Sekarang ini, kata pendaki sudah seperti
hal yang biasa didengar publik dan mudah dijumpai orang-orangnya. Di stasiun Senen,
Jakarta Pusat, hampir setiap hari bisa kita temui sekelompok remaja maupun
orang dewasa yang akan pergi mendaki. Peralatan pendakian yang kini sangat
mudah didapat, memungkinkan bagi siapa saja untuk memulai petualangannya
menjejak ketinggian dan berbaur dengan dinginnya udara gunung. Beberapa toko outdoor pun kian menjamur seiring dengan
merebaknya virus mendaki yang sempat menjadi tren beberapa tahun belakangan ini. Harga
barang yang mahal bukanlah penghalang bagi segelintir orang yang sudah kadung
terkena candu mendaki untuk mendapatkan apa yang mereka kehendaki.
Berbicara
tentang pendaki, rasanya saya ingin berbagi sedikit opini dari sudut pandang
saya sebagai seorang amatir yang juga hobi naik gunung. Perkenalan saya dengan orang-orang yang gemar hiking dimulai
dipertengahan tahun 1996, kala usia saya baru beranjak 12 tahun. Semuanya berawal
dari rasa ingin tahu yang akhirnya membuat saya tertarik untuk mendaki.
Foto :
Aldianovsky
Model :
Deden Hamdani
Lokasi : Padang rumput gunung Bromo, Probolinggo –
Jawa Timur
|
Mata
ini masih belum mau terpejam meski sudah larut malam. Bukan karena gerahnya
udara didalam kamar yang membuat sekujur tubuh bermandikan peluh, namun
dikarenakan pandanganku yang tak henti-hentinya menyelisik beberapa sudut kamar
dimana terdapat perlengkapan pendakian milik paman saya dan teman-temannya. Kerapkali
saya mengutak-atik perlengkapan hiking milik
mereka yang memang sengaja disimpan disitu dan berharap suatu saat nanti saya juga bisa
memilikinya. Sadar belum memiliki penghasilan, maka saya cukup berbesar hati dengan melihat dan menyentuh hiking gear yang ada didepan mata saja. Ketika itu saya baru duduk di kelas satu SMP. Ya, dua puluh tahun
yang lalu.
Foto :
Aldianovsky
Model :
Ready Krueger
Lokasi :
Cemoro Kandang, gunung Semeru, Lumajang – Jawa Timur
|
Keinginan
untuk mendaki mulai ada ketika akrab dengan teman-teman paman saya yang
sebagian besar dari mereka merupakan anggota pencinta alam. Mereka
sering menceritakan pengalamannya ketika sedang mendaki gunung. Foto-foto dan karya tulis selepas mereka turun gunung pun kerapkali diperlihatkan kepada saya. Tak ayal
saya pun jadi terinfeksi oleh racun yang ditularkan mereka melalui artikel dan hasil
jepretan foto-fotonya. Virus sudah terlanjur menyebar kedalam otak dan hati
saya, sehingga timbul hasrat untuk memulai pendakian meski ketika itu saya belum memiliki perlengkapannya sama sekali.
Foto :
Aldianovsky
Model :
Calon anggota PALAPSA angkatan “Kabut Lembah”
Lokasi : Kawah Ratu, gunung Salak, Bogor – Jawa Barat
|
Saya
masih ingat betul saat itu dimana aktivitas pendakian belum menjamur seperti
sekarang ini. Di kalangan anak muda, jangankan mendaki gunung, melihat
sekelompok pendaki yang tengah membawa carrier
di punggungnya pun mereka masih menganggap itu sebagai hal yang aneh. Saat itu,
belum terngiang merk peralatan outdoor
seperti Deuter, Osprey, Marmot, Jack Wolfskin ataupun Arcteryx. Buat mereka yang kala itu sudah memiliki carrier dengan merk The North Face ataupun Karrimor, sudah sepatutnya bersyukur karena harganya yang masih setinggi langit. Di awal dan pertengahan era 90an,
adalah era dimana beberapa produk lokal seperti Alpina dan Jayagiri
mengalami masa-masa jayanya. Sekarang kedua produk tersebut sudah meredup
sinarnya, tersisihkan brand luar
negeri yang mampu membuat silau mata pendaki remaja meski dibandrol dengan
harga yang membuat kita geleng-geleng kepala.
Ada
rasa takjub setiap saya melihat pendaki yang bersiap diri melangkahkan kaki ke
puncak gunung dengan atribut kependakiannya. Rata-rata pendaki di era 90an
berambut gondrong, menggunakan ikat kepala atau sejenis bandana, mengenakan
gelang yang terbuat dari tali prusik, memakai seragam dan celana lapangan juga
sepatu boot. Itu baru dari pakaiannya saja, belum termasuk perlengkapan lain
yang mereka jejalkan kedalam carriernya.
Entahlah, setiap melihat mereka tengah memanggul carrier yang kadang terlihat menjulang seperti batu menhir, selalu saja ada rasa takjub bahkan cenderung ingin melakukan hal yang sama seperti mereka.
Foto :
Agung
Model :
Aldianovsky
Lokasi : Antara Goa Walet & puncak Ciremai,
gunung Ciremai, Kuningan – Jawa Barat
|
Di
pertengahan tahun 2000, akhirnya saya baru bisa mewujudkan hasrat untuk
mendaki. Dengan menikmati perjalanan dan keindahan alam, saya pun mulai merasa
jatuh hati terhadap kegiatan yang satu ini. Untuk selanjutnya, saya tidak segan-segan mengumpulkan
uang demi bisa melengkapi peralatan mendaki. Tidak perlu yang bermerk luar, cukup produk lokal yang murah meriah saja. Dilain waktu, kesunyian hutan
gunung Salak ternyata membuat saya yang pada dasarnya merupakan pribadi yang tertutup
dan suka menyendiri, menjadi kecanduan terhadap rasa tenang, hening dan damai
ketika pertama kali berada di tempat itu. Flying
camp yang berada di gunung Salak memang menyuguhkan suasana rimba belantara
yang menenangkan dan terbebas dari bisingnya guyonan maupun kelakar para
pendaki, selain itu keasriannya masih sangat terjaga. Kentalnya rasa keakraban
yang terjalin manakala kami berjumpa dengan pendaki lain, masih bisa saya
rasakan kala itu. Buat saya, mendaki tidak hanya sebatas hobi namun ajang untuk
saling berbagi ilmu dan informasi setiap kali kami merajut keakraban dengan
sesama pendaki. Gunung sejatinya adalah rumah kedua disaat saya tengah
merindukan santunnya salam sang alam, tempat yang bisa menaungi kami dari
kepenatan ataupun sederet rutinitas yang kian mengebiri kebebasan.
Foto :
Deden Hamdani
Model :
Deden Hamdani & Aldianovsky
Lokasi : Lautan Pasir, gunung Bromo, Probolinggo –
Jawa Timur
|
Menjelang
malam di tengah belantara raya, biasanya paman saya akan berkisah. Saya sangat
suka ketika ia sedang berbagi pengalamannya saat singgah ke puncak-puncak
gunung, sebab ia menceritakan semua itu dalam kapasitasnya yang sebagai pendaki di
era 80an. Ia pernah bercerita tentang indahnya gunung Argopuro dan Semeru yang
berada disebelah timur pulau Jawa. Pada era 90an dimana ia mengunjungi Semeru,
ia pernah menyaksikan sepasang belibis tengah memadu kasih di jernihnya
permukaan Ranu Kumbolo yang masih sepi dari aktivitas para pendaki. Terkadang
kabut tebal yang datang dari arah timur menyapu pelataran danau, tak lama
kemudian kabut itu akan hilang terbawa angin. Ia juga mengisahkan bagaimana
cantiknya tanaman sejenis ilalang yang bunganya berwarna ungu cerah, tumbuh
disepanjang lembah Oro-Oro Ombo. Di lain waktu, ia juga menuturkan pengalamannya
saat mendaki gunung Argopuro. Di gunung tersebut katanya masih sering ditemui rusa,
babi hutan dan burung merak. Beberapa lembar foto ketika ia mendaki Argopuro
juga pernah saya lihat. Semua yang terekam di album fotonya ataupun melalui
kisahnya, sanggup membangkitkan rasa penasaran saya untuk mengunjungi kedua
gunung tadi.
Pada
pertengahan tahun 2013, akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk mendaki
gunung Semeru. Segala cerita yang pernah diuraikan oleh sang paman, saya rekam
dan akan saya sesuaikan sesampainya saya di tempat tujuan. Namun alangkah
terkejutnya ketika saya melihat Ranu Kumbolo dengan mata kepala sendiri. Tidak
ada sepasang belibis yang bermain diatas permukaan danau tersebut. Jangankan
sepasang, seekorpun tak nampak. Keadaan di tempat itu sangat memprihatinkan
akibat sampah logistik yang masih berserakan diatas tanah. Kondisinya sangat
jauh berbeda dengan apa yang pernah paman saya ceritakan. Di sisi barat Ranu
Kumbolo, warna-warni puluhan tenda terlihat memenuhi lahan yang berbidang datar.
Sampah tissue berceceran diantara
rimbunnya belukar, hanya membuat kesan yang menjijikkan. Alhasil malam pertama
berkemah di tempat itu, saya mengalami susah tidur dikarenakan ulah beberapa
pendaki yang berada disekitar saya yang masih saja getol bercanda, tertawa,
bahkan berteriak seenak perutnya. Hati ini jadi berucap; apakah benar saya
sedang berada di Ranu Kumbolo atau tersesat disisi lain gunung Semeru? Entahlah.
Foto :
Aldianovsky
Model :
Aldianovsky
Lokasi : Ranu Kumbolo, gunung Semeru, Jawa Timur
|
Foto :
Aldianovsky
Model :
Aldianovsky
Lokasi : Kali Mati, gunung Semeru, Jawa Timur
|
Mungkin
saya hidup di waktu yang salah, dimana alam sudah enggan menyajikan rasa tenang
dan damai bagi segelintir pendaki yang memang melakukan pendakian untuk tujuan
tersebut. Kesan kumuh dan bising justru melekat pada beberapa gunung yang jadi
favorit pendakian, terlebih setelah para generasi muda terpengaruh oleh tayangan
film layar lebar yang pada tahun 2012 lalu mampu menghipnotis sebagian
penontonnya untuk menjadi pendaki dadakan. Adalah hak setiap orang untuk
berkarya, termasuk dalam membuat film. Namun sangat disayangkan kalau
para sineas tadi hanya berorientasi pada rating dan keuntungannya saja, lantas bagaimana
dengan dampaknya terhadap lingkungan maupun ancaman terhadap kearifan lokal
setempat?
Pasca
pemutaran film layar lebar yang ditayangkan pada tanggal 12 bulan 12 tahun 2012
itu, sontak ribuan anak muda bertransformasi jadi pendaki musiman yang siap menginvasi
keasrian alam gunung Semeru. Tak bisa dibantah jika seandainya saat itu ada beberapa pihak yang menyebut gunung Semeru bagaikan taman rekreasi.
Ya, di film itu memang menceritakan perjalanan sekelompok remaja yang merayakan
pertemuan mereka dengan melakukan pendakian ke puncak Mahameru. Dampaknya, tak ayal para ranger TNBTS jadi uring-uringan lantaran pendaki-pendaki dadakan tadi datang ke
Semeru hanya untuk menyumbangkan sampah perbekalannya. Pendaki-pendaki yang
tidak mengerti tata krama dan tidak bisa menghargai kearifan lokal setempat
juga kerapkali dipergoki ranger TNBTS
tengah mandi di Ranu Kumbolo. Padahal, danau itu adalah salah satu
sumber air di gunung Semeru yang disucikan dan disakralkan oleh warga suku Tengger. Selain itu, sudah ada peringatan yang dipasang agar siapapun yang berkunjung kesitu tidak mandi ataupun berenang. Dengan adanya kasus “oknum pendaki” yang tertangkap basah sedang mandi atau nyebur
ke telaga Kumbolo, maka jelas sudah bahwa untuk menjadi seorang pendaki tidak hanya dibutuhkan perlengkapan yang mahal dan otot-otot yang kekar saja.
Danau Kumbolo yang kata para
pendaki di era 80an biasa dikunjungi oleh rusa dan macan kumbang untuk mengisi
kerongkongannya, kini tak lagi bisa dijumpai satupun dari mereka yang tengah
minum ditepiannya. Serbuan pendaki yang singgah di Ranu Kumbolo membuat hewan-hewan
itu menyingkir dan menjauh dari sumber keramaian. Aah, sepertinya kisah tentang
belibis yang berenang bebas di permukaan danau Kumbolo, sekarang ini hanya
menjadi dongeng dari para pendaki senior untuk adik-adik mereka yang baru saja
mulai mengangkat ranselnya.
Foto :
Aldianovsky
Model :
Sri Yuni Nur Linda
Lokasi : Alun-alun Suryakancana, gunung Gede,
Cianjur – Jawa Barat
|
Segalanya telah berubah. Sekarang, hampir tak bisa kurasakan hangatnya keakraban yang terjalin antar sesama pendaki seperti saat enambelas tahun yang lalu. Tak ada lagi cerita didalam segelas teh, karena hampir semua pendaki yang kutemui terlalu asyik dengan perabot narsisnya masing-masing. Sangat menyedihkan, karena saat ini gunung telah didominasi oleh para pendaki yang datang hanya demi memenuhi nafsu untuk bereksistensi ketimbang mencari esensi dari mendaki. Di masa sekarang, rasanya sebagian besar pendaki tengah mengalami disorientasi serta kesulitan dalam membedakan antara tongkat mendaki (trekking pole) dan tongkat narsis (tongsis/selfie stick), juga membedakan mana headlamp dan mana GoPro.
Semoga
sekarang predikat yang disandang oleh para pendaki bukan lagi soal stigma
sosial. Bukan hal yang aneh kalau pendaki selalu menjadi sorotan publik dan
kerapkali mendapat tanggapan negatif dari segelintir orang, mulai dari perilaku, mengotori dan merusak lingkungan, hingga stigma pendaki yang hingga
saat ini masih setia melekat : tebar pesona alias modus! Tapi ada baiknya jangan
terlalu sinis dan skeptis dulu dengan pendaki, sebab masih banyak dari mereka
yang telah berdedikasi dan membuat harum nama bangsa ini dengan segudang
prestasinya. Karena setiap manusia pasti memiliki plus minus dalam
kehidupannya, kalaupun ada sisi negatif dari seorang pendaki maka biarlah itu
menjadi tanggungjawab ia dengan moralnya. Baik secara sengaja ataupun tak
disengaja, saya pun tidak tertutup kemungkinan untuk turut berkontribusi dalam
terjadinya kerusakan lingkungan. Buat saya pribadi, belum terlalu banyak ilmu dan wawasan tentang
pendakian yang saya dapat. Pengetahuan serta pengalaman mendaki saya tidak ada
seujung kukunya mereka yang sudah melanglang buana ke titik-titik tertinggi di
negeri ini.
Foto :
Aldianovsky
Model :
Ready Krueger
Lokasi : Padang Verbenna Oro-Oro Ombo, gunung
Semeru, Jawa Timur
|
Baguss tulisannya ... ya mungkin ini efect publikasi massal melaului media massa . Terutama televisi ka . Yg mengekspos gunung indah di indonesia..dan juga lebih parahnya banyak gunung yg membuka bisnisnya dengan gaya kekinian yaitu open trip .. mungkin dlu stigma pendaki itu ,yg ada dibayangan kita(termasuk saya) , laki2 kuat,hebat,cool,keren abis .. namun dengan adnya open trip , siapapun orang bisa melakukan pendakian tanpa harus ribet dengan perlengkapannya dikarenakan ada porter ... so,, pendakian yg sekarang berorientasi pada materi,. Dengan uang semuanya dapat dilakukan.. ditambah lagi mental yg sebagian orang merasa kekinian terlalu bnyak yg ga peduli n egois . Terlihat dri sikapnya yg menikmati alam dengan sembarang . Menyalakan music n tertawa tanpa henti.. pendakipun kini terpecah menjadi pendaki penikmat alam , dan pendaki penikmat gadget .. hhehehe ,, tidak dipungkiri juga si, pendapatan daerahpun meningkat dengan adanya publikasi massal melalui media massa .. saya juga geram ka,melihat pendaki penikmat gadget .. jadi membuat buruk citra pendaki yg dlu tertanam kuat dlm benak saya ,kalau liat orang2 pendaki tuh , keren,penjaga lingkungan,kuat , hhhehehhehe ...
BalasHapusTerima kasih sudah mau berbagi opini di tulisan saya. Semoga alam dan gunung akan kembali seperti sediakala :)
Hapusjangan pernah berhenti buat menulis dan mendaki walau kita pernah ada di puncak tertinggi, karena hakikat mendaki adalah ketika kita kembali menulis di rumah....menceritakan pengalaman ketika bertualang di alam semesta..
BalasHapusSetuju... Dimana saat kita didera track pendakian yang melelahkan, kita merasa rindu dengan empuknya kasur dan bantal di rumah. Dimana ketika kita berhadapan dengan laptop dan setumpuk pekerjaan, justru kita malah merindukan aroma embun dan tanah basah didalam belantara hutan.
Hapussetuju banget
BalasHapus