Derap
langkah beberapa pasang sepatu mengusik malam yang mulai hening, mencetak
jejak-jejak kekar di setiap tanah basah yang kami lalui. Jumat malam tanggal 5
Februari 2016, saya, beberapa anggota Palapsa, dan tiga orang calon anggota
Palapsa, tiba di desa Girijaya, kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. Sekitar pukul 00.30 WIB, kami beristirahat di sebuah pos ronda yang
letaknya tidak jauh dari gapura pasarean Eyang Santri. Ya, saya kembali
berpartisipasi dalam pelantikan anggota Palapsa tahun ini yang memilih rute
dari desa Girijaya hingga ke puncak Salak I, lalu kembali turun ke desa Girijaya.
Adapun anggota Palapsa yang ikut serta didalam pelantikan kali ini diantaranya:
Pagi hari
didepan rumah kang Ali, Girijaya, Sukabumi.
|
Kak Djati
meluangkan waktunya untuk datang dan menemui tim yang akan melakukan pelantikan
anggota muda di pasar Cicurug, Sukabumi.
|
1. Hendi Roswandi (No PAL:8971013)
2. Andri Sutarno (No
PAL:8972018)
3. Suhaemi (No
PAL:8669059)
4. Eko Purwanto (No
PAL:9176022)
5. M.Usman (No
PAL:9568040)
6. Slamet Dwi Rahardja (Rimba Liar)
7. Dwiki Budiawan (Kabut Lembah)
8. Ari Saputra (Kabut
Lembah)
9. Sri Yuni Nur Linda (Kabut Lembah)
Sedangkan
ketiga calon anggota yang akan dilantik diantaranya:
1. Dimas Agung (No
AM:1600001)
2. Faisal Reza (No
AM:1600002)
3. I Putu Hening Cahya (No AM:1600003)
Logo PALAPSA
|
Lokasi gunung
Salak dilihat dari Google Map.
|
Ketiga calon
anggota muda sedang diistirahatkan didekat gapura pasarean eyang Santri, desa
Girijaya.
Sebelumnya, mungkin perlu saya
sedikit beberkan tentang Palapsa yang merupakan organisasi pencinta alam.
Palapsa atau Pencinta Alam Perguruan Ksatrya, Jakarta Pusat, adalah organisasi pencinta alam
yang lahir pada tanggal 25 Desember 1971 di desa Girijaya, Sukabumi.
Keanggotaan Palapsa terdiri dari alumni SMP, SMA dan SMK Ksatrya, pelajar SMA
dan SMK Ksatrya, bahkan ada juga yang berasal dari kalangan non perguruan
Ksatrya. Palapsa tidak selalu berorientasi kepada kegiatan-kegiatan yang
bersifat petualangan saja, bakti sosial pun kerap kali mereka adakan. Beberapa
anggotanya ada yang rutin mengikuti pelatihan penanggulangan bencana alam yang
diadakan oleh pihak Badan SAR Nasional. Palapsa sendiri bukan kelompok pencinta
alam yang terdengar baru di telinga saya. Sejak tahun 1994, saya sering
mendengar nama itu dari kedua orangtua saya yang juga eks pelajar perguruan
Ksatrya. Almarhum paman yang bernama Erwin Iskandar juga pernah menjadi
anggota Palapsa pada tahun 1976. Palapsa bukan organisasi
pencinta alam kemarin sore, yang terlahir langsung berkoar-koar tentang pelestarian
alam dan lingkungan. Tercatat sudah ada beberapa prestasi yang pernah diperoleh
dimasa jayanya dulu. Lomba Kebut Gunung yang diadakan oleh Ikatan Mahasiswa
Djakarta atau IMADA di gunung Gede pada era 70an, sempat beberapa kali diikuti
oleh Palapsa dan menjadikannya juara lebih dari sekali. Mungkin beberapa senior
seperti kak Jati, kak Yaya, kang Lukman, kak Alex, kak Sentot dan kak Heru yang
masih bisa menceritakan secara detail bagaimana mereka mengalami masa-masa
kejayaan Palapsa kala itu. Desember tahun ini Palapsa akan menjemput usianya
yang ke 45 tahun, dan itu bukanlah usia yang terbilang muda untuk sebuah
organisasi.
Chapter 1: Pondok Gusti Refill
Station
Tepat pukul 05.00 WIB, nada alarm
terdengar keras dari speaker seluler
milik seorang anggota Palapsa. Suaranya lebih menyerupai nada peringatan pada Tsunami Warning System ketimbang suara
alarm, pikir saya. Saat itu,kami bermalam di rumah kang Ali yang letaknya hanya
beberapa puluh meter saja dari rumah mang Aos, tempat yang biasa saya singgahi
bila hendak mendaki gunung Salak I. Ari dan ketiga calon anggota segera
menyiapkan cooking set untuk membuat
minuman dan makanan sebelum kami beranjak menuju flying camp. Tidak beberapa lama, beberapa gelas kopi, teh dan
sereal hangat sudah tersaji disusul mie instant sebagai menu sarapan pagi.
Tim sedang
mengadakan evaluasi setibanya di rumah kang Ali.
|
Putu dan
Faisal sedang memasak air untuk membuat sarapan dan minuman.
|
Ada perubahan rencana ketika tadi
malam kami mengadakan evaluasi perihal pengeluaran dana yang ternyata membengkak
dan diluar prediksi awal. Agar sisa dana yang ada bisa digunakan untuk pulang
sampai ke jakarta, maka bang Andri dan bang Eko memutuskan untuk melakukan
pelantikan di puncak Salak I namun tidak turun ke Girijaya lagi melainkan
melintas menuju Kawah Ratu dan turun di Pasir Reungit, Bogor. Bila nanti
kondisi cuacanya memang mendukung untuk turun melewati Kawah Ratu, maka
perjalanan kali ini sudah pasti akan lebih banyak memakan waktu dan tenaga
ketimbang pelantikan pada beberapa angkatan sebelumnya.
Sedikit arahan
dari bang Andri sebelum memulai perjalanan menuju flying camp.
|
Selepas sarapan, kami pamit diri
sekaligus menyempatkan mengambil gambar bersama sang empunya rumah. Sekitar
pukul 07.58, rombongan Palapsa mulai meninggalkan tempat tersebut.
Langkah-langkah kecil menghentak jalan sempit yang licin karena ditumbuhi
lumut. Sementara langit masih biru sempurna tanpa disesaki gumpalan awan,
disebelah kanan kami gunung Salak kian mengukuhkan puncaknya yang menjulang
perkasa menghimpit angkasa. Pendaran matahari pagi menguak selimut kabut
sehingga terlihat jelas kontur lereng serta lembahnya yang menghijau terlindung
rerimbunan. Desah nafas kami menyeruak dibalik kidung alam yang terlantun dalam
kicauan burung-burung kecil serta gemericik air parit yang mengalir dengan
jernihnya.
Foto bersama
kang Ali dan keluarga sebelum keberangkatan.
|
Beberapa saat kemudian, kami tiba di
satu tempat yang di kiri kanannya ditumbuhi pohon-pohon damar (Agathis Dammara). Sekarang
keadaan di tempat ini sudah tertutup rindangnya pepohonan damar, tidak seperti
ketika sepuluh tahun lalu dimana pohon-pohon damar tersebut tingginya baru
mencapai kurang dari satu meter saja sehingga terik matahari akan langsung
mengenai tubuh mereka yang sedang mendaki. Tidak lama kemudian, kami sampai di
sebuah tempat petilasan yang dulu kerap kali dikunjungi oleh eyang Santri untuk
bertafakur. Oleh warga setempat, petilasan itu dinamakan Pondok Gusti.
Puncak Salak
yang terlihat jelas meski dari kejauhan.
|
Nama eyang Santri mungkin terdengar
masih asing di telinga kita, namun siapa sangka kalau beliau ternyata adalah
guru dari HOS Cokroaminoto, Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan mantan presiden
Soekarno. Eyang Santri memiliki trah langsung dari Mangkunegara dan berguru
kepada Raden Ngabehi Ronggowarsito. Beliau memilih meninggalkan kampung
halamannya menuju desa Girijaya, Sukabumi, akibat diburu oleh pihak kolonial
Belanda karena enggan diajak bekerjasama. Di bukit Girijaya inilah eyang Santri
alias eyang Joyokusumo menghabiskan sisa hidupnya.
Tengah
beristirahat di Pondok Gusti, tempat petilasan eyang Santri.
|
Ada dua buah kolam berbentuk lingkaran untuk menampung air
yang berasal langsung dari gunung Salak yang terdapat di petilasan
Pondok Gusti. Sumber air ini biasa digunakan oleh para peziarah untuk kebutuhan
berwudhu atau minum. Saat itu air hanya tertampung di kolam yang berada di
jajaran paling atas saja, itupun harus secara perlahan ketika saya mengambil
airnya agar kotoran yang mengendap didasar kolam tidak ikut terangkat. Kami
mengisi ulang botol-botol air sampai kembali penuh untuk persediaan saat nanti kami
berada di flying camp dan tentu saja
untuk perbekalan selama menapaki track yang
mulai menanjak ini.
Ari dan Dwiki
sedang menanggapi banyolan dari ngkong Usman.
|
Di Pondok Gusti, kami melepas rasa
letih dengan mengumbar candaan. Untuk urusan yang satu itu, dijamin ngkong
Usman tidak akan kehabisan bahan banyolan. Seekor Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi) yang merupakan hewan endemik disekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), terlihat mengangkasa dengan sepasang sayapnya yang membentang lebar. Gunung Salak sendiri terpilih sebagai daerah burung penting dengan nomor registrasi ID075 oleh Bird Life, sebuah organisasi internasional pelestari burung. Bang Eko yang melihatnya terlebih dahulu, segera memberitahu saya untuk membidiknya dengan menggunakan lensa tele. Hingga kami akan melanjutkan perjalanan, elang tersebut masih saja berputar-putar bebas di udara.
Elang Jawa
yang sedang berputar-putar mengincar mangsa diatas bukit Girijaya.
|
Chapter 2: Tersesat...!
Tiga belas tahun yang lalu, sekitar 200 meter dari Pondok Gusti terdapat pohon jackpot.
Dinamakan pohon jackpot karena di
tempat itu dulu ada sebuah pohon yang menjulang lebih tinggi dari pohon-pohon
yang lain dan setiap pendaki yang mencapai tempat itu dipastikan selalu ada
beberapa dari mereka yang merasa mual hingga akhirnya muntah-muntah. Tapi itu
dulu, dimana punggungan bukit setelah Pondok Gusti masih dalam keadaan terbuka
tanpa penghalau sinar matahari. Sekarang punggungan tersebut sudah rapat oleh belukar
dan ranting liar yang menjorok hingga ke jalur pendakian, sehingga pendaki yang
melaluinya tidak akan tersengat terik dan terkena hembusan angin yang akan
mengakibatkan mereka pusing atau mual.
Saya, Dwiki dan ketiga calon anggota
Palapsa (capal) sudah memasuki pintu gerbang hutan Salak. Suasananya kian gelap
karena cahaya matahari tidak bisa menembus lebatnya pepohonan, seperti tengah
memasuki koridor alam yang terbuat dari dahan-dahan kokoh serta dedaunan. Tanah disekitar
hutan gunung Salak selalu basah meski tidak sedang musim penghujan, itu
dikarenakan gunung ini memiliki tingkat kelembababan udara sekitar 88% dengan
suhu bulanannya yang berkisar antara 19,7-31,8 derajat celcius. Mungkin bisa
dibilang gunung Salak adalah gunung yang memiliki tingkat kelembababan tertinggi dibanding dengan beberapa gunung yang ada di jawa Barat. Pakis hutan (Nephrolepehis Bisserata), Honje (Etlingera Elatior) dan tanaman Begonia hutan (Begonia Fusca) banyak tumbuh disini, ketiganya bisa dikonsumsi dan merupakan tanaman yang mendukung seorang pendaki untuk bisa survive. Setibanya kami
disebuah persimpangan, Dwiki yang berada di barisan paling depan mengambil
jalur kiri yang memang lebih terang dan terbuka ketimbang jalur kanan yang
tidak tampak akibat terhalang ranting-ranting pohon. Saya masih berada
dibelakang ketiga capal saat kami menemui sebuah persimpangan lagi, hingga
beberapa saat kemudian Dwiki terlihat kebingungan dan menghentikan langkahnya, ia bertanya
kepada saya;
“Beneran
yang ini jalurnya, kak?”
“Ada apa emangnya?” timpal saya sambil berdiri di jalan setapak yang disebelah
kirinya terkikis akibat longsor. Dwiki memberitahu kalau jalur yang sekarang
ada dihadapannya sangat curam untuk didaki. Setelah melihat langsung rupa
tanjakan yang dimaksud tadi, mendadak saya merasa ada kejanggalan karena tidak
seharusnya kami melalui jalur securam itu setelah melewati pintu gerbang hutan.
Faisal dan
Dwiki sedang beristirahat diperbatasan pintu masuk hutan gunung Salak.
|
“Balik arah, kita nyasar!” perintah saya kepada yang lain.
Kami berlima segera berbalik arah, kembali ke persimpangan terakhir. Setibanya
di persimpangan itu, Dwiki segera mengambil jalur yang satunya lagi diikuti
saya, capal, dan dua orang pendaki dari organisasi pencinta alam Tradyakala
yang juga tampak tersesat. Tidak lama kemudian, kami tiba di satu tempat yang lagi-lagi
nyaris terlihat seperti persimpangan. Khawatir jalur yang kami pilih ini
termasuk jalur yang salah, maka kami memutuskan untuk menunggu rombongan yang
lain tiba di tempat tersebut. Ari yang baru saja datang bersama Slamet, bang
Andri dan Linda, segera diperintahkan untuk mensurvey jalur yang mengarah ke
kanan, sementara Slamet mengecek jalur yang berada disebelah kiri dan agak
menanjak. Hasil laporan dari Slamet dan Ari sama-sama meragukan, fix saat
ini kami tengah tersesat!
Seperti inilah
Linda yang selalu bisa bergaya meski kenyataannya kami sedang tersesat.
|
Hampir sejam lamanya kami menunggu
rombongan yang berada di belakang. Sinar matahari sudah berkali-kali timbul
tenggelam tersapu kabut pekat yang melayang perlahan terbawa angin. Mereka yang
ditunggu belum juga menampakkan batang hidungnya, sedangkan semakin lama kami
berdiam diri maka semakin menggigil tubuh ini. Pekik seekor Owa Jawa (Hylobates Moloch) terdengar tidak jauh
dari tempat kami beristirahat, ia seperti sedang bersenandung ria di tengah
belantara gunung Salak yang menjajakan kepadanya kehidupan yang lepas dan bebas.
Tersesat: Relax
dulu sambil menanti kedatangan rombongan yang paling terakhir
|
Tidak lama kemudian, ngkong Usman dan bang
Hendi muncul. Ia mengatakan kepada saya, seharusnya kami mengambil arah ke
kanan pada saat berada di persimpangan pertama sebab ia melihat ada tali
plastik berwarna merah terikat disebuah ranting yang menggantung. Setelah bang
Helmi dan bang Eko datang, kami segera kembali ke persimpangan pertama yang
baru saja dimaksud oleh ngkong Usman. Setibanya di tempat tersebut, saya
melihat seutas tali plastik berwarna merah yang terikat pada sebuah ranting
disebelah kanan persimpangan. Saya memeriksa ke jalur sebelah kanan untuk
memastikan kalau jalur yang sekarang ini benar, dan memang seperti yang saya
harapkan: sepuluh meter dari pertigaan jalur tadi terdapat tali plastik
bermotif police line yang terikat di
sebuah pohon. Saya yakin itu pasti tanda milik bang Eko ketika tahun lalu ia
mendaki gunung ini bersama beberapa temannya. Setelah memastikan jalur yang
satu ini jalur yang tidak menyesatkan, saya segera memanggil yang lain untuk lanjut
bergerak. Bang Helmi yang memang sengaja membawa golok tebas, segera ia
keluarkan dari sarungnya untuk membabat habis ranting-ranting yang menghalangi
jalur, yang sempat membuat rombongan ini terkecoh.
Membuka
peralatan memasak, it’s time to lunch...!
|
Inilah konsekuensi bila kita mendaki menuju puncak Salak I melalui desa Girijaya. Track disini memang terkenal memiliki
banyak percabangan akibat ulah para penebang yang kian merajalela merambah
hutan, mereka membuka jalur baru sedangkan jalur yang lama dibiarkan semakin tertutup tanaman akibat sangat jarangnya pendaki yang melalui jalur ini. Pendaki dengan
jam terbang tinggi pun tidak tertutup kemungkinan untuk tersesat disini,
itu sebabnya tali atau pita dengan warna cerah dibutuhkan sebagai penanda
manakala kelak kita menjumpai persimpangan. Siang itu, rombongan Palapsa
tersesat berjamaah dan menyebabkan waktu kami terbuang sebanyak kurang lebih
dua jam.
Ekspresi
kekesalan bang Hendi yang tidak bisa mengakses internet didalam hutan.
|
Chapter 3: Senandung sunyi di flying camp
Pukul
13.30, saya dan ketiga capal akhirnya menjejakkan kaki di flying camp, sebuah tempat petilasan yang memiliki surau kecil dan
pondokan bagi para peziarah. Langit
beranjak gelap karena tertutup pekatnya kabut, gerimis pun turun seketika.
Tidak jauh dari tempat kami beristirahat, terdengar gelak tawa dari arah pondok
peziarah. Handy Talky saya nyalakan,
segera saya mengontak dan menginformasikan kepada bang Andri kalau saya dan
ketiga capal sudah berada di flying camp.
Bang Andri mengkonfirmasi, ia juga memerintahkan saya untuk mengecek keadaan di
pondokan apakah bisa digunakan untuk bermalam atau memang sedang digunakan oleh
pendaki lain. Saya segera menyusuri anak tangga yang menurun dan menghampiri
pondok peziarah. Tampak ada sekitar enam orang pendaki dari Tradyakala, Jakarta
Pusat, sedang berbincang-bincang dan akan meninggalkan tempat tersebut. Dua
diantaranya sempat saya temui manakala kami tersesat beberapa jam yang lalu.
Setelah memastikan kondisi pondokan aman dan siap digunakan untuk bermalam,
saya segera memanggil ketiga capal tadi untuk turun ke pondokan.
Dimas dan
Faisal di flying camp Salak.
Ngkong Usman, bang Andri, bang Hendi,
Ari, Linda dan Slamet tiba di pondokan beberapa menit kemudian. Kami sedikit
gelisah lantaran air yang disalurkan melalui selang tidak mengalir. Entah
sumber air didekat puncak sedang kering atau selangnya terputus di tengah
jalan, tapi dugaan yang pertama sepertinya tidak mungkin mengingat saat ini
sedang memasuki musim penghujan. Air hujan yang ditampung kedalam beberapa
nesting pun jumlah dan tampilannya tidak meyakinkan. Beruntung Slamet menemukan
air yang masih layak digunakan untuk memasak di satu tempat dekat pondokan. Ia,
Ari dan ketiga capal segera mengisi kembali botol-botol minum yang sudah kosong.
Meski tidak bisa memenuhi semua botol-botol minum, setidaknya kami kembali
punya cadangan air untuk bertahan hingga besok pagi.
Sudah hampir pukul empat sore namun
bang Helmi, bang Eko, dan Dwiki belum juga terlihat. Kalau menurut penuturan
Ari dan Slamet, bang Eko dan Helmi sudah tampak kepayahan karena ada masalah
pada kakinya. Bang Andri jadi sedikit khawatir sebab tak ada respon baik dari
bang Eko ataupun bang Helmi saat ia mencoba mengontaknya via handy talky. Ditengah-tengah kegelisahan
itu, tiba-tiba terdengar panggilan dari salah satu HT, bang Andri segera
menerima kontak tersebut. Ternyata itu suara Bang Eko yang meminta beberapa
capal atau anggota muda untuk turun menjemput dan membackup barang bawaan mereka. Bang Andri segera memerintahkan Ari
dan ketiga capal untuk turun dan menjemput ketiga orang terakhir tadi. Sekitar
lima belas menit kemudian, barulah bang Helmi, bang Eko dan Dwiki sampai di
pondokan disusul Ari dan ketiga capal, kekhawatiran bang Andri berakhir sudah.
Wajah cemas bang Andri saat sedang menunggu kabar dari ketiga rombongan terakhir. |
Sore itu, ngkong Usman membuka cooking setnya untuk memasak air. Lembah
dan ngarai yang menganga persis didepan pondokan tampak tertutup tebalnya
kabut, saya yakin tidak beberapa lama lagi halimunan itu akan segera terbuka
seiring dengan gerimis yang mulai mereda. Ketiga capal terlihat sedang mendapat
pelatihan gratis dari ngkong Usman tentang cara memasak nasi dengan menggunakan
nesting dan camping stove. Bila tidak
mengetahui tekniknya, tentu nasi yang dimasak bisa setengah matang bahkan
hangus pada bagian bawahnya. Ketiga capal tadi juga dituntut untuk bisa
menggunakan peralatan masak serta memasak, namun sejauh ini sepertinya baru
Putu saja yang terlihat piawai mengolah bahan makanan.
Putu yang sedang meracik sup Bali buatannya.
|
Kabut yang menutupi lembah akhirnya
menyingsing ke arah timur sehingga puncak Salak I dan lereng yang berada
dibawahnya sekarang terlihat dengan jelas. Sambil bercengkrama kami menikmati
pemandangan didepan mata itu dengan ditemani hangatnya kopi dan teh. Menatap ke
arah tenggara, kita bisa melihat gunung Gede dan Pangrango yang seperti sedang
melayang diatas permadani awan. Semburat lembayung jingga berpendaran di
penghujung senja, memikat beberapa ekor burung untuk berkicau diatas dahan
pepohonan. Temaram lampu-lampu kota mulai menyala dibalik pekatnya kelam.
Selepas makan malam, bang Andri, bang Hendi, bang Helmi dan bang Eko menuju
alam mimpinya terlebih dahulu. Ketiga capal pun sepakat untuk berbagi lapak
tidur di beranda pondokan, sementara Slamet dan Ari memilih untuk terlelap
didalam kamar pondokan. Saya, ngkong Usman dan Linda masih betah untuk
menikmati suasana sabtu malam di flying
camp dalam berbagai macam obrolan. Linda tampak antusias menanyakan kepada
saya cara membuat suatu tulisan, ternyata ia sudah terlanjur berhutang janji
dengan bang Andri untuk menyerahkan sebuah karya tulis selepas dari pendakian
ini.
Akhirnya bang
Andri bisa tertidur pulas setelah bang Helmi, bang Eko dan Dwiki tiba di flying
camp.
Jarum jam terus merayap hingga ke
angka sebelas, kami bertiga memutuskan untuk bergegas tidur karena perjalanan esok
hari masih sangat panjang. Malam itu suasana di flying camp terdengar riuh dengan dengkuran. Diluar pondokan, belantara
raya yang senyap berpadu dengan pekatnya gelap. Desau angin yang menyusuri
lembah terdengar mengalun indah, ciptakan senandung sunyi yang melepas lelah.
Penampakan gunung Gede–Pangrango di kala senja yang saya ambil dari flying camp.
|
SENANDUNG SUNYI DARI FLYING CAMP
Bogor, 22 Februari 2016
Redup mentari senja
Semburat
lembayung berpamit dari langit
Gelap
merajai semesta raya
Tanpa
gemintang nihil purnama
Hanya
temaram lampu-lampu kota
Diantara
pekatnya belantara
Kunikmati
embun lembah yang singgah
Membasuh
rasa lelah
Jadi
pelengkap kisah...
Karena
kelam malam tak lagi mencekam
Ketika
tarian angin santun mengucap salam
Kepada
para sahabat sang alam
Chapter 4: Menjelujur
jejak menuju puncak
Pukul 07.00 pagi, hari minggu tanggal
7 Februari 2016, tim ini sudah bersiap-siap akan melanjutkan perjalanannya ke
puncak I gunung Salak. 2 jam yang lalu, saya masih enggan bergumul dengan
dinginnya udara pagi yang menyelisik sekujur tubuh manakala terbebas dari jaket
dan kantung tidur. Kami sarapan dengan menu seadanya pada pukul enam lewat,
botol-botol air yang kemarin telah terisi kini mulai berkurang kembali setelah
terpakai untuk membuat sarapan. Praktis sekarang kami harus mengirit penggunaan
air untuk minum sampai kami menemukan sumber air yang letaknya tidak begitu
jauh dari puncak.
Camping stove yang sedang digunakan untuk memasak air. |
Saya, Ari dan ngkong Usman didapuk
untuk berjalan paling depan agar bisa lebih dulu mencapai mata air. Saya kira,
para senior yang pernah ke Salak I melalui jalur Girijaya sudah mengetahui
letak sumber air tersebut, ternyata mereka sama sekali belum mengetahuinya.
Saya sendiri lupa-lupa ingat akses masuk menuju mata air lantaran sudah sepuluh
tahun tidak mengambil air dari tempat itu. Lagipula, sekarang lokasinya pun
mungkin sudah tertutup belukar atau ranting-ranting karena hanya para peziarah
saja yang tahu akan keberadaannya, pendaki jarang sekali ada yang mengetahui.
Perjalanan kami lanjutkan, radius
seratus meter selepas flying camp
jalur yang akan dilalui masih terbilang tidak terlalu menguras stamina. Saya
dan Slamet akhirnya mendahului Ari dan ngkong Usman, menyibak ranting-ranting
yang menjorok ke arah jalanan, kadang harus membungkuk atau melalui beberapa dahan
pohon yang tumbang ke badan jalan. Ada kalanya harus sedikit bersusah payah
mendaki jalur yang terbilang cukup terjal, ada juga spot yang mengharuskan kami menggunakan teknik scrambling saat melipir pinggiran jalan yang tergerus longsor
dengan hanya mengandalkan celah dinding berbatu sebagai tempat untuk
berpegangan. Saya dan Slamet susul-menyusul, sementara ngkong Usman dan Ari
sudah tidak terlihat dari pandangan. Ngkong Usman sudah tidak lagi seperti tiga
belas tahun yang lalu dimana saat itu saya menyaksikan sendiri bagaimana ia
mendaki jalur ini dengan cekatan meski dengan carrier yang menempel di badan. Ya, faktor usia memang tidak bisa dimanipulasi
dengan tindakan yang direkayasa atau berpura-pura seolah masih belia. Namun
berkurangnya kelincahan seorang pendaki yang beranjak tua bukanlah masalah,
karena saat melakukan pendakian ia tidak lagi mengandalkan kegesitannya,
melainkan menggunakan pengalamannya.
Nafas saya mulai tersengal karena
semakin mendekati puncak medannya semakin aduhai. Saat itu Slamet sudah
tertinggal, namun masih bisa saya dengar suaranya ketika ia berteriak memanggil
saya dan ngkong Usman. Saya sudah memasuki track
yang jalurnya semakin licin karena ada banyak genangan air akibat hujan, warna
tanahnya pun cenderung kekuning-kuningan. Hal itu mengindikasikan kalau saya
sudah tidak berada jauh dari sumber air, hanya saya masih harus mencari
persimpangan untuk menuju ke tempat tersebut. Pada tahun 2002, pencinta alam
dari SMA Regina Pacis di Bogor atau biasa disebut dengan Recipala, pernah
memasang plakat besi di persimpangan mata air itu, namun pada tahun 2006 saya
kembali kesini bersama Redi (Palapsa 2005) dan Awang (Palapsa 2001), benda
tersebut sudah tidak ditemukan lagi.
Saya berbelok ke arah kiri setiap
tampak percabangan, sampai tiga kali saya mencoba mengecek namun semuanya bukan
jalur menuju mata air. Apa mungkin jalurnya sudah terhalang oleh dedaunan atau
dahan-dahan pohon, entahlah. Masih terus mendaki jalanan yang curam dan semakin
licin, hingga keadaan hutan disekitar saya mulai agak terang karena terjamah
sinar matahari. Saya mendongak ke atas, ada sebuah pohon dengan dahan yang
besar dan lurus. Pohon tersebut menjulang tinggi melebihi pohon-pohon
disekitarnya, saya percepat langkah menuju ke arahnya. Setelah melalui
tanjakan-tanjakan yang curam, akhirnya saya tiba didekat pohon tinggi tadi dan
medannya pun sudah tidak lagi menanjak seperti sebelumnya, malah terbilang
datar. Sedikit mencurigakan sebab jalur menuju mata air tidak terang dan tidak sedatar
ini. Tidak lama kemudian, didepan saya melihat ada sebuah plang besi dan
persimpangan. Plang tersebut ternyata merupakan milik TNGHS yang memberi
petunjuk antara menuju ke Cidahu dan Puncak Salak I, artinya saat itu saya
sudah berada sangat dekat dengan puncak, dengan kata lain saya sudah bablas
melewati akses menuju sumber air, sue! Sekarang sisa air minum saya tidak lebih
dari setengah botol lagi, semoga saja ngkong Usman berhasil menemukan mata air
tersebut.
Dimas, saya
dan ngkong Usman sedang berteduh diantara dahan-dahan Cantigi yang daunnya lumayan rindang.
|
Chapter 5: Inaugurasi
di puncak Salak
Tampilan
gunung Salak melalui citra satelit Google Map.
|
Saya menjejakkan kaki di puncak Salak
I pada pukul 09.25 disusul oleh ngkong Luken dan ketiga capal. Suasana puncak
kebetulan sedang ramai, beberapa kali saya berpapasan dengan pendaki-pendaki
remaja yang tengah berselfie dengan
tongkat narsisnya, terhitung ada sekitar enam tenda yang berada tempat itu.
Setelah satu rombongan berkemas dan meninggalkan area puncak, saya dan yang
lainnya segera meletakkan barang bawaan dan beristirahat tidak jauh dari plang
puncak Salak I. Terik matahari kembali pamer digjaya, membuat kami harus
bersembunyi dibalik bayang-bayang belukar arbei hutan (Rubus Reflexus). Sambil menunggu kedatangan anggota yang lain,
saya memerintahkan ketiga capal untuk memetik buah arbei hutan untuk dikonsumsi,
hitung-hitung mengimplementasikan teknik survival kepada mereka.
Suasana puncak
Salak I yang saat itu tengah disinggahi oleh beberapa pendaki.
|
Bila hari sedang cerah, dari tempat
ini kita bisa melihat puncak Salak II yang berada di sebelah barat laut puncak
Salak. Pada tanggal 21 Februari tahun 1987, track
di Salak II pernah meminta korban dari kalangan pendaki yang juga masih
berstatus sebagai pelajar. Sekitar empat orang pelajar STM Pembangunan Jakarta
Timur ditemukan tewas, tiga jenazah ditemukan dalam keadaan terbaring basah
sedangkan yang satunya lagi ditemukan dalam kondisi telanjang bulat dan kakinya
patah. Pada tanggal 9 Mei tahun 2012, gunung Salak kembali tersohor setelah
pesawat Sukhoi Superjet 100 menabrak dinding utara gunung Salak I, 45 orang
tewas dalam tragedi itu.
Putu dan Dimas, capal yang lebih dulu tiba di puncak Salak I.
|
Bang Andri Sutarno tiba di puncak
pukul setengah sebelas siang, Slamet segera menyuguhinya dengan segelas kopi
putih dan setangkap roti berselai strawberry. Menurut rencana awal, seharusnya
kami sudah melakukan upacara pelantikan anggota baru tepat pada pukul 10 siang
ini, namun faktor teknis di lapangan rupanya masih selalu unggul ketimbang wacana
atau retorika. Berkali-kali bang Andri mencoba menghubungi bang Eko melalui handy talky namun tidak ada jawaban,
malah saluran kami sepertinya bocor sehingga ada orang lain yang berbicara
menggunakan bahasa Jawa di frekuensi yang sama. Menjelang pukul 11.00, bang
Hendi, bang Helmi, Linda lalu disusul oleh Dwiki dan bang Eko akhirnya tiba di
puncak, acara pelantikan jadi mulur sejam.
Bang Helmi dan
bang Hendi akhirnya sampai juga di puncak Salak I. Dimana ransel milik bang
Helmi...?
|
Pukul 11.19, semua anggota Palapsa
mengenakan pakaian dinas lapangannya kecuali bang Eko, ketiga capal dibariskan.
Dwiki dikultuskan menjadi pemimpin upacara, sementara bang Hendi sebagai
pembina. Upacara pengukuhan anggota baru Palapsa atau inaugurasi berlangsung
lancar meski di puncak sedang ada pendaki yang berkemah, namun mereka tampak
menghargai kami dengan hanya duduk diluar barisan sambil menyaksikan proses
pelantikan yang sedang berlangsung. Setelah proses simbolisasi rampung, tiga
anggota Palapsa lainnya yakni: Slamet, Dwiki dan Linda, juga akan mendapatkan nomor keanggotaan Palapsa
setelah mereka menyelesaikan karya tulisnya, semoga ketiganya bisa segera memperoleh nomor keanggotaannya. Inaugurasi sudah selesai, ketiga
capal telah resmi menjadi anggota muda Palapsa dengan nama angkatan Tri Kikam
dan angkatan ini sepertinya menjadi angkatan yang pertama kali dilantik di
puncak Salak. Pukul 11.48, kami melakukan sesi foto bersama sebelum melanjutkan
perjalanan turun ke shelter Badjuri.
Proses upaca
pelantikan anggota muda Palapsa 2016 di puncak Salak I.
|
Chapter 6: Tanjakan Ngehe dan jembatan Shiratal
Mustaqim
Saya, Slamet, Dwiki, Ari dan ketiga
anggota muda yang baru saja dilantik, mempercepat langkah demi bisa melintasi
Kawah Ratu sebelum hari gelap. Jalur dari puncak I menuju shelter Badjuri
memang tersohor karena medannya yang terbilang cukup ekstrim dan saya telah
mengetahui reputasi track ini sejak
lama meski belum pernah melaluinya. Menurut penuturan dari beberapa teman yang
pernah melewati jalur ini, dulu setiap akan melintas dari puncak I ke Kawah
Ratu para pendaki harus menyediakan webbing
karena ada beberapa track yang
mewajibkan si pendaki naik atau turun tebing dengan menggunakan teknik rappelling. Salah satu turunan curam yang
dimaksud oleh teman saya tadi baru saja saya lalui namun masih terbilang aman
terkendali sebab kemiringannya tidak terlalu parah. Tali sling yang disambung
dengan webbing terlihat sudah
terpasang di tempat itu sehingga sekarang para pendaki tidak perlu lagi membawa
webbing.
Pukul 12.42 siang, mendadak rombongan
yang ada didepan saya terhenti, seperti ada sesuatu yang membuat langkah mereka
terhambat. Setelah saya berhasil menghampiri rombongan, baru saya bisa
mengerti mengapa mereka menghentikan langkahnya. Ternyata ada tebing curam
setinggi 6-7 meter dengan tingkat kemiringan nyaris 90 derajat. Bebatuan tempat
berpijak terlihat berlumut dan basah akibat embun, tingkat kesulitan pun semakin
bertambah. Karena belum memiliki nama, maka saya menamai spot itu dengan nama Tanjakan Ngehe.
Slamet sudah menghilang entah kemana, Ari, Putu, dan Dimas sudah berhasil
menuruni tebing tersebut. Sekarang giliran Faisal, ia terlihat grogi saat harus
berbalik badan menghadap dinding batu. Beberapa kali bang Andri menasihati
Faisal agar tetap kuat berpegangan pada tali webbing yang berwarna merah itu. Pegal juga rasanya mengantre di jalur
sempit semacam ini, sedangkan Faisal baru menuruni tebing beberapa depa saja. Tak
lama kemudian, Faisal akhirnya berhasil sampai di zona aman meski secara perlahan.
Sekarang giliran saya tapi tas kamera yang saya letakkan didepan malah
menghambat pergerakan. Ari akhirnya mengambil tas kamera itu, dan saya bisa
turun dengan leluasa meski menyalahi peraturan dalam teknik rappelling. Bang Andri dan Ari seperti terlihat kebingungan karena saya sama sekali tidak turun menggunakan tali webbing, justru malah membelakangi dinding tebing sambil berpegangan pada celah-celah bebatuan selama menuruni turunan tersebut, maklum saya tidak
pernah belajar teknik-teknik mountaineering. Perjalanan pun kembali dilanjutkan.
Bang Andri tengah
membantu Linda menuruni Tanjakan Ngehe yang curam.
|
Harus diakui bahwa jalur yang satu
ini jauh lebih aduhai ketimbang jalur Girijaya, terbukti dengan adanya jalan
setapak sepanjang hampir dua meter yang kiri dan kanannya langsung terpampang
jurang yang menganga. Untuk yang phobia
ketinggian, tentu akan merasakan pusing manakala melewati jalur itu. Karena tak
ada satu pun dahan pohon yang bisa dijadikan penyeimbang tubuh, akhirnya saya
lebih memilih untuk berjalan dengan agak membungkuk agar tidak merasakan
pusing.
Tiba-tiba saya mendengar Slamet yang
berteriak memanggil saya dan bang Andri. Kami berdua menghampiri Slamet,
semakin lama jalan yang kami lalui semakin mengecil dan disebelah kanan kami
tampak jurang dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Samar-samar saya bisa
melihat sosok Kawah Ratu dari atas situ meski terhalang kabut, aroma sulfur pun
terasa menyengat. Kami melihat ada jalur sepanjang satu setengah meter yang
terputus akibat tergerus longsor, Slamet sudah berada di seberang jalan yang
terputus tadi. Slamet menginstruksikan kami untuk kembali ke belakang dan ambil
jalur alternatif disebelah kiri. Ternyata memang ada jalur alternatif selain
jalur yang barusan saya lalui, tidak lama kemudian saya dan bang Andri sudah
berada di sebuah tanjakan yang agak curam. Ada seutas tali webbing yang sudah terikat kencang disebuah dahan pohon yang
tumbang, saya menggunakan tali tersebut untuk mendaki sisi jurang.
“Ini dia jembatan shiratal mustaqim, bang Al. Tapi sekarang udah
putus. Dulu pas gue kemari sama bang
Eko jembatan akarnya masih ada” ucap Slamet sambil
menunjuk pada jalan yang terputus yang dulunya ternyata jembatan akar gantung.
Tamat sudah hikayat jembatan shiratal mustaqim di jalur pendakian puncak I via shelter Badjuri. Jembatan yang terbuat dari akar-akar pohon yang saling terjalin dan menggantung ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi para pendaki gunung Salak. Sedikit saja melakukan kesalahan dalam melangkah atau berpegangan, maka jurang sedalam ratusan meter yang berada disebelah kanan (apabila dari arah puncak) siap melumat tubuh si pendaki naas tersebut. Saya melongok kearah jurang ketika kabut mulai tersibak oleh angin, sungguh mengerikan pikirku saat itu. Saya dan Slamet kembali bergerak, sedangkan bang Andri memantau yang lain di jalur bekas jembatan shiratal mustaqim tadi.
Tamat sudah hikayat jembatan shiratal mustaqim di jalur pendakian puncak I via shelter Badjuri. Jembatan yang terbuat dari akar-akar pohon yang saling terjalin dan menggantung ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi para pendaki gunung Salak. Sedikit saja melakukan kesalahan dalam melangkah atau berpegangan, maka jurang sedalam ratusan meter yang berada disebelah kanan (apabila dari arah puncak) siap melumat tubuh si pendaki naas tersebut. Saya melongok kearah jurang ketika kabut mulai tersibak oleh angin, sungguh mengerikan pikirku saat itu. Saya dan Slamet kembali bergerak, sedangkan bang Andri memantau yang lain di jalur bekas jembatan shiratal mustaqim tadi.
Chapter 7: Air...!
Setelah melalui tiga kali turunan
curam serupa tanjakan ngehe dan
jembatan shiratal mustaqim, saya
sempat tumbang di tempat yang sedikit luas dan datar akibat kehabisan air minum
semenjak berada di puncak Salak. Gerimis mulai turun namun saya sama sekali
belum beranjak untuk mengambil raincoat dari dalam daypack atau melanjutkan perjalanan. Nafas saya turun naik, berharap ada sumber air
terdekat dari tempat saya terkapar tadi. Tiba-tiba, Putu dan Dimas datang dan
turut beristirahat didepan saya. Putu yang melihat botol air milik saya sudah
melompong akhirnya menawarkan air minum miliknya kepada saya, pucuk di cinta
ulam tiba! Seperti mendapatkan nyawa baru, saya pun bangun dan melanjutkan
perjalanan bersama ngkong Usman, Putu dan Dimas.
Satu setengah jam sudah kami berjalan
dari ketika melewati jembatan shiratal
mustaqim. Bang Andri berhasil melewati saya dan ngkong Usman, sedangkan
Putu serta Dimas sudah jauh meninggalkan kami untuk menyusul Slamet. Dibelakang
saya dan ngkong Usman ada Faisal yang berjalan sangat lambat, bahkan ada satu
adegan dimana ngkong Usman sampai frustasi dan jengkel akibat gerakan Faisal
yang dianggap menghambat laju ngkong Usman. Sebab bagaimanapun juga seorang
senior tidak akan meninggalkan adiknya berjalan sendirian ditengah rimba
belantara yang belum pernah ia lalui sebelumnya. Ketika kami melewati turunan
curam untuk yang kesekian kali, ngkong Usman tampak berulang kali menasihati
Faisal yang kembali grogi dalam mempraktekkan teknik rappelling.
Ngkong Usman
yang sedikit jengkel saat menasihati Faisal yang (kembali) grogi saat menuruni
turunan yang agak curam.
|
Asam lambung saya kambuh lantaran
lapar, mulai terasa mual sehingga saya kerap kali membuang ludah. Tenggorokan
mengering tanpa ada asupan air sama sekali, sedangkan shelter Badjuri masih jauh. Sudah
hampir pukul empat sore manakala saya memasuki spot kolam lumpur yang dikelilingi oleh tanaman pandan berduri. Seandainya di gunung Salak masih terdapat hewan langka seperti badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus), pasti hewan itu akan puas bermain di kubangan lumpur semacam ini. Disini kita harus jeli dalam memilah jalur setapak yang aman kalau tidak ingin
terpeleset atau terperosok kedalam lumpur sedalam setengah meter. Tidak ada
sumber air disekitar situ kecuali lumpur, akhirnya saya terus berjalan sambil memperlambat langkah
agar tidak terlalu lelah.
Sudah sekitar lima kali saya melewati
kolam berlumpur, ngkong Usman tak lagi terlihat dari pandangan. Saya hanya
mengikuti tanda-tanda berupa tali plastik yang diikatkan pada sebatang pohon
saja apabila menemui persimpangan. Faisal sudah tertinggal jauh dibelakang, untuk
menunggu anak itu rasanya menjadi hal yang menyebalkan. Harapan saya saat itu hanya
ingin menemukan sumber air dan minum sepuas-puasnya. Saya pun kembali
mempercepat langkah hingga akhirnya saya menemukan sungai kecil, namun saya
urung mengambil airnya untuk diminum karena tidak terlalu jernih.
Tiba-tiba dari kejauhan Slamet dan ngkong Usman berteriak memanggil saya,
memberitahu kalau shelter Badjuri sudah sangat dekat. Setelah lima menit
berjalan mengikuti jalur yang sudah ada, akhirnya sampai juga saya di
persimpangan Badjuri. Bang Andri terlihat sedang duduk santai sambil menikmati
segelas white coffee hangat, ia
memberitahu kepada saya arah menuju sungai. Tanpa pikir panjang, saya segera
menyusul ngkong Usman dan Slamet yang sudah terlebih dahulu berada di sungai.
Papan petunjuk
di persimpangan shelter Badjuri.
|
Saat itu baru pukul lima sore ketika
saya menemukan sungai dengan air yang sangat jernih yang berada tidak jauh dari
simpang Badjuri. Botol minum segera dikeluarkan dan langsung saya isi penuh
untuk kemudian saya minum sepuas-puasnya. Segar nian, tenggorokan ini akhirnya kembali
dibasahi oleh segarnya air sungai di gunung Salak. Setelah mengisi botol minum
hingga full dan membasuh wajah, saya,
ngkong Usman, Slamet dan ketiga anggota muda segera mencari lapak untuk
memasak. Bang Andri memilih untuk stay
di simpang Badjuri sambil menunggu rombongan yang tertinggal di belakang.
Aliran sungai
kecil yang terletak tidak jauh dari simpang Badjuri.
|
Chapter 8: Camping darurat
Selepas mengisi perut dengan
hangatnya mie instant dan minum sari jahe merah didekat sumber air, badan saya jadi sedikit lebih segar. Bang Hendi, bang Helmi, bang Eko, Ari, Dwiki dan Linda
baru saja tiba di tempat kami nyaris pukul enam sore. Wajah bang Helmi terlihat
pucat, tak bersemangat dan tampak mulai kepayahan. Selidik punya selidik ternyata
kakinya kembali mengalami masalah, bahkan bang Eko sampai berkali-kali meledeknya, hanya saja bang Helmi selalu pandai berkelit. Melihat kondisi bang
Helmi yang tengah mengalami cidera, saat itu juga ngkong Usman memutuskan untuk
menginap semalam lagi di lapangan gas.
“Kalau mau dipaksain turun sekarang juga gue
sih hayo aja, cuma kasian
si Kemet (Helmi). Kalau nanti die kenape-kenape di tengah jalan, gimane...?” ucap ngkong Usman yang
akhirnya diamini oleh bang Eko, bang Andri dan bang Hendi selaku anggota
senior.
Kejadian semacam ini pernah saya dan ngkong Usman alami ketika mendaki gunung Salak bulan April tahun lalu, dimana ada rekan kami, pelajar SMK Ksatrya yang mengalami cidera di kakinya sehingga dia tidak bisa melanjutkan perjalanan kembali ke desa Girijaya hari itu. Akhirnya ngkong Usman memutuskan pada kami untuk bermalam lagi di flying camp, membiarkan kondisi anak itu pulih dulu agar esok paginya bisa melanjutkan perjalanan pulang. Hanya sangat disayangkan, kejadian delayed sehari itu berujung kisruh di Whatsapp grup Palapsa. Mendadak nama saya dan ngkong Usman menjadi buah bibir, seolah jadi main suspect dari terlambatnya kepulangan anak-anak SMK yang ikut naik bersama kami. Sebagian orang ada yang terhasut, sebagian lagi ada yang bisa memahami keadaan dan kondisi kami saat diatas sana. Logikanya, seorang pendaki seperti bang Helmi saja yang sudah wara-wiri ke beberapa gunung masih bisa mengalami cidera, apalagi anak SMK itu yang sama sekali belum pernah mencium tanah gunung. Kembali lagi di kasus bang Helmi dan anak SMK Ksatrya tadi bahwa serapih-rapihnya manusia memiliki rencana, pada saat berada di lapangan realita bisa saja melenceng jauh dari ekspektasi, karena faktor teknis tidak bisa disepelekan seperti saat kita bebas mengumbar wacana atau berteori.
Kejadian semacam ini pernah saya dan ngkong Usman alami ketika mendaki gunung Salak bulan April tahun lalu, dimana ada rekan kami, pelajar SMK Ksatrya yang mengalami cidera di kakinya sehingga dia tidak bisa melanjutkan perjalanan kembali ke desa Girijaya hari itu. Akhirnya ngkong Usman memutuskan pada kami untuk bermalam lagi di flying camp, membiarkan kondisi anak itu pulih dulu agar esok paginya bisa melanjutkan perjalanan pulang. Hanya sangat disayangkan, kejadian delayed sehari itu berujung kisruh di Whatsapp grup Palapsa. Mendadak nama saya dan ngkong Usman menjadi buah bibir, seolah jadi main suspect dari terlambatnya kepulangan anak-anak SMK yang ikut naik bersama kami. Sebagian orang ada yang terhasut, sebagian lagi ada yang bisa memahami keadaan dan kondisi kami saat diatas sana. Logikanya, seorang pendaki seperti bang Helmi saja yang sudah wara-wiri ke beberapa gunung masih bisa mengalami cidera, apalagi anak SMK itu yang sama sekali belum pernah mencium tanah gunung. Kembali lagi di kasus bang Helmi dan anak SMK Ksatrya tadi bahwa serapih-rapihnya manusia memiliki rencana, pada saat berada di lapangan realita bisa saja melenceng jauh dari ekspektasi, karena faktor teknis tidak bisa disepelekan seperti saat kita bebas mengumbar wacana atau berteori.
Tim sedang
beristirahat tidak jauh dari simpang Badjuri untuk sekedar makan dan minum.
Bisa kita lihat disini ekspresi wajah bang Helmi yang sudah kepayahan akibat didera cidera.
|
Selepas Isya, tiga buah tenda telah
berdiri di sebuah lapangan yang luas. Bang Eko dan ngkong Usman menyalakan camping stovenya masing-masing untuk
memasak air dan membuat teh atau kopi. Bang Helmi yang belum lama terlihat
seperti orang yang sudah putus asa, sekarang malah tampil lincah dengan
berpindah-pindah tenda mulai dari tenda anggota muda hingga akhirnya bersemayam
di tenda milik bang Hendi. Karakter asli dari anggota Palapsa yang beken lantaran memiliki seragam lapangan terbanyak ini pun kembali kumat, saya dan ngkong Usman sampai pusing karena ada saja hal kecil yang selalu dikomentarinya.
Malam kian larut dan terus berlanjut,
hanya menyisakan saya, ngkong Usman, Ari dan Linda diluar tenda sambil
menikmati lagu dan kopi yang perlahan surut. Gerimis ringan berkali-kali turun,
namun beberapa menit kemudian kembali reda. Beberapa tenda pendaki yang berada
disebelah kiri kami sudah hening tanpa suara, sama halnya dengan ketiga tenda
Palapsa. Tiga orang anggota muda yang tadi pagi masih berstatus sebagai calon
anggota, kini sudah terlelap dan bersembunyi dibalik kantung tidur mereka. Menjelang pukul
00.00, saya memutuskan untuk masuk kedalam tenda karena pagi harinya kami harus
turun ke Pasir Reungit. Ngkong Usman, Ari dan Linda menyusul, kami sama-sama mempersiapkan
tenaga baru untuk kembali ke peradaban masing-masing.
Chapter 9: It’s time to go
home...
Pukul 06.00 pagi tanggal 8 Februari
2016, Slamet dan ketiga anggota muda terlihat tengah mempersiapkan sarapan dan
beberapa gelas minuman hangat sebelum tim meluncur menuju Pasir Reungit. Beberapa
anggota lainnya tampak sedang mengemasi barang bawaannya masing-masing baik
didalam maupun diluar tenda. Bang Helmi kembali berkicau, pertanda kondisinya
sudah membaik daripada kemarin sore. Kemudian kami sarapan bersama dengan menu
nasi hangat, ikan sarden dan mie kornet yang digelar diatas hamparan trashbag. Sekitar pukul tujuh, tim
bergegas meninggalkan lokasi camping darurat
tersebut.
Slamet dan
ketiga anggota muda sudah mempersiapkan sarapan sebelum kami turun ke Pasir
Reungit.
|
Sekitar pukul setengah delapan kami
sudah tiba di Kawah Ratu dan akan melintasi sungai Cikuluwung yang pagi itu
terlihat sangat indah dengan warna biru nan cerah laksana aquamarine, citra biru tosca itu dikarenakan oleh endapan belerang
yang menempel pada batu-batu di dasar sungai yang airnya jernih dan hangat.
Sungai ini diapit oleh dua punggungan lembah berbatu dan mengalir sepanjang
satu kilometer. Aroma belerang terasa sangat menyengat sehingga kami harus
menutup sebagian wajah dengan kain buff.
Perlahan kami menuruni jalur berbatu tadi agar tidak tergelincir untuk kemudian membelah
asap sulfur yang sedemikian pekat dengan langkah yang akhirnya dipercepat.
Aktifitas kawah pagi itu memang sedang meningkat, asap tebal menyembur dari dalam perut bumi dengan disertai dengusan yang terdengar sangat keras. Kita tidak
bisa berlama-lama berada di tempat ini karena khawatir keracunan gas belerang,
kalau hanya sekedar untuk mengabadikan gambar saja mungkin masih bisa.
Bang Helmi dan
bang Hendi sedang melintas di track kawah.
|
Biasanya Palapsa memiliki tradisi
untuk melakukan upacara pelantikan anggota baru di Kawah Ratu, itu berlaku
untuk semua angkatan. Entah karena terinspirasi dari mitologi pewayangan yang
menceritakan sosok Jabang Tetuka alias Gatot Kaca kecil yang digembleng didalam
kawah Candradimuka agar mental dan fisiknya semakin kuat atau memang sesepuh
Palapsa pada saat itu lebih memilih Kawah Ratu karena alasan lain.
Tampilan
sungai Cikuluwung yang membelah Kawah Ratu dengan aliran airnya yang bernuansa
biru cerah.
|
Setelah melalui Kawah Ratu dan kawah
mati, tim masih terus melaju hingga kembali menembus rimba raya. Slamet, Dwiki, Ari dan
ketiga anggota muda sudah berjalan lebih dulu. Saya, Linda, ngkong Usman, bang Eko, bang
Hendi, bang Andri dan bang Helmi lebih memilih berjalan santai dibelakang.
Disini, saya tidak merasa khawatir akan kekurangan air karena jalur dari Kawah
Ratu menuju Pasir Reungit merupakan surganya air.
Pukul 08.20 tim sudah tiba di sungai
terakhir yang airnya jernih dan bisa untuk langsung diminum. Kami beristirahat
dulu beberapa menit sambil mengisi wadah-wadah air yang sudah berkurang. Pagi
itu, jalur pendakian ramai dilewati para pengunjung. Rata-rata, mereka akan
mengunjungi Kawah Ratu saja dan bukan untuk melakukan pendakian ke puncak Salak.
Setelah puas bermain air dan bersih-bersih tubuh, kami meneruskan perjalanan
lagi. Pukul 09.37 ketika kami sedang beristirahat di sebuah tanah lapang yang datar
dan berlumpur, tiba-tiba terdengar panggilan dari handy talky yang dipegang bang Andri. Ternyata itu suara kak Wisnu
yang masih berada di Gunung Bunder, ia menanyakan posisi kami saat ini. Setelah
kami mengonfirmasi posisi, kak Wisnu dan anggota Palapsa lain yang memang
sudah berada di basecamp Gunung
Bunder sejak dari malam Minggu segera berangkat menuju Pasir Reungit untuk
menyambut kami.
Ketiga anggota
muda ini tampak antusias bermain air sungai.
|
Tepat pukul 10.30, tim akhirnya
menginjakkan kaki di Pasir Reungit dan telah menuntaskan perjalanannya kali
ini. Kami sekarang bisa bernafas lega karena sudah bisa menjumpai nasi. Kak Wisnu menjadi orang pertama yang menyambut kami didekat jembatan, saya
juga bisa menyaksikan ada banyak anggota Palapsa lain dan simpatisan yang
berada di tempat itu. Mereka menyalami dan (mau) memeluk kami yang beraroma
belerang plus belum mandi selama 3 hari. Tim Gunung Bunder bersyukur kami semua tiba
di Pasir Reungit dengan selamat meski mengalami keterlambatan.
Chapter 10: Nasi
hangat, ikan asin, sambal dan pohpohan
Tidak ada hal yang lebih nikmat
ketika baru saja turun gunung lantas berjumpa dengan nasi yang masih hangat,
ikan asin, sambal juga lalapan, dan semua itu sudah tersedia di basecamp Gunung Bunder yang merupakan
rumah milik kak Wisnu dan kak Utet. Suasana sejuk di teras rumah kak Wisnu yang
baru saja diguyur hujan ala Imlek membuat kami jadi semakin nafsu makan, tidak seperti
waktu diatas sana yang makanpun hanya beberapa suap saja. Semua yang hadir
disana baik itu anggota Palapsa atau non anggota duduk dan makan siang bersama,
menyatu dalam kebersamaan.
Tim sudah
stand by didepan menu makan siang yang sudah dihidangkan.
|
Selepas makan siang, kami mengadakan
evaluasi bersama tim Gunung Bunder di ruang tengah termasuk membahas penyebab
kami mengalami keterlambatan. Selesai evaluasi, acara dilanjutkan dengan
pemakaian seragam Palapsa kepada ketiga anggota muda oleh tiga orang senior
Palapsa, yaitu: kak Wisnu, bang Alex dan mas Boy. Ada yang menarik disini, sebab selain ketiga anggota muda yang disematkan seragam Palapsa ternyata kang
Lukman juga mendapat kejutan. Kang Lukman yang merupakan anggota
Palapsa di era 70an, turut diberikan seragam berwarna krem tersebut dengan
harapan bisa kembali dekat dengan Palapsa.
Bukan door prize :
Bang Hendi tengah menyerahkan seragam kepada kang Lukman, salah seorang senior
Palapsa yang kini berdomisili di Gunung Bunder.
|
Foto para anggota Palapsa bersama beberapa simpatisan di halaman belakang rumah kak Wisnu, Gunung Bunder. |
JEJAK
GAMBAR :
Ari dan ngkong
Usman saat tim baru tiba di pasar Cicurug, Sukabumi.
|
Bang Andri dan
bang Eko masih terlibat pembicaraan serius perihal akomodasi menuju desa
Girijaya.
|
Setibnya kami
di desa Girijaya.
|
Evaluasi
perihal pengeluaran dana dan sisanya.
|
Slamet, Ari
dan Dwiki tengah bergumul dengan rincian pengeluaran, uang dan kalkulator.
|
Beberapa
renceng minuman instant, anda tinggal pesan lalu tunggu beberapa menit
kemudian.
|
Bang Hendi dan
saya.
|
Bang Helmi,
bang Andri, Slamet, bang Hendi, saya dan Linda.
|
Masih dalam
persiapan sebelum take off.
|
Tim meluncur ditengah-tengah
rimbunnya pohon Damar menuju Pondok Gusti.
|
Tetap wangi sekalipun di track yang bikin pegal hati.
|
Bang Hendi
terlihat serius mengamati petilasan eyang Santri di Pondok Gusti.
|
Santai sejenak
sambil mengisi ulang perbekalan air minum.
|
Putu serius
mendengarkan obrolan para seniornya.
|
Ketika baru
memasuki pintu gerbang hutan gunung Salak.
|
Menu makan
siang ditengah lebatnya hutan.
|
Ngkong Usman, anggota Palapsa yang hobi mengobral guyonan.
|
Bang Hendi tengah melepas penat
dengan segelas white coffee hangat.
|
Putu terlihat
gahar ketika sedang lapar.
|
Linda tetap
asyik walau udara dingin kerap mengusik.
|
Track didalam
hutan gunung Salak yang lembab dan sedikit gelap.
|
Setibanya kami di flying camp. |
Entah apa
maksud dari adegan adu pantat seperti ini.
|
Dwiki, Gede
dan Pangrango.
|
Menatap Gede – Pangrango : Slamet tengah mencari inspirasi untuk membuat cerpen dan puisi. |
Menunggu
rombongan lain tiba di puncak Salak I.
|
Saya dan plang
puncak Salak I.
|
Slamet, menjamah puncak Salak I untuk yang kedua kalinya. |
Sedikit
melipir mendekati belukar agar tidak terpapar langsung terik matahari.
|
Maqom Mbah Gunung Salak yang kondisinya tidak lebih baik dari saat sebelum terjadi tragedi Sukhoi di tahun 2012. |
Slamet dan
bang Andri.
|
Ari Saputra, perdana di puncak Salak. |
Bang Andri kembali
cemas memikirkan rombongan yang belum juga datang.
|
Mejeng bersama
plang puncak Salak I sesaat sebelum upaca pelantikan dimulai.
|
Linda menjadi anggota Kabut Lembah wanita kedua yang berhasil mencapai puncak Salak I. |
Saya, Linda
dan plang puncak Salak I.
|
Ketiga capal
dibariskan untuk mengikuti proses upacara pelantikan.
|
Penghormatan kepada pembina upacara. |
Laporan pemimpin upacara kepada pembina upacara |
Slamet, sang
protokoler upacara.
|
Bang Andri menyerahkan lembar surat keputusan kepada bang Hendi. |
Bang Hendi membacakan isi pada surat keputusan. |
Inilah rupa dari surat keputusan tersebut. |
Sesi pemakaian syal pada ketiga anggota muda yang baru saja dilantik. |
Pemberian
selamat kepada ketiga anggota baru.
|
Pemberian seragam kepada tiga anggota Tri Kikam. |
Sedikit arahan dari bang Hendi. |
Sikap nyaris
sempurna.
|
Potong rambut : Simbolisasi yang selalu dilakukan oleh setiap ketua BPH terhadap para anggota yang baru saja dilantik. |
Masih dalam suasana inaugurasi. |
Bang Hendi
menutup rangkaian acara pelantikan tahun ini.
|
Bang Eko, tengah mendokumentasikan proses upacara pelantikan dalam bentuk gambar hidup. |
Masing-masing anggota memberikan ucapan selamat kepada ketiga anggota muda baru. |
Disusul Slamet dan bang Eko. |
Still recording the moment... |
Slamet, Dwiki
dan Linda, tiga anggota muda yang akan mengambil nomor keanggotaannya.
|
Bang Helmi
dengan seragam favoritnya yang serba oranye.
|
Foto bersama
di puncak Salak I sebelum turun ke shelter badjuri.
|
Ari sedang stand by di tanjakan ngehe. |
Ngkong Usman
tergelincir saat sedang menuruni turunan curam lainnya.
|
Sungai kecil
dengan airnya yang jernih, yang terletak didekat simpang Badjuri.
|
Bang Andri
sedang menunggu rombongan terakhir.
|
Patok beton
yang membatasi wilayah Bogor dengan Sukabumi.
|
Akhirnya bang
Helmi sudah bisa tersenyum lagi setelah sembuh dari cidera.
|
Repacking
barang-barang bawaan sebelum sarapan dan melanjutkan perjalanan.
|
Kawah Ratu, surganya gunung Salak.
|
Sungai Cikuluwung yang airnya mengalir berwarna biru aquamarine dan terasa hangat. |
Dua sejoli : Bang Helmi dan bang Hendi sesaat setelah melintasi sungai Cikuluwung. |
Duo
kabut lembah : Ari dan Dwiki diantara pekatnya asap kawah.
|
Serba
simple tanpa kostum pendakian.
|
Linda,
masih tetap semangat.
|
Dwiki dan Ari tengah mendaki tanjakan di Kawah Ratu. |
Bang
Hendi dan Linda, menuruni jalan berbatu di Kawah Ratu.
|
Suasana
di sungai terakhir, sekitar satu jam lagi menuju Pasir Reungit.
|
Bersih-bersih ala Ari. |
Adakalanya
melepas lelah dan penat dengan bercanda seperti ini.
|
Seperti inilah ritual mandi wajib yang dilakukan Dwiki bila menemui kubangan lumpur. |
Ketika para senior sudah bersiap berhadapan dengan lauk, sambal dan lalapan. |
Suasana
di rumah kak Wisnu saat tim sedang mengadakan evaluasi kronologi perjalanan.
|
Sesi pemakaian seragam oleh beberapa senior Palapsa. |
Tim
dapur yang berkontribusi dalam urusan menghidangkan menu makan siang saat itu.
|
Sesi foto bersama tim Gunung Bunder, sekaligus menyudahi seluruh rangkaian acara pelantikan anggota baru Palapsa 2016. |