Langit tidak lagi menitikkan air hujan, meski
demikian diatas sana masih saja didominasi oleh awan mendung yang bergulung.
Tanah yang baru saja dibasuh hujan mulai mengeluarkan aroma khasnya. Beberapa
kali kami berpapasan dengan para wisatawan lokal yang hendak menikmati akhir
pekannya di Curug Nangka, Bogor. Beberapa kali pula saya, Belo dan Aulia
dihadang oleh sekawanan kera berukuran besar di sisi jalan. Rupanya kera-kera
tadi tidak bermaksud untuk menyerang melainkan berharap diberi makan, biasanya
hewan liar tersebut akan bertindak agresif bila melihat ada pengunjung yang membawa
makanan. Sebagian pengunjung ada yang menganggap itu sebagai hal yang menarik
karena dihampiri sekawanan kera yang menyeruak langsung dari dalam hutan
merupakan hal yang sangat jarang mereka alami.
Foto kala
senja bersama opa Herman Lantang, 26 November 2016.
|
Kami menyusuri sebuah jembatan yang terbuat
dari anyaman bambu dengan aliran sungai kecil dibawahnya. Gemericik air yang
menyelusup riang diantara sela-sela bebatuan kali hampir saja membuat saya
terkesima sehingga nyaris tidak menyadari kalau didepan saya sudah ada pak
Mamat yang datang dari arah berlawanan.
“Bapak sudah datang, tuh” ucap pak Mamat, warga setempat yang dipercaya mengurus dan
melayani para pengunjung yang datang ke Herman Lantang Camp. Lelaki paruh baya
itu pun terus berlalu meninggalkan kami.
Aulia dan
Belo sedang mencoba berdialog dengan seekor kera yang menghuni hutan disekitar
Curug Nangka.
|
“Tuh kan,
gue bilang juga apa. Orangnya pasti
datang” kata Belo kepada saya. Orang yang dimaksud oleh Belo adalah Herman
Onesimus Lantang, seorang pendiri Mapala UI, aktivis mahasiswa angkatan 1966, sahabat
Soe Hok Gie juga sekaligus pendiri Herman Lantang Camp. Spontan saja saya dan
Aulia menjadi senang sekaligus sedikit khawatir. Senang karena akhirnya kami
bisa berjumpa dengan tokoh senior di kalangan pendaki dan pencinta alam itu, namun
khawatir karena kabarnya beliau orang yang sangat temperamen. Saya dan Aulia
mencoba menghilangkan kekhawatiran tersebut dan berusaha tetap terlihat tenang.
Setibanya didepan rumah peristirahatan beliau, sekilas saya bisa melihat wujudnya
meski tidak begitu jelas karena terhalang oleh kain kasa yang dibentangkan dari
satu tiang bambu ke tiang bambu yang lain. Tak lama kemudian, saya pun sudah
berada di hadapan lelaki yang kini sudah berusia 76 tahun itu. Ketika ia berdiri
untuk menyambut kami, raut wajah saya sepertinya kembali menampakkan kegusaran
yang mampu terdeteksi olehnya. Saya hanya tersenyum dan berbicara seperlunya.
Yang jelas, saya berusaha agar tidak ada perkataan yang tak berkenan, yang
berpotensi membuat beliau marah. Tapi siapa sangka banyolan pun terlontar dari
mulutnya, suatu reaksi spontanitas manakala ia bersalaman dengan saya dan Aulia.
Saya berpikir candaan tersebut merupakan suatu gesture dari beliau bahwa memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan,
dibawa santai saja. Akhirnya, ketegangan yang sempat bercokol di benak saya dan
Aulia perlahan mulai bisa mencair, ternyata sosok Herman Lantang tidak seangker
yang kami bayangkan.
Hari semakin sore, perbincangan
antara saya, Aulia, Belo dan empunya rumah pun semakin santai, tak ada lagi
kebekuan atau rasa grogi. Beliau bercerita tanpa beban, seolah dirinya sudah
mengenal kami cukup lama. Saat itu, Aulia menawarkan teh manis kepada opa
Herman, namun beliau mengatakan kalau hari itu dirinya sedang berpuasa. Saya
tidak bertanya dalam rangka atau untuk tujuan apa ia berpuasa tapi dengan
sendirinya ia menjelaskan kepada kami;
“Biar gua nggak gampang marah, biar gua
bisa kontrol emosi” ucap beliau sambil melepas sepatu gunungnya.
“Elu
nawarin gua teh manis, gua tolak!
Elu barusan nawarin gua makan, juga gua tolak, karena gua (sedang) puasa” kata beliau. Tidak lama kemudian, ia menyambung ucapannya lagi;
“Tapi tadi teman gua nawarin bakso, gue kagak tolak!” tambahnya sambil
terbahak-bahak.
Mengalir
Seperti Air
Maksud dari kedatangan saya ke tempat
itu bukan bertujuan untuk menginterview
beliau seperti yang sering dilakukan oleh awak media, karena menurut saya apa
yang mereka pertanyakan paling-paling tidak jauh dari seputar pergolakan
mahasiswa di tahun 1966, pencinta alam, pendakian dan tragedi tahun 1969 di
gunung Semeru yang menewaskan Soe Hok Gie juga Idhan Lubis. Kalau hanya ingin
tahu cerita diatas tadi, saya rasa mbah Google
sudah kenyang menampung artikel perihal itu semua. Saya hanya ingin bertemu dan
mengenal dekat dengan beliau secara langsung, bukan lagi dari desas-desus maupun
melalui beberapa tulisan yang pernah saya baca. Sebelumnya, saya sempat
mendapat bocoran dari Arya Sena, seorang teman yang sudah lebih dulu kenal
dekat dengan Herman Lantang sekaligus pihak yang menjembatani saya untuk bisa
bertemu dengan sang legenda hidup tersebut. Dia pernah bilang sebelumnya,
selama Herman Lantang berkisah jangan pernah kita membantah ataupun menyela pembicaraannya. Cukup kita dengar dan diiyakan saja niscaya rahasia-rahasia
yang selama ini tidak pernah ada di buku-buku akan terkuak dengan sendirinya.
Satu lagi, bila beliau ditanya ala wartawan justru malah jadi merasa tidak
nyaman untuk menjawab sehingga terkesan kaku. Jadi sekali lagi saya pertegas,
tulisan ini bukanlah tulisan yang memuat tentang situasi politik 1965-1966,
Mapala UI, pendakian ataupun tentang Soe Hok Gie.
Aulia
tengah membantu opa Herman menuliskan informasi yang didapat via telepon.
|
Sisi humoris Herman Lantang semakin
jelas terlihat. Tak bosan-bosannya ia membuat lelucon bahkan Arya Sena yang
dulunya berprofesi sebagai wartawan pun tak luput dari guyonannya. Setiap kali
beliau melontarkan candaan selalu kami ladeni candaannya, begitu pun ketika ia
sedang bercerita maka dengan senang hati pula kami akan mendengarkannya.
Memang, kami baru saja bertemu dengan beliau tapi rupanya ia mulai merasa
nyaman untuk menuturkan kisahnya tanpa merasa khawatir sama sekali.
“Elu
orang apa? Kalau lu orang Jawa, lu boleh panggil gua eyang, kalau lu orang Sunda, elu
panggil gua aki” ucapnya kepada saya.
“Kalau gua biasa dipanggil opa, sebab di Manado nggak seribet Jawa atau Sunda. Di Manado cuma
ada panggilan om sama opa, itu untuk yang laki-laki” tambahnya
lagi.
Dalam berkisah, hal-hal yang bersifat
privacy pun tak jarang ia ungkap. Itu
dikarenakan beliau sudah mengetahui kalau saya, Belo dan Aulia bukan berprofesi
sebagai wartawan yang biasanya menemui beliau hanya untuk berburu gambar
ataupun cerita, dan juga karena semuanya mulai mengalir seperti air.
Belo dan
pisau belati milik Herman Lantang.
|
Tak
Dibatas Usia
Empat puluh tahun lalu, Herman
Lantang merupakan sosok yang berperawakan tinggi tegap, maka yang ada dihadapan
saya saat itu adalah sosok Herman Lantang yang sudah sangat sepuh dan ringkih.
Meski demikian, masih bisa kulihat gurat-gurat keperkasaan beliau. Tubuhnya
memang sudah berbalut kulit yang mengeriput, kelincahannya pun kian terurai oleh
usia, namun hasrat untuk dapat menyatu dengan alam tak turut redup didera zaman.
“Sekarang kan gua jadi pendek gara-gara kaki gua
patah, jadi pincang sebelah dan badan gua jadi bungkuk” kata opa Herman.
“Untuk nanti acara napak tilas ke
Semeru pun, gua cuma bisa ngelepas peserta sampe Ranu Pani doang”
tambahnya lagi. Ya, bulan Desember ini pihak Herman Lantang Camp memang akan
mengadakan acara napak tilas ke gunung Semeru untuk mengenang almarhum Soe Hok
Gie. Selain dihadiri oleh Herman Lantang, kabarnya pihak penyelenggara juga
tengah melobi saksi hidup lainnya saat tragedi Semeru 1969 terjadi, yaitu
Aristides Katoppo. Aktor Nicholas Saputra yang pernah berperan sebagai Soe Hok
Gie juga sedang diusahakan agar bisa berpartisipasi di acara tersebut.
“Tapi kan nggak cuma opa aja yang
pincang, Rudy (Badil) juga pincang” balas saya sambil mengusap-usap
bahu beliau.
“Ah,
dia sih apes. Dia ditabrak ojek, ojeknya
langsung lari. Dasar apes!” timpal opa Herman
cekikikan.
“Rudy itu anak didik gua, yang lantik dia juga gua. Tapi dia itu tukang
kompor, gua sama Hok Gie jadi
berantem di rumah pak Binanjar gara-gara dia juga. Dia ngomporin Gie, katanya, ada
rumah, ada api sama makanan, ngapain
juga ujan-ujanan
kemping di pinggir kali Amprong. Akhirnya yang ikut gue kemping di kali Amprong cuma Idhan,
Tides sama Freddy. Rudy tidur enak di rumah pak Binanjar
sama Hok Gie, padahal dia itu anak didik gua, tapi dia orangnya pemberontak. Kalau ngerokok suka ngumpet-ngumpet,
ya itu dia kelakuan si Rudy” ujar opa Herman sambil
tertawa mengingat juniornya, Rudy Badil.
“Ini namanya pak Tumari, dia itu mbah Marijan-nya Semeru” beliau kembali
melanjutkan kisahnya sambil menunjuk pada sebuah foto yang tersimpan diselipan
buku Soe Hok Gie karya Rudy Badil.
“Belum lama waktu gua ke Semeru, dia sudah berumur 80-an, dia bilang ke gua kalau kita sudah tua jadi dia ngelarang gue naik (gunung), di Ranu Pani aja, katanya. Gua bilang iya, tapi nggak
lama kemudian gua bilang ke bini gua
pengen cari
sinyal, lalu gua nyasar” sampai disini, beliau kembali tertawa geli. Saya dan Belo
sempat bingung melihat beliau tertawa
selepas itu. Apanya yang lucu, pikir saya. Belakangan, saya baru ngeh kalau istilah nyasar yang belum
lama beliau sebut ternyata memiliki arti : nekad naik hingga sampai ke Ranu
Kumbolo, ckckck…
Joko
Tarub Dan Air Terjun Bidadari
“Elu
tadi baru dari Curug Nangka?” tanya opa Herman kepada saya, Aulia dan Belo,
kami bertiga mengangguk.
“Elu
nggak tau kan kalau disekitar sini juga ada air terjun yang belum orang lain tau?” tanyanya lagi kepada kami. Saya dan Belo saling diam,
sedangkan Arya Sena hanya senyum saja sambil terus memainkan tablet barunya.
“Namanya air terjun Bidadari,
lokasinya tersembunyi dan jarang dijamah orang-orang” tambahnya. Saya
dan Belo jadi semakin penasaran. Opa segera mengambil smartphone-nya yang masih dicharge
lalu ia menunjukkan foto dirinya yang sedang mandi di air terjun yang baru saja
ia maksud.
“Ini foto waktu gua lagi mandi, gua
kesitu jam 06.00 pagi. Elu bisa mandi bugil disitu tanpa ada
orang yang ngintipin,
kalaupun ada yang ngintip paling-paling si Joko Tarub, monyet jantan
yang ukurannya paling gede”.
Tidak lama kemudian, opa menunjukkan
kepada kami video ketika dirinya baru saja kembali dari air terjun Bidadari. Di
video itu, terlihat ia sedang menyusuri bebatuan sungai dengan sangat hati-hati.
Tampak jemarinya masih bisa mencengkeram bebatuan meski kedua kakinya sudah
kehilangan sebagian kekuatan untuk menopang beban tubuhnya. Jujur, agak ngilu
juga saya menyaksikan video tersebut. Saya berpikir, di usianya yang sudah
sepuh itu sudah seharusnya ia duduk nyaman di beranda rumah sambil menikmati heningnya
suasana pegunungan. Namun, jiwa seorang petualang sejati seperti beliau rasanya
tidak akan semudah itu berserah pada keadaan fisiknya yang mulai rapuh dimakan
usia.
Seekor kera
tengah menikmati jambu biji diantara dahan pepohonan.
|
Setelah beliau memperlihatkan video tadi, ia akhirnya menunjukkan letak dari air terjun tersebut kepada kami, air terjun yang katanya jarang didatangi orang-orang. Ini baru bonus perkenalan, mungkin nanti akan ada lokasi-lokasi yang masih dirahasiakan lagi yang akan beliau beberkan kepada kami, pikir saya saat itu.
Nico
Keren, Tapi…
Di selipan buku Soe Hok Gie, opa Herman menunjukkan foto dirinya
saat bersama Nicholas Saputra, pemeran Soe Hok Gie dalam film Gie. Foto
tersebut diambil di lembah Mandalawangi, gunung Pangrango, pada tahun 2004
dimana ada adegan Gie tengah camping
bersama Herman Lantang. Iseng-iseng, saya pun meminta opini dari beliau terkait
peran yang dibawakan oleh Nicholas Saputra saat itu.
“Gimana,
opa, actingnya Nico bagus nggak?” tanya saya.
“Nico keren, tapi kelewat ganteng” jawab opa Herman singkat
dan dengan ekspresi wajah yang datar. Sontak saya jadi tertawa geli. Menurut
saya ia terlalu jujur, tapi opa segera menyanggah ucapan saya;
“Loh,
iya! Actingnya Nico hebat, body language semua sama. Itu sebabnya Riri Riza pilih dia sebab dia
menjiwai, semua buku Hok Gie dia baca. Cuma bedanya dia nggak bisa jadi lebih pendek, nggak bisa jadi krempeng
dan nggak bisa
jadi cina, tapi indo. Hok Gie itu krempeng,
ini, coba elu liat
gambarnya. Krempeng kan?” kata opa
seraya menunjukkan beberapa gambar Soe Hok Gie.
“Kalau Lukman (Sardi), dia memang
belajar body language dari gua,
tapi dia nggak bisa jadi tinggi kaya gua. Terbalik kan sama
Nico” tambahnya lagi sambil terkekeh.
Salah
Tingkah
Opa Herman tampak sibuk membuka
lembar-lembar buku tentang Soe Hok Gie, seperti ada sesuatu yang akan ia
perlihatkan kepada saya. Tak lama kemudian, ia membetulkan letak kacamatanya
dan mengarahkan telunjuknya pada sebuah gambar pada buku itu.
“Ini, Soemitro Djojohadikoesoemo,
bapaknya Prabowo. Kenal Prabowo, kan?” tanya beliau. Saya cukup tersenyum
geli tanpa harus menjawab pertanyaannya. Rasanya, anak SD pun pasti kenal siapa Prabowo.
“Memangnya, ada apa dengan Soemitro,
opa?” tanya saya.
“Dulu, yang jadi asisten Soemitro itu
kakaknya Freddy (Lasut),
orangnya cakep. Gua sempat naksir, tapi untungnya nggak sampe pacaran” tambahnya lagi.
“ Iya, opa. Aku udah tau, kok” saya cengengesan
menimpali ucapannya.
“Elu
sok tau banget, emang elu tau darimana?” tiba-tiba opa Herman
memandang kearah saya dengan raut wajah yang sepertinya penasaran. Langsung
saja saya tembak beliau;
“Ah,
itu kan modus. Opa ngajak Freddy ke Semeru kan karena opa naksir
sama kakaknya Freddy. Ngaku aja, opa”.
Mendadak opa Herman jadi seperti orang yang salah tingkah, muka beliau tampak
memerah. Saya masih tetap senyam-senyum
dihadapannya.
“Elu
tau darimana?” tanya beliau lagi dengan nada yang dipertegas. Belum sempat
saya membuka mulut, Arya Sena sudah menjawabnya;
“Itu ada di buku, opa” kata Arya
Sena.
“Ada di buku, opa. Om Rudy yang beberin” timpal saya, kali ini saya
tidak bisa menahan tawa.
“Sial! Si Rudy lagi” opa Herman
geleng-geleng kepala, orang-orang yang sempat mendengar pembicaraan itu pun
sontak terbahak-bahak menyaksikan bahasa tubuh beliau yang semakin salting. Aulia sepertinya girang betul
melihat opa Herman kelimpungan, tak
terkecuali seorang tamu asal Jakarta yang merupakan pelanggan dari Herman
Lantang Camp. Tak beberapa lama, beliau akhirnya membahas hal lain. Entah
sengaja mengalihkan pembicaraan atau memang ia hendak menceritakan pengalamannya
yang lain.
Katak
Dalam Tempurung
Opa Herman tampak baru saja kembali
dari dalam kamarnya dengan membawa satu berkas map berisi ijazah kala ia masih bersekolah di sekolah Belanda. Langkahnya terseok-seok menghampiri meja kayu
yang berada didepan kamarnya, kadang ia harus berpegangan pada kusen ataupun
saya tuntun untuk bisa kembali duduk. Bisa saya rasakan tangannya bergemetar
manakala ia berpegangan pada pundak saya.
Slayer
Mapala UI milik Herman Lantang, salah satu atribut khasnya selain topi ala
cowboy.
|
“Nah,
coba lu liat, ini ijazah waktu gua sekolah di Europeesche Lagere School” ujarnya
seraya menyodorkan map tersebut kepada saya. Segera saja kubuka map itu dan
isinya memang selembar ijazah yang sudah kumal, wajar saja sebab kertas ijazah
itu memang dibuat sejak jaman kolonial Belanda, tulisannya pun sudah pasti
menggunakan bahasa Belanda.
“Wah,
opa hebat juga ya bisa masuk sekolah Belanda. Tapi, bukannya cuma
orang-orang dari kalangan bumiputera aja
yang bisa sekolah?” tanya saya.
“Emang!
Tapi bokap gua kan serdadu Belanda, kakek gua
juga marechaussee (marsose), jadi bapak gua tetap menerima uang dari pihak kerajaan Belanda meski dia udah pensiun, dan gua
boleh disekolahin di sekolah Belanda”jawabnya.
“Dulu sewaktu di Manado, gua merasa diri gua paling pinter karena gua
sekolah. Semasa kecil, gua nggak boleh bicara bahasa Melayu, katanya bahasa orang kampung,inlander, harus bicara bahasa Belanda. Dan memang saat
itu orang-orang Manado
kebanyakan merasa dirinya lebih istimewa daripada orang-orang yang lain. Itu kerjaannya Belanda yang bikin politik Divide et Impera, sengaja ngipas-ngipasin orang Manado biar mereka merasa
lebih superior daripada yang lain. Jadi waktu kecil, aku
dididik untuk merasa
superior”. Sejenak saya tertegun mendengar ceritanya, tapi tak beberapa lama
beliau kembali melanjutkan kisahnya;
“Belanda selalu bilang ke kita (orang
Manado) kalau orang Islam itu berada di bawah, jelek! Saat itu gua sudah merasa paling
hebat karena aku berbahasa Belanda, aku sekolah Belanda, aku makan pakai sendok garpu,
beretika Belanda dan mereka yang diluar itu orang-orang
kampung. Tapi waktu ke Jakarta, gua baru melek, sialan! Di Jakarta ternyata banyak banget orang Manado yang jadi sampah masyarakat. Malah, banyak orang Islam yang
pendidikannya lebih tinggi. Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, mereka tamatan Leiden.
Jadi mulai dari situ aku melek, aku sewaktu di Manado ibarat katak dalam tempurung
karena aku merasa hebat”.
Itulah ucapan dari sang Jenderal
Batu, yang selalu berpikir kritis dan bersikap objektif. Ia tak segan-segan
menguak sedikit cerita dari perjalanan hidupnya kepada kami. Tak terasa langit
sudah mulai meredup, kabut mulai menjamah dinding-dinding lembah yang berjubah
rimbunnya pepohonan. Tak lama lagi, kelam akan merayap mengisi heningnya malam.
Belo dan Aulia terlihat bingung, sepertinya mereka merasa bimbang antara harus
pulang atau bermalam. Saya sendiri sudah merasa betah di tempat ini, juga betah
mendengarkan opa Herman berbagi kisahnya.
“Elu
pada nginep, kan? Ngapain pulang? Udah, nginep aja. Kalau mau tidur, ada kamar diatas, selimut
sama bantal juga ada. Kalau elu pada pulang, gua kagak ada
teman” celetuk opa Herman yang tiba-tiba saja membuyarkan kebimbangan kami, dan
memang pada akhirnya saya, Belo juga Aulia tidak ada yang berani untuk
membantah ataupun menolak tawaran seorang Herman Lantang. Malam minggu tanggal
26 November itu, kami sepakat untuk bermalam di rumah peristirahatan opa
Herman.
Makan
Malam Bersama Sang Legenda Hidup
Aroma
jengkol yang digoreng oleh Belo kian menggoda, sambal goreng ikan teri buatan
Aulia pun sudah lebih dulu tersaji di meja. Panci stainless yang berisi sayur sop terus mengeluarkan asap beraroma
nikmat, dan itulah beberapa macam menu masakan yang sengaja kami hidangkan
untuk bisa menikmati makan malam bersama opa Herman juga opa Joyce yang
kebetulan baru saja tiba dari Jakarta. Arya Sena juga turut masuk barisan,
sejumlah lalapan sepertinya sudah diincarnya.
“Why don’t we pray first?” tanya opa
Herman kepada oma Joyce.
“Oke,
would you like to lead the pray?” timpal saya kepada oma Joyce agar ia bersedia
memimpin kami membaca doa. Oma Joyce terlihat canggung, mungkin dia riskan karena
saya, Aulia dan Belo muslim. Sekali lagi saya mempersilakan oma Joyce untuk
memimpin doa tanpa merasa terbebani oleh perbedaan keyakinan dan tata cara
berdoa.
“Joyce, dia itu muslim, tapi dia nggak fanatik. Dia orang yang open
minded” timpal opa Herman sambil mengarahkan telunjuknya kepada saya, oma
Joyce tersenyum dan mulai membaca doa tanpa perasaan yang bimbang.
Saya, Arya Sena, Belo dan Aulia makan
malam bersama opa Herman dan oma Joyce. Meski dengan menu yang sederhana, namun
kentalnya suasana kekeluargaan justru membuat makan malam saat itu jadi terasa
semakin nikmat. Suatu kehormatan bagi saya, Belo dan Aulia dapat merasakan
makan malam bersama seorang sosok yang melegenda, sosok yang sangat ramah
menyambut kami, sekaligus sosok orang tua yang sudah menganggap kami layaknya
cucu sendiri. Tak ada kesan angkuh, ekslusif dan menggurui dari diri seorang
Herman Lantang. Beliau tetap menjadi sosok yang kharismatik juga low profile meskipun jejak langkahnya
sudah jauh meninggalkan generasi seperti kami.
Makan malam
bersama opa Herman dan oma Joyce.
|
Sudah berapa titik tertinggi didaki
Berapa banyak lembah kau kelilingi
Terjatuh tiada keluh
Terluka tak juga jera
Badai dan cadas terjal jadi kawan
Itulah jalan hidupmu
Yang mencetak jejak dibalik selimut kabut
Mengukir kisah di belantara raya
Kini tak lagi belia
Namun gurat keperkasaan…
Seperti enggan berpamitan
Jemari itu…
Seakan tak bosan bersentuhan
Menjamah tanah basah, batu dan dedaunan
Karena itulah jalan hidupmu
Yang bergumul bebas dalam dekapan alam
Bogor,
30 November 2016
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWaahh,,, asyiiik . Seru bacanya ... alhamdulillah,,, seneng ya bisa keep in touch kaya gtuu ,,
BalasHapusIya, orangnya ramah pula.
BalasHapusOowwhh,,, tulisanny bagus ,, :)
Hapus