Jumat, 02 Desember 2016

MENIKMATI KISAH HERMAN LANTANG, SANG LEGENDA HIDUP

Langit tidak lagi menitikkan air hujan, meski demikian diatas sana masih saja didominasi oleh awan mendung yang bergulung. Tanah yang baru saja dibasuh hujan mulai mengeluarkan aroma khasnya. Beberapa kali kami berpapasan dengan para wisatawan lokal yang hendak menikmati akhir pekannya di Curug Nangka, Bogor. Beberapa kali pula saya, Belo dan Aulia dihadang oleh sekawanan kera berukuran besar di sisi jalan. Rupanya kera-kera tadi tidak bermaksud untuk menyerang melainkan berharap diberi makan, biasanya hewan liar tersebut akan bertindak agresif bila melihat ada pengunjung yang membawa makanan. Sebagian pengunjung ada yang menganggap itu sebagai hal yang menarik karena dihampiri sekawanan kera yang menyeruak langsung dari dalam hutan merupakan hal yang sangat jarang mereka alami.

Foto kala senja bersama opa Herman Lantang, 26 November 2016.

Kami menyusuri sebuah jembatan yang terbuat dari anyaman bambu dengan aliran sungai kecil dibawahnya. Gemericik air yang menyelusup riang diantara sela-sela bebatuan kali hampir saja membuat saya terkesima sehingga nyaris tidak menyadari kalau didepan saya sudah ada pak Mamat yang datang dari arah berlawanan.

“Bapak sudah datang, tuh” ucap pak Mamat, warga setempat yang dipercaya mengurus dan melayani para pengunjung yang datang ke Herman Lantang Camp. Lelaki paruh baya itu pun terus berlalu meninggalkan kami.

Aulia dan Belo sedang mencoba berdialog dengan seekor kera yang menghuni hutan disekitar Curug Nangka.

Tuh kan, gue bilang juga apa. Orangnya pasti datang” kata Belo kepada saya. Orang yang dimaksud oleh Belo adalah Herman Onesimus Lantang, seorang pendiri Mapala UI, aktivis mahasiswa angkatan 1966, sahabat Soe Hok Gie juga sekaligus pendiri Herman Lantang Camp. Spontan saja saya dan Aulia menjadi senang sekaligus sedikit khawatir. Senang karena akhirnya kami bisa berjumpa dengan tokoh senior di kalangan pendaki dan pencinta alam itu, namun khawatir karena kabarnya beliau orang yang sangat temperamen. Saya dan Aulia mencoba menghilangkan kekhawatiran tersebut dan berusaha tetap terlihat tenang. Setibanya didepan rumah peristirahatan beliau, sekilas saya bisa melihat wujudnya meski tidak begitu jelas karena terhalang oleh kain kasa yang dibentangkan dari satu tiang bambu ke tiang bambu yang lain. Tak lama kemudian, saya pun sudah berada di hadapan lelaki yang kini sudah berusia 76 tahun itu. Ketika ia berdiri untuk menyambut kami, raut wajah saya sepertinya kembali menampakkan kegusaran yang mampu terdeteksi olehnya. Saya hanya tersenyum dan berbicara seperlunya. Yang jelas, saya berusaha agar tidak ada perkataan yang tak berkenan, yang berpotensi membuat beliau marah. Tapi siapa sangka banyolan pun terlontar dari mulutnya, suatu reaksi spontanitas manakala ia bersalaman dengan saya dan Aulia. Saya berpikir candaan tersebut merupakan suatu gesture dari beliau bahwa memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dibawa santai saja. Akhirnya, ketegangan yang sempat bercokol di benak saya dan Aulia perlahan mulai bisa mencair, ternyata sosok Herman Lantang tidak seangker yang kami bayangkan.

           Hari semakin sore, perbincangan antara saya, Aulia, Belo dan empunya rumah pun semakin santai, tak ada lagi kebekuan atau rasa grogi. Beliau bercerita tanpa beban, seolah dirinya sudah mengenal kami cukup lama. Saat itu, Aulia menawarkan teh manis kepada opa Herman, namun beliau mengatakan kalau hari itu dirinya sedang berpuasa. Saya tidak bertanya dalam rangka atau untuk tujuan apa ia berpuasa tapi dengan sendirinya ia menjelaskan kepada kami;

           “Biar gua nggak gampang marah, biar gua bisa kontrol emosi” ucap beliau sambil melepas sepatu gunungnya.

           “Elu nawarin gua teh manis, gua tolak! Elu barusan nawarin gua makan, juga gua tolak, karena gua (sedang) puasa” kata beliau. Tidak lama kemudian, ia menyambung ucapannya lagi;

           “Tapi tadi teman gua nawarin bakso, gue kagak tolak!” tambahnya sambil terbahak-bahak.



Mengalir Seperti Air

           Maksud dari kedatangan saya ke tempat itu bukan bertujuan untuk menginterview beliau seperti yang sering dilakukan oleh awak media, karena menurut saya apa yang mereka pertanyakan paling-paling tidak jauh dari seputar pergolakan mahasiswa di tahun 1966, pencinta alam, pendakian dan tragedi tahun 1969 di gunung Semeru yang menewaskan Soe Hok Gie juga Idhan Lubis. Kalau hanya ingin tahu cerita diatas tadi, saya rasa mbah Google sudah kenyang menampung artikel perihal itu semua. Saya hanya ingin bertemu dan mengenal dekat dengan beliau secara langsung, bukan lagi dari desas-desus maupun melalui beberapa tulisan yang pernah saya baca. Sebelumnya, saya sempat mendapat bocoran dari Arya Sena, seorang teman yang sudah lebih dulu kenal dekat dengan Herman Lantang sekaligus pihak yang menjembatani saya untuk bisa bertemu dengan sang legenda hidup tersebut. Dia pernah bilang sebelumnya, selama Herman Lantang berkisah jangan pernah kita membantah ataupun menyela pembicaraannya. Cukup kita dengar dan diiyakan saja niscaya rahasia-rahasia yang selama ini tidak pernah ada di buku-buku akan terkuak dengan sendirinya. Satu lagi, bila beliau ditanya ala wartawan justru malah jadi merasa tidak nyaman untuk menjawab sehingga terkesan kaku. Jadi sekali lagi saya pertegas, tulisan ini bukanlah tulisan yang memuat tentang situasi politik 1965-1966, Mapala UI, pendakian ataupun tentang Soe Hok Gie.

Aulia tengah membantu opa Herman menuliskan informasi yang didapat via telepon.

           Sisi humoris Herman Lantang semakin jelas terlihat. Tak bosan-bosannya ia membuat lelucon bahkan Arya Sena yang dulunya berprofesi sebagai wartawan pun tak luput dari guyonannya. Setiap kali beliau melontarkan candaan selalu kami ladeni candaannya, begitu pun ketika ia sedang bercerita maka dengan senang hati pula kami akan mendengarkannya. Memang, kami baru saja bertemu dengan beliau tapi rupanya ia mulai merasa nyaman untuk menuturkan kisahnya tanpa merasa khawatir sama sekali.

           “Elu orang apa? Kalau lu orang Jawa, lu boleh panggil gua eyang, kalau lu orang Sunda, elu panggil gua aki” ucapnya kepada saya.

           “Kalau gua biasa dipanggil opa, sebab di Manado nggak seribet Jawa atau Sunda. Di Manado cuma ada panggilan om sama opa, itu untuk yang laki-laki” tambahnya lagi.

           Dalam berkisah, hal-hal yang bersifat privacy pun tak jarang ia ungkap. Itu dikarenakan beliau sudah mengetahui kalau saya, Belo dan Aulia bukan berprofesi sebagai wartawan yang biasanya menemui beliau hanya untuk berburu gambar ataupun cerita, dan juga karena semuanya mulai mengalir seperti air.

Belo dan pisau belati milik Herman Lantang.

Tak Dibatas Usia

           Empat puluh tahun lalu, Herman Lantang merupakan sosok yang berperawakan tinggi tegap, maka yang ada dihadapan saya saat itu adalah sosok Herman Lantang yang sudah sangat sepuh dan ringkih. Meski demikian, masih bisa kulihat gurat-gurat keperkasaan beliau. Tubuhnya memang sudah berbalut kulit yang mengeriput, kelincahannya pun kian terurai oleh usia, namun hasrat untuk dapat menyatu dengan alam tak turut redup didera zaman.

           “Sekarang kan gua jadi pendek gara-gara kaki gua patah, jadi pincang sebelah dan badan gua jadi bungkuk” kata opa Herman.

           “Untuk nanti acara napak tilas ke Semeru pun, gua cuma bisa ngelepas peserta sampe Ranu Pani doang” tambahnya lagi. Ya, bulan Desember ini pihak Herman Lantang Camp memang akan mengadakan acara napak tilas ke gunung Semeru untuk mengenang almarhum Soe Hok Gie. Selain dihadiri oleh Herman Lantang, kabarnya pihak penyelenggara juga tengah melobi saksi hidup lainnya saat tragedi Semeru 1969 terjadi, yaitu Aristides Katoppo. Aktor Nicholas Saputra yang pernah berperan sebagai Soe Hok Gie juga sedang diusahakan agar bisa berpartisipasi di acara tersebut.

           “Tapi kan nggak cuma opa aja yang pincang, Rudy (Badil) juga pincang” balas saya sambil mengusap-usap bahu beliau.

           “Ah, dia sih apes. Dia ditabrak ojek, ojeknya langsung lari. Dasar apes!” timpal opa Herman cekikikan.

           “Rudy itu anak didik gua, yang lantik dia juga gua. Tapi dia itu tukang kompor, gua sama Hok Gie jadi berantem di rumah pak Binanjar gara-gara dia juga. Dia ngomporin Gie, katanya, ada rumah, ada api sama makanan, ngapain juga ujan-ujanan kemping di pinggir kali Amprong. Akhirnya yang ikut gue kemping di kali Amprong cuma Idhan, Tides sama Freddy. Rudy tidur enak di rumah pak Binanjar sama Hok Gie, padahal dia itu anak didik gua, tapi dia orangnya pemberontak. Kalau ngerokok suka ngumpet-ngumpet, ya itu dia kelakuan si Rudy” ujar opa Herman sambil tertawa mengingat juniornya, Rudy Badil.

           “Ini namanya pak Tumari, dia itu mbah Marijan-nya Semeru” beliau kembali melanjutkan kisahnya sambil menunjuk pada sebuah foto yang tersimpan diselipan buku Soe Hok Gie karya Rudy Badil.

           “Belum lama waktu gua ke Semeru, dia sudah berumur 80-an, dia bilang ke gua kalau kita sudah tua jadi dia ngelarang gue naik (gunung), di Ranu Pani aja, katanya. Gua bilang iya, tapi nggak lama kemudian gua bilang ke bini gua pengen cari sinyal, lalu gua nyasar” sampai disini, beliau kembali tertawa geli. Saya dan Belo sempat bingung melihat beliau tertawa  selepas itu. Apanya yang lucu, pikir saya. Belakangan, saya baru ngeh kalau istilah nyasar yang belum lama beliau sebut ternyata memiliki arti : nekad naik hingga sampai ke Ranu Kumbolo, ckckck…

Joko Tarub Dan Air Terjun Bidadari

           “Elu tadi baru dari Curug Nangka?” tanya opa Herman kepada saya, Aulia dan Belo, kami bertiga mengangguk.

           “Elu nggak tau kan kalau disekitar sini juga ada air terjun yang belum orang lain tau?” tanyanya lagi kepada kami. Saya dan Belo saling diam, sedangkan Arya Sena hanya senyum saja sambil terus memainkan tablet barunya.

           “Namanya air terjun Bidadari, lokasinya tersembunyi dan jarang dijamah orang-orang” tambahnya. Saya dan Belo jadi semakin penasaran. Opa segera mengambil smartphone-nya yang masih dicharge lalu ia menunjukkan foto dirinya yang sedang mandi di air terjun yang baru saja ia maksud.

           “Ini foto waktu gua lagi mandi, gua kesitu jam 06.00 pagi. Elu bisa mandi bugil disitu tanpa ada orang yang ngintipin, kalaupun ada yang ngintip paling-paling si Joko Tarub, monyet jantan yang ukurannya paling gede”.

           Tidak lama kemudian, opa menunjukkan kepada kami video ketika dirinya baru saja kembali dari air terjun Bidadari. Di video itu, terlihat ia sedang menyusuri bebatuan sungai dengan sangat hati-hati. Tampak jemarinya masih bisa mencengkeram bebatuan meski kedua kakinya sudah kehilangan sebagian kekuatan untuk menopang beban tubuhnya. Jujur, agak ngilu juga saya menyaksikan video tersebut. Saya berpikir, di usianya yang sudah sepuh itu sudah seharusnya ia duduk nyaman di beranda rumah sambil menikmati heningnya suasana pegunungan. Namun, jiwa seorang petualang sejati seperti beliau rasanya tidak akan semudah itu berserah pada keadaan fisiknya yang mulai rapuh dimakan usia.

Seekor kera tengah menikmati jambu biji diantara dahan pepohonan.

           Setelah beliau memperlihatkan video tadi, ia akhirnya menunjukkan letak dari air terjun tersebut kepada kami, air terjun yang katanya jarang didatangi orang-orang. Ini baru bonus perkenalan, mungkin nanti akan ada lokasi-lokasi yang masih dirahasiakan lagi yang akan beliau beberkan kepada kami, pikir saya saat itu.

Nico Keren, Tapi…

          Di selipan buku Soe Hok Gie, opa Herman menunjukkan foto dirinya saat bersama Nicholas Saputra, pemeran Soe Hok Gie dalam film Gie. Foto tersebut diambil di lembah Mandalawangi, gunung Pangrango, pada tahun 2004 dimana ada adegan Gie tengah camping bersama Herman Lantang. Iseng-iseng, saya pun meminta opini dari beliau terkait peran yang dibawakan oleh Nicholas Saputra saat itu.

           “Gimana, opa, actingnya Nico bagus nggak?” tanya saya.

           “Nico keren, tapi kelewat ganteng” jawab opa Herman singkat dan dengan ekspresi wajah yang datar. Sontak saya jadi tertawa geli. Menurut saya ia terlalu jujur, tapi opa segera menyanggah ucapan saya;

           “Loh, iya! Actingnya Nico hebat, body language semua sama. Itu sebabnya Riri Riza pilih dia sebab dia menjiwai, semua buku Hok Gie dia baca. Cuma bedanya dia nggak bisa jadi lebih pendek, nggak bisa jadi krempeng dan nggak bisa jadi cina, tapi indo. Hok Gie itu krempeng, ini, coba elu liat gambarnya. Krempeng kan?” kata opa seraya menunjukkan beberapa gambar Soe Hok Gie.

           “Kalau Lukman (Sardi), dia memang belajar body language dari gua, tapi dia nggak bisa jadi tinggi kaya gua. Terbalik kan sama Nico” tambahnya lagi sambil terkekeh.

Salah Tingkah

           Opa Herman tampak sibuk membuka lembar-lembar buku tentang Soe Hok Gie, seperti ada sesuatu yang akan ia perlihatkan kepada saya. Tak lama kemudian, ia membetulkan letak kacamatanya dan mengarahkan telunjuknya pada sebuah gambar pada buku itu.

           “Ini, Soemitro Djojohadikoesoemo, bapaknya Prabowo. Kenal Prabowo, kan?” tanya beliau. Saya cukup tersenyum geli tanpa harus menjawab pertanyaannya. Rasanya, anak SD pun pasti kenal siapa Prabowo.

           “Memangnya, ada apa dengan Soemitro, opa?” tanya saya.

           “Dulu, yang jadi asisten Soemitro itu kakaknya Freddy (Lasut), orangnya cakep. Gua sempat naksir, tapi untungnya nggak sampe pacaran” tambahnya lagi.

           “ Iya, opa. Aku udah tau, kok” saya cengengesan menimpali ucapannya.

           “Elu sok tau banget, emang elu tau darimana?” tiba-tiba opa Herman memandang kearah saya dengan raut wajah yang sepertinya penasaran. Langsung saja saya tembak beliau;

           “Ah, itu kan modus. Opa ngajak Freddy ke Semeru kan karena opa naksir sama kakaknya Freddy. Ngaku aja, opa”. Mendadak opa Herman jadi seperti orang yang salah tingkah, muka beliau tampak memerah. Saya masih tetap senyam-senyum dihadapannya.

           “Elu tau darimana?” tanya beliau lagi dengan nada yang dipertegas. Belum sempat saya membuka mulut, Arya Sena sudah menjawabnya;

           “Itu ada di buku, opa” kata Arya Sena.

           “Ada di buku, opa. Om Rudy yang beberin” timpal saya, kali ini saya tidak bisa menahan tawa.

           “Sial! Si Rudy lagi” opa Herman geleng-geleng kepala, orang-orang yang sempat mendengar pembicaraan itu pun sontak terbahak-bahak menyaksikan bahasa tubuh beliau yang semakin salting. Aulia sepertinya girang betul melihat opa Herman kelimpungan, tak terkecuali seorang tamu asal Jakarta yang merupakan pelanggan dari Herman Lantang Camp. Tak beberapa lama, beliau akhirnya membahas hal lain. Entah sengaja mengalihkan pembicaraan atau memang ia hendak menceritakan pengalamannya yang lain.
    
Katak Dalam Tempurung

           Opa Herman tampak baru saja kembali dari dalam kamarnya dengan membawa satu berkas map berisi ijazah kala ia masih bersekolah di sekolah Belanda. Langkahnya terseok-seok menghampiri meja kayu yang berada didepan kamarnya, kadang ia harus berpegangan pada kusen ataupun saya tuntun untuk bisa kembali duduk. Bisa saya rasakan tangannya bergemetar manakala ia berpegangan pada pundak saya.

Slayer Mapala UI milik Herman Lantang, salah satu atribut khasnya selain topi ala cowboy.
           “Nah, coba lu liat, ini ijazah waktu gua sekolah di Europeesche Lagere School” ujarnya seraya menyodorkan map tersebut kepada saya. Segera saja kubuka map itu dan isinya memang selembar ijazah yang sudah kumal, wajar saja sebab kertas ijazah itu memang dibuat sejak jaman kolonial Belanda, tulisannya pun sudah pasti menggunakan bahasa Belanda.

           “Wah, opa hebat juga ya bisa masuk sekolah Belanda. Tapi, bukannya cuma orang-orang dari kalangan bumiputera aja yang bisa sekolah?” tanya saya.

           “Emang! Tapi bokap gua kan serdadu Belanda, kakek gua juga marechaussee (marsose), jadi bapak gua tetap menerima uang dari pihak kerajaan Belanda meski dia udah pensiun, dan gua boleh disekolahin di sekolah Belanda”jawabnya.

           “Dulu sewaktu di Manado, gua merasa diri gua paling pinter karena gua sekolah. Semasa kecil, gua nggak boleh bicara bahasa Melayu, katanya bahasa orang kampung,inlander, harus bicara bahasa Belanda. Dan memang saat itu orang-orang Manado kebanyakan merasa dirinya lebih istimewa daripada orang-orang yang lain. Itu kerjaannya Belanda yang bikin politik Divide et Impera, sengaja ngipas-ngipasin orang Manado biar mereka merasa lebih superior daripada yang lain. Jadi waktu kecil, aku dididik untuk merasa superior”. Sejenak saya tertegun mendengar ceritanya, tapi tak beberapa lama beliau kembali melanjutkan kisahnya;

           “Belanda selalu bilang ke kita (orang Manado) kalau orang Islam itu berada di bawah, jelek! Saat itu gua sudah merasa paling hebat karena aku berbahasa Belanda, aku sekolah Belanda, aku makan pakai sendok garpu, beretika Belanda dan mereka yang diluar itu orang-orang kampung. Tapi waktu ke Jakarta, gua baru melek, sialan! Di Jakarta ternyata banyak banget orang Manado yang jadi sampah masyarakat. Malah, banyak orang Islam yang pendidikannya lebih tinggi. Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, mereka tamatan Leiden. Jadi mulai dari situ aku melek, aku sewaktu di Manado ibarat katak dalam tempurung karena aku merasa hebat”.

           Itulah ucapan dari sang Jenderal Batu, yang selalu berpikir kritis dan bersikap objektif. Ia tak segan-segan menguak sedikit cerita dari perjalanan hidupnya kepada kami. Tak terasa langit sudah mulai meredup, kabut mulai menjamah dinding-dinding lembah yang berjubah rimbunnya pepohonan. Tak lama lagi, kelam akan merayap mengisi heningnya malam. Belo dan Aulia terlihat bingung, sepertinya mereka merasa bimbang antara harus pulang atau bermalam. Saya sendiri sudah merasa betah di tempat ini, juga betah mendengarkan opa Herman berbagi kisahnya.

           “Elu pada nginep, kan? Ngapain pulang? Udah, nginep aja. Kalau mau tidur, ada kamar diatas, selimut sama bantal juga ada. Kalau elu pada pulang, gua kagak ada teman” celetuk opa Herman yang tiba-tiba saja membuyarkan kebimbangan kami, dan memang pada akhirnya saya, Belo juga Aulia tidak ada yang berani untuk membantah ataupun menolak tawaran seorang Herman Lantang. Malam minggu tanggal 26 November itu, kami sepakat untuk bermalam di rumah peristirahatan opa Herman.

Makan Malam Bersama Sang Legenda Hidup

           Aroma jengkol yang digoreng oleh Belo kian menggoda, sambal goreng ikan teri buatan Aulia pun sudah lebih dulu tersaji di meja. Panci stainless yang berisi sayur sop terus mengeluarkan asap beraroma nikmat, dan itulah beberapa macam menu masakan yang sengaja kami hidangkan untuk bisa menikmati makan malam bersama opa Herman juga opa Joyce yang kebetulan baru saja tiba dari Jakarta. Arya Sena juga turut masuk barisan, sejumlah lalapan sepertinya sudah diincarnya.

           “Why don’t we pray first?” tanya opa Herman kepada oma Joyce.

          “Oke, would you like to lead the pray?” timpal saya kepada oma Joyce agar ia bersedia memimpin kami membaca doa. Oma Joyce terlihat canggung, mungkin dia riskan karena saya, Aulia dan Belo muslim. Sekali lagi saya mempersilakan oma Joyce untuk memimpin doa tanpa merasa terbebani oleh perbedaan keyakinan dan tata cara berdoa.

           “Joyce, dia itu muslim, tapi dia nggak fanatik. Dia orang yang open minded” timpal opa Herman sambil mengarahkan telunjuknya kepada saya, oma Joyce tersenyum dan mulai membaca doa tanpa perasaan yang bimbang.

           Saya, Arya Sena, Belo dan Aulia makan malam bersama opa Herman dan oma Joyce. Meski dengan menu yang sederhana, namun kentalnya suasana kekeluargaan justru membuat makan malam saat itu jadi terasa semakin nikmat. Suatu kehormatan bagi saya, Belo dan Aulia dapat merasakan makan malam bersama seorang sosok yang melegenda, sosok yang sangat ramah menyambut kami, sekaligus sosok orang tua yang sudah menganggap kami layaknya cucu sendiri. Tak ada kesan angkuh, ekslusif dan menggurui dari diri seorang Herman Lantang. Beliau tetap menjadi sosok yang kharismatik juga low profile meskipun jejak langkahnya sudah jauh meninggalkan generasi seperti kami.



Makan malam bersama opa Herman dan oma Joyce.






Sudah berapa titik tertinggi didaki
Berapa banyak lembah kau kelilingi
Terjatuh tiada keluh
Terluka tak juga jera
Badai dan cadas terjal jadi kawan
Itulah jalan hidupmu
Yang mencetak jejak dibalik selimut kabut
Mengukir kisah di belantara raya

Kini tak lagi belia
Namun gurat keperkasaan…
Seperti enggan berpamitan
Jemari itu…
Seakan tak bosan bersentuhan
Menjamah tanah basah, batu dan dedaunan
Karena itulah jalan hidupmu
Yang bergumul bebas dalam dekapan alam

                             Bogor, 30 November 2016



           

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Waahh,,, asyiiik . Seru bacanya ... alhamdulillah,,, seneng ya bisa keep in touch kaya gtuu ,,

    BalasHapus