Minggu, 11 Desember 2016

KETIKA AGUSTUS BERAKHIR DI PUNCAK SINDORO...




           Bus Sinar Jaya jurusan Jakarta – Wonosobo itu mengakhiri perjalanan panjangnya di terminal Mendolo, Wonosobo. Cahaya fajar perlahan merayap dari balik gunung Sumbing, sementara gunung Sindoro belum terlihat sama sekali karena langit masih sangat gelap. Saya menuruni tangga bus lalu menuju bagasi tempat ransel diletakkan. Sekitar empat hingga lima orang tukang ojek langsung mengerubungi, mereka menanyakan tujuan saya. Pagi itu, saya akan melakukan pendakian ke gunung Sindoro bersama seorang teman perempuan saya, Linda. Para tukang ojek itupun segera membujuk kami agar mau menggunakan jasanya meski sudah berkali-kali saya mengatakan hendak menuju basecamp Kledung menggunakan bus cebong. Setelah saya menghabiskan segelas teh hangat, saya bergegas meninggalkan terminal bus Mendolo. Masih saja para tukang ojek tadi mengikuti, membuat saya hampir hilang kesabaran. Karena tidak tahan digentayangi oleh mereka, saya pun memutuskan untuk menggunakan jasanya. Negosiasi berlangsung singkat, dua orang tukang ojek yang dari awal selalu mengikuti kami akhirnya sepakat mengantar hingga ke basecamp Kledung di kabupaten Temanggung dengan tarif sebesar Rp.25.000 perorang.

Sekelompok pendaki yang akan menuju pos I, sebelumnya mereka harus melalui perkebunan tembakau dan sayuran warga terlebih dahulu.

      “Lebih cepet pake ojek, mas. Soalnya, di pasar Kertek suka macet” kata salah seorang tukang ojek.

           Kedua ojek motor yang membawa saya dan Linda mulai meninggalkan terminal Mendolo. Knalpot motor tua itu meraung-raung manakala mulai menyusuri tanjakan-tanjakan, lajunya pun semakin tersendat. Udara di sekitar Kledung Pass pagi itu sangat dingin, kabut tipis masih terlihat melayang tenang diatas perkebunan tembakau dan sayuran yang terhampar di sisi kiri kanan jalan. Tak lama kemudian, kami pun tiba di basecamp Kledung yang letaknya tidak jauh dari jalan raya. Waktu menunjukkan pukul 06.30, saya mengajak Linda untuk sarapan terlebih dahulu di sebuah warung nasi yang biasa dijadikan tempat beristirahat para pendaki. Sambil menunggu makanan dihidangkan, iseng-iseng saya pun keluar dari dapur warung untuk mengamati puncak gunung Sindoro. Langit begitu cerah dan bisa kulihat kepulan asap berwarna coklat yang keluar dari moncong puncaknya, asap tersebut membumbung tinggi hingga menipis dan tersamar oleh birunya langit.


Linda sedang mengamati gunung Sindoro ketika baru saja tiba di terminal bis Mendolo, Wonosobo.

           Tiap hari ya seperti itu, mas. Tapi insyaallah aman, kok” ucap seorang perempuan paruh baya yang juga pemilik warung nasi tersebut manakala kutanyakan keadaan gunung Sindoro yang aktivitas vulkaniknya masih fluktuatif hingga kini. Saya juga bertanya perihal kondisi cuaca disekitar kaki gunung Sindoro kepada perempuan tadi, sebab sudah beberapa kali saya mendapat kabar kalau gunung Sindoro sering diguyur hujan dan kerap terjadi badai.

           “Kalau pagi kayak gini ya cerah, tapi biasanya ba’da Dzuhur suka turun hujan. Hampir tiap hari disini diguyur hujan, maka itu hasil panen tembakau bulan ini lagi kurang bagus” tambahnya lagi.

           Sepuluh menit kemudian, nasi goreng yang kami pesan akhirnya tersaji. Saya kembali masuk ke dalam dan menuju beranda warung nasi tersebut untuk menyantap sarapan. Kebetulan di tempat yang sama kami bertemu dengan dua orang pendaki asal Bekasi Utara yang juga akan mendaki gunung Sindoro, mereka bernama Bincay dan Kosik. Kedua pemuda itu tampak welcome dengan kehadiran kami, terjadilah obrolan santai antara mereka, saya dan Linda.


Basecamp Kledung yang berada tidak jauh dari jalan raya Parakan, Temanggung.

Lokasi gunung Sindoro dilihat dari Google Map.


           Selesai sarapan, saya, Linda, Bincay dan Kosik bersiap-siap memulai pendakian namun sebelumnya kami harus mendaftar di basecamp Sindoro yang dikelola oleh GRASINDO atau Gabungan Remaja Sindoro. Saya dan Linda membayar simaksi yang dikenakan tarif sebesar Rp.15.000 perorang lalu mencatat identitas dan alamat kami di buku tamu yang telah disediakan. Selepas berdoa bersama, akhirnya kami berempat mulai menjejakkan langkah menuju pos I yang jaraknya sekitar 2 kilometer atau satu setengah jam perjalanan dari basecamp Kledung. Sebenarnya kita bisa menggunakan jasa tukang ojek motor untuk mencapai pos I cukup dengan membayar Rp.15.000 saja, namun kami berempat sepakat untuk berjalan kaki.

1.   Basecamp – Pos I : Kebersahajaan Yang Terabaikan

          Perjalanan dimulai dengan melalui rumah-rumah penduduk yang penghuninya sebagian besar berprofesi sebagai petani tembakau. Kaum ibu terlihat sedang menjemur tembakau hasil panen yang telah dirajang halus diatas bilah-bilah papan kayu. Aroma khas tembakau pun tercium dari sekitar lokasi penjemuran itu, aroma yang tidak akan pernah ditemukan di kota tempat tinggalku. Tak lama kemudian, kami mulai memasuki perkebunan penduduk yang didominasi tanaman tembakau yang sudah menguning. Kabupaten Temanggung memang tersohor karena kualitas tembakaunya yang baik, tak mengherankan bila ada beberapa pabrikan rokok ternama yang membuka gudangnya di daerah ini.

Beberapa saat sebelum meninggalkan basecamp Kledung.


           Jalur di sepanjang perkebunan hingga ke pos I terbilang cukup lebar namun terus menanjak. Tidak ada kesulitan yang berarti di jalur ini sebab jalanan berbatu disini sudah disusun sedemikian rapi.  Kerap kali kami berpapasan dengan pengendara motor yang akan atau sudah mengambil daun-daun tembakau siap panen. Bulan Agustus memang bulan yang ideal untuk melakukan panen raya. Sayangnya, kondisi cuaca yang sedang tidak bersahabat serta curah hujan saat itu yang terbilang cukup tinggi justru jadi pukulan telak bagi para petani tembakau disekitar kaki gunung Sindoro dan Sumbing. Agar petani tidak terlalu bergantung dengan tanaman tembakau, kebanyakan dari mereka mulai menyiasatinya dengan sistem tumpang sari. Disela-sela tanaman utama itu, mereka tanami jagung, tomat dan cabai, sementara di pinggiran lahan perkebunan ditanami kopi.

Linda dan Bincay menyusuri jalur makadam yang membelah perkebunan hingga ke pintu gerbang hutan.


           Saya mempersilakan Bincay dan Kosik untuk menuju lebih dulu ke pos I, tak tega rasanya bila langkah kedua orang itu jadi terhambat hanya demi menunggu Linda yang setiap melangkah sejauh 20 hingga 30 meter harus terhenti untuk sekadar beristirahat dan mengambil nafas. Ketika sedang berjalan pelan dibelakang Linda, saya melihat seorang perempuan tua berusia sekitar lebih dari 60 tahun yang datang dari arah berlawanan. Ia berjalan sambil memanggul beban berupa batang dan dahan kering untuk dijadikan kayu bakar. Kayu-kayu tadi ia ikat kencang dengan sehelai kain lalu ia lilitkan lagi ke tubuhnya. Sepertinya, beban pada ransel saya atau Linda tidak lebih berat daripada beban yang dibawa oleh nenek itu. Hebatnya lagi, ia tampak menikmati pekerjaan itu tanpa keluh kesah ataupun tanpa raut wajah yang menyiratkan rasa lelah. Saya pun mengeluarkan handphone untuk mengambil gambar si nenek tadi. Merasa dirinya sedang difoto, ia pun berceloteh kepada saya;

           “Jangan difoto, mas. Orang Kledung jelek-jelek” ucap si nenek. Saya pun segera membalas ucapannya;

           “Tapi orang Kledung hebat-hebat, mbok. Buktinya, baru jalan segini aja kita sudah ngos-ngosan, kalah sama si mbok” si nenek itu malah tertawa. Tak lama kemudian, ia berpamit diri dan berlalu meninggalkan kami. Sosok renta tapi perkasa itu secara perlahan mulai menghilang ditelan tikungan, namun keikhlasannya menjalani kehidupan cukup membuat saya terkesan. Mungkin orang-orang seperti nenek tadi banyak dijumpai di jalur pendakian ini, Namun kebersahajaan mereka seringkali luput dari perhatian para pendaki yang berlalu.

Sosok perempuan tua perkasa yang saya temui di jalur menuju pos I.

           Matahari sudah beranjak naik sementara saya dan Linda masih berada di jalur menuju pos I. Linda telah beberapa kali menghentikan langkahnya akibat kelelahan, sedangkan Kosik dan Bincay sudah tak terlihat. Sambil menunggu Linda melanjutkan perjalanannya, saya akhirnya turut berteduh dibawah pohon cemara gunung (Casuarina Junghuniana) yang tumbuh disisi jalan. Lereng gunung Sindoro memang banyak ditumbuhi oleh tanaman jenis ini sehingga bila angin sedang halus berhembus menyusuri lembah, niscaya akan terdengar alunan merdu yang digubah oleh dahan-dahannya. Lima menit kemudian, Linda pun berdiri dan kembali melangkah pelan-pelan. Kami melaju lebih cepat ketika didepan mulai terlihat sebuah pondokan dengan tiang bendera. Sayup-sayup bisa terdengar obrolan beberapa orang di tempat itu, jaraknya hanya sekitar 100 meter lagi dari tempat saya dan Linda sedang berjalan.

           Setelah melalui sebuah tikungan yang menanjak, akhirnya kami berdua berhasil sampai di pos I atau shelter Sibajing pada pukul 08.58. Bincay dan Kosik sudah terlebih dahulu tiba di tempat itu, mereka berdua tampak asyik beristirahat dibawah pohon cemara sambil menikmati pemandangan alam yang tersaji dari spot di pos I. Pos ini berada di ketinggian 1.900 meter diatas permukaan laut dilengkapi dengan sebuah pondokan untuk beristirahat. Selain sebagai shelter, disini juga menjadi tempat pemberhentian sekaligus tempat mangkal ojeg motor yang membawa pendaki dari basecamp Kledung. Sampai sini, kita tidak lagi melewati perkebunan tembakau karena pos I merupakan perbatasan antara perkebunan warga dengan pintu gerbang hutan.

Saya dan Bincay tengah beristirahat di pos I.


           Saya menghampiri Bincay dan Kosik, sementara Linda memilih selonjoran diatas pembaringan yang terbuat dari meja pingpong. Dibawah rindangnya pepohonan cemara itu, saya melepas lelah. Kedua mata ini pun tak pernah bosan memandangi tegarnya gunung Sumbing, sang saudara kembar gunung Sindoro.
2.   Pos I – Pos II : Senandung Liar Didalam Hutan

          Pukul 09.10, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju pos II. Estimasi waktu tempuh dari pos I ke pos II diperkirakan sekitar 2 jam, bahkan mungkin bisa kurang bila tidak terlalu sering berhenti atau beristirahat. Derap langkah para penggiat alam mulai mengisi keheningan belantara, beberapa dari mereka ada yang sambil bercengkrama namun ada juga yang membisu karena telinganya tersumpal headset yang memutar lagu dari playlist gadgetnya. Jalur disini terbilang tidak begitu sulit karena masih memanjakan kita dengan track-track landai. Terik matahari tak lagi menyentuh tubuh para pendaki secara langsung karena terhalang tingginya tajuk pepohonan.

Tampilan pos I yang juga tempat pemberhentian terakhir ojek motor.


           Selain sebagai habitat alami, hutan di sekitar lereng gunung Sindoro juga menjadi wahana bermain bagi sekumpulan burung dan beberapa jenis primata, mereka menghibur para pendaki dengan kicauan dan pekikannya. Meski hanya bisa dinikmati suaranya saja, namun senandung para penghuni rimba raya tersebut mampu memberikan rasa damai bagi mereka yang sudah penat dirongrong rutinitas. Di ketinggian seperti ini, dahan pepohonan masih bisa menjulang tinggi, sementara tanaman yang kalah bersaing dalam urusan menangkap sinar matahari rasanya harus puas berada dibawah dominasi dan bayang-bayang pepohonan tinggi tersebut. Udara sangat sejuk didalam hutan, jauh berbeda ketika tadi saya berjalan di jalur perkebunan yang keadannya sangat terbuka dan sangat minim tempat untuk berteduh. Hawa semacam ini bisa menyebabkan rasa kantuk manakala seorang pendaki terlalu lama berdiam diri di tepian jalur.

           Saya dan Linda lagi-lagi harus tertinggal jauh dengan Kosik dan Bincay, daya tahan Linda yang bertubuh ramping semampai memang tidak bisa disamakan dengan kedua lelaki itu yang pundaknya sudah biasa dibebani carrier berkapasitas lebih dari 60 liter. Linda mengeluarkan botol air minum dari sisi ranselnya, tidak banyak ia mereguk air tersebut karena sebelumnya saya sudah berpesan agar dia bisa memanage air sehemat mungkin. Sejak berada di basecamp Kledung, para pendaki diwajibkan membawa persediaan air secukupnya mengingat di jalur pendakian ini sama sekali tidak tersedia sumber air. Aneh juga pikir saya, padahal intensitas curah hujan di gunung Sindoro terbilang tinggi.

           Setelah melewati jembatan yang terbuat dari batang-batang kayu, saya pun bisa mendengar dari kejauhan suara orang-orang yang sedang tertawa.

Beristirahat sejenak di pos II.


           Nah, pos II sudah dekat” ucapku sambil memberi semangat kepada Linda. Kami berdua kembali mempercepat langkah, kalau sudah sampai di pos II berarti hanya tinggal satu pos lagi untuk bisa membuka tenda dan beristirahat. Pukul 10.50, kami berdua berhasil tiba di pos II atau Cawang yang berada di ketinggian sekitar 2.120 meter diatas permukaan laut. Bincay dan Kosik terlihat sedang duduk diatas batang pohon yang tumbang bersama pendaki lain asal Bogor. Saya duduk di permukaan tanah dan segera meluruskan kedua kaki sambil bersandar pada ransel. Di Pos II ini, permukaan tanahnya cukup rata dan sangat ideal untuk membuka tenda, hanya jarang sekali para pendaki yang hendak bermalam di tempat itu, mungkin karena jaraknya yang masih terlalu jauh dengan puncak. Sekitar tiga meter dari batang pohon tempat Bincay dan Kosik duduk, ada sebuah pondokan yang terbuat dari potongan dahan-dahan pohon dan menggunakan banner sebagai atapnya yang bisa digunakan para pendaki untuk berlindung ketika hujan deras. Tepat pukul 11.10, kami pun beranjak meninggalkan pos II untuk melanjutkan perjalanan hingga ke pos III, pos dimana kebanyakan para pendaki akan mendirikan tendanya dan bermalam disitu sebelum akhirnya mereka berangkat ke puncak.

3.   Pos III : Pak Banar, Bukan Mbah Kuat

          Kabut pekat menyeruak dari punggungan bukit yang berada di sebelah kiri dan kanan saya, sinar matahari mendadak tertutup halimunan tadi. Rintik-rintik air mulai berjatuhan dari langit, hujan membuat saya dan Linda mempercepat langkah untuk bisa mencapai satu-satunya pohon yang menjulang tinggi didepan sana. Kami sudah berada di batas vegetasi, dimana pohon-pohon berukuran besar dan tinggi sudah jarang sekali ditemukan, hanya tanaman perdu, lamtoro dan arbei hutan saja yang mendominasi di ketinggian seperti ini. Setibanya kami di bawah pohon tadi, sayup-sayup saya bisa mendengar obrolan beberapa orang yang sumber suaranya semakin lama semakin mendekat ke arah kami. Lima menit kemudian, sekitar enam orang pendaki muncul dari balik tikungan yang dipenuhi rumput-rumput liar, mereka akan turun menuju basecamp.

Istirahat di jalur berbatu, beberapa saat sebelum turun hujan.


           “Pos III masih jauh, bang?” tanya saya kepada pendaki yang berada paling depan.

           “nggak sampe lima belas menit lagi, mas” jawabnya sambil mengarahkan tongkat dakinya kearah jalur berbatu di hadapan kami. Setelah berpamitan, saya dan Linda kembali mengangkat ransel dan meninggalkan tempat dimana kami berteduh. Selepas meninggalkan hutan, jalurnya mulai terasa kian sulit karena medannya berbatu dan sudah tidak ditemukan lagi jalanan yang landai. Tanjakan-tanjakan curam dengan kemiringan hampir mencapai 50 hingga 60 derajat menjadi pemandangan yang biasa dijumpai hingga tiba ke pos III.

           Pakaian saya sudah setengah basah, sementara di belakang sana Linda belum juga terlihat. Saya memanggilnya dengan suara yang sengaja diperkeras agar tidak diredam oleh rintik hujan, Linda membalas panggilan saya namun masih belum kulihat wujudnya. Setelah sekian menit menunggu, akhirnya perempuan itu muncul juga dengan bibir yang cemberut karena kewalahan mengejar langkah saya. Tidak lama kemudian, kembali terdengar suara banyak orang didepan sana. Kami berdua kembali memacu langkah agar bisa sesegera mungkin mendirikan tenda dan membuat teh hangat.

Menumpang berteduh di tenda milik Bincay.


           Pukul 01.30, saya dan Linda akhirnya tiba di pos III atau Seroto. rombongan pendaki asal Bogor yang kami temui sejak di basecamp Kledung, terlihat sedang berteduh di sebuah pondokan. Seorang pria paruh baya yang merupakan pemilik pondok tersebut mempersilakan saya berteduh didalamnya. Orang-orang yang berada di tempat itu menengarai beliau sebagai mbah Kuat, lelaki yang terkenal di kalangan pendaki sebagai sang penunggu pos III. Ya, belakangan ini reputasi gunung Sindoro mulai tercoreng gara-gara ada sekelompok oknum warga yang memanfaatkan kesempatan dengan mencuri barang-barang didalam tenda yang ditinggalkan penghuninya menuju puncak. Isu rawan pencurian sebetulnya sudah berhembus sejak tahun 2013, korbannya juga tidak sedikit dan terjadi di pos III ini. Itu sebabnya sekarang di pos III sudah dijaga oleh mbah Kuat asal Kledung, ia menawarkan jasa penitipan barang selama para pendaki pergi muncak. Tapi, rupanya lelaki yang menghuni pondokan tersebut bukanlah mbah Kuat seperti yang disangka kebanyakan pendaki. Lelaki itu bernama pak Banar, sama-sama berasal dari Kledung, teman dekat mbah Kuat. Kalau saja waktu itu saya tidak menanyakan namanya, mungkin sampai detik ini saya juga masih mengira beliau sebagai mbah Kuat.

Pos III, pos yang biasa dijadikan tempat untuk membuka tenda bagi para pendaki yang akan melakukan summit.


           “Tempat mbah Kuat ada diatas, 30 meter dari sini. Dia biasanya naik kemari hari Sabtu, Minggu sampai Senin. Kalau hari biasa ya turun” kata pak Banar. Menurut pak Banar, pada saat akhir pekan biasanya pos III akan disesaki oleh tenda para pendaki sehingga banyak dari mereka yang tidak mendapatkan lapak untuk mendirikan tendanya. Mereka yang sudah tidak kebagian lahan biasanya akan naik sedikit keatas, tidak begitu jauh dari pos III. Disitu mereka akan temukan sebidang tanah yang sangat luas dan permukaannya cukup rata untuk mendirikan beberapa tenda. Selain isu rawan pencurian barang, para pendaki yang berkemah di pos III juga kerap kali diganggu babi hutan. Binatang liar ini biasanya akan muncul ketika hari sudah gelap, menyelusup diam-diam dari balik semak yang rimbun. Tenda yang di bagian depannya ada sisa-sisa makanan, piring atau nesting kotor, sudah dipastikan akan disatroni kawanan babi hutan. Setelah mempertimbangkan masalah keamanan tadi, akhirnya saya memutuskan untuk membuka tenda tepat disebelah pondokan pak Banar.


4.   Gemerlap Lampu Dan Pesta Gemintang

           Hari beranjak gelap, pijar-pijar halilintar yang bersembunyi dibalik awan pekat semakin mempertegas sosok kekar dari gunung Sumbing. Meski tidak hujan, namun langit seolah hendak menumpahkan kegundahannya diatas gumpalan-gumpalan mendung yang hilir mudik terbawa angin. Malam itu, saya beserta Linda duduk didepan tenda yang ditempati Bincay dan Kosik. Bincay tertidur didalam tenda, sepertinya dia kelelahan. Tidak hanya saya, Linda dan Kosik saja yang enggan melewati malam hari menuju ke alam mimpi. Beberapa pendaki yang bermalam di tempat itu pun ada yang sedang menikmati musik, ada yang mengobrol dengan sesama pendaki, ada juga yang menyibukkan diri dengan membuat perapian. Dari dalam pondokan, tampak kelebatan cahaya api yang menari-nari pada permukaan dindingnya. Api itu berasal dari kayu-kayu kering yang dibakar oleh pak Banar di tungku perapian. Asap putih pekat mengepul dari sela-sela dinding pondokan yang terbuat dari perpaduan trashbag, terpal dan kain spanduk. Kadang saya harus menutupi kedua mata akibat rasa perih karena terkena asap pembakaran, untung saja hembusan angin yang datang dari arah puncak mampu mengurai asap hasil pembakaran tadi.

           Saya memanggil pak Banar, tak lama kemudian lelaki itu pun keluar dari pondokannya. Saya mengambil uang sebesar Rp.20.000 dari dalam kantong celana, lalu saya berikan uang itu pada pak Banar.

           “Ini pak, saya bayar sekarang aja. Takut nanti kelupaan” kata saya. Pak Banar pun mengambil uang tersebut. Dengan demikian, lelaki itu akan menjaga tenda saya manakala nanti kami akan mulai melakukan summit attack. Pak Banar bilang, biasanya dari pukul 03.00 dini hari dia tidak terlelap, melainkan mengawasi tenda para pendaki yang menggunakan jasanya. Selain menawarkan jasa penitipan tenda dan barang, pak Banar juga menjual air minum yang dikemas didalam bekas botol air mineral berkapasitas 1 liter.

Menjelang senja di pos III.

           Saya kembali bergabung dengan Kosik dan Linda sambil menikmati cemilan ringan dan segelas teh hangat. Kami bertiga mulai membuka obrolan tentang pendakian hingga bercerita tentang peliknya suasana kota dimana kami berdomisili. Dari selepas Isya, kami melakukan perbincangan malam hingga waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Awan mendung sudah tak lagi menutupi gunung Sumbing yang berada tepat didepan kami, langit menjadi cerah. Lampu-lampu kota yang berada jauh dibawah sana tampak seperti kunang-kunang yang menghiasi kegelapan. Di angkasa, gugusan bintang satu-persatu mulai memberanikan diri mempertontonkan kemilaunya. Malam itu, langit seakan tengah berpesta dibalik hingar bingar cahaya gemintang...

5.   Pos III – Pos IV : Tertipu Puncak Bayangan

           Menjelang subuh, saya, Linda, Bincay dan Kosik bersiap-siap untuk menuju puncak Sindoro. Sebagian besar pendaki yang juga bermalam di pos III sudah terlebih dahulu berangkat muncak. Kami hanya membawa perlengkapan seperlunya saja seperti headlamp, air minum dan carrier. Setelah berdoa, kami berempat pun berpamit diri kepada pak Banar.

           Belum lama meninggalkan pos III, tanjakan-tanjakan curam di depan mata pun sudah menyongsong kami. Desah nafas terdengar saling berburu manakala kami berusaha mendaki jalur terjal itu dengan sangat hati-hati. Sesekali saya tergelincir akibat memijak jalur berbatu yang permukaannya dipenuhi kerikil. Kami terus mendaki dalam kegelapan, uap tubuh yang keluar dari lubang hidung tak henti-hentinya mengepul. Bila sudah lelah, kami hanya beristirahat sebentar sebab khawatir terserang hypothermia bila terlalu lama berdiam diri di tempat terbuka seperti ini.

Selepas subuh di jalur sebelum hutan lamtoro.


           Cahaya headlamp menari-nari di pekatnya remang pagi, sesaat lagi matahari akan menampakkan diri dari sebelah kiri gunung Sumbing. Kosik dan Bincay sudah mendahului saya dan Linda, selalu saja begitu hingga seterusnya. Saya tidak pernah berekspektasi bisa menikmati sunrise di puncak Sindoro, sebab hanya dalam hitungan beberapa menit lagi matahari sudah dipastikan akan menyembul dari balik cakrawala, sedangkan kami berdua masih berada tidak jauh dari pos III. Saya kembali memacu semangat Linda agar dia bisa mempercepat langkahnya. Langit secara perlahan mulai terang, namun matahari belum mencuat dari ufuk timur. Saya mulai memasuki wilayah yang didominasi oleh tanaman lamtoro dan rerumputan yang tumbuh tidak begitu tinggi, sayangnya pohon-pohon lamtoro itu telah meranggas akibat kebakaran hutan yang melanda lereng gunung Sindoro September tahun lalu. Sementara itu, Kosik dan Bincay terlihat sedang duduk santai tidak begitu jauh dari hadapan kami. Saya dan Linda bergegas menyusul kearah mereka, sedangkan dari arah belakang pendaran cahaya jingga mulai merambat menerangi langit. Kami berempat akhirnya memutuskan menikmati terbitnya sang surya dari spot tersebut.

Menyaksikan matahari terbit dari hutan lamtoro.


           Langit sudah terang benderang, jalur pendakian semakin jelas terlihat. Perasaan girang sontak menggelayuti benakku dan Linda yang saat itu beranggapan kalau ujung dari bukit yang ada didepan kami adalah puncak Sindoro. Bebatuan berukuran besar harus kami panjat secara hati-hati agar bisa mencapai ujung bukit tadi. Namun, kami kecele karena sesampainya di bagian yang paling tinggi bukan puncak Sindoro yang kami temui, melainkan hanya sebuah puncak bayangan. Alhasil, kami pun harus melalui tanjakan-tanjakan curam lainnya. Wajah Linda mulai terlihat kepayahan, saya tak mau berkomentar banyak saat melihat ekspresi wajahnya saat itu.

Mendaki perlahan-lahan sambil terus menyaksikan pendaran matahari pagi.

           Kami berdua kembali mengumpulkan semangat dan terus memacu langkah menyusuri jalur terjal yang didominasi bebatuan gunung. Sinar matahari mulai terasa menyengat padahal hari masih pagi, nafas pun semakin tersengal-sengal saja rasanya. Saya sudah tidak tahu keberadaan Bincay dan Kosik, namun dari kejauhan saya masih bisa mendengar suara Bincay yang berteriak memanggilku. Hanya tinggal beberapa langkah lagi maka saya dan Linda akan segera sampai di titik tertinggi lainnya yang saat itu terlihat jelas didepan mata. Sesampainya di tempat tersebut, lagi-lagi kami berdua harus geleng-geleng kepala. Ternyata kami baru sampai di pos IV atau biasa disebut Batu Tatah, ya ampun! Sudah terlalu lelah, saya pun menepi ke sebuah dinding tebing berbatu, disitu saya terbebas dari sengatan matahari pagi. Tak lama kemudian, saya bertemu dengan rombongan pendaki yang baru saja turun dari puncak.

           “Puncak masih lumayan, mas. Kira-kira dua jam lagi. Semangat…!” kata salah seorang peserta rombongan tadi kepada saya. Dua jam lagi, ya dua jam lagi mendaki dengan jalur yang terus menanjak dan terkena paparan sinar matahari secara langsung. Saat itu saya hanya berpikir, masih kuatkah Linda?

Jalur selepas hutan lamtoro. Tampak puncak bayangan dibelakang saya, puncak yang kerap kali menipu pendaki yang baru pertama kali mendaki Sindoro.


           Setelah berkali-kali melalui tanjakan curam, saya pun mulai memasuki sebuah kawasan yang sangat terbuka juga sangat gersang. Sebelum terjadi kebakaran hutan, tempat itu biasa dikenal dengan nama padang edelweiss. Dulu, stepa yang berada beberapa meter dibawah puncak Sindoro terlihat asri menghijau, jauh berbeda dengan keadaan yang saat ini kutemukan. Sambil duduk dan mereguk air minum, saya pun memandang ke sekeliling. Hanya tersisa batang-batang Edelweiss dan Cantigi yang telah hangus akibat dijamah kobaran api, saya juga sama sekali tak menjumpai rerumputan hijau yang selama ini biasa menghiasi sekitar puncak Sindoro. Sangat menyedihkan, keelokan padang Edelweiss di gunung ini harus musnah karena dilanda kebakaran hutan. Ya, api telah merenggut keabadian si bunga abadi.


6.   Puncak Sindoro : Terbayar Dengan Keindahan

           “Bang, puncak, bang…!” Bincay berteriak dari kejauhan. Lelaki berbadan tegap itu terlihat sedang mengangkat sebilah papan berwarna kuning, namun saya tidak bisa membaca tulisan yang tertera di papan tersebut. Aroma belerang tercium seiring dengan datangnya angin dari arah atas, saya yakin kalau yang ada didepan mata kali ini adalah puncak sungguhan. Pelan tapi pasti, tanjakan itu terus kudaki hingga bisa kulihat kepulan asap putih pekat dan beraroma menyengat keluar dari sebuah lubang besar yang rupanya adalah dasar kawah Sindoro. Bincay menghampiri dan menyalami saya. Tepat pukul 08.20, saya akhirnya berhasil menjejakkan kaki di puncak Sindoro yang memiliki ketinggian 3.153 mdpl. Cuaca saat itu betul-betul sedang cerah, langit membiru indah seperti lazuardi. Tidak ada gumpalan awan yang menghalangi pandangan saya kearah gunung Sumbing. Sambil menunggu kedatangan Linda, saya pun menyempatkan diri untuk berpose dengan latar belakang gunung Sumbing. Selepas berfoto, saya tertegun memandangi panorama alam yang telah membayar rasa lelah dengan segala keindahannya. Kulepaskan pandangan ke arah timur, dimana selain gunung Sumbing, ada juga gunung Merbabu dan Lawu yang setengah badannya tertutup oleh kemegahan permadani awan. Di timur laut, saya juga bisa melihat ada sosok agak mengerucut yang kutengarai sebagai gunung Ungaran, satu-satunya gunung yang ada di kabupaten Semarang. Disebelah barat laut, di dasar kawah Sindoro, terdengar suara bergemuruh akibat aktivitas vulkanik di gunung tersebut yang memang sedang meningkat. Saya hanya menyelisik pemandangan disekitar bibir kawah beberapa menit saja karena pernafasan menjadi terganggu akibat terlalu banyak menghirup asap belerang. Udara di puncak Sindoro saat itu sangat dingin, angin yang berhembus dari berbagai penjuru langsung menghujam kami tanpa kompromi.

Akhirnya, puncak Sindoro…


Terbayar sudah rasa lelah oleh keindahan puncak Sindoro di kala cerah.


           Linda akhirnya turut menikmati puncak Sindoro, mahasiswi yang juga berprofesi sebagai penari tradisional ini tiba di puncak pada pukul 08.45. Rasa letih di wajahnya sontak berganti dengan binar-binar sukacita. Saya, Bincay dan Kosik menghampiri dan memberinya selamat.

Asap sulfatara yang terus-menerus keluar dari dasar kawah Sindoro.


Lokasi puncak gunung Sindoro dengan latar belakang gunung Sumbing. Dilihat dari Google Map.


Sedikit Tulisan Tentang Sindoro

           Sindara atau Sindoro adalah sebuah gunung volcano aktif yang berlokasi di Jawa Tengah, lebih dekat kepada kota Temanggung. Gunung ini berdekatan dengan gunung Sumbing dan memiliki koordinat 7,3010463°LS 109,9968767°BT. Jalur pendakian gunung Sindoro bisa melaui beberapa rute, diantaranya:

1.   Jalur Kledung
2.   Jalur Tambi

          Gunung Sindoro sudah beberapa kali mengalami letusan, pada tahun 2011 terjadi peningkatan aktivitas vulkanik dengan menyemburnya asap solfatara dari beberapa dinding dan dasar kawah utama. Menurut penelitian berdasarkan sejarah dan endapan hasil letusannya, gunung Sindoro lebih sering erupsi dengan tipe letusan strombolian dengan ciri khas:

1.   Sering terjadi letusan kecil yang tidak begitu kuat namun terjadi terus-menerus dan banyak mengeluarkan efflata atau material padat seperti: batu-batu besar, batu-batu yang tidak beraturan, kerikil, pasir, debu dan batu apung.

2.   Letusannya memiliki interval waktu yang sama, contoh: Semeru.

           Beberapa waktu lalu, telah terjadi kebakaran hutan yang menghanguskan sebagian besar tanaman di lereng gunung Sindoro. Padang Edelweiss yang berada tidak jauh dari puncak Sindoro pun turut habis dilibas si jago merah. Setahun pasca kebakaran itu, rerumputan belum juga sepenuhnya menutupi lahan yang terbakar. Memandang ke sekitar puncak Sindoro setelah terbakar bagaikan melihat rupa Merapi yang porak poranda selepas dilanda erupsi 2010, hanya bongkah-bongkah bebatuan gunung dan kerikil yang terlihat jelas. Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, Sarwa Pramana, mengakui upaya pemadaman kebakaran hutan di Sindoro jauh lebih sulit ketimbang saat memadamkan api di Merapi dan Merbabu karena hembusan angin di gunung Sindoro yang selalu berubah-ubah dan lokasi titik api yang sulit dijangkau oleh tim gabungan.

           Sebenarnya, sulit juga untuk menduga-duga siapa pelaku dari kebakaran hutan tersebut. Pada saat itu memang sedang terjadi kemarau yang sangat panjang, sehingga gesekan antara ranting-ranting kering pun bisa saja menjadi penyebab kebakaran. Diluar faktor alam, sebagai orang yang gemar melakukan pendakian, saya tidak memungkiri kalau pendaki juga bisa menjadi penyebab utama dari terjadinya kebakaran hutan. Suhu udara di gunung Sindoro yang sangat dingin tentunya bisa memotivasi seorang pendaki untuk membuat perapian atau setidaknya berusaha menghangatkan tubuhnya. Bisa saja ada oknum pendaki yang lupa mematikan api unggun atau sisa-sisa pembakaran lainnya, bahkan puntung rokok yang dibuang secara sembarangan pun berpotensi menjadi penyebab terbakarnya semak belukar.

     Disisi lain, ulah warga yang tinggal disekitar kaki gunung Sindoro juga perlu diperhitungkan. Pasalnya, saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang warga dengan sengaja membakar pohon lamtoro yang sudah mengering. Waktu itu saya belum lama turun dari puncak Sindoro, sekitar pukul 01.00 siang kejadiannya. Seorang pendaki di pos III tiba-tiba berteriak ‘kebakaran’, sontak orang-orang yang tengah tidur siang didalam tenda pun berhamburan keluar, termasuk pak Banar. Kami semua mendongak ke atas dan melihat dengan jelas api yang berkobar sangat besar. Api itu membakar dahan lamtoro kering sedangkan hembusan angin saat itu sangat memungkinkan untuk membuat lidah api menjalar ke dahan yang lain. Lokasi sumber api ke pos III memang cukup jauh, sekitar 80-100 meter. Namun bagaimanapun juga, semua yang ada disitu jadi merasa gelisah karena terancam keselamatannya. Pak Banar akhirnya mencoba menenangkan keadaan;

           “Itu bukan kebakaran hutan, itu orang yang lagi bikin arang” ucapnya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah api tersebut. Saya segera mengeluarkan lensa tele 70-300 dari tas kamera dan segera mengintipnya melalui viewfinder kamera SLR. Setelah saya intip melalui bantuan lensa tele tadi maka terlihatlah seorang lelaki yang tengah berdiri dengan santai, tidak jauh dari dahan yang ia bakar. Ekspresi wajah pak Banar kembali seperti biasa, seolah hal semacam ini adalah hal yang lumrah terjadi di gunung Sindoro. Saya pun bertanya perihal warga yang baru saja membakar dahan pohon tadi, dia dengan nada datar menjawab;

           “Itu orang dari sebelah, kalau warga Kledung ngga ada yang bakar-bakar kayak gitu”. Saya tidak begitu paham dengan istilah sebelah versi ucapannya, tapi saya juga tidak akan membeberkan asal warga tersebut disini. Dari situ saya pun mengerti, ternyata ada satu lagi yang bisa dijadikan penyebab atas terbakarnya hutan di gunung ini.


Estimasi Biaya Transportasi & Simaksi

Bus Sinar Jaya Pemuda (Jakarta) – Wonosobo           Rp.100.000
Ojek motor terminal Mendolo – basecamp Kledung       Rp.25.000
Simaksi                                              Rp.15.000

Total                                                Rp.140.000
Total ongkos Pulang Pergi                            Rp.280.000


Hal Yang Harus Diperhatikan:

1.   Persediaan air harus dipersiapkan dari sejak berada di basecamp Kledung, mengingat di sepanjang jalur pendakian tidak ada sumber air.

2.   Periksa ulang perlengkapan penahan dingin seperti; jaket, sleeping bag, raincoat, windbreaker, ponco, sarung tangan dan kaus kaki. Di pos III memiliki suhu berkisar 14° hingga 11° Celsius pada malam hari, suhu di sekitar puncak bisa mencapai 17°Celsius pada siang hari.

3.   Jalur di sepanjang perkebunan tembakau hingga pos I sangat terbuka dan minim pohon-pohon untuk berteduh. Pendaki yang hendak berjalan kaki tapi tidak ingin terkena sengatan matahari bisa melakukan pendakian pada sore hari. Selain udara sudah mulai sejuk, stamina pun tidak terlalu terkuras akibat banyak mengeluarkan cairan tubuh.

4.   Bila akan bermalam di pos III, pastikan tidak meninggalkan barang-barang berharga didalam tenda ketika hendak summit attack. Guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian barang, anda bisa menggunakan jasa pak Banar atau mbah Kuat untuk menjaga tenda dan barang-barang yang ditinggalkan didalamnya.

5.   Bila tidak terlalu darurat, lebih baik tidak membuat api unggun mengingat kebanyakan gunung di Jawa Tengah berkarakter kering dan rawan terjadi kebakaran hutan.

6.   Jangan pernah menaruh sampah, sisa-sisa makanan atau peralatan makan yang sudah kotor didepan tenda, karena babi hutan akan mendatangi tenda yang dibagian depannya terdapat sisa-sisa makanan. Sebisa mungkin bersihkan kembali peralatan masak dan makan anda dengan tissue basah.



GALERI  FOTO

Saya dan Linda, saat akan memulai pendakian.

Berjalan melalui perumahan warga yang padat .
Bincay dan Kosik selalu berada didepan saya dan Linda.

Dipertengahan jalan antara basecamp dan pos I.

Linda berpose dengan background gunung Sumbing.

Pemandangan yang dapat dilihat dari spot di pos I.

Meluruskan badan setelah lelah karena memanggul beban sejauh 2 kilo.

Tampilan pos II atau pos sekadar lewat.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke pos III, Bincay, Kosik dan beberapa pendaki asal Bogor terlihat santai dan saling bercengkrama.

Ditengah belantara, selonjoran diatas tanah pun rasanya nikmat-nikmat saja.

Warna-warni tenda yang menghiasi pos III gunung Sindoro.

Khawatir  hujan turun lagi, saya pun menggali tanah untuk membuat jalur air agar air yang mengalir dari permukaan yang lebih tinggi  tidak mengenai langsung ke tenda saya.

Pondokan milik pak Banar, si penunggu pos III. Pak Banar berada di sebelah kiri, yang mengenakan jaket ungu dan topi coklat.

Kosik dan Bincay sedang bersiap memasak menu makan siang.

Selepas hujan, langit di pos III kembali cerah.

Gumpalan awan kembali menutupi hampir seluruh badan gunung Sumbing.

It’s time to cook…!

Menikmati detik-detik terbitnya matahari di hutan lamtoro.

Saya dan plang puncak Sindoro.

Gunung Sumbing terlihat jelas dari mulai kaki hingga puncaknya.

Saya dan Linda.

Saya, Linda dan Kosik.

Saya, Linda dan Bincay.

Jaket Paripurna untuk kesekian kalinya kubawa ke puncak gunung.

Pagi hari di pos III, 1 September 2016.

Waktunya berpamitan kepada pos III.
Beristirahat di sebuah batu besar yang berada di jalur menuju pos II.

Tengah hari di perkebunan warga, menuju basecamp Kledung.

Soto ayam menjadi pembungkam rasa lapar manakala saya tiba di basecamp.

Para petani Kledung sedang mengangkut hasil panen ke atas kendaraan untuk dibawa ke pasar.