Suasana di terminal Ciboleger pagi
itu terbilang sangat sepi pengunjung, bisa dikatakan saya sama sekali tidak
menemukan satu pun kendaraan wisatawan yang terparkir di sekitar situ. Mungkin
karena hari ini hari kerja, pikir saya. Saya pun berdiri di sebelah patung
selamat datang sambil terus melepas pandangan ke berbagai arah. Tidak banyak
perubahan yang terlihat di tempat ini sejak kedatanganku 13 tahun lalu bersama
rombongan pegawai Bank Mandiri, Jakarta. Sekarang, di Ciboleger sudah dibangun
pos pendaftaran bagi para pengunjung yang akan menuju perkampungan adat Baduy.
Tampilan patung selamat datang yang menjadi landmark
terminal Ciboleger pun sudah dipercantik dengan ditambahkannya coran beton
berbentuk lingkaran yang mengelilingi patung tersebut. Pada permukaan coran
tadi dihiasi con block yang tersusun rapi
dan menyerupai sebuah mozaik sehingga siapa saja bisa duduk diatasnya.
Bergaya
etnik ala Baduy di jembatan bambu kampung Gajeboh, Baduy Luar.
|
Perlengkapan untuk menuju Baduy. |
Saya, Linda, bang Ian dan bang Radi
mengikuti seorang anak muda yang akan jadi pemandu kami menuju pos registrasi.
Setibanya di pos, kami melakukan pendaftaran dengan cukup menuliskan satu nama
saja sebagai perwakilan rombongan. Untuk biaya pendaftaran tidak dipatok harga,
kita cukup membayar seikhlasnya. Sayangnya, saat itu kami diberitahu oleh
seorang warga kalau mulai Februari, para wisatawan tidak diperkenankan mengunjungi
perkampungan suku Baduy Dalam karena disana sedang ada perayaan Kawalu. Pantas
saja suasana di sekitar terminal Ciboleger sangat sepi dari pengunjung, namun
bagaimanapun juga saya tetap akan bermalam meski hanya di perkampungan Baduy
Luar. Kami akhirnya memutuskan untuk singgah di Gajeboh, perkampungan Baduy
Luar yang bersebelahan dengan sungai Ciujung.
Patung selamat datang yang berada di terminal Ciboleger, pintu gerbang menuju perkampungan Baduy Luar. |
Lokasi
terminal Ciboleger, Banten, dilihat dari Google Maps.
|
Disambut
Rimbun Yang Menyejukkan
Pukul 10.26 kami mulai meninggalkan
terminal Ciboleger untuk menuju Gajeboh. Diawali dengan berjalan di jalur
menanjak selebar 2 meter yang di kiri dan kanannya terdapat warung-warung warga
non Baduy, disitu saya sudah bisa melihat ada beberapa orang dari Baduy Luar
yang tengah berlalu lalang. Pada sebuah warung yang berada di sebelah kanan
saya, ada sekitar 4 remaja Baduy Luar yang sedang berkumpul sambil bercanda,
salah satu dari mereka berparas cantik dan berkulit kuning langsat. Saya hanya
menatap sesaat saja tanpa ada maksud sama sekali untuk mengusik keasyikannya
dengan lensa kamera. Tak lama kemudian, saya sudah tiba di gapura selamat
datang yang menjadi batas antara perkampungan warga dengan Kaduketug,
perkampungan Baduy Luar yang berada di sebelah utara dan paling terluar.
Berjalan melewati gapura pembatas tadi, kami pun mulai memasuki Kaduketug yang
suasananya tidak sebising dan seramai di perkampungan warga non Baduy.
Rata-rata beranda rumah warga Kaduketug dijejali barang dagangan semacam kerajinan
tangan dan hasil bumi khas Baduy. Banyak wisatawan yang singgah untuk membeli
cenderamata, namun sebaiknya kita harus lebih cermat lagi dalam memilih barang
dagangan tadi sebab yang diperdagangkan tidak semuanya buatan Baduy. Beberapa barang
dagangan yang dijajakan di situ ada yang dibuat oleh warga luar Baduy. Berjalan
terus hingga ke dalam maka kita akan melalui rumah-rumah tradisional khas Baduy
Luar yang berjejer rapi saling berhadapan. Warga Baduy tinggal di rumah-rumah
panggung yang konstruksinya terbuat dari kayu dan bambu. Pada dindingnya mereka
menggunakan anyaman kulit bambu, atapnya terbuat dari daun kiray dan lantainya
menggunakan palupuh atau batang bambu
yang dipecah.
Selepas gapura selamat datang, kita akan memasuki perkampungan Baduy Luar yang terluar, Kaduketug. |
Suasana menjadi sedikit gelap karena
langit sudah tertutup oleh pepohonan yang menjulang tinggi layaknya kanopi
alam. Aroma khas tanah yang dibasuh oleh tetesan embun mulai tercium. Bukit
atau yang biasa disebut warga sekitar dengan sebutan Gunung Baduy tampak menyembul
dari balik alang-alang dan rimbunnya pepohonan. Namun, objek yang belum lama
kuduga sebagai alang-alang tadi rupanya hamparan tanaman padi. Sangat menarik,
sebab warga Baduy tidak menanam padi di sawah seperti petani di pedesaan pada
umumnya. Sesuai ketentuan karuhun atau
tradisi dari leluhur, mereka tidak diperkenankan untuk merubah struktur tanah
dengan cara meratakannya, dan kontur Gunung Baduy yang terjal bukan masalah
bagi mereka untuk menanam padi. Persis seperti yang pernah saya baca dari
beberapa artikel kalau masyarakat Baduy menanam padi di ladang atau huma,
sehingga jangan heran bila suatu saat berkunjung ke Baduy anda akan temukan
tanaman padi yang bersanding dengan tanaman-tanaman lain seperti pisang, kelapa
atau duren.
Anak-anak
Baduy Luar yang akan menuju Ciboleger dengan membawa hasil bumi.
|
Sepanjang perjalanan, rimbunnya pohon-pohon yang menyejukkan mata senantiasa menemani kami. Berkali-kali saya berpapasan dengan warga Baduy Luar yang akan menuju Ciboleger maupun kembali ke rumahnya. Ikat kepala juga motif kain yang dikenakan menjadi penanda identitas mereka, dan untuk yang pernah ke Baduy dipastikan tidak akan kesulitan dalam membedakan mana orang Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Beberapa kali kami berpapasan dengan warga Baduy Luar yang baru saja kembali dari Ciboleger. |
Gajeboh,
Perkampungan Diantara Geliat Sungai Ciujung
Setelah melewati dua perkampungan
Baduy Luar, yaitu Balimbing dan Marengo, sayup-sayup saya mendengar gemuruh
sungai. Memang tidak jauh dari jembatan bambu yang baru saja kami lalui, ada
aliran sungai Ciujung yang berhulu di kawasan hutan larangan. Saya dan
teman-teman menyusuri tepiannya dengan hati-hati sebab tanah yang kami pijak
cukup licin. Sesampainya di sini, jalanan akan mengikuti alur sungai Ciujung
yang meliuk-liuk dan akan melalui dua buah sumber air yang langsung mengalir
menuju sungai. Diawali dengan memasuki perkampungan yang memiliki sebidang
tanah datar dan luas seperti lapangan, akhirnya kami berempat tiba di Gajeboh
pada pukul 12.08.
Perkampungan
Gajeboh yang terletak bersebelahan dengan sungai Ciujung.
|
Lapangan
tanah ini menjadi indikasi kita telah tiba di Gajeboh.
|
Lelah menyusuri jalanan yang naik
turun, kami pun beristirahat di sebuah rumah warga yang nantinya akan kami
jadikan tempat untuk bermalam. Keadaan di Gajeboh saat itu terbilang sepi,
mungkin sebagian penghuninya masih berada di ladang. Meski warga Baduy sebagian
besar menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam, namun ada juga yang
diam di rumah untuk menenun atau menjemur padi dan kayu bakar. Hampir di setiap
rumah bisa saya temukan perempuan-perempuan Baduy Luar yang sedang asyik
menenun kain. Usia mereka terbilang belia meski ada diantaranya yang sudah
berstatus sebagai ibu rumah tangga. Di lain tempat, beberapa perempuan lanjut usia
tampak sedang duduk-duduk sambil bercengkrama. Bila ada ayam yang mendekati
padi yang tengah dijemur, mereka akan segera bangun dan mengusirnya dengan
menggunakan tongkat bambu. Baik yang sedang menenun maupun yang tengah menjemur
padi sama sekali tidak begitu menghiraukan kehadiran kami, mereka tetap asyik
dengan pekerjaannya.
Istirahat sejenak di beranda rumah warga yang rumahnya kami jadikan tempat untuk bermalam. |
Seorang
warga tengah menenun kain khas Baduy di beranda rumahnya.
|
Kami berbincang-bincang dengan
seorang pedagang cenderamata khas Baduy yang sepertinya sudah mengetahui
kedatangan kami ke dusun ini. Berbagai macam kerajinan tangan seperti ikat
kepala, pakaian khas Baduy Luar, kain tenun Baduy, gantungan kunci, kalung,
gelang akar, madu hutan, koja atau
tas selempang terbuat dari akar tanaman, dan kaus diperdagangkan oleh orang itu.
Saya pun tertarik untuk membeli ikat kepala khas Baduy Dalam yang berwarna
putih atau biasa disebut talekung.
Ikat kepala itu terbuat dari serat daun pelah yang kemudian ditenun oleh warga
Baduy Luar, ketentuan adat membuat warga Baduy Dalam tidak diperkenankan
menggunakan alat menjahit seperti jarum. Sebelumnya, saya sudah memiliki ikat
kepala khas Baduy Luar yang bermotif batik dan berwarna biru hitam. Selain talekung, saya juga membeli madu hutan
sebagai buah tangan dari Baduy.
Cenderamata
khas Baduy yang dijajakan kepada kami.
|
Bergumul
Dalam Ketenangan Dan Kebersahajaan Alam
Ada berkah tersendiri buatku ketika
orang-orang Baduy tengah menjalankan tradisi Kawalu seperti saat ini. Dengan
adanya ketentuan adat yang melarang wisatawan untuk berkunjung ke Baduy Dalam
selama 3 bulan ke depan, maka minat para pengunjung untuk berwisata ke Baduy
pun akan turun secara drastis sebab Baduy Dalam merupakan destinasi kebanyakan
para turis. Dengan demikian, saya bisa menikmati suasana Baduy yang tenteram,
hening dan terbebas dari gelak tawa para wisatawan. Kawalu sendiri merupakan momen
tersakral yang harus dihormati seluruh warga Baduy, biasanya ditandai dengan
berbunganya tanaman padi hingga masa panen padi selesai. Istilah lain
menyebutkan Kawalu adalah kembalinya tanaman padi dari ladang ke lumbung
sebanyak tiga kali dalam setiap bulan Kawalu. Tiga bulan tersebut adalah Kawalu
Tembeuy (awal), Kawalu Tengah dan Kawalu Tutug (akhir). Berhubung di tahun ini
perayaan Kawalu jatuh pada bulan Februari, maka wisatawan baru bisa mengunjungi
Baduy Dalam sekitar bulan Mei.
Siang hari
dimanfaatkan oleh warga untuk menjemur hasil panen padinya.
|
Seorang
anak perempuan Baduy Luar yang belum dibebani oleh tugas dan pekerjaan masih
bisa duduk-duduk santai di beranda rumahnya.
|
Eksotisme suku Baduy memang sudah
cukup lama menyita perhatian para wisatawan, terlebih para pemburu berita.
Kebersahajaan dan kesederhanaan mereka menjadi daya tarik tersendiri, dan
perjalanan saya yang sudah sejauh ini jadi sangat mubazir rasanya bila tidak
mengeksplorasi setiap sudut di perkampungan Gajeboh. Dengan berjalan kaki
sekitar 40 meter, saya pun tiba di sebuah jembatan bambu yang menjadi icon Gajeboh. Jembatan tersebut
membentang di atas sungai Ciujung yang memiliki lebar kira-kira 20 meter.
Selain bentuknya yang artistik, jembatan berkonstruksi bambu tadi juga jadi
terlihat semakin menarik karena tampilannya yang tanpa tiang-tiang penyangga,
melainkan menggantung pada dahan-dahan pohon. Jembatan atau yang menurut orang
Baduy disebut rawayan itu terbuat
dari bambu, kayu dan tali ijuk. Seketika saya pun jadi takjub dengan suku Baduy
yang kata orang-orang anti teknologi, namun jembatan bambu tersebut seolah
membuktikan kalau mereka juga memiliki teknologi tersendiri yang berakar dari
keraifan lokal dan tradisi leluhurnya.
Jembatan
bambu yang menjadi ikon Gajeboh, tampilannya terlihat artistik karena
konstruksinya yang menggantung pada dahan-dahan pohon.
|
Saya mencoba untuk menyebrangi sungai
Ciujung dengan jembatan bambu tadi, jarak permukaan sungai dengan jembatan
hanya terpaut enam meter saja. Kondisi cuaca yang memang sedang aktif menumpahkan
hujan membuat arus sungai Ciujung menjadi deras dan berwarna keruh, oleh sebab
itu saya harus berhati-hati ketika meniti jembatan tersebut. Sesampainya di
seberang, saya menjumpai sederetan leuit
atau lumbung padi. Di tempat itulah orang Baduy biasa meletakkan hasil panen
padinya. Mereka sengaja membuat lumbung padi yang letaknya agak jauh dari
permukiman dengan maksud bila suatu saat terjadi kebakaran, persediaan padi
mereka tetap aman. Uniknya, warga Baduy banyak yang memiliki simpanan padi
hingga berton-ton dan tetap tersimpan bertahun-tahun di dalam lumbung karena
padi yang telah dipanen tidak untuk mereka makan. Sikap mengantisipasi adanya
kemungkinan krisis bahan pangan yang akan terjadi di masa depan membuat orang
Baduy lebih memilih membeli beras daripada memakan hasil panennya sendiri. Itu
sebabnya tak pernah terdengar kabar orang Baduy mengalami kelangkaan bahan
pangan.
Diseberang
sungai Ciujung, inilah tempat dimana lumbung padi didirikan.
|
Berpose di atas jembatan bambu. |
Saya tadinya berniat melanjutkan
perjalanan hingga ke kampung Cicakal yang berjarak sekitar lima kilometer dari
Gajeboh, namun urung saya lakukan karena langit mulai dirundung awan mendung.
Akhirnya saya memutuskan untuk menikmati view
perkampungan Baduy dari seberang sungai Ciujung saja. Walaupun bukan orang
Baduy, namun saya bisa merasakan keheningan dan kebersahajaan alam saat itu
yang sunyi dari gelak tawa dan damai tanpa isu SARA.
Leuit atau lumbung padi yang punya andil memperkokoh ketahanan pangan masyarakat Baduy. |
Memanfaatkan potongan-potongan kayu sebagai latarbelakang foto. |
Kembang
Desa Yang Menutup Diri
Gadis-gadis Baduy Luar yang siang
tadi menyibukkan dirinya dengan menenun kain, sore itu mulai meninggalkan
pekerjaannya untuk pergi mandi. Beberapa dari mereka yang telah selesai mandi
tampak sedang duduk di teras rumah sambil sesekali melirik ke arah kami. Sangat
berbeda dengan kebiasaan para gadis dari suku Baduy Dalam, menjelang senja
mereka akan keluar dari dalam rumah untuk mandi setelah itu mereka akan kembali
mengurung diri di dalam rumahnya. Perawan Baduy Dalam hanya diperbolehkan
keluar rumah untuk mandi pada pagi dan sore hari, selebihnya mereka bagai calon
pengantin wanita yang sedang dipingit oleh orang tuanya. Itu dilakukan karena
orang-orang dari Baduy Dalam lebih tertutup terhadap tamu-tamu yang datang ke
kampungnya dan mereka tidak akan membiarkan orang-orang luar bisa leluasa
menatap anak-anak gadisnya.
Jelang senja, biasanya dimanfaatkan oleh satu keluarga untuk duduk di beranda. |
Suatu ketika manakala saya berkunjung
ke perkampungan Baduy Dalam yang berada di Cibeo, saya hendak mandi di anak
sungai yang nantinya akan mengalir ke sungai Ciujung. Langit masih berpendaran
cahaya senja meski tak lama lagi akan beranjak gulita. Beberapa saat akan
keluar dari permukiman, saya pun berpapasan dengan dua orang perempuan Baduy
Dalam yang masih belia. Paras kedua gadis tadi sangat cantik, berkulit kuning
langsat dan rambutnya dibiarkan terurai dalam keadaan masih basah. Namun entah
karena mereka polos atau memang sudah jadi kebiasaan selepas mandi di sungai,
kedua gadis tadi terlihat hanya membalut bagian bawah tubuhnya saja dengan kain
berwarna hitam sedangkan buah dadanya dibiarkan membusung bebas tanpa terlindungi
sehelai kain sama sekali. Keesokan harinya ketika fajar belum menerangi
perkampungan di Baduy Dalam, saya kembali ke sungai tersebut untuk mengambil
air wudhu. Di jalur menuju sungai itu pun saya bertemu dengan beberapa
perempuan muda yang akan mandi, dan menjelang siang saya sudah tidak menemukan kembang-kembang
desa itu lagi karena yang berada di luar rumah hanya kaum lelaki, anak-anak dan
perempuan-perempuan yang sudah menikah.
Kucing
merupakan salah satu hewan yang kerap ditemukan di perkampungan Baduy selain
ayam dan anjing.
|
Paras wanita suku Baduy Dalam jadi
terlihat makin menawan walaupun mereka hidup di pedalaman dan tabu menggunakan
kosmetik, shampo, pasta gigi juga sabun. Dibalik kecantikannya, seperti ada
sebuah tirai gaib yang senantiasa menutupi dan melindungi mereka dari tatapan
liar orang-orang luar.
Sarni, cucu
pak Ijom yang baru berusia 2 tahun.
|
Ahok
Sampai Ke Baduy
Pak Ijom, sang empunya rumah yang
kami tempati sudah pulang dari ladang, ia menyambut kami dengan ramah. Lelaki
berusia 65 tahun itu tampak kewalahan saat berkomunikasi dengan bang Radi dan
bang Ian yang sama sekali tidak mengerti bahasa Sunda sehingga saya pun
bertindak selaku penerjemah.
Tak lama kemudian, bang Radi dan bang
Ian beranjak ke dalam rumah untuk sekadar meluruskan badan. Saya pun menggunakan
kesempatan itu untuk mengobrol dengan pak Ijom. Ia terlihat sangat menikmati
setiap hisapan kretek di mulutnya, asap membumbung di sekitar beranda untuk
kemudian sirna terurai oleh udara. Iseng-iseng, saya pun bertanya mengapa saat
ini buah duren tidak terlihat di rumah-rumah warga Baduy.
Bang Ian, saya, pak Ijom dan bang Radi. |
“Tahun ini, dipastikan tidak ada
duren dari Baduy. Duren biasanya sudah dipanen saat awal tahun, tapi bulan
kemarin kembang duren pun sama sekali tidak terlihat” kata pak Ijom. Tak lama
kemudian, ia pun melanjutkan ucapannya;
“Sekarang, kami (orang Baduy) hanya
mengutamakan pisang sebab pisang mah
tidak mengenal musim. Tidak perlu menunggu sampai kuning, asal sudah besar
langsung dibawa ke Ciboleger.” tambahnya.
Sekali waktu, saya pun bertanya
perihal Kawalu dan Saba, beliau pun kembali menjelaskan kepada saya;
“Kalau sedang bulan Kawalu seperti
sekarang ini, kami akan berpuasa. Tidak semua warga Baduy mengikuti ritual
Kawalu, hanya perwakilan saja. Kalau Saba lebih kepada kunjungan, kami yang berasal
dari dalam dan luar wajib membawa hasil bumi untuk diserahkan ke pemerintah.
Itu sudah dilakukan sejak jaman leluhur, kami hanya berusaha untuk tetap
melestarikan” jawabnya sambil tersenyum.
Seketika itu kami berdua terdiam, pak
Ijom kembali menghisap kreteknya dalam-dalam. Tidak lama kemudian beliau
bertanya kepada saya, namun pertanyaan itu sedikit mengejutkan.
“Si Ahok bagaimana kabarnya?” kata
lelaki itu sambil tertawa, aku jadi tercengang dibuatnya. Betapa tidak, saya
pikir setelah melakukan perjalanan sejauh ini ke tengah belantara maka saya
tidak akan mendengar nama Ahok, pilkada, pil KB atau sejenisnya lagi. Ternyata
sama saja, Ahok sudah terlanjur terkenal bahkan hingga ke tempat terpencil
seperti ini.
“Wah,
bapak tahu Ahok?” saya balik bertanya.
“Ah,
saya mah cuma dengar dari tamu-tamu
yang datang kemari. Kalau tahu sih
tidak, lihat muka pun belum pernah” jawabnya sambil terkekeh. Pada akhirnya, saya
pun menceritakan siapa Ahok dan mengapa gaungnya bisa sampai menembus
perkampungan yang dihuni oleh masyarakat adat tradisional seperti Baduy. Saya
mengisahkan dari mulai sepak terjang Ahok menjadi gubernur DKI hingga dirinya
tersandung isu penistaan agama. Pak Ijom hanya mengangguk tanpa bersuara.
“Ngomong-ngomong masalah agama, pernah ada
tamu yang datang kemari, sepertinya sih
mahasiswa. Mereka datang tapi seperti mau membuat kegaduhan” pak Ijom berkisah,
saya pun memasang telinga dengan seksama.
“Mereka memperdebatkan keyakinan kami
yang Sunda Wiwitan, ada yang bilang keyakinan kami aliran sesat karena tidak
tercantum di KTP. Ada juga yang menuduh kami tidak bertuhan karena mereka
sangka kami memuja roh dan bebatuan, ah
kami mah diamkan saja. Prinsip kami, agama
mereka untuk mereka, agama kami untuk kami” tambahnya sambil tersenyum. Saya
pun tertawa geli mendengar pak Ijom berkata demikian. Sungguh sebuah pemikiran
yang sangat bijaksana dari seorang Baduy yang tidak mengenyam bangku sekolah
dan tanpa menyandang status mahasiswa atau sarjana namun perbuatan juga tutur
katanya jauh lebih beradab dari mereka yang katanya berpendidikan. Rupanya
orang-orang yang gemar mencari pembenaran mulai mengusik ketenteraman dan keharmonisan
masyarakat Baduy.
Bocah-bocah
Baduy Luar menikmati senja dengan bermain bola.
|
Pagi
Hari Di Gajeboh
Hampir sebagian warga di dusun Gajeboh mengurungkan niatnya
untuk berladang karena pagi itu sedang turun hujan. Riuh arus di sungai Ciujung
semakin santer bergemuruh lantaran debit airnya yang semakin bertambah.
Ayam-ayam jantan berkokok, sementara burung-burung di hutan kembali
memperdengarkan kicaunya yang merdu. Kaum ibu mulai menyiapkan suluh untuk
membuat sarapan bagi anak-anak lelakinya yang siang nanti akan membawa hasil
panen ke Ciboleger. Para gadis yang kemarin siang terampil mempertontonkan
kebolehannya dalam menenun, pagi itu sudah bersiap diri menuju MCK untuk mandi
dan mencuci pakaian. Cucu perempuan pak Ijom yang baru berusia sekitar 17 tahun
terlihat keluar dari pintu rumah bagian samping dengan hanya berkemben kain
bermotif batik Baduy, tak lama kemudian remaja itu menghilang di balik pintu
MCK.
Pagi hari,
ketika dusun Gajeboh dibalut gerimis dan kabut. |
Ketika langit tidak lagi hujan dan
mulai terang, satu-persatu warga Gajeboh mulai melengkapi dirinya dengan topi
caping, golok dan kantung kain yang biasa digunakan untuk menyimpan makanan.
Mereka menyebrangi sungai Ciujung melalui jembatan bambu dan mendaki tanjakan
curam untuk menuju ladangnya. Mereka akan pergi ke ladang pada pukul 07.00 dan
kembali lagi ke rumah selepas pukul 15.00. Jadwal keberangkatan Baduy Luar
menuju ladang berbeda dengan orang-orang Baduy Dalam yang dari sejak matahari
belum terbit pun mereka sudah melesat di dalam kegelapan. Perempuan-perempuan
Baduy Dalam memang sangat perkasa, tanpa dibantu alat penerangan mereka bisa
cekatan meniti jembatan yang terbuat dari dua bilah bambu saja, itu sebabnya
saya menyebutnya seperti ninja.
Warga Gajeboh yang baru kembali dari ladang. |
Suasana terasa sejuk karena matahari
masih tertutup awan mendung. Saya, bang Ian, bang Radi dan pak Ijom menikmati
pagi itu dengan hangatnya kopi. Tak lama kemudian, anak perempuan pak Ijom yang
telah berkeluarga datang menghampiri kami sambil membawakan sepiring pisang
goreng yang masih panas. Pisang yang dijadikan penganan itu berasal dari jenis
pisang nangka yang teksturnya tidak terlalu lembek dan rasanya juga tidak
terlalu manis, salah satu komoditas masyarakat Baduy selain duren, madu dan
petai. Sedang asyiknya mengobrol di teras, tiba-tiba kami mendengar suara benda
yang tengah ditumbuk dari arah belakang rumah. Ketika saya melongok ke sebuah
saung yang berada tidak jauh dari bibir sungai, saya pun melihat ada dua orang
cucu pak Ijom dan seorang nenek tengah menumbuk padi. Padi-padi tersebut
ditumbuk di sebuah lesung berukuran panjang yang terbuat dari batang pohon.
Menariknya lagi, mereka tidak asal menumbuk padi melainkan menciptakan ritme
tertentu yang dihasilkan dari tumbukan-tumbukan tadi.
Menumbuk padi dengan lesung berukuran panjang, menjadi rutinitas kaum hawa ketika musim panen tiba. |
Siang menjelang, kami berempat harus
segera pulang ke peradaban yang penuh sesak dengan kepenatan meski masih ingin
berlama-lama di tempat itu. Selepas sarapan, kami berpamit kepada pak Ijom dan
berjanji akan kembali berkunjung dalam beberapa bulan ke depan. Saya juga
ketiga kawan saya mulai melangkahkan kaki meninggalkan bumi Baduy yang lestari
dan asri dibalik hijaunya rerimbunan.
Foto
bersama pak Ijom dan Mamat, si pedagang souvenir khas Baduy.
|
Catatan
Kaki
Baduy, satu kata itu akan menggiring imajinasi kita pada suatu
tempat terpencil yang menyajikan eksotisme masyarakat adat yang hidup selaras
dalam kebersahajaan alam, serta perkampungan yang dianugerahi ketenteraman
serta dinaungi lebatnya hutan yang rimbun menghijau. Masyarakat Baduy hidup
berbalut kesederhanaan, apa adanya dan menghindari hiruk-pikuk kehidupan ala perkotaan
yang glamor dan serba modern. Tidak heran para wisatawan rela berdatangan ke
tempat itu demi bisa menikmati ketenangan dan keunikan masyarakatnya, demi bisa
menggali juga belajar dari kearifan lokal dan adat-istiadat setempat, dan yang
tidak mungkin tidak adalah demi bisa memburu gambar bahkan berselfie dengan latar belakang rumah-rumah panggung khas Baduy
beserta warganya.
Masyarakat Adat Baduy mendiami lahan
yang luasnya lebih dari 5.136,58 hektar dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
hutan lindung (3.000 hektar) dan tanah garapan serta pemukiman (2.136,85
hektar). Bila dilihat dari tabel demografi masyarakat adat Baduy, pada tahun 2000
populasinya mencapai 7.317 jiwa. Masyarakat Adat Baduy juga membagi
perkampungan menjadi 18 kampung, diantaranya;
1. Kaduketug
2. Kadujangkung
3. Cihulu
4. Karahkal
5. Gajeboh
6. Cigula
7. Cicakal Muara
8. Cipaler
9. Cipiit
10. Ciwaringin
11. Sorokokod
12. Panyerangan
13. Kaduketer
14. Cisaban
15. Cikulingseng
16. Batubeulah
17. Cisadane
18. Pamowean
Teguh
Dalam Pikukuh
Kehidupan orang-orang Baduy
senantiasa dibentengi peraturan adat yang kuat, peraturan-peraturan tersebut
berasal dari karuhun atau leluhur
yang disebut pikukuh. Pikukuh bukan berupa tulisan melainkan
ujaran lisan secara turun-temurun. Peraturan tadi dibuat guna melindungi mereka
dari gempuran arus modernisasi yang mampu membuat silau mata dengan hal-hal
yang serba canggih dan praktis.
Masyarakat Adat Baduy tidak
diperkenankan menikmati segala sesuatu hasil peradaban modern oleh ketua adat
tertinggi atau biasa disebut puun
karena khawatir akan merubah tatanan dan nilai-nilai yang sudah ditetapkan oleh
leluhur. Hidup di bawah gemerlap modernisasi bagi mereka justru malah menambah
kecemasan akan pudarnya eksistensi dan rasa setia terhadap pegangan hidup yang
telah mereka jalani selama beberapa generasi, itu sebabnya mereka menolak
program pembangunan jalan dan listrik masuk desa yang dulu pernah diusulkan
pemerintah. Masyarakat Adat Baduy sadar betul betapa ringkihnya mereka bila terperangkap
dalam pola hidup yang modern. Sekali mereka terperosok di dalamnya, maka akan
ada konsekuensi mengerikan yang berimbas pada musnahnya jati diri dan kehidupan
sosial budaya mereka. Sekali lagi, Pikukuh
bukanlah suatu hal yang membebani mereka, lebih dari itu masyarakat Baduy
merasa bertanggungjawab untuk tetap menjaga apa yang telah diamanatkan oleh
leluhurnya.
Beda
Di Dalam Dan Di Luar
Umumnya, warga Baduy Luar lebih
bersifat toleran kepada hal-hal yang berasal dari luar, mungkin itu sebabnya
mereka mencirikan dirinya dengan ikat kepala berwarna hitam biru bermotif batik
sebagai tanda bahwa mereka telah terkontaminasi budaya luar. Orang Baduy Luar
tidak tabu mengenakan alas kaki, kaus, telepon genggam, Bahkan belakangan ini,
penerangan pada rumah-rumah di perkampungan Baduy Luar sudah menggunakan lampu sollar cell yang memanfaatkan energi
sinar matahari. Ini menandakan, secara perlahan pengaruh luar mulai mengikis
tembok pikukuh yang sekian lama
berdiri kokoh mengiringi dinamika jaman. Meski demikian, mereka tetap tegas
memberi batasan terhadap keterbukaan demi menjaga identitas mereka yang orang
Baduy.
Lain halnya dengan warga Baduy Dalam
yang lebih tertutup dan memang sengaja menutup diri dari pengaruh dunia luar.
Mereka adalah benteng terakhir dari sebuah tradisi dan kebudayaan, itu sebabnya
mereka hidup di bawah peraturan adat yang jauh lebih ketat ketimbang Baduy
Luar. Lelaki dari Baduy Dalam biasa mengenakan ikat kepala berwarna putih dan
pakaian serba putih sebagai simbol belum tercemar oleh pernak-pernik modernisasi.
Di dalam kehidupan sehari-harinya, mereka rela tidak mengenakan alas kaki
setiap melakukan perjalanan jauh maupun dekat. Selain itu, mereka juga pantang
menggunakan sabun, pasta gigi dan sampo ketika mandi di sungai, bahkan tidak
diperbolehkan merokok karena dapat mencemari udara. Semuanya mereka lakukan
demi melestarikan alam dan menjaga tradisi para leluhur.
Seorang warga Baduy Dalam yang tengah mengantarkan pengunjung menuju Ciboleger. |
Bukan
Sekadar Berwisata
Berkunjung ke Baduy memang bukan lagi
mempersoalkan masalah selera ataupun gaya hidup, lebih dari itu seharusnya ada
banyak pengalaman dan pengetahuan yang bisa kita peroleh baik secara fisik maupun
batin. Mendatangi suatu tempat, sudah pasti kita dituntut untuk mematuhi semua
tata tertib dan peraturan yang berlaku di tempat tersebut, termasuk di Baduy.
Ada banyak peraturan adat yang harus kita hormati selama berada di Baduy.
Dengan menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang mereka tabukan, niscaya
kita telah mengimplementasikan rasa saling menghargai meski dalam skala yang
terbilang sangat kecil.
Perjalanan ke Baduy sudah sepatutnya menjadi
ajang untuk belajar dan mempelajari kearifan lokal juga kesederhanaan
masyarakat setempat dalam merajut keharmonisan dengan alam. Justru sangat
disayangkan bila kunjungan ke tempat itu hanya digunakan untuk berselfie ria atau untuk mengumbar
candaan dan obrolan tidak karuan. Karena Baduy tidak cuma menarik dari sisi pariwisatanya
saja, lebih dari itu kita juga bisa mengasah moral dan sisi spiritual kita dengan
menjalin sikap saling memahami perbedaan antar sesama serta mencoba
menyelaraskan jiwa dan pikiran dalam dekapan alam.
Pecinta
Alam Yang Sesungguhnya
Dari generasi ke generasi, masyarakat
Baduy tetap teguh berpedoman pada pikukuh
atau peraturan adat. Salah satu falsafah hidup orang Baduy ada pada Amanat
Buyut, Buyut disini memiliki pengertian sebagai pantangan, segala hal yang
ditabukan atau hal-hal yang melanggar ketentuan adat. Berikut adalah sedikit
petikan dari Amanat Buyut;
Gunung teu meunang dilebur (gunung tidak boleh dihancur)
Lebak teu meunang diruksak (lembah tidak boleh dirusak)
Larangan teu meunang ditempak (larangan tidak boleh dilanggar)
Buyut teu meunang dirobah (larangan tidak boleh dirubah)
Lojor teu meunang dipotong (panjang tidak boleh dipotong)
Pondok teu meunang disambung (pendek tidak boleh disambung)
Potongan Amanat Buyut di atas tadi bukan
untuk dibaca atau dihafal oleh orang-orang Baduy melainkan langsung
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menerapkannya dalam ucapan dan
perbuatan, juga sebagai bentuk interaksi dengan alam dan Tuhannya. Amanat Buyut
ada karena kesadaran masyarakat Baduy yang beranggapan kalau setiap perlakuan
manusia terhadap alam dan lingkungan sekitarnya sangat menentukan keberlangsungan
diri, keturunan dan kelompoknya.
Alam adalah sahabat bagi orang-orang
Baduy sehingga tindakan yang bersifat merusak, mencemari atau bahkan mengganggu
ekosistem suatu lingkungan sangat mereka haramkan. Mereka tidak perlu mengklaim
diri sebagai anggota pecinta alam karena dalam kesehariannya mereka justru
lebih menyatu dengan sang alam. Kesadaran melestarikan lingkungan tersebut
tumbuh dalam perbuatan dan tanpa dibumbui teori atau wacana belaka. Jauh
sebelum istilah Go Green menjadi tren
di kalangan komunitas penggiat alam, masyarakat Baduy sudah terlebih dahulu buka
mata dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, yang tulus tanpa
minta dipublikasi.
JELAJAK
GAMBAR :
Jalanan dari terminal Ciboleger menuju gapura selamat datang. |
Gunung
Baduy yang sebagian besar permukaan tanahnya ditanami padi jenis gogo.
|
Memasuki kawasan yang ditanami pohon Jengjeng. |
Tidak semua warga Baduy Luar memiliki ladang di dalam area tanah ulayat, sebagian dari mereka ada yang memiliki ladang di luar wilayah Baduy seperti di Cisimeut. |
Suasana di kampung Balimbing. |
Menuju
Gajeboh, kita akan melalui jembatan bambu berukuran mini seperti ini sebanyak 2
kali.
|
Ini adalah jembatan
bambu terakhir yang berada di kampung Marengo.
|
Istirahat sesaat sambil menikmati gemericik air yang mengalir di bawah jembatan bambu. |
Seorang
warga Gajeboh tengah menuju Ciboleger dengan membawa hasil panennya.
|
Suasana kampung Gajeboh di siang hari. |
Saya dan
Mamat, di beranda rumah pak Ijom.
|
Berteduh dari terik. |
Peralatan
tenun, alat yang memberi pendapatan kepada warga Baduy Luar dari generasi ke
generasi.
|
Madu hutan
khas Baduy, menjadi oleh-oleh yang diminati para wisatawan.
|
Gula aren
khas Baduy, dibawa langsung dari tempat pengolahannya di tengah hutan.
|
Cukup
sebatang kayu dan sedikit imajinasi untuk membuat seorang bocah Baduy betah bermain
sendiri tanpa harus turun ke Ciboleger demi menyaksikan tayangan televisi.
|
Inilah
berkah dari perayaan Kawalu, suasana di Gajeboh menjadi hening dan tak banyak
wisatawan yang berkunjung.
|
Saya dan Linda. |
Masih dalam tema mengeksplorasi spot foto. |
Jembatan
berkonstruksi bambu yang jadi alat untuk menyebrangi sungai Ciujung.
|
Perkampungan Gajeboh dilihat dari seberang sungai Ciujung. |
Aliran
sungai Ciujung yang saat itu keruh akibat meningkatnya debit air di bagian hulu
sungai.
|
Leuit khas Baduy memang cocok untuk dijadikan background pemotretan. |
Menjelang senja, kaum ibu segera memasukkan padi-padi yang telah dijemur ke dalam karung. |
Kucing dan
anjing menjadi binatang berkaki empat yang boleh di pelihara oleh masyarakat
Baduy, sedangkan kambing dan kerbau sangat dilarang untuk dipelihara.
|
Seekor
kucing kampung tengah terlelap sambil berjemur.
|
Seperti inilah rupa atau tampilan dari rumah panggung khas Baduy Luar. |
Seorang wanita lanjut usia yang baru saja kembali dari hutan dengan membawa kayu bakar. |
Salah satu
sudut perkampungan Gajeboh yang diambil tidak begitu jauh dari jembatan bambu.
|
Para lansia tengah menjaga padi yang dijemur dari gangguan ayam. |
Seorang turis asal Rusia yang baru saja tiba di Gajeboh. |
Foto barng
menantu pak Ijom beberapa saat sebelum kembali ke Jakarta.
|
Tiba di Ciboleger: waktunya kembali ke rumah. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar