Jum’at
pagi tanggal 27 November 2015, sekitar pukul setengah sepuluh di suatu tempat
di Jakarta Pusat, langit yang tadinya cerah kini sudah beranjak gelap terhalang
gumpalan awan. Gundah mulai menggelayuti benak kami yang sesaat lagi akan
meninggalkan ibukota untuk menuju Purwokerto. Saya, Riki, Puspo, Ari, Adit, dan
Randi akan melakukan pendakian ke gunung Slamet, Jawa Tengah, melalui jalur
Bambangan, kabupaten Purbalingga. Tidak lama kemudian, langit segera
menganugerahi bumi dengan derasnya hujan manakala Bajaj biru yang kami tumpangi
baru mencapai Taman Solo. Kendaraan tersebut terus melaju ditengah hujan deras dan
gelegar halilintar, hingga akhirnya kami tiba di stasiun Senen dengan kondisi
setengah kuyup.
Desain
sticker untuk pendakian kali ini.
|
Lokasi gunung Slamet dilihat melalui Google Map. |
Repacking
dan bersiap untuk menuju stasiun Senen.
|
Setibanya
kami di stasiun Senen, Jakarta Pusat.
|
Hujan deras yang disertai angin
kencang melanda disekitar stasiun Purwokerto sore hari itu. Kereta api Bengawan
yang baru saja mengangkut kami dari stasiun Senen, mulai meninggalkan stasiun
Purwokerto. Ada kegelisahan ketika angin kencang dan hujan deras masih terus
berkecamuk diluar sana, tak bisa kami bayangkan bila nanti saat kami melakukan
pendakian keadaannya akan sama seperti sekarang ini.
Tengah
beristirahat di stasiun Cirebon Prujakan, Jawa Barat (dok: Riki Prima).
|
Setibanya
kami di stasiun Purwokerto, Jawa Tengah (dok: Riki Prima).
|
Seorang lelaki paruh baya menghampiri
kami yang baru saja akan keluar stasiun. Ternyata orang itu adalah supir yang
akan mengantar kami ke basecamp di
Bambangan, Purbalingga. Ia bernama pak Supri, seorang driver yang direkomendasikan oleh temannya Riki. Lelaki itu sudah
hafal diluar kepala jam-jam kedatangan dan keberangkatan kereta-kereta di
stasiun Purwokerto, malah ia juga tahu estimasi waktu yang akan ditempuh oleh
suatu kereta ke stasiun yang akan ditujunya. Setelah kami sepakat mengenai
nominal pembayarannya, kami pun segera menaikkan carrier keatas mobil Avanza berwarna
silver. Mobil mulai melaju
meninggalkan stasiun Purwokerto.
Sosok gunung Slamet
dari kejauhan, difoto dari perbatasan Purwokerto – Purbalingga (dok: Riki
Prima).
|
Kami akhirnya tiba di basecamp Bambangan sekitar pukul 18.30
WIB. Udara dingin menyejukkan segera menyambut kami yang sudah penat bergumul
dengan polusi, kebisingan dan rutinitas di ibukota. Suasana di dusun Bambangan
kala itu sangat tenang karena setelah ba’da maghrib warga setempat lebih
memilih untuk beristirahat didalam rumah, justru malah lebih sering terdengar
gelak tawa dari para pendaki yang singgah di pondokan. Silhouette gunung Slamet yang perkasa terlihat kekar menjulang
disisa-sisa cahaya senja yang kian redup ditelan kegelapan. Sebagai gantinya, pijar
purnama yang tak lagi sempurna mulai hadir menghiasi langit cerah tak berawan.
Derap langkah para pendaki terdengar
pagi itu, beberapa dari mereka yang tadi malam beristirahat di basecamp terlihat mulai bergegas menuju
pos pendaftaran untuk meregistrasi setiap kelompoknya. Pos pendaftaran terletak
tidak jauh dari basecamp tempat saya
dan yang lainnya menginap. Selepas mandi dan sarapan, kami memutuskan untuk
memulai pendakian pada pukul 07.30 WIB mengingat gunung Slamet memiliki track yang cukup panjang dan melelahkan,
selain itu kami juga menghindari kemalaman atau kehujanan ditengah-tengah
perjalanan.
Pondok pendaki yang sudah berada di ketinggian
sekitar 1.300 meter diatas permukaan laut.
|
Saya mendongak ke arah puncak Slamet
yang tertutup oleh gumpalan awan putih, namun saya tahu itu bukanlah awan
melainkan badai gunung. Badai semacam itu pernah saya alami sebelumnya ketika
saya mendaki gunung Semeru pada tahun 2013. Kelihatannya saja tenang, namun
akan terasa sangat jauh menyeramkan bila berada langsung di area yang tertutup
gumpalan putih tersebut. Tidak perlu saya beritahu teman-teman yang lain
perihal badai gunung tadi, toh tidak
lama lagi mereka akan segera mengalaminya.
Tampilan
gunung Slamet dilihat dari dusun Bambangan pada pagi hari. Di puncaknya tampak
badai gunung yang berwarna putih seperti awan.
|
Kami meninggalkan basecamp untuk terlebih dahulu melapor
di pondok pemuda, dan perjalanan pun dimulai.
POS
PENDAFTARAN – POS I (1.937 MDPL)
Riki dan
Randi didepan pondok pemuda, pondok resmi untuk mengurus perijinan mendaki
(dok: Riki Prima).
|
Selepas melakukan registrasi di
pondok pemuda (pos pendaftaran) yang memiliki ketinggian sekitar ± 1.300 meter
diatas permukaan laut, kami segera mengambil jalur setapak yang berada disebelah
kanan yang nantinya akan melalui perkebunan warga dan lapangan. Disitu, mata
kita akan disuguhi berbagai jenis tanaman sayur-sayuran, terutama tanaman
bawang daun, tomat, cabai merah dan cabe rawit yang tampak lebih mendominasi.
Setelah melalui perkebunan, kita akan memasuki hutan pinus dan damar, dengan
tanjakan-tanjakannya yang ringan namun cukup menguras banyak stamina. Bisa
dibilang jalur menuju pos I merupakan jalur yang memakan waktu paling lama,
karena di tempat itu tubuh seorang pendaki akan menyesuaikan diri terlebih
dahulu dengan medan dan ketinggiannya. Ditambah lagi, pada siang hari jalur
menuju pos I merupakan jalur yang tidak sepenuhnya terlindung dari paparan
sinar matahari sehingga banyak pendaki yang memutuskan untuk berteduh dibawah
pohon.
Rute
pendakian menuju puncak gunung Slamet via Bambangan.
|
POS
I : Pondok Gembirung (1.937 MDPL)
Trek
selepas pondok pendaki menuju pos I.
|
Tepat pukul 11.20, saya akhirnya menjejakkan kaki di pos I atau
Pondok Gembirung. Cuaca saat itu memang sedang cerah dan terik sehingga jaket
PDL hitam yang saya kenakan sudah hampir basah oleh peluh. Di pos tersebut ada
sebuah barak atau shelter dan sebuah
warung kecil hasil karya warga setempat yang mengais rezeki dengan cara
menjajakan makanan dan minuman kepada para pendaki yang beristirahat. So, anda jangan terkejut apabila nanti
sebelum menginjakkan kaki tepat di pos I anda sudah diteriaki bahkan ditawari
mendoan atau es jeruk oleh para pedagang yang berada di pos ini.
Sebelum
menginjakkan kaki di pos I, kita harus melalui tanjakan terjal semacam
ini terlebih dahulu.
|
Pos I adalah tempat yang masih
memungkinkan kita untuk melihat dusun Bambangan dari kejauhan dan secara
terbuka. Para pendaki yang akan beristirahat pun bisa menggunakan shelter yang tersedia di tempat itu
untuk bermalam atau sekedar tidur-tiduran saja. Didalam pondokan terdapat kursi
yang terbuat dari potongan batang-batang pinus dan juga terdapat sebuah
pembaringan yang bisa ditempati sekitar sepuluh orang. Selepas dari pos I,
kondisi jalanan akan terus menanjak dan mulai memasuki vegetasi hutan yang
lebih rapat.
Saya
didepan shelter I atau Pondok Gembirung.
|
Shelter di
pos I yang bisa dijadikan tempat untuk bermalam bagi pendaki. Bila sedang akhir
pekan, shelter tersebut biasa ditempati oleh para pedagang.
|
POS
II : Pondok Walang (2.256 MDPL)
Jangan takut terkena sengatan sinar matahari, karena di jalur menuju
pos II cenderung tertutup oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Dikarenakan
terbebas dari teriknya matahari, tanah yang kami pijak pun jadi sedikit lebih lembab
dan teksturnya didominasi oleh pasir juga batu kerikil. Sepanjang perjalanan
dari pos II menuju pos III, kita akan melewati tanaman arbei hutan yang
menjorok ke jalur pendakian. Buah arbei hutan disini berukuran lebih kecil dibandingkan
dengan yang sering saya temukan di beberapa gunung di Jawa Barat, buah ini masih
aman untuk dikonsumsi.
Beristirahat sejenak di jalur yang sudah memasuki hutan. |
Ada baiknya anda tetap berada di
jalur yang jelas terlihat oleh mata dan jangan coba-coba keluar dari track atau menerabas tanaman-tanaman
yang berada dipinggir jalur pendakian kalau tidak ingin meringis kesakitan.
Tanaman pulus (Laportea Stimulans, syn) atau sejenis jelatang, tampak tumbuh subur di
pinggir jalanan. Tampilannya memang low
profile, namun racun dari bulu sengat yang terdapat pada daun dan batangnya
akan membuat kulit yang terkena tanaman tersebut menjadi merah, terasa panas
dan sangat perih.
Sesaat
sebelum kehujanan di jalur pendakian.
|
Hujan turun saat kami tiba di pos II,
kami memutuskan untuk berteduh sampai hujannya mereda. Sebetulnya di pos II
atau Pondok Walang ini bisa untuk mendirikan sekitar lima buah tenda, hanya
saja medan yang terbilang cukup datar dan sedikit lebih lapang sudah diambil
alih oleh pedagang sehingga membuat para pendaki enggan membuka tendanya
ditempat itu, kecuali dalam keadaaan genting atau faktor kemalaman. Menurut
seorang pendaki yang asli Purbalingga, pedagang-pedagang itu mulai berdatangan
dan membuka lapak hampir disetiap pos (kecuali pos IV, VI, VIII dan IX)
semenjak pendakian gunung Slamet via Bambangan kembali dibuka untuk umum pasca
erupsi tahun 2014. Belakangan ini, beberapa gunung di pulau Jawa sepertinya
tidak hanya diinvasi oleh para pendaki saja, para pedagang yang notabene warga
kampung sekitar pun turut memanfaatkan euphoria pendakian tersebut.
Beberapa
pendaki tengah berteduh dari hujan di pos II.
|
Berteduh
sambil menikmati hidangan yang dijajakan oleh seorang pedagang di pos II.
|
POS
III : Pondok Cemara (2.510 MDPL)
Sekitar pukul 15.30 WIB, kami tiba di Pos III. Hujan masih terus
mengguyur hutan disepanjang lereng gunung Slamet. Lahan di pos III tidak cukup
untuk menampung banyak tenda, apalagi dalam kondisi hujan seperti saat itu. Banyak
pendaki yang akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka ke pos berikutnya
ketika hujan mulai mereda.
Beristirahat
di pos III sambil menikmati teh hangat dan beberapa potong mendoan yang sudah dingin (dok: Riki Prima).
|
POS
IV : Samaranthu (2.688 MDPL)
Pos IV ini berada di ketinggian 2.688 meter diatas permukaan
laut, nyaris sama dengan ketinggian yang dimiliki oleh gunung Papandayan di
Garut, yaitu 2.665 MDPL. Biasanya, kebanyakan pendaki akan menghindari bermalam
di tempat ini karena adanya desas-desus yang berasal dari warga sekitar yang
mengatakan kalau pos Samaranthu angker. Dari namanya saja sudah jelas memiliki
konotasi yang kurang nyaman untuk didengar, Samaranthu artinya hantu yang tidak
terlihat (jelas yang namanya hantu bersifat gaib, tidak bisa dilihat dengan
mata telanjang). Perihal reputasinya yang angker atau berhantu, itu semua
kembali lagi kepada setiap orang dalam menyikapinya.
Ari dan Puspo yang tertinggal jauh
semenjak di jalur menuju pos I, akhirnya tiba di pos IV disaat gelap mulai
menggerayangi hutan disepanjang jalur pendakian. Kedatangan mereka sekaligus
menghapus kegelisahan kami yang harap-harap cemas menanti mereka. Saya segera
membongkar daypack yang dibawa Ari
dan mengeluarkan tenda beserta logistik. Dengan dibantu oleh Puspo dan Ari,
tenda pun segera saya buka di lahan yang agak miring. Kami memutuskan untuk
bermalam di pos IV karena mendapat kabar dari beberapa pendaki yang baru saja
turun kalau pos V hingga pos berikutnya sudah tidak memungkinkan untuk
mendirikan tenda.
Bunga tengah
mengolah makanan ketika kami bermalam di pos Samaranthu (dok: Riki Prima).
|
Tenda milik saya rampung tepat pukul
18.00 WIB, dimana hutan disekitarnya tidak lagi diterangi oleh sinar matahari,
melainkan oleh cahaya headlamp dan
lampu tenda. Malam itu, pos Samaranthu yang katanya angker dan dihindari oleh
para pendaki, malah terlihat semarak dengan berdirinya enam buah tenda yang
benderang oleh masing-masing lampunya.
POS
V : Samyang Rangkah (2.795 MDPL)
Pukul 02.30 dini hari, saya dan
rekan-rekan yang lain beranjak untuk melakukan summit attack. Derap langkah dan desah nafas mengisi keheningan
hutan malam itu, uap yang berasal dari dalam tubuh tak henti-hentinya mengepul
baik dari lubang hidung maupun mulut. Sementara pekatnya kabut masih terus
menemani perjalanan kami meski ulahnya kerapkali menutupi pandangan dan jalur
pendakian. Temaram sinar rembulan menyeruak dari balik ranting-ranting
pepohonan, suara binatang malam menemani perjalanan kami dan beberapa pendaki
lainnya. Sesekali hembusan angin dari arah puncak menderu halus menyusuri
lereng dan lembah, riuh mendayu bagai orkestrasi yang digubah sendiri oleh sang
alam.
Adegan summit attack seperti waktu di Semeru kembali terulang di tempat
ini, dimana kami harus mengantri dalam meniti jalur pendakian yang sempit dan
kadang terjal demi bisa hinggap di titik tertinggi. Jelas ini bisa menjadi
kerugian bagi mereka yang selama ini ke puncak gunung hanya berorientasi kepada
golden sunrise dan lautan awan saja.
Suara orang-orang yang tengah bercengkrama
dan tertawa mulai terdengar tidak jauh dari tempat kami beristirahat. Setelah
saya hampiri sumber suara tersebut, saya melihat sebuah papan petunjuk yang
menandakan bahwa kami telah sampai di pos V atau Samyang Rangkah. Sinar
rembulan yang pucat pasi akibat terhalang kabut bisa kami saksikan dengan jelas
tanpa terganggu oleh dahan-dahan pepohonan. Tidak jauh dari papan petunjuk tadi
terdapat sebuah pondokan yang terbuat dari batang-batang kayu dan seng, yang didalamnya
bisa dijadikan tempat untuk membuka tenda, namun saat itu saya melihat ada
pedagang yang juga memanfaatkan pondokan tersebut untuk membuka lapak
dagangannya. Sebenarnya di pos V ini terdapat sumber air yang biasa digunakan
oleh banyak pendaki untuk mengisi kembali perbekalan airnya, namun dari pihak ranger setempat memberitahukan kepada
kami kalau sumber air saat ini sedang keruh karena baru beberapa hari turun hujan,
selain itu belum lama juga ditemukan bangkai babi hutan di sumber air tersebut.
Maka lengkap sudah penderitaan, pendakian kali ini hanya mengandalkan
perbekalan air yang kami bawa dari basecamp
saja.
POS
VI : Samyang Katebonan (2.909 MDPL)
Waktu sudah menunjukkan pukul
setengah empat lewat lima menit manakala kami menginjakkan kaki di pos VI atau
Samyang Katebonan. Dengan space yang
tidak begitu luas dan tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda lebih dari lima
buah, saya dan teman-teman yang lain pun memutuskan untuk tidak terlalu lama
beristirahat di pos VI ini, selain itu agar kami juga bisa cepat sampai di
puncak. Samar-samar, saya sudah bisa menyaksikan tanaman Edelweiss tumbuh tidak
jauh dari pos VI ini, sayangnya tidak satupun dari mereka yang terlihat merekah.
POS
VII : Samyang Kendit (3.040 MDPL)
Setibanya saya di pos VII atau Samyang Kendit, suasana di tempat
itu sudah sangat ramai oleh beberapa pendaki yang tengah beristirahat maupun
oleh mereka yang memang sengaja bermalam disitu. Pekik Adzan dari seorang
pendaki menggema ditengah udara dingin dan berkabut, sontak hiruk-pikuk di pos
tersebut pun menjadi hening seketika. Beberapa dari mereka segera mencari lahan
untuk melaksanakan shalat subuh berjama’ah. Hanya sekitar lima menit saja kami
beristirahat di pos VII, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju pos
VIII.
POS
VIII : Samyang Jampang (3.092 MDPL)
Pukul 04.20 kami tiba di Samyang
Jampang atau pos VIII. Ditempat itu hanya berdiri sekitar tiga sampai empat
tenda saja. Keadaan di pos VIII sedikit lebih terbuka daripada pos VII atau VIII
dan tanpa pondokan. Bermalam di pos ini lebih beresiko terkena angin secara
langsung karena sudah memasuki batas vegetasi dan rawan badai. Disini pohon-pohon
besar sudah mulai jarang ditemukan dan lebih banyak ditumbuhi oleh semak,
lamtoro juga Edelweiss. Kabut tebal betul-betul menyulitkan kami dalam
melangkah, ditambah angin yang semakin berhembus sedemikian kencangnya.
Disebelah timur, langit mulai berpendaran cahaya meski belum seutuhnya menjamah
jalan yang kami lalui.
POS
IX : Pelawangan (3.172 MDPL)
Di pos Pelawangan, langit sudah mulai
sedikit terang sehingga saya sudah bisa mematikan headlamp, namun puncak masih belum juga bisa terlihat karena
terhalang pekatnya kabut yang berbaur dengan deru angin, dan inilah yang saya
maksud di bagian awal mengenai badai gunung. Selamat datang didalam badai
gunung!
Randi
diantara pekatnya kabut, di pos Pelawangan (dok: Riki Prima).
|
Selepas dari pos IX, puluhan pendaki
yang juga saat itu hendak menuju puncak samar-samar terlihat dari balik tirai
kabut. Mereka tengah berusaha menggapai bebatuan cadas yang tajam dan
berpotensi melukai lengan atau merobek sarung tangan. Beberapa dari mereka ada
yang merasa terbantu oleh tongkat daki atau trekking
poles yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan menopang sebagian beban
tubuh ketika melakukan pendakian.
Jalur menuju puncak Slamet memang
terbilang menyulitkan, bisa dikatakan hampir sama sulitnya dengan jalur menuju
puncak Ceremai dan Mahameru. Setelah melewati pos Pelawangan, kita akan melalui
jalur berbatu yang menanjak dan permukaannya ditutupi oleh pasir juga kerikil.
Sepatu gunung merk apapun tentu akan mengalami kesulitan manakala berhadapan
dengan jalur terjal berkerikil seperti itu, apalagi banyak bongkahan batu hasil
sedimentasi lahar yang kedudukannya tidak solid dan berpotensi runtuh ketika
dijadikan tempat berpijak.
Puncak
Slamet (3.428 MDPL)
Selepas dari pos Pelawangan, jalur sudah semakin melebar dan
cenderung bercabang. Jarak pandang semakin sempit, headlamp yang saya gunakan hanya mampu menjangkau sekitar tiga
meter saja. Jalur yang memiliki banyak pecahan seperti itu bila sudah
dikombinasi dengan kabut tebal sangat memungkinkan seorang pendaki mengalami
disorientasi atau kehilangan arah pada saat turun dari puncak, terlebih di
tempat itu tidak ada petunjuk yang akan mengarahkan seorang pendaki untuk
kembali ke jalur yang telah ia lalui. Jalur ini mirip dengan track yang ada di Semeru, yang kadang bisa
menuntun seorang pendaki keluar dari jalur yang semestinya dan berujung tragis
di dasar jurang sedalam 75 meter yang tersohor dengan istilah Blank 75.
Riki tengah beristirahat di jalur menuju puncak Slamet (dok: Riki Prima). |
Saya, Riki, Bunga dan Adit masih
berusaha mendaki jalur berbatu yang kadang membuat kami merosot atau
tergelincir. Sesekali Riki dan Bunga mendahului saya untuk kemudian saya susul
kembali, begitu dan seterusnya. Semakin tinggi kami mendaki, badai gunung
semakin menghantam kami dengan sangat liar, menerpa dan berputar-putar dari
berbagai arah disertai riuh gemuruhnya. Ditengah badai itu saya merasakan sakit
pada bagian telinga, terasa berdengung dan kepala sedikit pening juga. Mata dan
lubang hidung saya tak henti-hentinya meneteskan air. Rasa sakit di kedua
telinga ini semakin menjadi saja dan saya baru sadar kalau saat itu saya sama
sekali tidak mengenakan down jacket, pelindung
wajah juga sarung tangan dari
semenjak berada di pos V. Akhirnya saya menepi ke sebuah batu yang berukuran lumayan
besar untuk membuka carrier dan
mengenakan jaket bulu angsa. Sesekali kami harus berlindung dibalik batu,
bahkan harus berjalan dengan sedikit membungkuk atau merangkak bila anginnya
sudah sedemikian kencang. Timbul kekhawatiran pada adik saya, Bunga. Apa anak
itu sanggup mencapai puncak dalam keadaaan yang tidak bersahabat seperti ini, pikir
saya. Namun, saya jadi merasa yakin setelah melihat dia masih tetap semangat
untuk menjejakkan kakinya hingga menggapai puncak meski kerapkali langkahnya tertahan
badai atau tergelincir. Saya menyusul Bunga sambil tetap memberikan semangat,
dia pun segera mengikuti saya.
Bunga masih tetap
semangat untuk memacu langkahnya meski ditengah cuaca yang tidak bersahabat
(dok: Riki Prima).
|
Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB, saya
kembali mendaki dengan menaiki dinding batu yang cukup besar dan memanjang. Setelah
saya berhasil menaiki batu tersebut, sontak terdengar gelak tawa dan pekik
membahana. Saya masih belum tahu ada apa dan darimana sumber kegaduhan tersebut
karena jarak pandang yang sangat terbatas, sampai akhirnya saya melongok dengan
jelas ke balik dinding batu itu. Ya Tuhan, ternyata batu besar tadi merupakan
ujian terakhir bagi semua pendaki yang berdatangan ke tempat ini. Saya baru
saja tiba di puncak bayangan, tak ada lagi jalan terjal yang menanjak dan semuanya
berubah menjadi rasa gembira manakala tidak jauh dari situ tampak jalur menuju
puncak.
Samar-samar,
dibelakang kami tampak beberapa pendaki yang juga masih berusaha mendaki (dok:
Riki Prima).
|
Sesampainya di puncak bayangan, mata
saya menyelisik satu-persatu ke arah teman-teman saya. Puspo terlihat duduk
berlindung dibalik dinding batu, Riki nampak bersorak-sorai sambil mengibarkan
bendera biru yang ia bawa, Ari terlihat menitikkan air mata, ia tak kuasa
menahan haru manakala saya menghampirinya untuk memberikan ucapan selamat. Saya
kembali menaiki dinding batu tadi untuk mencari Bunga, dan ternyata ia sudah berada
di puncak bayangan. Terpaan badai gunung kembali menyambut saya dan seluruh
pendaki yang berada di puncak bayangan itu dengan suara yang bergemuruh,
beberapa dari mereka tampak ada yang mengabadikan moment tersebut dengan berselfie
atau merekamnya dengan mode video. Seketika
itu juga saya merasakan menggigil, kedua telapak tangan dan wajah mulai
membeku, mungkin karena sudah tidak ada lagi aktivitas yang dilakukan sehingga
panas tubuh yang semula bisa mengimbangi suhu udara sedingin itu secara
perlahan menurun.
Saya, Ari, Riki dan
Puspo setibanya di titik tertinggi di Jawa Tengah.
|
Saya mengajak Riki, Bunga, Puspo,
Adit, Ari dan Randi untuk menuntaskan perjalanan ini di titik tertinggi di Jawa
Tengah, tempat tersebut hanya berada sekitar dua puluh meter dari puncak
bayangan. Mereka setuju, saya segera melangkahkan kaki menyusuri jalur sempit berbatu
yang akan menuntun kami ke arah puncak yang sebenarnya. Badai gunung kembali
berhembus dari arah utara, hampir saja tubuhku terpelanting kesebelah kiri,
kearah kawah. Mau tak mau saya harus berjalan agak membungkuk dan jalur sempit
itu akhirnya bisa saya lalui meski secara perlahan. Samar-samar saya bisa
menyaksikan sebuah plang yang bertuliskan puncak Slamet tertancap kokoh di
tanah berbatu tersebut, lalu seorang pendaki lain terlihat dari balik kabut. Ia
berjalan menghampiri saya dan segera memberikan ucapan selamat kepada saya;
Puncak Slamet dilihat melalui citra satelit Google Map. |
“Akhirnya sampe juga, bro...!” ucapnya
dengan suara yang sengaja diperkeras agar bisa terdengar jelas. Ternyata dia
adalah pendaki yang sebelumnya saya jumpai ketika bermalam di basecamp Bambangan. Ya, akhirnya kami
berhasil juga menginjakkan kaki di puncak Slamet, puncak dengan ketinggian
3.428 meter diatas permukaan laut.
Riki.
|
Saya.
|
Bunga.
|
Puspo “Samaranthu”. |
Ari.
|
Adit.
|
Randi.
|
Inilah rasa haru yang sesungguhnya,
yang datang secara spontan ketika saya dan teman-teman berhasil menjejakkan
kaki di puncak tertinggi di Jawa Tengah. Kami semua saling berangkulan ditengah
badai dan suhu udara yang mencapai minus empat derajat celcius. Ada rasa bangga
terhadap rekan-rekanku pada saat itu, termasuk adik saya sendiri yang meskipun
bertubuh mungil namun pantang menyerah dalam menuntaskan apa yang telah
dimulainya.
Lengkap
sudah kebahagiaan didalam kebersamaan saat itu... (dok: Riki Prima).
|
Dikarenakan badai, kami tidak
berjodoh dengan sunrise dan samudera
diatas awan ketika itu, namun bagaimanapun juga saya merasa harus bersyukur
karena alam lebih memilih untuk menggojlok kami dengan kabut tebal, hujan
deras, dan badai gunung yang sedemikian rupa. Karena dari situlah kami bisa
mengecap nikmatnya sebuah perjuangan, dan pengalaman tersebut jauh lebih indah
daripada hanya sekedar berburu sunrise ataupun
berselfie diatas lautan awan.
Foto
bersama sebelum kembali ke perkemahan.
|
Singkat kata, perjalanan menuju
puncak Slamet beberapa waktu lalu hanyalah sebuah perjalanan kecil, namun
memberikan dampak yang besar bagi kami dalam menyikapi hidup.
ELEGI
DI PUNCAK SLAMET
Bogor, 4 Desember 2015
Gemuruh
badai di puncak gunung
Mengundang
kabut pekat singgahi lerengnya
Alam
menyambut dalam balutan embun dan halimun
Mengumbar
salam santun pada sang pemilik langkah-langkah kecil
Yang
terseok diantara tanjakan terjal bercadas
Selamat
datang, wahai penjejak puncak
Diatas
tangga-tangga berlapis awan
Diatas
sana......
Berdamailah
dengan udara yang membekukan tubuh
Berkawanlah
dengan hujan yang membasuh wajah-wajah lusuh
Semoga
jiwa bersahaja
Senantiasa
ungguli ego dan ambisi kita
Diatas
puncaknya......
Rincian
Biaya Perjalanan
(27
November 2015):
Kereta
Api Bengawan jurusan St. Senen – Purwokerto
Rp.80.000
Sewa
mobil dari St.Purwokerto – basecamp Bambangan Rp.300.000
Simaksi Rp.5.000
Total : Rp.385.000
(30
November 2015):
Sewa
mobil dari basecamp Bambangan – terminal bus Bulupitu Rp.300.000
Tiket
bus ekonomi jurusan Purwokerto – Rawamangun Rp.60.000
Total : Rp.360.000
(Belum
termasuk perlengkapan, logistik dan biaya tidak terduga lainnya)*
(Untuk sewa
mobil, bila penumpangnya berjumlah 7 orang maka perorang dikenakan biaya ±
Rp.43.000)**
Informasi
Lainnya :
·
Jangan
terlalu mengandalkan sumber air di pos V, karena sumber air tersebut akan
mengalir ketika sedang musim hujan saja.
·
Bawalah
persediaan air sebanyak mungkin ketika masih berada di basecamp, jerry can atau water jug sangat dibutuhkan untuk penggunaan
air yang optimal selama di camp area.
·
Gunakan
sepatu gunung dengan sol kekar karena medan disepanjang jalur menuju puncak berbatu
dan berkerikil.
·
Trekking poles akan lebih membantu ketika tengah melakukan summit.
·
Pada
saat melakukan pendakian ke arah puncak, Gaiter
kadang diperlukan agar pasir dan bebatuan kecil tidak masuk kedalam sepatu.
·
Sebaiknya
menggunakan jasa kereta api untuk perjalanan pergi dan pulang. Berdasarkan
pengalaman juga cerita dari beberapa orang yang menggunakan bus, ditengah
perjalanan awak bus seringkali memindahkan penumpangnya ke bus lain, bahkan sering
mengalami keterlambatan.
·
Jalur
pendakian gunung Slamet merupakan jalur yang panjang dan melelahkan. Disarankan
agar melakukan persiapan fisik terlebih dahulu beberapa hari sebelum memulai
pendakian.
GALERI
FOTO :
Packing
ulang sebelum menuju stasiun Senen (dok: Riki Prima).
|
Santai sejenak sambil menunggu kedatangan Bunga
(dok: Riki Prima). |
Saya dan
Bunga.
|
Foto
bersama sebelum naik kedalam gerbong KA Bengawan.
|
Adit dan
Randi (dok: Riki Prima).
|
Di tepi
peron ketika tengah beristirahat di stasiun Cirebon Prujakan.
|
Suasana sarat mimpi dan dengkuran didalam
basecamp pendakian. |
Menghela
nafas di pagi hari yang mulai panas.
|
Di jalur
menuju pos I, dahan-dahan pinus kerapkali dijadikan tempat untuk berteduh.
|
Mencetak jejak di jalur bersemak. |
Tetap semangat meski terik mulai menyengat. |
Masih satu jam perjalanan lagi untuk sampai di
pos I. |
Plang di Pondok Gembirung. |
Ari “Basardus”
dan plakat puncak Slamet.
|
Masih betah mengambil gambar meski ditengah udara dingin. |
Adit: Berkibarlah
benderaku...
|
Semakin
berdiam diri, semakin mudah untuk menggigil.
|
Kubawa
memori 17 tahun lalu ke puncak tertinggi di Jawa Tengah.
|
Akhirnya, menjejak puncak bersama adik tercinta. |
Judulnya: anak
kecil naik gunung.
|
Sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk bisa melihat kawah gunung Slamet. |
Pendaki
lain yang juga turut menikmati suasana puncak Slamet yang berkabut.
|
Jarak
pandang menjadi terbatas manakala badai tengah melanda seperti ini.
|
Badai masih belum berlalu, nak. |
Bertahan
dari dinginnya udara puncak Slamet saat itu.
|
Mengukir kebersamaan diatas puncaknya... |
Ketika
beristirahat tidak jauh dari pos VIII, diantara sabana dan Edelweiss yang
meranggas.
|
Kembali
menuju perkemahan di pos IV.
|
Suasana di pos VIII. |
Dipertengahan
pos VII dan VIII, terdapat jalur tanah yang menyempit dan menyerupai lorong
dengan akar gantungnya.
|
Perjumpaan
tak terduga: Di jalur selepas pos VII ini, saya bertemu dengan seorang sahabat
dari Komunitas Pendaki Gunung di Google+ (KGPG). Beliau baru akan menuju puncak
siang itu.
|
Pos VI. |
Shelter di
pos V yang juga tidak luput dari invasi para pedagang.
|
Tempat kami
membuka tenda di pos Samaranthu. Suasananya tetap berbalut kabut meski siang
hari.
|
Bunga, Adit
dan Riki tengah menyiapkan hidangan makan siang sebelum kami turun ke basecamp
Bambangan.
|
Saya dengan
latar belakang gunung Slamet yang tampak bersih dari cincin badai (dok: Riki Prima).
|
Istirahat
di stasiun Purwokerto meski pada akhirnya kami pulang dengan menggunakan bus.
|
Mencari
kesibukan ditengah penantian dan kepastian untuk bisa kembali ke Jakarta menggunakan
jasa kereta api (dok: Riki Prima).
|
Hasil iseng ketika berada di terminal bus Bulu Pitu, Purwokerto. |
Suasana kala
senja di terminal Bulu Pitu, Purwokerto.
|
*Thanks to Riki Prima for the photo...
hore ada gua disitu :) Terima kasih Elegi di Puncak Slamet
BalasHapus:) Tulisan yang luar biasa ...
BalasHapusSangat ELEGI DI PUNCAK SLAMET :)
Itulah Gunung Slamet ... Gunung ini nyaris tak pernah berubah , mungkin emmang sudah tabiatnya sepert itu dari dulu
Thanks bro, semoga kita bisa bertemu kembali di pendakian gunung Slamet berikutnya :)
BalasHapusKeren keren...
BalasHapusKeren keren...
BalasHapusThanks brother sekaligus senior gw (ALDIANOVSKY).keren dah ahirnya perjalanan kita berahir di segelintir tulisan ini. smoga kita bisa menginjakan kembali kaki kaki ini di medan trek pendakian gunung slanjutanya. keep solid brooo
BalasHapusThanks juga buat kalian- VRADINA ASHOKA(BUNGA)-RANDY-ARY(BASARDUS)-ADIT-PUSPO(SAMARANTHU) dan buat para warga dusun Bambangan, sambutan hangat dan jamuan yang sangat amat memikat hati. Thank's good
Siiip, next stories are waiting us.
BalasHapussaya suka tulisan ... KUBAWA MEMORI 17 TAHUN LALU KE PUNCAK TERTINGGI DI JAWA TENGAH :)
BalasHapusBro, bisa minta contact dari mobil rentalnya..??
BalasHapusRencana Februari mw ke Slamet via bambangan.
Email ke yustinusdaddy@gmail.com
Thanks