Minggu, 15 Mei 2016

GUNUNG DAN REALITA PENDAKI MASA KINI

           Sekarang ini, kata pendaki sudah seperti hal yang biasa didengar publik dan mudah dijumpai orang-orangnya. Di stasiun Senen, Jakarta Pusat, hampir setiap hari bisa kita temui sekelompok remaja maupun orang dewasa yang akan pergi mendaki. Peralatan pendakian yang kini sangat mudah didapat, memungkinkan bagi siapa saja untuk memulai petualangannya menjejak ketinggian dan berbaur dengan dinginnya udara gunung. Beberapa toko outdoor pun kian menjamur seiring dengan merebaknya virus mendaki yang sempat menjadi tren beberapa tahun belakangan ini. Harga barang yang mahal bukanlah penghalang bagi segelintir orang yang sudah kadung terkena candu mendaki untuk mendapatkan apa yang mereka kehendaki.


Foto        : Agung
Lokasi     : Simpang Apuy, gunung Ciremai, Kuningan – Jawa Barat
           Berbicara tentang pendaki, rasanya saya ingin berbagi sedikit opini dari sudut pandang saya sebagai seorang amatir yang juga hobi naik gunung. Perkenalan saya dengan orang-orang yang gemar hiking dimulai dipertengahan tahun 1996, kala usia saya baru beranjak 12 tahun. Semuanya berawal dari rasa ingin tahu yang akhirnya membuat saya tertarik untuk mendaki.
                              
Foto        : Aldianovsky
Model     : Deden Hamdani
Lokasi    : Padang rumput gunung Bromo, Probolinggo – Jawa Timur


           Mata ini masih belum mau terpejam meski sudah larut malam. Bukan karena gerahnya udara didalam kamar yang membuat sekujur tubuh bermandikan peluh, namun dikarenakan pandanganku yang tak henti-hentinya menyelisik beberapa sudut kamar dimana terdapat perlengkapan pendakian milik paman saya dan teman-temannya. Kerapkali saya mengutak-atik perlengkapan hiking milik mereka yang memang sengaja disimpan disitu dan berharap suatu saat nanti saya juga bisa memilikinya. Sadar belum memiliki penghasilan, maka saya cukup berbesar hati dengan melihat dan menyentuh hiking gear yang ada didepan mata saja. Ketika itu saya baru duduk di kelas satu SMP. Ya, dua puluh tahun yang lalu.


Foto        : Aldianovsky
Model    : Ready Krueger
Lokasi    : Cemoro Kandang, gunung Semeru, Lumajang – Jawa Timur
           Keinginan untuk mendaki mulai ada ketika akrab dengan teman-teman paman saya yang sebagian besar dari mereka merupakan anggota pencinta alam. Mereka sering menceritakan pengalamannya ketika sedang mendaki gunung. Foto-foto dan karya tulis selepas mereka turun gunung pun kerapkali diperlihatkan kepada saya. Tak ayal saya pun jadi terinfeksi oleh racun yang ditularkan mereka melalui artikel dan hasil jepretan foto-fotonya. Virus sudah terlanjur menyebar kedalam otak dan hati saya, sehingga timbul hasrat untuk memulai pendakian meski ketika itu saya belum memiliki perlengkapannya sama sekali.


Foto        : Aldianovsky
Model    : Calon anggota PALAPSA angkatan “Kabut Lembah”
Lokasi    : Kawah Ratu, gunung Salak, Bogor – Jawa Barat
           Saya masih ingat betul saat itu dimana aktivitas pendakian belum menjamur seperti sekarang ini. Di kalangan anak muda, jangankan mendaki gunung, melihat sekelompok pendaki yang tengah membawa carrier di punggungnya pun mereka masih menganggap itu sebagai hal yang aneh. Saat itu, belum terngiang merk peralatan outdoor seperti Deuter, Osprey, Marmot, Jack Wolfskin ataupun Arcteryx. Buat mereka yang kala itu sudah memiliki carrier dengan merk The North Face ataupun Karrimor, sudah sepatutnya bersyukur karena harganya yang masih setinggi langit. Di awal dan pertengahan era 90an, adalah era dimana beberapa produk lokal seperti Alpina dan Jayagiri mengalami masa-masa jayanya. Sekarang kedua produk tersebut sudah meredup sinarnya, tersisihkan brand luar negeri yang mampu membuat silau mata pendaki remaja meski dibandrol dengan harga yang membuat kita geleng-geleng kepala.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Ahmad Randi
Lokasi    : Pos VIII, gunung Slamet, Purbalingga – Jawa Tengah
           Ada rasa takjub setiap saya melihat pendaki yang bersiap diri melangkahkan kaki ke puncak gunung dengan atribut kependakiannya. Rata-rata pendaki di era 90an berambut gondrong, menggunakan ikat kepala atau sejenis bandana, mengenakan gelang yang terbuat dari tali prusik, memakai seragam dan celana lapangan juga sepatu boot. Itu baru dari pakaiannya saja, belum termasuk perlengkapan lain yang mereka jejalkan kedalam carriernya. Entahlah, setiap melihat mereka tengah memanggul carrier yang kadang terlihat menjulang seperti batu menhir, selalu saja ada rasa takjub bahkan cenderung ingin melakukan hal yang sama seperti mereka.


Foto      : Agung
Model    : Aldianovsky
Lokasi    : Antara Goa Walet & puncak Ciremai, gunung Ciremai, Kuningan – Jawa Barat
           Di pertengahan tahun 2000, akhirnya saya baru bisa mewujudkan hasrat untuk mendaki. Dengan menikmati perjalanan dan keindahan alam, saya pun mulai merasa jatuh hati terhadap kegiatan yang satu ini. Untuk selanjutnya, saya tidak segan-segan mengumpulkan uang demi bisa melengkapi peralatan mendaki. Tidak perlu yang bermerk luar, cukup produk lokal yang murah meriah saja. Dilain waktu, kesunyian hutan gunung Salak ternyata membuat saya yang pada dasarnya merupakan pribadi yang tertutup dan suka menyendiri, menjadi kecanduan terhadap rasa tenang, hening dan damai ketika pertama kali berada di tempat itu. Flying camp yang berada di gunung Salak memang menyuguhkan suasana rimba belantara yang menenangkan dan terbebas dari bisingnya guyonan maupun kelakar para pendaki, selain itu keasriannya masih sangat terjaga. Kentalnya rasa keakraban yang terjalin manakala kami berjumpa dengan pendaki lain, masih bisa saya rasakan kala itu. Buat saya, mendaki tidak hanya sebatas hobi namun ajang untuk saling berbagi ilmu dan informasi setiap kali kami merajut keakraban dengan sesama pendaki. Gunung sejatinya adalah rumah kedua disaat saya tengah merindukan santunnya salam sang alam, tempat yang bisa menaungi kami dari kepenatan ataupun sederet rutinitas yang kian mengebiri kebebasan.


Foto      : Deden Hamdani
Model    : Deden Hamdani & Aldianovsky
Lokasi    : Lautan Pasir, gunung Bromo, Probolinggo – Jawa Timur
           Menjelang malam di tengah belantara raya, biasanya paman saya akan berkisah. Saya sangat suka ketika ia sedang berbagi pengalamannya saat singgah ke puncak-puncak gunung, sebab ia menceritakan semua itu dalam kapasitasnya yang sebagai pendaki di era 80an. Ia pernah bercerita tentang indahnya gunung Argopuro dan Semeru yang berada disebelah timur pulau Jawa. Pada era 90an dimana ia mengunjungi Semeru, ia pernah menyaksikan sepasang belibis tengah memadu kasih di jernihnya permukaan Ranu Kumbolo yang masih sepi dari aktivitas para pendaki. Terkadang kabut tebal yang datang dari arah timur menyapu pelataran danau, tak lama kemudian kabut itu akan hilang terbawa angin. Ia juga mengisahkan bagaimana cantiknya tanaman sejenis ilalang yang bunganya berwarna ungu cerah, tumbuh disepanjang lembah Oro-Oro Ombo. Di lain waktu, ia juga menuturkan pengalamannya saat mendaki gunung Argopuro. Di gunung tersebut katanya masih sering ditemui rusa, babi hutan dan burung merak. Beberapa lembar foto ketika ia mendaki Argopuro juga pernah saya lihat. Semua yang terekam di album fotonya ataupun melalui kisahnya, sanggup membangkitkan rasa penasaran saya untuk mengunjungi kedua gunung tadi.


Foto      : Agung
Model    : Aldianovsky
Lokasi    : Puncak gunung Ciremai, Kuningan – Jawa Barat
           Pada pertengahan tahun 2013, akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk mendaki gunung Semeru. Segala cerita yang pernah diuraikan oleh sang paman, saya rekam dan akan saya sesuaikan sesampainya saya di tempat tujuan. Namun alangkah terkejutnya ketika saya melihat Ranu Kumbolo dengan mata kepala sendiri. Tidak ada sepasang belibis yang bermain diatas permukaan danau tersebut. Jangankan sepasang, seekorpun tak nampak. Keadaan di tempat itu sangat memprihatinkan akibat sampah logistik yang masih berserakan diatas tanah. Kondisinya sangat jauh berbeda dengan apa yang pernah paman saya ceritakan. Di sisi barat Ranu Kumbolo, warna-warni puluhan tenda terlihat memenuhi lahan yang berbidang datar. Sampah tissue berceceran diantara rimbunnya belukar, hanya membuat kesan yang menjijikkan. Alhasil malam pertama berkemah di tempat itu, saya mengalami susah tidur dikarenakan ulah beberapa pendaki yang berada disekitar saya yang masih saja getol bercanda, tertawa, bahkan berteriak seenak perutnya. Hati ini jadi berucap; apakah benar saya sedang berada di Ranu Kumbolo atau tersesat disisi lain gunung Semeru? Entahlah.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Aldianovsky
Lokasi    : Ranu Kumbolo, gunung Semeru, Jawa Timur

Foto      : Aldianovsky
Model    : Aldianovsky
Lokasi     : Kali Mati, gunung Semeru, Jawa Timur
           Mungkin saya hidup di waktu yang salah, dimana alam sudah enggan menyajikan rasa tenang dan damai bagi segelintir pendaki yang memang melakukan pendakian untuk tujuan tersebut. Kesan kumuh dan bising justru melekat pada beberapa gunung yang jadi favorit pendakian, terlebih setelah para generasi muda terpengaruh oleh tayangan film layar lebar yang pada tahun 2012 lalu mampu menghipnotis sebagian penontonnya untuk menjadi pendaki dadakan. Adalah hak setiap orang untuk berkarya, termasuk dalam membuat film. Namun sangat disayangkan kalau para sineas tadi hanya berorientasi pada rating dan keuntungannya saja, lantas bagaimana dengan dampaknya terhadap lingkungan maupun ancaman terhadap kearifan lokal setempat?


Foto      : Aldianovsky
Model    : Ready Krueger
Lokasi    : Ranu Kumbolo, gunung Semeru, Jawa Timur
           Pasca pemutaran film layar lebar yang ditayangkan pada tanggal 12 bulan 12 tahun 2012 itu, sontak ribuan anak muda bertransformasi jadi pendaki musiman yang siap menginvasi keasrian alam gunung Semeru. Tak bisa dibantah jika seandainya saat itu ada beberapa pihak yang menyebut gunung Semeru bagaikan taman rekreasi. Ya, di film itu memang menceritakan perjalanan sekelompok remaja yang merayakan pertemuan mereka dengan melakukan pendakian ke puncak Mahameru. Dampaknya, tak ayal para ranger TNBTS jadi uring-uringan lantaran pendaki-pendaki dadakan tadi datang ke Semeru hanya untuk menyumbangkan sampah perbekalannya. Pendaki-pendaki yang tidak mengerti tata krama dan tidak bisa menghargai kearifan lokal setempat juga kerapkali dipergoki ranger TNBTS tengah mandi di Ranu Kumbolo. Padahal, danau itu adalah salah satu sumber air di gunung Semeru yang disucikan dan disakralkan oleh warga suku Tengger. Selain itu, sudah ada peringatan yang dipasang agar siapapun yang berkunjung kesitu tidak mandi ataupun berenang. Dengan adanya kasus “oknum pendaki” yang tertangkap basah sedang mandi atau nyebur ke telaga Kumbolo, maka jelas sudah bahwa untuk menjadi seorang pendaki tidak hanya dibutuhkan perlengkapan yang mahal dan otot-otot yang kekar saja.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Dimas Yulianto
Lokasi    : Kawah gunung Papandayan, Garut – Jawa Barat
           Danau Kumbolo yang kata para pendaki di era 80an biasa dikunjungi oleh rusa dan macan kumbang untuk mengisi kerongkongannya, kini tak lagi bisa dijumpai satupun dari mereka yang tengah minum ditepiannya. Serbuan pendaki yang singgah di Ranu Kumbolo membuat hewan-hewan itu menyingkir dan menjauh dari sumber keramaian. Aah, sepertinya kisah tentang belibis yang berenang bebas di permukaan danau Kumbolo, sekarang ini hanya menjadi dongeng dari para pendaki senior untuk adik-adik mereka yang baru saja mulai mengangkat ranselnya.
                                
Foto      : Aldianovsky
Model    : Sri Yuni Nur Linda
Lokasi    : Alun-alun Suryakancana, gunung Gede, Cianjur – Jawa Barat

           Segalanya telah berubah. Sekarang, hampir tak bisa kurasakan hangatnya keakraban yang terjalin antar sesama pendaki seperti saat enambelas tahun yang lalu. Tak ada lagi cerita didalam segelas teh, karena hampir semua pendaki yang kutemui terlalu asyik dengan perabot narsisnya masing-masing. Sangat menyedihkan, karena saat ini gunung telah didominasi oleh para pendaki yang datang hanya demi memenuhi nafsu untuk bereksistensi ketimbang mencari esensi dari mendaki. Di masa sekarang, rasanya sebagian besar pendaki tengah mengalami disorientasi serta kesulitan dalam membedakan antara tongkat mendaki (trekking pole) dan tongkat narsis (tongsis/selfie stick), juga membedakan mana headlamp dan mana GoPro.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Aldianovsky
Lokasi    : Cemoro Kandang, gunung Semeru, Jawa Timur
           Semoga sekarang predikat yang disandang oleh para pendaki bukan lagi soal stigma sosial. Bukan hal yang aneh kalau pendaki selalu menjadi sorotan publik dan kerapkali mendapat tanggapan negatif dari segelintir orang, mulai dari perilaku, mengotori dan merusak lingkungan, hingga stigma pendaki yang hingga saat ini masih setia melekat : tebar pesona alias modus! Tapi ada baiknya jangan terlalu sinis dan skeptis dulu dengan pendaki, sebab masih banyak dari mereka yang telah berdedikasi dan membuat harum nama bangsa ini dengan segudang prestasinya. Karena setiap manusia pasti memiliki plus minus dalam kehidupannya, kalaupun ada sisi negatif dari seorang pendaki maka biarlah itu menjadi tanggungjawab ia dengan moralnya. Baik secara sengaja ataupun tak disengaja, saya pun tidak tertutup kemungkinan untuk turut berkontribusi dalam terjadinya kerusakan lingkungan. Buat saya pribadi, belum terlalu banyak ilmu dan wawasan tentang pendakian yang saya dapat. Pengetahuan serta pengalaman mendaki saya tidak ada seujung kukunya mereka yang sudah melanglang buana ke titik-titik tertinggi di negeri ini.


Foto      : Aldianovsky
Model    : Ready Krueger
Lokasi    : Padang Verbenna Oro-Oro Ombo, gunung Semeru, Jawa Timur
           Pada akhirnya, kita tidak tahu sampai kapan hiruk-pikuk pendakian seperti saat ini akan berakhir. Kita juga tidak akan mampu meramal kapan puncak-puncak gunung akan kembali kepada jati dirinya yang hening, tenang dan bersahaja. Setiap kali saya membuka album foto milik sang paman kala ia masih sering mendaki, rasanya seperti tersisip kedamaian didalam tiap-tiap lembarnya. Ketenangan itu hadir dari gambaran lembah serta gunung yang belum terusik euphoria pendakian dan juga kebersahajaan alam yang masih terlindungi oleh kearifan lokal setempat. Sungguh beruntung mereka yang yang pernah jadi pendaki di era 70,80 dan 90an, dimana gunung-gunung masih asri terjaga dan belum jadi objek yang dikomersialisasi. Ah, seandainya saja saya pernah merasakan hal yang seperti itu...



5 komentar:

  1. Baguss tulisannya ... ya mungkin ini efect publikasi massal melaului media massa . Terutama televisi ka . Yg mengekspos gunung indah di indonesia..dan juga lebih parahnya banyak gunung yg membuka bisnisnya dengan gaya kekinian yaitu open trip .. mungkin dlu stigma pendaki itu ,yg ada dibayangan kita(termasuk saya) , laki2 kuat,hebat,cool,keren abis .. namun dengan adnya open trip , siapapun orang bisa melakukan pendakian tanpa harus ribet dengan perlengkapannya dikarenakan ada porter ... so,, pendakian yg sekarang berorientasi pada materi,. Dengan uang semuanya dapat dilakukan.. ditambah lagi mental yg sebagian orang merasa kekinian terlalu bnyak yg ga peduli n egois . Terlihat dri sikapnya yg menikmati alam dengan sembarang . Menyalakan music n tertawa tanpa henti.. pendakipun kini terpecah menjadi pendaki penikmat alam , dan pendaki penikmat gadget .. hhehehe ,, tidak dipungkiri juga si, pendapatan daerahpun meningkat dengan adanya publikasi massal melalui media massa .. saya juga geram ka,melihat pendaki penikmat gadget .. jadi membuat buruk citra pendaki yg dlu tertanam kuat dlm benak saya ,kalau liat orang2 pendaki tuh , keren,penjaga lingkungan,kuat , hhhehehhehe ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mau berbagi opini di tulisan saya. Semoga alam dan gunung akan kembali seperti sediakala :)

      Hapus
  2. jangan pernah berhenti buat menulis dan mendaki walau kita pernah ada di puncak tertinggi, karena hakikat mendaki adalah ketika kita kembali menulis di rumah....menceritakan pengalaman ketika bertualang di alam semesta..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju... Dimana saat kita didera track pendakian yang melelahkan, kita merasa rindu dengan empuknya kasur dan bantal di rumah. Dimana ketika kita berhadapan dengan laptop dan setumpuk pekerjaan, justru kita malah merindukan aroma embun dan tanah basah didalam belantara hutan.

      Hapus