Kamis, 21 September 2017

PANTAI NGOBARAN : BALI YANG TERSEMBUNYI DI SELATAN JOGJA

                                Tepat pukul 10.15 siang, saya dan sepupu saya bergegas meninggalkan penginapan di Malioboro untuk menuju pantai Ngobaran, satu dari sekian banyak pantai di kabupaten Gunung Kidul yang belakangan ini kerap kali menjadi buah bibir di kalangan wisatawan. Berlokasi di desa Kanigoro kecamatan Saptosari, jaraknya kurang lebih 65 kilometer dari kota Jogja dan akan memakan waktu sekitar dua jam menggunakan kendaraan. Permukaan jalan menuju pantai Ngobaran memang sudah di aspal namun terlalu riskan untuk dilalui oleh bus berukuran besar. Hanya dengan membayar tiket masuk seharga Rp.10.000 perorang (termasuk asuransi Jasa Raharja), kita sudah bisa menikmati tiga pantai sekaligus, yakni, pantai Ngobaran, Ngrenehan dan Nguyahan. Kali ini, saya lebih memilih berkunjung ke pantai Ngobaran mengingat masih ada dua pantai lagi yang akan kami singgahi.

Cita rasa Bali sudah mulai terasa ketika kita berada tepat di hadapan gapura yang di dalamnya terdapat arca Dewa Dewi.
           Setengah jam sebelum mencapai pantai kita akan terlebih dahulu melewati perbukitan karst yang terjal dan tandus, yang di kiri kanannya ditumbuhi pohon-pohon Jati. Pepohonan tersebut terlihat menjulang di sepanjang jalan yang permukaan tanahnya didominasi oleh bebatuan cadas, dengan demikian sangat sulit dijadikan lahan untuk berladang. Sebagian warga ada yang menata bebatuan yang menyembul dari dalam tanah tersebut hingga membentuk terasering, sekilas bentuknya menyerupai tribun pada sebuah arena gladiator. Di saat musim kemarau seperti sekarang ini pemandangan yang didapat memang terkesan sangat gersang, namun view seperti itulah yang membuat Gunung Kidul tampak mempesona dengan keeksotisan alamnya.

Selepas memasuki gapura, kita akan disambut oleh arca Ganesha yang tampak membelakangi arca Brahma dan dua Dewi lainnya.
           Pukul 12.33, setelah melalui perjalanan panjang yang berliku dan kadang turun naik, akhirnya mobil rental yang kami tumpangi tiba di pelataran parkir pantai Ngobaran. Debur ombak yang terhempas di kerasnya bebatuan cadas bisa jelas terdengar di saat pintu mobil kubuka. Udara panas juga terik yang menyengat seperti tak mau kalah dalam menyambut kedatangan para wisatawan. Rasa pening dan mual selama di perjalanan akhirnya terbayar lunas ketika semerbak aroma laut mulai terdeteksi indera penciuman. Merasa tak terganggu dengan cuaca sepanas itu, kami pun segera mencari objek yang menarik untuk bisa diabadikan kamera.

Spot di tepi jurang seperti ini biasa dijadikan tempat untuk berfoto dikarenakan latarbelakangnya yang langsung menghadap ke arah Samudera lepas.
           Yang membuatku merasa tertarik dengan tempat ini adalah adanya bangunan pura, gapura, arca Dewa Dewi dan tempat persembahyangan bagi para penganut aliran Kejawan. Di tempat itu, terdapat arca sepasang kera yang tampak seperti sedang berjaga-jaga di depan gapura. Melewati gapura tersebut maka akan lebih banyak lagi arca yang bisa dijumpai, di antaranya, arca Ganesha, Brahma, Batara Guru atau Maheswara, Yudistira, Arjuna, Bima Sena, hingga arca Batara Ismaya, alias Sabdo Palon, alias Semar. Dengan berjalan sedikit ke arah selatan dan tepat berada di bibir jurang yang di bawahnya menganga bebatuan karang, di situ ada satu lagi arca Dewa. Ialah arca Wishnu yang sedang menunggangi Garuda sebagai wahananya dan langsung menghadap ke arah selatan, ke arah birunya Samudera Indonesia. Kentalnya nuansa Hindu sangat terasa di tempat ini sehingga menciptakan kesan seperti sedang berada di Bali. Itulah salah satu daya tarik yang akan didapat manakala mengunjungi pantai Ngobaran.

Keberadaan arca Dewa Dewi juga kentalnya nuansa Hindu yang ada di tempat ini membuat pantai Ngobaran kerap kali mendapat julukan Bali-nya Jogja.
Patung Batara Guru yang tengah memegang trisula, tampak berdiri tegak menghadap ke arah barat.

Prasasti di pantai Ngobaran, yang berisi ikrar dan dibuat oleh para penganut Kejawan,
Pantai Ngobaran dipercaya oleh sebagian kalangan sebagai tempat persembunyian, tempat singgah hingga moksanya Prabu Brawijaya V dari kerajaan Majapahit. Seperti yang telah diketahui secara umum bahwa pada masa Prabu Brawijaya V berkuasa di kerajaan Majapahit, telah terjadi prahara internal antara ayah dan putranya. Sang anak, Raden Patah, yang sejak kecil sudah memeluk Islam dan telah diberi lahan kekuasaan oleh ayahnya di Glagahwangi atau yang kini lebih familiar dengan sebutan demak, justru menyerang kerajaan ayahnya sendiri setelah ia menjadi penguasa di kesultanan Demak. Sang ayah yang enggan memerangi anaknya lebih memilih untuk menghindari konflik dengan cara melarikan diri ke beberapa tempat, salah satunya pantai Ngobaran.

Diantara arca Dewa dan Dewi.
Pantai Ngobaran diyakini menjadi tempat sang Prabu untuk melakukan tapa brata. Diberi nama pantai Ngobaran pun tidak terlepas dari mitos yang mengisahkan bahwa Prabu Brawijaya membakar dirinya dengan api yang telah ia persiapkan sebagai jalan untuk mencapai nirwana. Api yang berkobar itu pun menjadi cikal-bakal dari nama pantai ini, Ngobaran. Namun cerita turun-temurun tentang mangkatnya sang Prabu ini masih bisa diperdebatkan, pasalnya lebih banyak umat Hindu dan penganut Kejawen (bukan Kejawan) yang meyakini kalau Prabu Brawijaya V alias Bhre Kertabhumi menghilang atau moksa di gunung Lawu. Jujur, saya yang membaca beberapa artikel di Google mengenai wafatnya Prabu Brawijaya V di pantai Ngobaran pun tidak lantas begitu saja percaya. Setahu saya, Beliau berkelana ke gunung Lawu untuk menghindari kejaran musuh hingga akhirnya tiba di Hargo Dalem, dan di situlah sang Prabu moksa. Kalau pun ada dari kalangan tertentu yang datang kemari untuk bermeditasi atau melakukan persembahyangan, mungkin itu lebih kepada keinginannya untuk melakukan napak tilas sang Prabu. Tapi itu hanya opini pribadi saya semata, sebab cuma Sang Hyang Wenang lah yang mengetahui kejadian sesungguhnya. Manusia hanya bisa meraba sejarah melalui data dan fakta yang kadang itu pun masih dipermanis dengan rekaan-rekaan imajinasinya.

Keindahan bibir pantai yang langsung bersinggungan dengan bebatuan cadas dan karang, untuk bisa mencapainya kita harus menuruni anak tangga yang tidak jauh dari pelataran arca-arca. Umat Hindu biasa melakukan upacara Melasti di tempat ini untuk menyambut datangnya Hari Raya Nyepi.
Kita kembali lagi ke objek wisata pantai Ngobaran yang saat ini sedang naik daun. Berada di sebelah kanan atau sebelah barat arca Wisnu, terdapat anak tangga yang biasa digunakan para pengunjung untuk mencapai bibir pantai. Setibanya di bibir pantai, kita bisa menjumpai bebatuan karang yang banyak ditumbuhi alga berwarna hijau dan coklat. Di sini kita senantiasa dibentengi oleh tebing-tebing cadas berukuran sangat besar yang akan mempercantik setiap gambar yang diabadikan dengan kamera. Lelah dan lapar karena bermain air? Jangan khawatir, karena ada banyak warung makan yang menyediakan menu makanan dan minuman. Landak laut goreng merupakan kuliner khas di tempat ini, namun menu itu bukanlah menu sehari-hari penduduk setempat. Dahaga yang melanda pun bisa terkalahkan saat kita menyeruput segarnya es jeruk atau air kelapa muda yang disediakan di warung-warung makan tadi.

Arca Batara Ismaya atau Semar yang tampak berdiri sendiri membelakangi lautan sekaligus menjadi arca yang tampil ekslusif diantara arca Dewa dan Dewi lainnya. Di kalangan Kejawen, tokoh Semar merupakan manifestasi dari sifat-sifat ke Illahi-an.

Arca Garuda yang tengah ditunggangi oleh Wishnu yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia.
Sejauh ini pantai Ngobaran tidak hanya menjadi destinasi bagi para penikmat wisata pantai saja, mereka yang haus akan kebutuhan spiritual juga bisa menjadikannya sebagai wisata bernuansa religi. Selain mengecap keindahan birunya samudera di antara deburan ombak, kita juga dapat melihat langsung antusias penduduk setempat yang berupaya melestarikan tradisi dan nilai-nilai luhur dari para leluhur dengan didirikannya bangunan-bangunan seperti pura, arca Dewa Dewi serta tempat persembahyangan.

Dengan menyusuri anak tangga yang mengarah ke bibir pantai, maka kita bisa menikmati view yang berbeda dari spot di tempat ini.

Seorang warga tengah mengumpulkan rumput laut di celah-celah karang yang digenangi air laut. Hasilnya akan ia jual ke para pengepul rumput laut untuk sekadar memenuhi kebutuhannya hidup sehari-hari.
Kadang seorang pencari rumput laut di pantai Ngobaran harus tahu waktu yang tepat untuk menghindar dari terjangan ombak.

Berfoto di bibir jurang.
Nah, untuk apa jauh-jauh ke Pulau Dewata kalau di pantai Ngobaran saja kita sudah bisa merasakan atmosfer seperti di sana. Yang pasti, pantai ini bisa menjadi alternatif bagi anda untuk menghilangkan kepenatan akibat rutinitas yang mendera.

Rute Ke Pantai Ngobaran Dari Kota Yogya:
Yogyakarta > Ringroad Ketandan > Jl. Wonosari. > Perempatan Sampaan > kids fun > pertigaan Piyungan > Bukit Bintang > Patuk > Sambipitu > Bunder > perempatan Gading > lapangan terbang Gading > pertigaan setelah Lapangan Terbang (ambil kanan menuju Playen) > Pasar Playen > kecamatan Playen > arah Paliyan > Pasar Paliyan > Poslatpur TNI > pasar Trowono > Pantai Ngobaran.

NB : Bila anda belum pernah ke daerah Gunung Kidul, disarankan untuk tidak menggunakan kendaraan roda dua. Jarak tempuh yang sangat jauh dan medannya yang berbukit-bukit akan sangat melelahkan bagi pengendara motor. Selain itu, alasan keamanan menjadi faktor utama. Ada banyak titik di sekitar Playen, Paliyan hingga pantai Ngobaran yang tidak terdapat rumah-rumah penduduk dan kondisi jalannya selalu sepi dari kendaraan. Jika memungkinkan anda bisa menggunakan jasa penyewaan mobil plus driver yang ada di kota Jogja sehingga waktu anda tidak terbuang sia-sia. Tarif rental mobil 12 jam + driver + BBM berkisar Rp.400.000 hingga Rp.500.000 (belum termasuk parkir dan makan supir).



          

           

Sabtu, 08 Juli 2017

MENCUMBU KESUNYIAN LAWU

           Silhouette gunung Lawu tampak menjulang perkasa dari arah timur stasiun Solo Jebres, Surakarta, Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 3.265 meter di atas permukaan laut tersebut adalah gunung yang menjadi tujuan dari pendakianku saat ini. Satu jam yang lalu, saya dan saudara sepupu saya, Jufri, baru saja turun dari kereta api Brantas jurusan Pasar Senen – Blitar. Kami tidak langsung menuju basecamp Cemoro Sewu melainkan melipir dulu ke sebuah warung kopi yang berada di depan stasiun. Perjalanan panjang di dalam kereta yang memakan waktu sekitar 10 jam membuat sekujur tubuh terasa pegal dan kaku, istirahat sejenak pun menjadi pilihan prioritas. Setelah cukup beristirahat sambil menikmati segelas teh hangat, saya dan Jufri pun segera beranjak menuju basecamp Cemoro Sewu yang harus ditempuh sekitar satu setengah jam dengan menggunakan kendaraan minibus jenis L300.

Bunga Edelweiss Lawu yang baru merekah di jalur pendakian menuju Hargo Dumilah. Biasanya bunga-bunga Edelweiss akan mekar sempurna pada bulan Juli hingga Agustus.
Lokasi gunung Lawu dilihat dari Google Map.


Suasana di dalam stasiun Solo Jebres di kala subuh (doc: Jufri).

           Pukul 07.00, mesin kendaraan itu mulai menderu menyusuri jalanan kota Surakarta yang terbilang tenang. Beberapa warga terlihat sedang menuju ke pasar, tak sedikit pula muda-mudi yang tampak jogging atau bersepeda santai di bahu jalan. Meski demikian, suasananya masih jauh dari kata ramai bila dibandingkan dengan Jakarta. Setengah jam kemudian, kami mulai dimanjakan dengan pemandangan yang cukup menyejukkan mata. Di kiri dan kanan jalan tampak perkebunan sayur milik warga, salah satunya adalah kebun wortel sebagai tanaman yang mendominasi di sekitar situ. Kendaraan yang kami tumpangi terus menyusuri jalanan yang meliuk-liuk dan menanjak, beberapa kali dapat saya lihat dengan jelas puncak Lawu. Pagi itu langit sangat cerah, sedikit memupuskan kekhawatiranku tentang kondisi cuaca yang mungkin tidak bersahabat. Tepat pukul 08.30, saya dan Jufri akhirnya tiba di pos Cemoro Sewu, kabupaten Magetan, Jawa Timur. Selepas sarapan di rumah makan dan melakukan registrasi, kami pun memutuskan untuk memulai pendakian pada pukul 09.30.

Sesampainya saya di depan gerbang pendakian Cemoro Sewu, Magetan, Jawa Timur.



1.         Basecamp – Pos I : Aman Terkendali

Pendakian melalui Cemoro Sewu termasuk pendakian yang lumayan melelahkan, sebab jalur yang akan dilalui merupakan jalur berbatu. Salah satu keuntungan melalui jalur ini adalah rutenya yang tidak terlalu panjang, namun demikian track Cemoro Sewu betul-betul membutuhkan kondisi fisik yang prima. Dari pintu gerbang Cemoro Sewu, kita akan memulai perjalanan yang terus menanjak dengan melewati pepohonan Cemara Gunung (casuarina junghuhniana). Itu sebabnya dinamakan Cemoro Sewu atau cemara seribu, karena tumbuhan ini tampak mendominasi di kiri dan kanan jalan hingga selepas pos III. Bila angin sedang berhembus, maka kita akan disuguhi merdunya alunan kidung alam yang dihasilkan melalui ayunan dahan dan daunnya.

Kira-kira seratus meter selepas shelter bayangan, saya dan Jufri tiba di sebuah bangunan menyerupai bedeng. Tidak begitu jauh dari situ kita akan menjumpai Sendang Panguripan, salah satu sumber air di gunung Lawu yang dianggap keramat oleh warga setempat. Para pendaki yang akan naik biasanya akan mengisi kembali perbekalan air mereka di sini. Saya pun segera mengambil air secukupnya karena berdasarkan informasi yang didapat, setelah pos V akan ada sumber air lainnya: Sendang Drajat.

Beristirahat sejenak di pos bayangan, seratus meter sebelum Sendang Panguripan.

Salah satu sumber air yang dikeramatkan oleh warga sekitar, peziarah maupun para pendaki : Sendang Panguripan.

Lima belas menit kemudian, tibalah kami berdua di pos I. Pos ini sudah berada di ketinggian sekitar 2.163 meter di atas permukaan laut, hampir menyamai ketinggian gunung Salak. Di tempat tersebut terdapat sebuah shelter beton yang bisa menampung dua buah tenda di dalamnya. Persis di depan shelter, ada sebuah warung yang juga tampilannya menyerupai barak. Selang beberapa menit, datang dua orang pendaki yang juga akan naik. Mereka berasal dari Surabaya dan kami sempat mengobrol sejenak sambil melepas lelah. Beberapa saat kemudian, saya dan Jufri berpamit pada kedua pendaki Surabaya tersebut untuk melanjutkan perjalanan. Menurut penuturan seorang pendaki yang baru saja turun, jalur yang akan dilalui setelah pos I hingga pos IV cukup terjal dan melelahkan.

Dua pendaki asal Surabaya yang baru saja tiba di pos I.

Plakat informasi ketinggian yang berada pada shelter di pos I.


2.      Pos I – Pos II : Mulai Melelahkan

Dari Pos I menuju ke Pos II akan memakan waktu sekitar dua jam, mungkin bisa kurang dari itu bila pendaki tersebut sudah terbiasa melalui jalur ini. Sepanjang perjalanan, saya tak bisa menyaksikan pemandangan apa-apa karena kabut pekat yang datang dengan cepat dan membuat jarak pandang semakin pendek. Seiring munculnya kabut, tubuh pun mulai menggigil sehingga tidak ada pilihan lain bagi kami selain tetap melanjutkan perjalanan.

Suasana mencekam di jalur pendakian yang dingin dan berbalut pekatnya kabut.

Di pertengahan jalan menuju pos II, kami melewati sebuah batu berukuran besar yang cukup menarik perhatian. Orang-orang biasa menyebutnya sebagai Watu Jago karena memang sekilas bentuknya mirip ayam jago yang sedang membusungkan dada. Tapi menurutku, batu yang tegak menjulang sekitar tiga meteran itu malah lebih mirip dengan Puncak Garuda yang berada di gunung Merapi. Namun sangat disayangkan banyak ditemukan coretan-coretan alay di Watu Jago tersebut, sebuah perilaku vandalisme yang dilakukan sebagian oknum penikmat alam yang terlalu naif dalam mengimplementasi dan mengekspresikan kreativitas.

Watu Jago yang berada di antara pos I dan pos II lengkap dengan coretan dari tangan-tangan tak bertanggungjawab.

Setelah berkali-kali beristirahat di tengah jalur, sayup-sayup bisa kudengar suara orang yang tengah berbincang. Tubuh yang kian lelah akibat didera track yang cukup bikin hati gerah, perlahan mulai kembali bergairah. Sepertinya, tidak lama lagi kami akan tiba di pos II, pikir saya saat itu. Benar saja, dua menit kemudian saya dan Jufri akhirnya tiba di pos II yang juga terdapat sebuah shelter dan sebuah warung tepat di sebelahnya. Di depan shelter tadi telah berdiri tiga buah tenda dengan background tebing terjal yang memiliki kemiringan sekitar 90 derajat.

Shelter di pos II yang keadaannya kotor dan tidak terawat.

Mengatur nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Pos II atau biasa disebut Watu Gedheg, sudah berada di ketinggian 2.579 mdpl. Kami beristirahat untuk kembali menghimpun tenaga, sebab selepas pos ini jalur pendakian mulai memamerkan arogansinya dengan menyuguhi tanjakan-tanjakan curam. Beberapa kali Jufri menggelengkan kepalanya manakala ia mendongak ke atas, ke arah tanjakan berbatu yang berada di depan mata. Sabar dan selalu menikmati setiap tanjakan menjadi cara ampuh bagi kami untuk tetap optimis melanjutkan perjalanan.

Terus menanjak dan terus mendaki…


Pos II – Pos III : Diantara Selimut Kabut

          di perjalanan dari pos II menuju pos III, saya tidak terlalu detil memperhatikan apa yang ada di sekitar jalur pendakian. Selain kabut tebal yang kerap kali membuat jarak pandang menjadi terbatas, gerimis yang dibawa oleh kabut tersebut pun membuat saya dan Jufri harus memacu langkah lebih cepat lagi. Beberapa kali kami berpapasan dengan para pendaki yang baru saja turun. Setiap kali kami tanyakan jarak yang masih harus ditempuh untuk mencapai pos III, mereka hanya menjawabnya dengan kata “lumayan”, satu jawaban yang memiliki makna luas dan rancu untuk dideskripsikan.

Kali ini giliran Jufri yang menjadi korban terjalnya track menuju pos III.

           Setelah satu setengah jam berjalan, saya dan Jufri sampai juga di pos III pada pukul 14.45. Seperti biasa, pekatnya kabut membuat kami tidak bisa melihat apa-apa selain mendapatkan kesan yang sunyi mencekam. Jufri mengeluarkan sebatang rokok putih dari dalam tas slempang. Ia sepertinya akan memuaskan dendam kesumatnya mengingat mulutnya sama sekali belum menghisap sebatang rokok dari sejak berada di pos I hingga ke pos II. Lima menit kemudian, kami beranjak dari shelter di pos III menuju pos berikutnya.

Plakat pos III yang terpasang pada shelter.


4.      Pos III – Pos IV : Stairway To Heaven

          Nafas kembali tersengal ketika menyusuri jalur pendakian yang semakin menguras stamina. Otot betis dan paha dipaksa untuk terus bekerja meladeni tanjakan-tanjakan terjal berbatu yang seperti tak ada habisnya. Di tengah rasa letih yang melanda itu, saya lebih memilih untuk menepi dan beristirahat meski hanya untuk beberapa saat. Kadang seekor Jalak Gading (Turdus Poliocephalus) datang dengan tiba-tiba, mendarat tepat di sebelah saya. Burung cantik itu sepertinya sudah terbiasa dengan kehadiran para pendaki sehingga tak ada rasa takut manakala berada di dekat kami. Tingkah lakunya yang kerap kali melompat-lompat di jalur pendakian justru membuat saya jadi terhibur dan sedikit melupakan rasa lelah yang mendera. Inilah satwa penghuni gunung Lawu yang namanya sangat popular di telinga para pendaki. Meski banyak ditemukan di sini namun kita tidak bisa mengklaim bahwa hewan ini endemik Lawu, sebab di beberapa gunung di pulau Jawa hewan ini masih sering kita jumpai.

Jalak Gading yang kami temui di tengah-tengah jalur pendakian menuju pos IV.

           Rasa kantuk yang luar biasa akibat sama sekali belum tidur ketika berada di kereta membuat saya nyaris kebablasan. Tak terasa saya terlelap di tengah-tengah jalur pendakian sekitar lima menit lamanya, beruntung Jufri segera membangunkan saya. Saya terbangun dan masih tertegun, setengah sadar. Perlahan saya memandang sekeliling dan baru ngeh kalau tempat kami beristirahat ini merupakan tempat ditemukannya jasad lima pendaki yang tewas dua tahun lalu akibat kebakaran yang melanda hampir seluruh lereng gunung Lawu. Dengan mata yang masih setengah mengantuk, saya bangkit dan mengajak Jufri untuk kembali melanjutkan perjalanan.

           Di pertengahan jalur dari pos III menuju pos IV, kita akan berhadapan dengan tanjakan-tanjakan zig-zag yang telah diberi batang-batang besi untuk berpegangan, saya lebih suka menyebutnya dengan istilah stairway to heaven. Tanjakan curam tersebut akan terus menggiring kita hingga ke satu tempat yang lebih terbuka dan tak terlindungi dari pepohonan tinggi. Bila telah berada di tempat yang baru saja disebutkan, maka tak jauh dari situ kita akan segera tiba di pos IV yang tanahnya lebih didominasi oleh bebatuan kapur. Di sini sangat riskan untuk membuka tenda karena tak adanya pohon-pohon yang berfungsi untuk menahan atau menghalangi terpaan angin, cuma ada beberapa pohon Cantigi saja itu pun tingginya hanya setengah hingga satu meter.

Sesampainya di pos IV, kita tidak lagi menemui pepohonan yang menjulang tinggi, sehingga jurang yang berada di sisi kiri dan kanan pun akan dengan jelas terlihat.

           Pukul 16.28, saya dan Jufri akhirnya tiba di pos IV. Niat hati ingin istirahat sejenak di tempat itu namun baru saja saya meluruskan kaki, kabut pekat sudah sedemikian cepatnya menyapu seluruh area di pos IV. Udara dingin kembali menjamah tubuh kami yang masih ingin berlama-lama bersandar pada carrier. Khawatir dihadang hawa dingin lebih lama lagi, saya dan Jufri akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga ke pos V, toh kabarnya track dari pos IV menuju pos V sudah tidak terlalu menggemaskan sehingga kami cukup berjalan santai saja.

Plang di pos IV.


Pos IV – Pos V : Gorengan Penyambung Langkah

           Matahari sudah semakin menukik di balik perbukitan namun langit masih menyisakan cahaya senjanya. Dari selepas pos IV, saya sudah bisa menyaksikan gumpalan awan yang berada di bawah saya sedang melayang tenang. Sore hari yang indah, saya pun jadi semakin bergairah untuk memacu langkah agar tiba di pos V sesegera mungkin.

           Pukul 16.55, kami tiba di pos V yang juga terdapat sebuah warung plus tempat untuk para pendaki bermalam. Kami pun bertanya arah menuju warung Mbok Yem atau Hargo Dalem kepada sang pemilik warung yang rupanya sedang asyik mendengarkan siaran radio lokal. Udara dingin dan faktor kelelahan membuat perut kami berbunyi semenjak berada di pertengahan pos III, mata kami pun secara tak sengaja jelalatan ke meja warung yang saat itu memang sedang menyediakan menu gorengan. Kami sudah tak bisa berpura-pura menahan lapar lagi, alhasil beberapa potong pisang dan tempe goreng akhirnya kami gasak untuk memenuhi kebutuhan biologis. Setelah perut yang keroncongan sedikit terisi, juga setelah mendapat petunjuk dari si pemilik warung, saya dan Jufri segera berpamit diri untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Track yang harus dilalui dari pos V untuk menuju Sendang Drajat dan Hargo Dalem.

           Sebelum tiba di Mbok Yem, kita terlebih dahulu akan melalui Sendang Drajat, salah satu sumber air yang lagi-lagi dikeramatkan di gunung Lawu. Para pendaki bisa mengisi ulang perbekalan air minumnya di tempat tersebut. Jarak dari pos V ke Sendang Drajat hanya setengah kilometer, jalanan yang akan dilalui pun sudah terbilang landai dan tidak terlalu melelahkan. Selepas pos V, mata kita akan disuguhi pemandangan berupa hijaunya sabana yang berada di sebelah kanan jalan. Tanaman Edelweiss Jawa (Anaphalis Javanica) dan Cantigi (Vaccinium varingifolium) akan sering dijumpai di tempat ini, namun sayangnya saat itu bunga Edelweiss Lawu belum banyak yang merekah sempurna.


Sendang Drajat : Di Dalam Lindungan Gua

           Pendaran cahaya di angkasa mulai meredup seiring berpamitnya sang surya dari sebelah barat cakrawala. Suasana mendadak senyap, namun sesekali desau angin yang meluncur dari balik perbukitan sedikit mengisi keheningan itu. Derap langkah kami terdengar jelas hingga akhirnya saya dan Jufri tiba di Sendang Drajat pada pukul 17.24. Sadar dengan keterbatasan pandangan, maka saya memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Mbok Yem. Tas tenda di bongkar, fly sheet dibentangkan, pasak juga frame dipersiapkan, dan dengan tangan yang sudah membeku kami mulai bergegas mendirikan tenda. Selang beberapa lama kemudian tenda pun terpasang, saya dan Jufri lalu memindahkan tenda ke dalam gua yang terletak persis di sebelah sumber air Sendang Drajat. Biarlah tak jadi ngecamp di Mbok Yem, di sini pun tempatnya sudah cukup nyaman. Selain sangat dekat dengan sumber air, tenda kami juga terlindung dari paparan angin yang berhembus baik dari arah lembah yang berada di sebelah barat maupun timur.

Sesampainya kami di Sendang Drajat, beberapa saat sebelum adzan Maghrib.

           Setelah perlengkapan dimasukkan ke dalam tenda, saya pun segera menyalakan Trangia untuk memasak air. Mie instan hangat dan segelas teh tubruk sepertinya enak untuk dinikmati di saat udara sedang sedingin ini. Saking asyiknya memasak, saya sampai tidak sadar kalau ada sepasang remaja asal Solo yang mendekat, satu perempuan dan satunya lagi lelaki. Lalu yang remaja lelaki bertanya kepada saya;

           “Maaf, mas, kira-kira kami bisa numpang tidur di tenda si mas, ndak? Kita tadi baru habis dari puncak tapi kemalaman, mau turun sekarang tapi kami ndak bawa senter, takut kenapa-kenapa di jalan” ucapnya. Saya tidak langsung menjawab, saya perhatikan kedua pasangan itu memang hanya bermodalkan 2 daypack dan satu buah matras. Teman perempuannya yang berkerudung masih lebih beruntung sebab ia mengenakan jaket dan menggunakan celana panjang meski yang digunakan adalah celana jeans, sedangkan yang lelaki hanya menggunakan kaus dan celana pendek saja. Sepertinya mereka memang tidak ada rencana untuk bermalam sehingga perlengkapan mendaki yang dibawa sangat jauh dari kata standar.

           “Besok subuh kami turun, kok. Cuma semalam ini saja, bisa ndak, ya?” tambahnya lagi. Dengan mempertimbangkan keselamatan kedua pemuda tadi, saya pun akhirnya mempersilakan keduanya untuk bermalam di tenda.

           Menjelang malam, saya, Jufri dan kedua remaja asal Solo tersebut mengobrol di luar tenda sambil menikmati pancaran purnama. Saya membuat dua gelas susu jahe, satu untuk saya dan Jufri, satunya lagi untuk mereka yang terlihat mulai menggigil kedinginan. Umur mereka rupanya baru 18 tahun. Kepada saya, si lelaki mengatakan kalau hubungan mereka hanya sebatas teman saja.


Edelweiss Ungu Dan Puncak Lawu

           Pukul 05.15, suasana di luar tenda mulai gaduh oleh suara orang-orang yang akan berburu sunrise di puncak Lawu. Kedua remaja asal Solo yang tadi malam numpang tidur di tenda kami baru saja angkat kaki. Mereka tidak banyak tingkah ketika berpamitan, mungkin karena malu akibat tertangkap basah tengah melakukan perbuatan tidak senonoh ketika saya dan Jufri sedang terlelap. Sebenarnya bisa saja saya mengusirnya dari tenda saat itu juga, tapi sekali lagi saya mengkhawatirkan keselamatan mereka bila harus tidur di luar atau terpaksa turun di saat waktu masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari.

           “Semprul! Udah ditolongin, disuguhin minuman pula, masih aja kepikiran buat mesum di tenda gue. Dasar bocah nggak tau diri!” umpat saya dalam hati. Tidak habis pikir, padahal si perempuan mengenakan hijab tapi siapa yang sangka kalau penampilannya itu hanya sekadar kamuflase agar terlihat apik di mata publik. Mungkin ke depannya, saya akan membuat kebijakan sendiri bila ada pasangan non muhrim yang akan numpang bermalam di tenda saya.

Menikmati pagi sambil menanti terbitnya matahari.

           Matahari mencuat perlahan dari balik cakrawala di sebelah timur, gumpalan awan yang tertiup angin pagi perlahan berduyun-duyun mengarah ke utara. Penampakan awan yang bergulung-gulung tadi membuat perkemahan kami seperti berada di atas lautan awan, maklum saja karena tempat ini sudah berada di ketinggian 3.177 mdpl. Dengan membawa satu buah carrier juga tas kamera, saya dan Jufri mulai melangkahkan kaki menuju Hargo Dumilah, titik tertinggi di gunung Lawu. Perjalanan dari Sendang Drajat menuju puncak Hargo Dumilah hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam, bahkan kurang. Sesampainya di persimpangan jalan antara puncak dan Hargo Dalem, jalur pendakian kembali menguji fisik kami dengan track yang menanjak. Di sini, sekumpulan tanaman Edelweiss siap menyapa para pendaki yang akan menuju Hargo Dumilah. Satu hal yang membuat saya takjub dengan bunga Edelweiss di Lawu adalah bunganya yang tidak hanya berwarna putih cerah saja, warna kuning dan ungu kemerahan pun banyak dijumpai di track ini. Terlebih Edelweiss ungu, bunga abadi khas Lawu ini memang melegenda dan kerap menjadi bahan cerita para pendaki era 80 hingga 90-an. Saya bernasib mujur, saat itu ada beberapa Edelweiss ungu yang sudah mekar di track menuju Hargo Dumilah.

Edelweiss ungu yang tumbuh di gunung Lawu. Bunga ini saya jumpai di track pendakian menuju puncak Hargo Dumilah.


Hargo Dumilah : Setitik Surgawi Di Puncak Lawu

          Nafas tersengal tidak karuan ketika telapak kaki menjejak tanjakan berbatu. Kadang saya menoleh ke arah Jufri yang tertinggal di belakang sambil sesekali mengatur nafas. Aklimatisasi memang menjadi menu wajib bagi para pendaki yang akan melakukan summit, sangat wajar bila nafas jadi kian boros akibat berkurangnya tekanan udara di track dengan ketinggian seperti ini. Sayup-sayup, telinga saya mulai mendengar suara tawa dan candaan namun saya belum melihat siapa-siapa karena pandangan di depan masih tertutup pohon-pohon Cantigi. Saya melangkah pelan melewati beberapa undakan hingga akhirnya saya bisa melihat sebuah tugu dengan bendera merah putih yang tengah berkibar dan itulah tugu Hargo Dumilah alias puncak Lawu! Pukul 06.05 kami telah berhasil menjejakkan puncak di titik tertinggi di gunung Lawu, gunung yang katanya memiliki udara paling dingin sepulau Jawa. Tampak beberapa pendaki sedang merayakan pencapaian tersebut dengan berpose bebas di depan tugu ataupun sambil memegang plakat puncak Lawu. Salah satu pendaki asal Surabaya yang kami temui di pos I juga ada di situ, ia memberi salam hangat kepadaku yang baru saja tiba. Saya bersandar pada dinding tugu itu sambil mengatur nafas dan sambil melepas pandangan pada keindahan panorama yang tersaji. Adalah suatu perjuangan untuk bisa mencapai puncak sebuah gunung, begitu pula dengan puncak Lawu yang memiliki ketinggian 3.265 mdpl ini. Di tempat ini, rasa lelah para pelaku pendakian telah terbayar oleh megahnya mahakarya Sang Pencipta. Akhirnya…!

Tugu di puncak Hargo Dumilah, titik tertinggi di gunung Lawu.

Saya dan Jufri, dengan latar belakang samudera awan.

          Meski telat mendapatkan sunrise di puncak, namun matahari masih begitu dekat dengan garis horison sehingga kami masih bisa menikmati pendaran sinar keemasannya. Langit yang indah membiru dan bentangan permadani awan seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendaki yang gemar selfie. Dari tempat itu, saya juga bisa melihat Telaga Kuning yang berada tidak begitu jauh di bawah. Biasanya para pendaki akan ­camping dan melakukan upacara bendera di sana pada saat perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI.

          Ada yang menarik di puncak Hargo Dumilah yang mungkin belum diketahui sebagian orang. Gunung Lawu adalah satu-satunya gunung di Pulau Jawa yang berbatasan dengan dua provinsi, yaitu provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batas kedua provinsi itu akan mengerucut tepat di puncak Hargo Dumilah sehingga bila anda berada di sebelah timur tugu Hargo Dumilah maka anda telah berada di wilayah Jawa Timur, begitu juga bila anda berada di sebelah barat tugu tersebut maka anda telah berada di wilayah Jawa Tengah.

Lokasi puncak Lawu dilihat dari Google Map.

          Pukul 06.55, saya dan Jufri kembali turun ke Sendang Drajat untuk membuat minuman hangat dan sarapan. Kami turun tak tergesa-gesa sebab kami masih akan tinggal semalam lagi di tempat ini. Kesunyian gunung Lawu beserta misteri yang tersirat di setiap sapuan kabutnya, membuatku tak pernah merasa bosan untuk menikmati khidmatnya ketenangan itu.


Sedikit Info

          Gunung Lawu terletak di antara tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Saat ini, gunung Lawu memiliki tiga jalur pendakian yang resmi yaitu jalur Candi Cetho, Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu. Jalur Cemoro Sewu lebih popular karena jarak tempuhnya yang relatif lebih pendek ketimbang jalur di Cemoro Kandang ataupun Candi Cetho. Pada ketinggian tertentu, pendaki akan menjumpai tanaman Edelweiss yang biasa tumbuh tidak jauh dari puncak gunung. Selain Edelweiss, gunung ini juga memiliki ratusan spesies bunga Anggrek.

          Di sini, Jalak Gading menjadi hewan yang biasa ditemukan, namun selain itu masih banyak lagi fauna yang keberadaannya jarang terekspos. Sebut saja musang, babi hutan, harimau, anjing hutan, ayam hutan, kijang dan kera. Dari beberapa kali penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 hingga 2005, kerap kali ditemukan kotoran dari sejenis kucing besar. Selain memiliki flora dan fauna yang beranekaragam, Lawu juga memiliki kekayaan geomorfologi, diantaranya: sumber air, air terjun, gua, sumber air panas dan lubang-lubang kawah solfatara.

Sekilas Tentang Gunung Lawu & Prabu Bhrawijaya V

          Dikisahkan menurut legenda bahwa terjadi prahara di kerajaan Majapahit antara ayah dengan anaknya, atau antara Prabu Bhrawijaya (Bhatara Wijaya) V dengan Raden Fatah yang memeluk Islam dan mendirikan kerajaan Demak. Demak yang mengalami perkembangan secara pesat rupanya berpotensi menjadi ancaman bagi Majapahit dan benar saja, Demak menyerang Majapahit beberapa waktu kemudian. Kejayaan Majapahit yang sekian lama masyhur dalam menaklukkan beberapa kerajaan di Nusantara akhirnya hancur berantakan di tangan Raden Fatah, putra Bhrawijaya V.

          Prabu Bhrawijaya V lalu bermeditasi untuk memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi. Setelah mendapat petunjuk, akhirnya ia melakukan perjalanan ke gunung Lawu. Pada intinya, berjaya dan binasanya sebuah kerajaan merupakan titis tulis dari Yang Maha Kuasa, sang Prabu sadar betul akan hal itu sehingga Beliau memutuskan untuk tidak mengambil langkah keras dalam menghadapi Demak. Di akhir kisah, Beliau pun tiba di Hargo Dalem dan di sanalah Prabu Bhrawijaya V ngahyang atau mokhsa.


Belajar Menghargai Dari Tradisi

          Gunung Lawu hingga saat ini menjadi gunung yang sangat disakralkan oleh orang-orang Jawa, khususnya para penganut Kejawen. Jadi jangan heran bila beberapa tempat yang dikeramatkan, dupa dan berbagai macam sesajen akan sering kita jumpai di gunung ini. Itu sebabnya pendakian tidak hanya dimonopoli oleh para penggiat alam atau organisasi Pecinta Alam saja, mereka yang memiliki tujuan tertentu pun sering mendaki gunung ini. Ada yang datang hanya untuk berziarah di petilasan Sunan Lawu, ada juga mereka yang datang untuk mencari keberkahan. Mata air yang berada di Sendang Drajat diyakini warga bisa menyembuhkan berbagai penyakit, itu sebabnya banyak pengunjung yang datang ke tempat ini untuk mandi lalu pulang dengan membawa berbotol-botol air dari sumber air tersebut.

          Sejatinya, mendaki tidak hanya melulu tentang keindahan alam dan mensyukuri kebesaran Tuhan, tapi juga mengasah moral dan adab kita untuk bisa menghargai perbedaan. Dengan mendaki gunung Lawu, setidaknya seorang pendaki bisa mendapatkan pelajaran tentang bagaimana menyikapi budaya dan kearifan lokal setempat dengan bijaksana. Tradisi dan budaya leluhur yang turun-temurun dipelihara di sana kiranya jangan sekali-kali diusik oleh istilah “musyrik”, karena bagaimanapun juga agama dan budaya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jadilah pendaki yang pintar, karena pendaki tersebut adalah pendaki yang bisa menjaga kelestarian alam serta menghargai budaya dan tradisi setempat. Jauh sebelum agama-agama langit diturunkan, kebudayaan sudah terlebih dahulu berdekapan dengan umat manusia di muka bumi. Karena agama adalah bibit unggul dan budaya sebagai tanah yang subur.



Sekelumit Kisah Bergambar :


Suasana di stasiun Senen, Jakarta Pusat, beberapa saat sebelum saya dan Jufri menuju Solo dengan menggunakan KA Brantas.

Menanti kereta di peron stasiun Senen.

Para penumpang kereta api Brantas tengah mencari kesibukan di peron stasiun Cirebon Prujakan.

Sebatang rokok selagi masih bisa.

Stasiun Solo Jebres di pagi hari (doc: Jufri).

Berpose bersama Fandi, teman sekaligus salah satu admin Google Pendaki Gunung yang sengaja meluangkan waktunya untuk menemui saya.

Toko Agus, toko yang menjual souvenir, perlengkapan pendakian dan juga merangkap warung makan.

Nasi goreng menjadi menu sarapan sebelum saya memulai pendakian.

Di gerbang Cemoro Sewu, Jawa Timur.

Sendang Panguripan yang tampilannya sekilas mirip bangunan pos atau shelter.

Sesaji atau sesajen, satu hal yang akan sering kita jumpai di sepanjang jalur pendakian gunung Lawu.

Bak penampungan air di Sendang Panguripan.

Bertemu beberapa pendaki remaja asal Sragen, Jawa Tengah, yang baru saja turun menuju basecamp.

Seletih apapun dirimu, tetaplah selfie…

Jalak Gading yang lebih suka menapak dan berloncat-loncat di jalur pendakian. Konon, hewan ini merupakan hewan peliharaan dan kesayangan dari Prabu Bhrawijaya V.

Jufri di sela-sela masa istirahatnya di pos II.

Kolam di Sendang Drajat yang gambarnya saya ambil pada saat Maghrib menjelang.

Tiga orang pendaki yang sedang menikmati indahnya sunrise yang baru saja menampakkan diri dari cakrawala di sebelah timur.

Menikmati setiap keindahan saat berada di puncak Hargo Dumilah.

Semakin tinggi matahari, permadani awan akan semakin memudar. Itu sebabnya para pendaki harus cekatan berpacu dengan waktu untuk bisa menyaksikan sunrise dan lautan awan di puncak gunung Lawu.

Seperti biasa, ritual wajib kala mendaki gunung.

Jufri tengah membuat teh tubruk selepas kami turun dari puncak.

Sumber air Sendang Drajat yang konon airnya tidak pernah kering meski di kala musim kemarau berkepanjangan sedang melanda.

Memasak french fries sebagai menu cemilan selepas turun dari puncak.

Bunga Dandelion yang banyak tumbuh di sabana maupun di lereng-lereng gunung Lawu.

Tanaman Edelweiss yang memiliki ragam warna yang menghiasi tanjakan menuju puncak Hargo Dumilah.

Edelweiss ungu menjadi tanaman yang langka karena hanya tumbuh di gunung Lawu saja.

Sejatinya, gunung Lawu merupakan tempat bagi para sebagian orang untuk melakukan napak tilas, berziarah maupun memperoleh keberkahan dan kesaktian. Begitu pula dengan pendekar yang satu ini, yang tak henti-henti melatih ilmu bela dirinya.

Menghabiskan waktu di antara sabana dan lembah.

Ketika kesaktian telah diperoleh, pendekar muda ini pun akan segera turun gunung untuk kembali kepada rutinitasnya: menagih nasabah…!

Selfie bersama pendekar muda…

Akar budaya harus tetap terjaga meski ditengah-tengah kecaman dan hujatan beberapa oknum yang tak berbudaya.

Berjalan di antara selimut kabut.

Menghabiskan waktu di bawah terik yang tak terasa panas.

Spot yang sangat luas untuk mendirikan tenda, namun sangat riskan terkena hempasan angin yang berhembus langsung dari lembah.

Beberapa peziarah asal Bogor tampak sedang mengambil air dari Sendang Drajat untuk mereka bawa pulang.

Nyaman ketika berlindung di dalam gua.

Saya tengah mengobrol dengan Pak Toyo, sang juru kunci petilasan Sunan Lawu.

Pondokan sederhana ini merupakan tempat tinggal Pak Toyo. Pendaki yang naik dari Cemoro Sewu dan akan menuju warung Mbok Yem pasti akan melalui rumah tersebut.

Pak Toyo juga menjual souvenir berbahan dasar kayu kepada para pendaki. Anda harus pintar-pintar bernegosiasi untuk mendapatkan harga yang cukup memuaskan.

Bendera yang diikatkan pada tugu Hargo Dumilah bisa tertangkap lensa tele saya meski diambil dari Sendang Drajat.

Lautan awan di tempat kami membuka tenda…

Menikmati pagi terakhir di gunung Lawu…

Sekaligus menikmati hangatnya teh di atas permadani awan.

Di bawah birunya langit.

Papan informasi yang memuat peraturan dan larangan bagi para pendaki gunung Lawu via Cemoro Sewu.



         Special Thanks To :
Joko Hadi Wibowo
Affandi
Arik Nomo
Thanks for your kindness and the information.