Malam
itu, beberapa orang yang akan mengikuti trip menuju pantai Santolo, Garut,
sudah tiba didepan gapura Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta
Timur. Sebagian besar peserta trip ini adalah mereka yang pernah ikut pendakian
ke gunung Semeru sekitar 3 bulan sebelumnya, diantaranya adalah : Dimas, saya,
Andi Suwandi, Manggala, Deden Hamdani, Okki, Alung, Ratri, Putri, Firda dan Eka
Sitohang. Eka dan Alung merupakan wajah-wajah baru pada trip kali ini, namun
Alung sempat turut serta ketika kami melakukan trip ke gunung Papandayan,
Garut, sebulan sebelumnya. Kami sengaja memilih pantai sebagai trip destination kali ini sebab kami memang
sedang ingin melakukan perjalanan nyaman, yang cukup duduk manis didalam
kendaraan lalu sampai di tempat tujuan tanpa harus bersusah payah berjalan kaki
sambil memanggul beban seperti halnya ketika mendaki gunung. Jujur, sebenarnya
saya pribadi kurang suka pergi ke pantai.
Meski dibawah terik, Putri, Dimas, Firda dan Andi tetap menikmati deburan
ombak dan birunya laut.
|
Pantai Santolo yang akan kami tuju merupakan
bagian dari pantai selatan yang berada di kabupaten Garut, lebih tepatnya
berada di kecamatan Cikelet. Menurut informasi yang saya dapat, untuk mencapai
pantai ini dibutuhkan waktu sekitar dua setengah hingga tiga jam dari kota
Garut dengan menggunakan kendaraan.
Pantai Santolo yang memukau wisatawan dengan
lautnya yang biru dan pasirnya yang putih.
|
Elf yang kami tumpangi mulai melaju
dan memasuki pintu tol Rawamangun. Memasuki tol Cipularang hari sudah lewat
tengah malam, kami menyempatkan diri beristirahat di rest area untuk makan dan belanja perbekalan. Tidak lama kemudian,
kami segera melanjutkan perjalanan dan membelah pekatnya malam diantara
dengkuran mereka yang terlelap. Menjelang subuh, minibus ini berhenti pada
sebuah stasiun pengisian bahan bakar yang berada di kecamatan Cisurupan. Saya,
Deden, Okki, Manggala, Ratri, Firda dan Putri bergegas menuju mushalla. Tidak
jauh dari SPBU tersebut ada persimpangan jalan yang bila kita ambil ke arah kiri
akan menuju Pameungpeuk, sedangkan bila lurus akan membawa kita menuju
pelataran parkir Camp David, gunung Papandayan. Usai melaksanakan shalat subuh,
saya dan beberapa teman lainnya kembali beristirahat di sebuah warung kopi
ditengah dinginnya udara pagi yang menyejukkan dan diantara harumnya aroma kopi
yang tersaji.
Melepas penat dengan segelas teh hangat
dan sejuknya udara di dataran tinggi, di kecamatan Cikajang (Dok : Okki).
|
Langit beranjak cerah sehingga bisa
terlihat sosok Papandayan dan wujud kekar gunung Cikuray yang masih mengerucut
sempurna meski kadang puncaknya terhalang oleh gumpalan awan. Sang supir minibus
telah menyalakan mobil dan kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan dari
mulai simpang Cisurupan, mata kita akan dimanjakan oleh view yang tidak akan membosankan. Kami dihibur oleh kehadiran
gunung Papandayan dan Cikuray yang mengapit jalan raya, membuat para peserta
trip ini berdecak kagum. Jalan aspal yang kami lalui cukup bagus dan lumayan
lebar, hanya sebagian kecil yang tampak berlubang. Siapa sangka perjalanan ke
arah pantai ternyata mendapat bonus track
berupa bentangan alam pegunungan seindah pagi itu. Namun tenang saja, pemandangan
menarik semacam tadi tidak berakhir hanya sampai disitu. Sepanjang perjalanan mulai
dari Cikajang hingga menuju Pameungpeuk kita akan senantiasa disuguhi panorama
alam tatar Pasundan yang hijau memukau nan variatif, meski harus melalui jalan berliku
yang kadang dikiri dan kanannya terbentang jurang yang cukup dalam. Di jalur
inilah para pengemudi kendaraan biasa terpacu adrenalinnya, hingga pada
akhirnya perut kita jua yang akan diuji kesabarannya. Bila tidak sanggup
bertahan, anda cukup membuka kaca jendela mobil lalu sediakan tissue dan kantung plastik.
Korban jalanan berliku : Seperti inilah ekspresi
mereka yang tumbang karena mual bahkan mabuk perjalanan (Dok : Okki).
|
Hari masih terbilang pagi ketika kami
tiba di Pameungpeuk. Minibus yang kami tumpangi mulai memasuki sebuah jalan ke
arah pantai Santolo yang tidak terlalu lebar namun berbatu dan berdebu, jalan
itu sekaligus menjadi akses menuju sebuah lokasi milik Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional atau LAPAN. Tempat itu memang dipilih menjadi lokasi utama
untuk meluncurkan roket-roket yang tengah diujicoba oleh LAPAN. Tidak berada
jauh dari situ, kita dapat melihat rumah-rumah warga sekitar yang dijadikan homestay bagi para wisatawan yang
datang.
Jalanan beraspal yang memisahkan beberapa penginapan
dengan bangunan milik LAPAN (Dok : Deden Hamdani).
|
Minibus menepi didepan sebuah warung
yang juga dijadikan penginapan, saya dan Andi bergegas turun untuk mensurvey
kamar dan tentu saja harganya juga harus pas dengan finansial kami. Tak lama
kemudian, saya, Andi dan teman-teman yang lain berembug perihal penginapan yang
akan kami gunakan untuk bermalam. Setelah deal
dengan harga dan fasilitas yang didapat, kami pun segera memindahkan
perlengkapan kedalam kamar.
Koridor di tempat kami menginap (Dok : Deden
Hamdani).
|
Di pantai Santolo kita bisa mendapatkan
penginapan dengan harga murah namun tetap meriah, sangat cocok untuk para backpacker yang hobi menikmati suasana
pantai tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Ingat, meski dengan budget murah meriah bukan berarti view
yang ada jadi kurang menggugah. Di tempat itu kita bisa menikmati birunya air
laut yang permukaan airnya senantiasa berkilau terkena pijar-pijar matahari, kita juga bisa bermain di hamparan pasir pantai yang bertekstur sangat
halus dan berwarna cerah. Jauh disebelah sana tampak bukit-bukit hijau yang
berbaris rapi mengelilingi garis pantai, kehadirannya menjadi pelengkap bagi
lansekap alam yang membentang di pantai selatan Garut. Selain menawarkan wisata
kuliner dan budaya, Garut juga patut diperhitungkan potensi wisata alamnya.
Andi dan Dimas berjemur setelah menjajal segarnya
air laut di pantai Santolo.
|
Hanya satu hal yang saya sayangkan
dari tempat wisata disini, yaitu masalah kebersihan. Hampir disepanjang pantai
bisa saya temukan sisa-sisa sampah logistik yang berserakan diatas pasir maupun
sampah-sampah yang berasal dari tengah laut yang kemudian terhempas ke tepi pantai.
Sepertinya, tidak semua pengunjung yang datang ke tempat ini sadar akan
kebersihan lingkungan, padahal di beberapa lokasi sudah disediakan tempat
sampah.
Suasana di pantai Santolo sangat erat
dengan kehidupan ala nelayan. Tidak jauh dari tempat kami menginap, ada sebuah
dermaga tempat dimana para nelayan menambatkan perahunya usai melaut. Hanya
berjarak sekitar lima puluh meter dari dermaga, terdapat pelelangan dan pasar
ikan yang selalu ramai didatangi para wisatawan yang ingin membeli ikan ataupun
hasil laut lainnya. Bagi anda yang menggemari dunia fotografi, mulai dari
dermaga, pelelangan hingga pasar ikan, bisa jadi alternatif menarik untuk
menelisik dan membidik kehidupan serta aktivitas para nelayan dari balik lensa.
Bau amis yang menusuk tentu tidak akan jadi faktor penghambat demi mencetak
karya yang kelak bisa dijadikan portfolio
pada folder anda. Di tempat ini kita juga bisa membeli
oleh-oleh berupa ikan asin yang sudah dikemas dalam ukuran tertentu.
Berbagai jenis ikan tangkapan para nelayan yang
bisa kita temukan di pasar ikan, di pantai Santolo (Dok : Deden Hamdani).
|
Sebagai pengunjung pantai Santolo, ada
baiknya kita tidak terpaku di satu tempat saja. Asal mau berjalan sebentar ke
arah dermaga, maka kita akan bertemu aliran muara yang memisahkan pantai yang
satu dengan pantai yang lain. Ada sebuah sampan bercadik yang biasa digunakan
untuk menyeberangi muara tersebut. Dengan membayar sekitar empat ribu Rupiah,
kita sudah bisa menyeberangi muara sekaligus mengeksplorasi sisi lain pantai
ini. Di tempat itu kita masih bisa menjumpai rimbunnya hutan ala pesisir, kita
juga dapat menjelajahi bibir pantai yang didominasi oleh karang. Bila kondisi
air laut sedang surut, kita bahkan bisa berjalan ke tengahnya dengan berpijak pada
karang-karang yang mengeras tersebut. Tak jauh dari situ, ada sebuah pos yang
dilengkapi alat pemantau tsunami. Selain itu, kita bisa menyusuri sebuah
bangunan beton yang menyerupai jembatan. Disela-sela tiang penyangganya
terdapat air yang mengalir deras dari arah laut dan airnya cukup jernih, warga
setempat dan para pengunjung biasanya berenang ditempat itu menjelang sore.
Kita juga dapat berjalan menyusuri sebuah dermaga yang sudah rusak atau sekedar
untuk berfoto ria diatasnya. Spot terakhir yang akan anda temui disini adalah
penampakan sebongkah batu karang yang menjulang setinggi kurang lebih delapan
meter, bisa anda jadikan sebagai objek untuk berfoto juga.
Manggala, Deden, Andi, Dimas dan Alung tengah
menyeberangi muara dengan perahu bercadik yang memang biasa digunakan untuk keperluan
menyeberang.
|
Bosan berjalan kaki menyusuri pantai?
Jangan khawatir, di tempat ini juga tersedia wahana permainan air seperti banana boat, anda juga bisa menyewa
papan seluncur berukuran mini lalu meluncur diatas gulungan ombak laut yang
bersahabat. Ya, pantai Santolo secara geografis terletak di sebelah selatan
Garut, dengan kata lain pantai ini berhadapan langsung dengan samudera Hindia
yang tersohor karena ombak lautnya yang ganas. Namun karena letaknya yang
berada pada daerah teluk, dengan demikian pantai Santolo menjadi salah satu
pantai selatan di pulau Jawa yang masih aman untuk digunakan berenang ataupun
bermain air. Tidak hanya itu, kita juga bisa menyewa perahu kecil yang nantinya
akan membawa kita menjelajahi pantai.
Okki, Eka, Ratri, Putri, Firda, Dimas dan Andi
siap terpelanting dari atas Banana Boat.
|
Jangan takut kelaparan di kampung
orang karena kita berada sangat dekat dengan perkampungan nelayan, pelelangan
dan pasar ikan. Tidak ada salahnya anda meluangkan waktu ke tempat itu untuk
mencari ikan tangkapan para nelayan. Disitu kita bisa mendapatkan berbagai
macam ikan yang masih segar, tapi sebaiknya kita juga harus jeli dalam menawar
agar terhindar dari aksi tembak harga. Cumi, layur, tongkol, dan kakap
merupakan muka-muka lama yang kerap diperjualbelikan di pelelangan maupun di
pasar ikan. Andai kata anda sedang malas mengolahnya, kita bisa meminta sang
empunya penginapan untuk mengolah hasil laut tersebut. Memang selain
menyediakan kamar, para pemilik penginapan juga biasanya selalu
menawarkan jasa untuk menyediakan menu makan siang dan makan malam. Meja makan
di beberapa penginapan memang didesain sedemikian rendah dengan tujuan agar
para tamu bisa makan secara lesehan dan langsung menghadap ke arah lautan.
Suasana makan siang dengan menu yang telah
disiapkan oleh pemilik penginapan (Dok : Okki).
|
Jangan
bangun siang! Itulah slogan bagi para penggiat fotografi. Malangnya, hal itu
malah terjadi pada saya. Saat itu jam dinding di kamar yang saya tempati sudah
menunjukkan pukul setengah enam pagi waktu setempat. Saya terkejut, namun bukan
karena faktor kesiangan, melainkan kamera SLR milik saya sudah tidak ada pada
tempatnya. Kelimpungan sendiri, tiba-tiba Deden masuk kedalam kamar sambil
senyam-senyum manakala melihat saya sedang sibuk mencari SLR di tas kamera
hingga daypack. Deden segera
menyerahkan SLR saya, ternyata dia yang membajak kamera tersebut. Lelaki itu kemudian
menunjukkan hasil jepretannya saat matahari baru saja terbit sedangkan saya
sudah kehilangan satu moment.
Rona Sunrise di Minggu pagi (Taken By : Deden Hamdani).
|
Deden Hamdani adalah seorang guru
seni budaya yang juga penggiat fotografi dan jebolan seni rupa Universitas
Negeri Jakarta. Saya mengenal lelaki ini ketika saya mengikuti trip ke gunung
Semeru pada bulan Juli 2013. Dia tipikal tukang
foto yang mampu mencari dan mencuri moment yang saya sendiri belum tentu ngeh. Kemampuan fotografinya cukup baik
dan orangnya juga asyik untuk diajak berburu objek. Sedangkan Dimas Yulianto,
seorang guru seni rupa yang juga adik kelas dari Deden Hamdani sewaktu kuliah
di UNJ, adalah orang yang humoris dan sama-sama menggeluti dunia fotografi
namun dengan gaya serta tipikal yang berbeda. Dimas lebih cenderung menggunakan
teknik makro pada beberapa hasil jepretannya, oleh sebab itu dia tidak akan
pernah menyesal meski harus bangun sesiang apapun.
Deden pun tertidur setelah makan siang.
|
Pagi hari adalah waktu dimana
orang-orang kembali kepada rutinitasnya untuk mengais rezeki, aktivitas seperti
itulah yang telah saya dan Deden nanti. Dengan masing-masing membawa kamera,
kami berjalan tanpa alas kaki menuju muara. Pagi itu, suasana di dermaga begitu
ramai oleh para nelayan yang baru saja kembali dari laut. Tampak oleh saya
nelayan yang sibuk mengatur haluan perahunya agar tidak bersenggolan dengan
perahu lain yang sedang ditambatkan di pinggir dermaga. Disisi lain, ada
seorang nelayan yang sedang merajut jala. Sementara itu, seorang pemuda belia
terlihat sedang menurunkan muatan beserta ikan hasil tangkapan nelayan dari
sebuah sampan. Beberapa moment yang ada didepan mata tadi berhasil kami
abadikan kedalam memori kamera.
Deden sedang membidik sebuah perahu milik Dinas
Perikanan dan Kelautan yang sedang berlalu dari muara (Dok : Deden Hamdani).
|
Saya dan Deden segera memutar arah ke
pelelangan dan pasar ikan untuk melihat aktivitas yang tengah berlangsung
disana. Sontak aroma amis pun mulai menyeruak, namun kami tidak merasa terusik
karenanya. Pagi itu, suasana di pasar cukup ramai sehingga kami tidak bisa
terlalu lama berada disitu, khawatir mengganggu lalu-lalang orang-orang yang akan
berbelanja. Gambar yang saya dapat di pasar hanya sedikit, meski demikian
cukuplah kiranya untuk menjadi pelengkap pada tulisan ini. Deden mengajak saya
mencari warung kopi, akhirnya kami berdua menyudahi perburuan singkat di pagi ini.
Memotong ikan yang baru datang dari laut menjadi
salah satu aktivitas para pedagang di pasar ikan.
|
Langit mulai terang, pengunjung di
pantai Santolo mulai banyak yang berdatangan dari berbagai daerah. Suasana
sekitar bibir pantai menjadi sangat ramai baik oleh mereka yang bermain air
maupun oleh sekelompok anak muda yang hanya berjalan-jalan diatas hamparan
pasir yang berbuih. Dengan lensa tele yang masih menempel pada badan kamera, saya
kembali membidik beberapa objek yang terbilang “enak” untuk dicandid.
Mungkinkah ini yang dinamakan “bonus” bangun
di pagi hari...?
|
Selepas makan siang, saya dan yang
lainnya bergegas meninggalkan pantai Santolo untuk mengunjungi pantai Sayang
Heulang yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ini. Sambil mengamati
barang-barang yang diletakkan di bagian belakang mobil, pandangan saya lalu terhenti pada sosok Dimas dan Okki. Tidak ada yang ganjil pada keduanya, hanya
saja hari itu mereka berdua tampak kompak dengan mengenakan celana pantai hitam
bermotif bunga sepatu. Setelah merasa tidak ada satupun barang yang tertinggal,
kami pun segera pamit kepada pasangan suami istri pemilik penginapan itu.
Foto bersama sebelum meninggalkan pantai Santolo.
|
Menjelang siang, kami mulai
meninggalkan tempat itu untuk kemudian menuju pantai yang berada tidak begitu
jauh dari pantai Santolo, yaitu pantai Sayang Heulang yang berada di desa
Mancagahar. Ketika kami tiba di pantai Sayang Heulang, suasana pantainya sangat
berbeda dengan pantai Santolo. Disini kami tidak menemukan seorang wisatawan
sama sekali, yang ada hanya satu atau dua orang lelaki yang sedang memancing
diatas hamparan bebatuan karang. Selain itu, matahari di tempat ini sangat
terik sehingga kerapkali hasil jepretan saya mengalami over exposure. Meski panas matahari sedang merajalela, namun toh akhirnya kami dimanja juga oleh deru
angin yang berkecepatan cukup tinggi. Karena faktor tingginya kecepatan angin
di tempat itu, maka gelombang air laut yang dihasilkan di pantai Sayang Heulang
bisa mencapai lima hingga enam meter. Gelombang air laut atau pipeline itu akan pecah saat menyentuh
tepian pantai yang permukaannya berlapiskan karang. Ketika gelombang itu menggelegar
membentur karang, pecahan ombaknya bisa membumbung ke udara dengan ketinggian
delapan meter. Dengan keadaan air laut yang seperti ini, wajar rasanya kalau
para wisatawan jarang ada yang berkunjung kemari, kecuali pada saat sedang
liburan panjang, untuk kepentingan fotografi ataupun untuk kencan kilat.
Seorang pemancing yang berhadapan langsung dengan
ganasnya ombak pantai Sayang Heulang.
|
Tidak jauh dari tempat dimana minibus
diparkir, terdapat menara pengawas yang dicat dengan warna merah cerah. Dari
atas menara kita bisa melihat garis cakrawala yang jadi pembatas antara langit
dan lautan dengan sangat jelas. Tanaman pandan laut (Pandanus Odorifer) yang bunga jantannya bisa digunakan sebagai
pengharum ruangan, tampak tumbuh rimbun disepanjang garis pantai Sayang
Heulang. Pantai ini juga memiliki pasir putih yang halus, sama seperti
tetangganya, pantai Santolo. Dengan berjalan menyusuri bentangan karang yang
menjorok ke arah lautan, anda bisa mengabadikan gambar berlatarkan gelombang
air laut yang tengah bergejolak, dengan catatan tetap harus waspada.
Para pencari rumput laut tetap berusaha
menyambung hidup meski dibawah terik yang menyengat dan diantara ancaman gelombang laut
yang tidak bersahabat.
|
Disebelah saya, seorang ibu dan anaknya terlihat
sedang mengumpulkan karung-karung berisi rumput laut yang nantinya bisa mereka
jual ke pasar ataupun ke pengepul, sementara diujung sana suaminya masih
berusaha menjemput harapan meski harus berkejar-kejaran dengan ombak laut selatan.
Tuntutan hidup membuat mereka harus bergumul akrab dengan ganasnya lautan,
bercanda dengan kematian yang setiap saat mengintimidasi. Meski hasil yang didapat sangat
tidak sebanding dengan kerja keras serta resikonya, namun bagaimanapun juga alam
tetap santun bersahaja dengan bermurah hati memberikan mereka sumber
penghidupan. Inilah potret kehidupan yang bisa didapat di pantai Sayang Heulang, yang tidak pernah mengenal istilah "kekinian" ataupun euforia trip di akhir pekan. Para pencari rumput laut itu akan terus mengurai peluh, tetap berjuang sekalipun tanggal merah terpampang.
Seorang perempuan pencari rumput laut sedang
membuka perbekalan untuk anaknya yang menanti di tepi pantai (Dok : Deden Hamdani).
|
ROTASI NAFAS
Letih terpejam
Sesaki malam penat mendalam
Merayap awan memerah jingga
Menahan gundah tangisnya
Dalam kelam......
Terkapar raga didera rutinitas
Tuntutan hidup hingga penghujung nafas
Begitu dan seterusnya
Meregang jiwa menjemput asa
Karena hidup tak sekedar tertawa
Namun membubuhkan dosa dan melukis luka
Bahagia jadi bingkainya
Ibadah sebagai harganya...
Jakarta, 3 September 2013
Letih terpejam
Sesaki malam penat mendalam
Merayap awan memerah jingga
Menahan gundah tangisnya
Dalam kelam......
Terkapar raga didera rutinitas
Tuntutan hidup hingga penghujung nafas
Begitu dan seterusnya
Meregang jiwa menjemput asa
Karena hidup tak sekedar tertawa
Namun membubuhkan dosa dan melukis luka
Bahagia jadi bingkainya
Ibadah sebagai harganya...
Jakarta, 3 September 2013
SANTOLO DALAM FOTO:
Tidak hanya didalam perjalanan saja, kebersamaan
pun tetap ada diatas meja makan (Dok : Okki).
|
Manggala mencoba mengayuh sampan ketika menyeberangi
muara.
|
Putri dan Firda.
|
Tampilan sisi lain pantai Santolo dengan landmark
berupa dermaga tua yang kondisinya sudah rusak..
|
Penasaran namun masih enggan berbasah-basahan.
|
Dimas terlihat heran dengan kedua ABG ini yang secara
tiba-tiba mengejar Andi.
|
Bermain air, sejenak melupakan persoalan yang menjadi
beban.
|
Okki belum tertarik untuk bermain air, ia masih
penasaran dengan gadget barunya.
|
Beberapa nelayan pantai Santolo yang baru saja melaut.
|
Mulai terbiasa bermain dengan elang laut yang satu
ini.
|
Elang laut yang sengaja dipelihara oleh pemilik
penginapan.
|
Sejak kapan bersiul bisa memikat burung elang...?
|
Ekspresi Dimas yang histeris sesaat setelah dipatuk
oleh sang burung.
|
Menjelang sore, akhirnya keempat orang ini mulai
berani keluar menuju pantai.
|
Deden Hamdani.
|
Dimas Yulianto.
|
Foto disaat senja.
|
Nurratri Utari.
|
Alung.
|
Eka Sitohang.
|
Rizki Rohayat.
|
Sukarno Manggalatama.
Yunisa Firda.
|
Putri Febrina.
|
Siap meluncur dengan Banana Boat.
Tanpa Camera Armor, saya harus turut ke tengah laut demi bisa mengabadikan mereka diatas Banana Boat.
|
Menuju ke tengah laut...!
|
One lap remaining.
|
It’s time to sunbathing (Dok : Deden Hamdani).
|
Melompatlah selagi bisa (Dok : Deden Hamdani).
|
Pose teraneh yang tidak pernah saya lihat sebelumnya (Dok : Deden Hamdani).
|
Putri, Ratri dan Perahu (Dok : Deden Hamdani).
|
Menikmati senja di tepi pantai.
|
Tepian pantai yang mulai berangsur sepi (Dok : Deden Hamdani).
|
Seperti inilah suasana pantai yang berada di seberang
muara. Disini, batu karang terlihat mendominasi pinggiran pantai (Dok : Deden Hamdani).
|
Sebuah dermaga lama yang sudah rusak. Menjelang sore
hari, banyak orang yang mengunjungi tempat itu untuk memancing (Dok : Deden Hamdani).
|
Bongkahan batu karang besar ini berada tidak jauh
dari dermaga lama (Dok : Deden Hamdani).
Ditempat ini, warga sekitar sudah terbiasa mandi atau bermain air manakala hari sudah beranjak sore (Dok : Deden Hamdani).
|
Bersantai di hamparan pasir yang lembut sambil menanti
hidangan ikan bakar (Dok : Okki).
|
Malam itu, Okki menjadi asisten Manggala untuk urusan
memanggang ikan (Dok : Okki).
|
Suasana pagi hari di tepi muara.
|
Beberapa nelayan yang tidak melaut lebih
memilih untuk merajut jala, seperti halnya lelaki ini.
|
Seorang nelayan yang baru kembali dari laut tengah
menurunkan ikan hasil tangkapannya.
|
Pemuda ini akan membawa ikan-ikan yang ada ditangannya
menuju pelelangan.
|
Deden tengah membidik objek dengan kamera saya.
|
Saya menjajal kamera Olympus milik Deden.
|
Seorang pengunjung wanita sedang membasahi kaki
dan lengannya dipinggir pantai.
|
Menyusuri bibir pantai yang mulai ramai didatangi
oleh para wisatawan.
|
Saya dan Dimas.
|
Andi juga tidak mau ketinggalan.
|
Putri dan sapu terbangnya.
|
Take one.
|
Take two.
|
Take three.
|
Take four.
|
Akhirnya, Manggala mau mencoba difoto dengan gaya
terbarunya.
|
Firda pun tak mau kalah eksis.
|
Pemancing ini merasa agak ngeri juga manakala ombak yang menggulung
mulai datang ke arahnya.
|
Suasana pantai Sayang Heulang yang terlihat sepi dari pengunjung.
|
Ratri berpose diatas karang dengan gaya khasnya.
|
Perempuan pencari rumput laut ini tengah meletakkan barang-barang
keperluannya pada sebuah batu karang.
|
Saya masih penasaran dengan beberapa objek yang
ada di pantai Sayang Heulang.
|
Mengintip kehidupan dari balik viewfinder.
|
Rumput laut yang menyatu dengan bebatuan karang,
sekilas hampir menyerupai bongkahan-bongkahan kecil batu Olivine atau Peridot.
|
Menyongsong ombak laut selatan yang liar bergejolak.
|
Inilah moment dimana para pencari rumput laut harus
berurusan dengan maut.
|
Lelaki paruh baya ini sedang membawa rumput laut
hasil perolehannya untuk kemudian dimasukkan kedalam karung.
|
Meski hari sedang terik, namun kencangnya angin
yang berhembus cukup membuat saya betah menyusuri pantai yang berkarang ini.
|
Mengabadikan gambar dari atas menara pengawas.
|
Okki, Firda dan Andi sedang berteduh dibawah rimbunnya
pohon pandan laut.
|
View yang didapat dari atas menara pengawas (Dok : Deden Hamdani).
|
Meski di hari Minggu, pantai Santolo terlihat sangat lengang.
|
Dari kejauhan, tampak asap putih memanjang yang
berasal dari sebuah roket yang diluncurkan oleh stasiun peluncuran roket milik LAPAN
di Pameungpeuk (Dok : Deden Hamdani).
|
*Thanks to Deden Hamdani & Rizki Rohayat for
the pics.
Wihhh mantap kak. Seru, saya saja asli Garut belum dapat kesempatan nikmatin Sayang Heulang. Waaah kapiheulaaan gening :D
BalasHapusFoto-fotonya komplit sekali kak, bagus-bagus lagi. Oh ya, alangkah lebih baiknya lagi kalau informasi mengenai budgetnya juga dijelaskan kak, buat teman-teman yang mau ngtrip ke Garut juga, hanya masukan, hehe.
Keep writting kak :)
Iya, seharusnya begitu. Tapi karena pada saat itu saya sewa ELF dari Jakarta, saya jadi ga berani berspekulasi mengenai budget yang harus dikeluarkan untuk naik transportasi umum. Lain kali, saya coba kesana pakai kendaraan umum deh biar tau budget pastinya, hoho.
BalasHapus