancing ini merasa agak ngeri juga manakala ombak yang menggulung mulai datang ke arahnya.
Suasana pantai Sayang Heulang yang terlihat sepi dari pengunjung.
Ratri berpose diatas karang dengan gaya khasnya.
Perempuan pencari rumput laut ini tengah meletakkan barang-barang keperluannya pada sebuah batu karang.
Saya masih penasaran dengan beberapa objek yang ada di pantai Sayang Heulang.
Mengintip kehidupan dari balik viewfinder.
Rumput laut yang menyatu dengan bebatuan karang, sekilas hampir menyerupai bongkahan-bongkahan kecil batu Olivine atau Peridot.
Menyongsong ombak laut selatan yang liar bergejolak.

Inilah moment dimana para pencari rumput laut harus berurusan dengan maut.
Lelaki paruh baya ini sedang membawa rumput laut hasil perolehannya untuk kemudian dimasukkan kedalam karung.
Meski hari sedang terik, namun kencangnya angin yang berhembus cukup membuat saya betah menyusuri pantai yang berkarang ini.
Mengabadikan gambar dari atas menara pengawas.
Okki, Firda dan Andi sedang berteduh dibawah rimbunnya pohon pandan laut.
View yang didapat dari atas menara pengawas (Dok : Deden Hamdani).
Meski di hari Minggu, pantai Santolo terlihat sangat lengang.
Dari kejauhan, tampak asap putih memanjang yang berasal dari sebuah roket yang diluncurkan oleh stasiun peluncuran roket milik LAPAN di Pameungpeuk (Dok : Deden Hamdani).

*Thanks to Deden Hamdani & Rizki Rohayat for the pics.



2 komentar:

  1. Wihhh mantap kak. Seru, saya saja asli Garut belum dapat kesempatan nikmatin Sayang Heulang. Waaah kapiheulaaan gening :D
    Foto-fotonya komplit sekali kak, bagus-bagus lagi. Oh ya, alangkah lebih baiknya lagi kalau informasi mengenai budgetnya juga dijelaskan kak, buat teman-teman yang mau ngtrip ke Garut juga, hanya masukan, hehe.
    Keep writting kak :)

    BalasHapus
  2. Iya, seharusnya begitu. Tapi karena pada saat itu saya sewa ELF dari Jakarta, saya jadi ga berani berspekulasi mengenai budget yang harus dikeluarkan untuk naik transportasi umum. Lain kali, saya coba kesana pakai kendaraan umum deh biar tau budget pastinya, hoho.

    BalasHapus