Bus Sinar Jaya jurusan Jakarta –
Wonosobo itu mengakhiri perjalanan panjangnya di terminal Mendolo, Wonosobo.
Cahaya fajar perlahan merayap dari balik gunung Sumbing, sementara gunung
Sindoro belum terlihat sama sekali karena langit masih sangat gelap. Saya menuruni
tangga bus lalu menuju bagasi tempat ransel diletakkan. Sekitar empat hingga lima
orang tukang ojek langsung mengerubungi, mereka menanyakan tujuan saya. Pagi
itu, saya akan melakukan pendakian ke gunung Sindoro bersama seorang teman
perempuan saya, Linda. Para tukang ojek itupun segera membujuk kami agar mau
menggunakan jasanya meski sudah berkali-kali saya mengatakan hendak menuju basecamp Kledung menggunakan bus cebong. Setelah saya menghabiskan
segelas teh hangat, saya bergegas meninggalkan terminal bus Mendolo. Masih saja
para tukang ojek tadi mengikuti, membuat saya hampir hilang kesabaran. Karena
tidak tahan digentayangi oleh mereka, saya pun memutuskan untuk menggunakan
jasanya. Negosiasi berlangsung singkat, dua orang tukang ojek yang dari awal
selalu mengikuti kami akhirnya sepakat mengantar hingga ke basecamp Kledung di kabupaten Temanggung dengan tarif sebesar Rp.25.000
perorang.
Sekelompok
pendaki yang akan menuju pos I, sebelumnya mereka harus melalui perkebunan
tembakau dan sayuran warga terlebih dahulu.
Kedua ojek motor yang membawa saya
dan Linda mulai meninggalkan terminal Mendolo. Knalpot motor tua itu
meraung-raung manakala mulai menyusuri tanjakan-tanjakan, lajunya pun semakin
tersendat. Udara di sekitar Kledung Pass pagi itu sangat dingin, kabut tipis
masih terlihat melayang tenang diatas perkebunan tembakau dan sayuran yang
terhampar di sisi kiri kanan jalan. Tak lama kemudian, kami pun tiba di basecamp Kledung yang letaknya tidak
jauh dari jalan raya. Waktu menunjukkan pukul 06.30, saya mengajak Linda untuk
sarapan terlebih dahulu di sebuah warung nasi yang biasa dijadikan tempat
beristirahat para pendaki. Sambil menunggu makanan dihidangkan, iseng-iseng saya
pun keluar dari dapur warung untuk mengamati puncak gunung Sindoro. Langit
begitu cerah dan bisa kulihat kepulan asap berwarna coklat yang keluar dari
moncong puncaknya, asap tersebut membumbung tinggi hingga menipis dan tersamar
oleh birunya langit.
Linda
sedang mengamati gunung Sindoro ketika baru saja tiba di terminal bis Mendolo,
Wonosobo.
“Tiap
hari ya seperti itu, mas. Tapi insyaallah
aman, kok” ucap seorang perempuan
paruh baya yang juga pemilik warung nasi tersebut manakala kutanyakan keadaan
gunung Sindoro yang aktivitas vulkaniknya masih fluktuatif hingga kini. Saya
juga bertanya perihal kondisi cuaca disekitar kaki gunung Sindoro kepada
perempuan tadi, sebab sudah beberapa kali saya mendapat kabar kalau gunung
Sindoro sering diguyur hujan dan kerap terjadi badai.
“Kalau pagi kayak gini ya cerah, tapi biasanya ba’da Dzuhur suka turun hujan. Hampir tiap hari disini diguyur
hujan, maka itu hasil panen tembakau bulan ini lagi kurang bagus” tambahnya
lagi.
Sepuluh menit kemudian, nasi goreng
yang kami pesan akhirnya tersaji. Saya kembali masuk ke dalam dan menuju
beranda warung nasi tersebut untuk menyantap sarapan. Kebetulan di tempat yang
sama kami bertemu dengan dua orang pendaki asal Bekasi Utara yang juga akan
mendaki gunung Sindoro, mereka bernama Bincay dan Kosik. Kedua pemuda itu
tampak welcome dengan kehadiran kami,
terjadilah obrolan santai antara mereka, saya dan Linda.
Basecamp Kledung yang
berada tidak jauh dari jalan raya Parakan, Temanggung.
Lokasi gunung Sindoro
dilihat dari Google Map.
Selesai sarapan, saya, Linda, Bincay dan
Kosik bersiap-siap memulai pendakian namun sebelumnya kami harus mendaftar di basecamp Sindoro yang dikelola oleh
GRASINDO atau Gabungan Remaja Sindoro. Saya dan Linda membayar simaksi yang
dikenakan tarif sebesar Rp.15.000 perorang lalu mencatat identitas dan alamat
kami di buku tamu yang telah disediakan. Selepas berdoa bersama, akhirnya kami
berempat mulai menjejakkan langkah menuju pos I yang jaraknya sekitar 2
kilometer atau satu setengah jam perjalanan dari basecamp Kledung. Sebenarnya kita bisa menggunakan jasa tukang ojek
motor untuk mencapai pos I cukup dengan membayar Rp.15.000 saja, namun kami berempat
sepakat untuk berjalan kaki.
1. Basecamp
– Pos I : Kebersahajaan Yang Terabaikan
Perjalanan dimulai dengan melalui rumah-rumah penduduk yang penghuninya
sebagian besar berprofesi sebagai petani tembakau. Kaum ibu terlihat sedang
menjemur tembakau hasil panen yang telah dirajang halus diatas bilah-bilah
papan kayu. Aroma khas tembakau pun tercium dari sekitar lokasi penjemuran itu,
aroma yang tidak akan pernah ditemukan di kota tempat tinggalku. Tak lama
kemudian, kami mulai memasuki perkebunan penduduk yang didominasi tanaman
tembakau yang sudah menguning. Kabupaten Temanggung memang tersohor karena
kualitas tembakaunya yang baik, tak mengherankan bila ada beberapa pabrikan
rokok ternama yang membuka gudangnya di daerah ini.
Beberapa saat sebelum
meninggalkan basecamp Kledung.
Jalur di sepanjang perkebunan hingga
ke pos I terbilang cukup lebar namun terus menanjak. Tidak ada kesulitan yang
berarti di jalur ini sebab jalanan berbatu disini sudah disusun sedemikian rapi.
Kerap kali kami berpapasan dengan
pengendara motor yang akan atau sudah mengambil daun-daun tembakau siap panen.
Bulan Agustus memang bulan yang ideal untuk melakukan panen raya. Sayangnya, kondisi
cuaca yang sedang tidak bersahabat serta curah hujan saat itu yang terbilang
cukup tinggi justru jadi pukulan telak bagi para petani tembakau disekitar kaki
gunung Sindoro dan Sumbing. Agar petani tidak terlalu bergantung dengan tanaman
tembakau, kebanyakan dari mereka mulai menyiasatinya dengan sistem tumpang sari.
Disela-sela tanaman utama itu, mereka tanami jagung, tomat dan cabai, sementara
di pinggiran lahan perkebunan ditanami kopi.
Linda dan Bincay menyusuri
jalur makadam yang membelah perkebunan hingga ke pintu gerbang hutan.
Saya mempersilakan Bincay dan Kosik
untuk menuju lebih dulu ke pos I, tak tega rasanya bila langkah kedua orang itu
jadi terhambat hanya demi menunggu Linda yang setiap melangkah sejauh 20 hingga
30 meter harus terhenti untuk sekadar beristirahat dan mengambil nafas. Ketika
sedang berjalan pelan dibelakang Linda, saya melihat seorang perempuan tua
berusia sekitar lebih dari 60 tahun yang datang dari arah berlawanan. Ia
berjalan sambil memanggul beban berupa batang dan dahan kering untuk dijadikan
kayu bakar. Kayu-kayu tadi ia ikat kencang dengan sehelai kain lalu ia lilitkan
lagi ke tubuhnya. Sepertinya, beban pada ransel saya atau Linda tidak lebih
berat daripada beban yang dibawa oleh nenek itu. Hebatnya lagi, ia tampak
menikmati pekerjaan itu tanpa keluh kesah ataupun tanpa raut wajah yang
menyiratkan rasa lelah. Saya pun mengeluarkan handphone untuk mengambil gambar si nenek tadi. Merasa dirinya
sedang difoto, ia pun berceloteh kepada saya;
“Jangan difoto, mas. Orang Kledung jelek-jelek” ucap si nenek. Saya pun segera
membalas ucapannya;
“Tapi orang Kledung hebat-hebat, mbok. Buktinya, baru jalan segini aja kita sudah ngos-ngosan, kalah sama si mbok” si nenek itu malah tertawa. Tak lama
kemudian, ia berpamit diri dan berlalu meninggalkan kami. Sosok renta tapi
perkasa itu secara perlahan mulai menghilang ditelan tikungan, namun
keikhlasannya menjalani kehidupan cukup membuat saya terkesan. Mungkin
orang-orang seperti nenek tadi banyak dijumpai di jalur pendakian ini, Namun
kebersahajaan mereka seringkali luput dari perhatian para pendaki yang berlalu.
Sosok
perempuan tua perkasa yang saya temui di jalur menuju pos I.
Matahari sudah beranjak naik
sementara saya dan Linda masih berada di jalur menuju pos I. Linda telah
beberapa kali menghentikan langkahnya akibat kelelahan, sedangkan Kosik dan
Bincay sudah tak terlihat. Sambil menunggu Linda melanjutkan perjalanannya,
saya akhirnya turut berteduh dibawah pohon cemara gunung (Casuarina Junghuniana) yang tumbuh disisi jalan. Lereng gunung
Sindoro memang banyak ditumbuhi oleh tanaman jenis ini sehingga bila angin
sedang halus berhembus menyusuri lembah, niscaya akan terdengar alunan merdu
yang digubah oleh dahan-dahannya. Lima menit kemudian, Linda pun berdiri dan kembali
melangkah pelan-pelan. Kami melaju lebih cepat ketika didepan mulai terlihat
sebuah pondokan dengan tiang bendera. Sayup-sayup bisa terdengar obrolan
beberapa orang di tempat itu, jaraknya hanya sekitar 100 meter lagi dari tempat
saya dan Linda sedang berjalan.
Setelah melalui sebuah tikungan yang
menanjak, akhirnya kami berdua berhasil sampai di pos I atau shelter Sibajing pada pukul 08.58.
Bincay dan Kosik sudah terlebih dahulu tiba di tempat itu, mereka berdua tampak
asyik beristirahat dibawah pohon cemara sambil menikmati pemandangan alam yang
tersaji dari spot di pos I. Pos ini
berada di ketinggian 1.900 meter diatas permukaan laut dilengkapi dengan sebuah
pondokan untuk beristirahat. Selain sebagai shelter,
disini juga menjadi tempat pemberhentian sekaligus tempat mangkal ojeg motor
yang membawa pendaki dari basecamp
Kledung. Sampai sini, kita tidak lagi melewati perkebunan tembakau karena pos I
merupakan perbatasan antara perkebunan warga dengan pintu gerbang hutan.
Saya dan Bincay tengah
beristirahat di pos I.
Saya menghampiri Bincay dan Kosik,
sementara Linda memilih selonjoran
diatas pembaringan yang terbuat dari meja pingpong. Dibawah rindangnya
pepohonan cemara itu, saya melepas lelah. Kedua mata ini pun tak pernah bosan
memandangi tegarnya gunung Sumbing, sang saudara kembar gunung Sindoro.
2. Pos I – Pos II : Senandung Liar Didalam Hutan
Pukul 09.10, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju pos II.
Estimasi waktu tempuh dari pos I ke pos II diperkirakan sekitar 2 jam, bahkan
mungkin bisa kurang bila tidak terlalu sering berhenti atau beristirahat. Derap
langkah para penggiat alam mulai mengisi keheningan belantara, beberapa dari
mereka ada yang sambil bercengkrama namun ada juga yang membisu karena
telinganya tersumpal headset yang
memutar lagu dari playlist gadgetnya.
Jalur disini terbilang tidak begitu sulit karena masih memanjakan kita dengan track-track landai. Terik matahari tak
lagi menyentuh tubuh para pendaki secara langsung karena terhalang tingginya
tajuk pepohonan.
Tampilan pos I yang juga
tempat pemberhentian terakhir ojek motor.
Selain sebagai habitat alami, hutan
di sekitar lereng gunung Sindoro juga menjadi wahana bermain bagi sekumpulan
burung dan beberapa jenis primata, mereka menghibur para pendaki dengan kicauan
dan pekikannya. Meski hanya bisa dinikmati suaranya saja, namun senandung para
penghuni rimba raya tersebut mampu memberikan rasa damai bagi mereka yang sudah
penat dirongrong rutinitas. Di ketinggian seperti ini, dahan pepohonan masih
bisa menjulang tinggi, sementara tanaman yang kalah bersaing dalam urusan
menangkap sinar matahari rasanya harus puas berada dibawah dominasi dan
bayang-bayang pepohonan tinggi tersebut. Udara sangat sejuk didalam hutan, jauh
berbeda ketika tadi saya berjalan di jalur perkebunan yang keadannya sangat
terbuka dan sangat minim tempat untuk berteduh. Hawa semacam ini bisa menyebabkan
rasa kantuk manakala seorang pendaki terlalu lama berdiam diri di tepian jalur.
Saya dan Linda lagi-lagi harus
tertinggal jauh dengan Kosik dan Bincay, daya tahan Linda yang bertubuh ramping
semampai memang tidak bisa disamakan dengan kedua lelaki itu yang pundaknya
sudah biasa dibebani carrier
berkapasitas lebih dari 60 liter. Linda mengeluarkan botol air minum dari sisi
ranselnya, tidak banyak ia mereguk air tersebut karena sebelumnya saya sudah
berpesan agar dia bisa memanage air
sehemat mungkin. Sejak berada di basecamp
Kledung, para pendaki diwajibkan membawa persediaan air secukupnya mengingat di
jalur pendakian ini sama sekali tidak tersedia sumber air. Aneh juga pikir
saya, padahal intensitas curah hujan di gunung Sindoro terbilang tinggi.
Setelah melewati jembatan yang
terbuat dari batang-batang kayu, saya pun bisa mendengar dari kejauhan suara
orang-orang yang sedang tertawa.
Beristirahat sejenak di pos
II.
“Nah,
pos II sudah dekat” ucapku sambil memberi semangat kepada Linda. Kami berdua kembali
mempercepat langkah, kalau sudah sampai di pos II berarti hanya tinggal satu
pos lagi untuk bisa membuka tenda dan beristirahat. Pukul 10.50, kami berdua
berhasil tiba di pos II atau Cawang yang berada di ketinggian sekitar 2.120
meter diatas permukaan laut. Bincay dan Kosik terlihat sedang duduk diatas
batang pohon yang tumbang bersama pendaki lain asal Bogor. Saya duduk di
permukaan tanah dan segera meluruskan kedua kaki sambil bersandar pada ransel.
Di Pos II ini, permukaan tanahnya cukup rata dan sangat ideal untuk membuka tenda,
hanya jarang sekali para pendaki yang hendak bermalam di tempat itu, mungkin
karena jaraknya yang masih terlalu jauh dengan puncak. Sekitar tiga meter dari
batang pohon tempat Bincay dan Kosik duduk, ada sebuah pondokan yang terbuat
dari potongan dahan-dahan pohon dan menggunakan banner sebagai atapnya yang bisa digunakan para pendaki untuk
berlindung ketika hujan deras. Tepat pukul 11.10, kami pun beranjak
meninggalkan pos II untuk melanjutkan perjalanan hingga ke pos III, pos dimana
kebanyakan para pendaki akan mendirikan tendanya dan bermalam disitu sebelum
akhirnya mereka berangkat ke puncak.
3. Pos III : Pak Banar, Bukan Mbah Kuat
Kabut pekat menyeruak dari punggungan bukit yang berada di
sebelah kiri dan kanan saya, sinar matahari mendadak tertutup halimunan tadi.
Rintik-rintik air mulai berjatuhan dari langit, hujan membuat saya dan Linda
mempercepat langkah untuk bisa mencapai satu-satunya pohon yang menjulang
tinggi didepan sana. Kami sudah berada di batas vegetasi, dimana pohon-pohon
berukuran besar dan tinggi sudah jarang sekali ditemukan, hanya tanaman perdu,
lamtoro dan arbei hutan saja yang mendominasi di ketinggian seperti ini.
Setibanya kami di bawah pohon tadi, sayup-sayup saya bisa mendengar obrolan
beberapa orang yang sumber suaranya semakin lama semakin mendekat ke arah kami.
Lima menit kemudian, sekitar enam orang pendaki muncul dari balik tikungan yang
dipenuhi rumput-rumput liar, mereka akan turun menuju basecamp.
Istirahat di jalur berbatu,
beberapa saat sebelum turun hujan.
“Pos III masih jauh, bang?” tanya
saya kepada pendaki yang berada paling depan.
“nggak
sampe lima belas menit lagi, mas”
jawabnya sambil mengarahkan tongkat dakinya kearah jalur berbatu di hadapan
kami. Setelah berpamitan, saya dan Linda kembali mengangkat ransel dan
meninggalkan tempat dimana kami berteduh. Selepas meninggalkan hutan, jalurnya
mulai terasa kian sulit karena medannya berbatu dan sudah tidak ditemukan lagi
jalanan yang landai. Tanjakan-tanjakan curam dengan kemiringan hampir mencapai
50 hingga 60 derajat menjadi pemandangan yang biasa dijumpai hingga tiba ke pos
III.
Pakaian saya sudah setengah basah,
sementara di belakang sana Linda belum juga terlihat. Saya memanggilnya dengan
suara yang sengaja diperkeras agar tidak diredam oleh rintik hujan, Linda
membalas panggilan saya namun masih belum kulihat wujudnya. Setelah sekian
menit menunggu, akhirnya perempuan itu muncul juga dengan bibir yang cemberut
karena kewalahan mengejar langkah saya. Tidak lama kemudian, kembali terdengar
suara banyak orang didepan sana. Kami berdua kembali memacu langkah agar bisa
sesegera mungkin mendirikan tenda dan membuat teh hangat.
Menumpang berteduh di tenda
milik Bincay.
Pukul 01.30, saya dan Linda akhirnya
tiba di pos III atau Seroto. rombongan pendaki asal Bogor yang kami temui sejak
di basecamp Kledung, terlihat sedang
berteduh di sebuah pondokan. Seorang pria paruh baya yang merupakan pemilik
pondok tersebut mempersilakan saya berteduh didalamnya. Orang-orang yang berada
di tempat itu menengarai beliau sebagai mbah
Kuat, lelaki yang terkenal di kalangan pendaki sebagai sang penunggu pos III.
Ya, belakangan ini reputasi gunung Sindoro mulai tercoreng gara-gara ada
sekelompok oknum warga yang memanfaatkan kesempatan dengan mencuri barang-barang
didalam tenda yang ditinggalkan penghuninya menuju puncak. Isu rawan pencurian
sebetulnya sudah berhembus sejak tahun 2013, korbannya juga tidak sedikit dan
terjadi di pos III ini. Itu sebabnya sekarang di pos III sudah dijaga oleh mbah Kuat asal Kledung, ia menawarkan
jasa penitipan barang selama para pendaki pergi muncak. Tapi, rupanya lelaki yang menghuni pondokan tersebut
bukanlah mbah Kuat seperti yang
disangka kebanyakan pendaki. Lelaki itu bernama pak Banar, sama-sama berasal dari
Kledung, teman dekat mbah Kuat. Kalau
saja waktu itu saya tidak menanyakan namanya, mungkin sampai detik ini saya
juga masih mengira beliau sebagai mbah
Kuat.
Pos III, pos yang biasa
dijadikan tempat untuk membuka tenda bagi para pendaki yang akan melakukan summit.
“Tempat mbah Kuat ada diatas, 30 meter dari sini. Dia biasanya naik kemari
hari Sabtu, Minggu sampai Senin. Kalau hari biasa ya turun” kata pak Banar.
Menurut pak Banar, pada saat akhir pekan biasanya pos III akan disesaki oleh
tenda para pendaki sehingga banyak dari mereka yang tidak mendapatkan lapak
untuk mendirikan tendanya. Mereka yang sudah tidak kebagian lahan biasanya akan
naik sedikit keatas, tidak begitu jauh dari pos III. Disitu mereka akan temukan
sebidang tanah yang sangat luas dan permukaannya cukup rata untuk mendirikan
beberapa tenda. Selain isu rawan pencurian barang, para pendaki yang berkemah
di pos III juga kerap kali diganggu babi hutan. Binatang liar ini biasanya akan
muncul ketika hari sudah gelap, menyelusup diam-diam dari balik semak yang
rimbun. Tenda yang di bagian depannya ada sisa-sisa makanan, piring atau nesting kotor, sudah dipastikan akan
disatroni kawanan babi hutan. Setelah mempertimbangkan masalah keamanan tadi,
akhirnya saya memutuskan untuk membuka tenda tepat disebelah pondokan pak
Banar.
4. Gemerlap Lampu Dan Pesta Gemintang
Hari beranjak gelap, pijar-pijar
halilintar yang bersembunyi dibalik awan pekat semakin mempertegas sosok kekar
dari gunung Sumbing. Meski tidak hujan, namun langit seolah hendak menumpahkan
kegundahannya diatas gumpalan-gumpalan mendung yang hilir mudik terbawa angin.
Malam itu, saya beserta Linda duduk didepan tenda yang ditempati Bincay dan
Kosik. Bincay tertidur didalam tenda, sepertinya dia kelelahan. Tidak hanya
saya, Linda dan Kosik saja yang enggan melewati malam hari menuju ke alam
mimpi. Beberapa pendaki yang bermalam di tempat itu pun ada yang sedang
menikmati musik, ada yang mengobrol dengan sesama pendaki, ada juga yang
menyibukkan diri dengan membuat perapian. Dari dalam pondokan, tampak kelebatan
cahaya api yang menari-nari pada permukaan dindingnya. Api itu berasal dari
kayu-kayu kering yang dibakar oleh pak Banar di tungku perapian. Asap putih
pekat mengepul dari sela-sela dinding pondokan yang terbuat dari perpaduan trashbag, terpal dan kain spanduk. Kadang
saya harus menutupi kedua mata akibat rasa perih karena terkena asap pembakaran,
untung saja hembusan angin yang datang dari arah puncak mampu mengurai asap
hasil pembakaran tadi.
Saya memanggil pak Banar, tak lama
kemudian lelaki itu pun keluar dari pondokannya. Saya mengambil uang sebesar
Rp.20.000 dari dalam kantong celana, lalu saya berikan uang itu pada pak Banar.
“Ini pak, saya bayar sekarang aja. Takut nanti kelupaan” kata saya. Pak Banar pun mengambil uang tersebut. Dengan
demikian, lelaki itu akan menjaga tenda saya manakala nanti kami akan mulai melakukan
summit attack. Pak Banar bilang,
biasanya dari pukul 03.00 dini hari dia tidak terlelap, melainkan mengawasi
tenda para pendaki yang menggunakan jasanya. Selain menawarkan jasa penitipan
tenda dan barang, pak Banar juga menjual air minum yang dikemas didalam bekas
botol air mineral berkapasitas 1 liter.
Menjelang
senja di pos III.
Saya kembali bergabung dengan Kosik
dan Linda sambil menikmati cemilan ringan dan segelas teh hangat. Kami bertiga
mulai membuka obrolan tentang pendakian hingga bercerita tentang peliknya
suasana kota dimana kami berdomisili. Dari selepas Isya, kami melakukan
perbincangan malam hingga waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Awan mendung
sudah tak lagi menutupi gunung Sumbing yang berada tepat didepan kami, langit
menjadi cerah. Lampu-lampu kota yang berada jauh dibawah sana tampak seperti
kunang-kunang yang menghiasi kegelapan. Di angkasa, gugusan bintang
satu-persatu mulai memberanikan diri mempertontonkan kemilaunya. Malam itu, langit
seakan tengah berpesta dibalik hingar bingar cahaya gemintang...
5. Pos III – Pos IV : Tertipu Puncak Bayangan
Menjelang subuh, saya, Linda, Bincay
dan Kosik bersiap-siap untuk menuju puncak Sindoro. Sebagian besar pendaki yang
juga bermalam di pos III sudah terlebih dahulu berangkat muncak. Kami hanya membawa perlengkapan seperlunya saja seperti headlamp, air minum dan carrier. Setelah berdoa, kami berempat
pun berpamit diri kepada pak Banar.
Belum lama meninggalkan pos III,
tanjakan-tanjakan curam di depan mata pun sudah menyongsong kami. Desah nafas
terdengar saling berburu manakala kami berusaha mendaki jalur terjal itu dengan
sangat hati-hati. Sesekali saya tergelincir akibat memijak jalur berbatu yang
permukaannya dipenuhi kerikil. Kami terus mendaki dalam kegelapan, uap tubuh
yang keluar dari lubang hidung tak henti-hentinya mengepul. Bila sudah lelah,
kami hanya beristirahat sebentar sebab khawatir terserang hypothermia bila terlalu lama berdiam diri di tempat terbuka
seperti ini.
Selepas subuh di jalur
sebelum hutan lamtoro.
Cahaya headlamp menari-nari di pekatnya remang pagi, sesaat lagi matahari
akan menampakkan diri dari sebelah kiri gunung Sumbing. Kosik dan Bincay sudah
mendahului saya dan Linda, selalu saja begitu hingga seterusnya. Saya tidak
pernah berekspektasi bisa menikmati sunrise
di puncak Sindoro, sebab hanya dalam hitungan beberapa menit lagi matahari
sudah dipastikan akan menyembul dari balik cakrawala, sedangkan kami berdua
masih berada tidak jauh dari pos III. Saya kembali memacu semangat Linda agar
dia bisa mempercepat langkahnya. Langit secara perlahan mulai terang, namun
matahari belum mencuat dari ufuk timur. Saya mulai memasuki wilayah yang
didominasi oleh tanaman lamtoro dan rerumputan yang tumbuh tidak begitu tinggi,
sayangnya pohon-pohon lamtoro itu telah meranggas akibat kebakaran hutan yang
melanda lereng gunung Sindoro September tahun lalu. Sementara itu, Kosik dan
Bincay terlihat sedang duduk santai tidak begitu jauh dari hadapan kami. Saya
dan Linda bergegas menyusul kearah mereka, sedangkan dari arah belakang
pendaran cahaya jingga mulai merambat menerangi langit. Kami berempat akhirnya
memutuskan menikmati terbitnya sang surya dari spot tersebut.
Menyaksikan matahari terbit
dari hutan lamtoro.
Langit sudah terang benderang, jalur
pendakian semakin jelas terlihat. Perasaan girang sontak menggelayuti benakku
dan Linda yang saat itu beranggapan kalau ujung dari bukit yang ada didepan
kami adalah puncak Sindoro. Bebatuan berukuran besar harus kami panjat secara
hati-hati agar bisa mencapai ujung bukit tadi. Namun, kami kecele karena
sesampainya di bagian yang paling tinggi bukan puncak Sindoro yang kami temui,
melainkan hanya sebuah puncak bayangan. Alhasil, kami pun harus melalui tanjakan-tanjakan
curam lainnya. Wajah Linda mulai terlihat kepayahan, saya tak mau berkomentar
banyak saat melihat ekspresi wajahnya saat itu.
Mendaki
perlahan-lahan sambil terus menyaksikan pendaran matahari pagi.
Kami berdua kembali mengumpulkan
semangat dan terus memacu langkah menyusuri jalur terjal yang didominasi
bebatuan gunung. Sinar matahari mulai terasa menyengat padahal hari masih pagi,
nafas pun semakin tersengal-sengal saja rasanya. Saya sudah tidak tahu
keberadaan Bincay dan Kosik, namun dari kejauhan saya masih bisa mendengar
suara Bincay yang berteriak memanggilku. Hanya tinggal beberapa langkah lagi
maka saya dan Linda akan segera sampai di titik tertinggi lainnya yang saat itu
terlihat jelas didepan mata. Sesampainya di tempat tersebut, lagi-lagi kami
berdua harus geleng-geleng kepala. Ternyata kami baru sampai di pos IV atau
biasa disebut Batu Tatah, ya ampun! Sudah terlalu lelah, saya pun menepi ke sebuah
dinding tebing berbatu, disitu saya terbebas dari sengatan matahari pagi. Tak
lama kemudian, saya bertemu dengan rombongan pendaki yang baru saja turun dari
puncak.
“Puncak masih lumayan, mas. Kira-kira dua jam lagi. Semangat…!”
kata salah seorang peserta rombongan tadi kepada saya. Dua jam lagi, ya dua jam
lagi mendaki dengan jalur yang terus menanjak dan terkena paparan sinar
matahari secara langsung. Saat itu saya hanya berpikir, masih kuatkah Linda?
Jalur selepas hutan
lamtoro. Tampak puncak bayangan dibelakang saya, puncak yang kerap kali menipu
pendaki yang baru pertama kali mendaki Sindoro.
Setelah berkali-kali melalui tanjakan
curam, saya pun mulai memasuki sebuah kawasan yang sangat terbuka juga sangat
gersang. Sebelum terjadi kebakaran hutan, tempat itu biasa dikenal dengan nama
padang edelweiss. Dulu, stepa yang berada beberapa meter dibawah puncak Sindoro
terlihat asri menghijau, jauh berbeda dengan keadaan yang saat ini kutemukan.
Sambil duduk dan mereguk air minum, saya pun memandang ke sekeliling. Hanya
tersisa batang-batang Edelweiss dan Cantigi yang telah hangus akibat dijamah
kobaran api, saya juga sama sekali tak menjumpai rerumputan hijau yang selama
ini biasa menghiasi sekitar puncak Sindoro. Sangat menyedihkan, keelokan padang
Edelweiss di gunung ini harus musnah karena dilanda kebakaran hutan. Ya, api
telah merenggut keabadian si bunga abadi.
6. Puncak Sindoro : Terbayar Dengan Keindahan
“Bang, puncak, bang…!” Bincay
berteriak dari kejauhan. Lelaki berbadan tegap itu terlihat sedang mengangkat
sebilah papan berwarna kuning, namun saya tidak bisa membaca tulisan yang
tertera di papan tersebut. Aroma belerang tercium seiring dengan datangnya
angin dari arah atas, saya yakin kalau yang ada didepan mata kali ini adalah
puncak sungguhan. Pelan tapi pasti, tanjakan itu terus kudaki hingga bisa
kulihat kepulan asap putih pekat dan beraroma menyengat keluar dari sebuah
lubang besar yang rupanya adalah dasar kawah Sindoro. Bincay menghampiri dan
menyalami saya. Tepat pukul 08.20, saya akhirnya berhasil menjejakkan kaki di
puncak Sindoro yang memiliki ketinggian 3.153 mdpl. Cuaca saat itu betul-betul
sedang cerah, langit membiru indah seperti lazuardi. Tidak ada gumpalan awan
yang menghalangi pandangan saya kearah gunung Sumbing. Sambil menunggu
kedatangan Linda, saya pun menyempatkan diri untuk berpose dengan latar
belakang gunung Sumbing. Selepas berfoto, saya tertegun memandangi panorama
alam yang telah membayar rasa lelah dengan segala keindahannya. Kulepaskan
pandangan ke arah timur, dimana selain gunung Sumbing, ada juga gunung Merbabu
dan Lawu yang setengah badannya tertutup oleh kemegahan permadani awan. Di
timur laut, saya juga bisa melihat ada sosok agak mengerucut yang kutengarai
sebagai gunung Ungaran, satu-satunya gunung yang ada di kabupaten Semarang. Disebelah
barat laut, di dasar kawah Sindoro, terdengar suara bergemuruh akibat aktivitas
vulkanik di gunung tersebut yang memang sedang meningkat. Saya hanya menyelisik
pemandangan disekitar bibir kawah beberapa menit saja karena pernafasan menjadi
terganggu akibat terlalu banyak menghirup asap belerang. Udara di puncak
Sindoro saat itu sangat dingin, angin yang berhembus dari berbagai penjuru
langsung menghujam kami tanpa kompromi.
Akhirnya, puncak Sindoro…
Terbayar sudah rasa lelah
oleh keindahan puncak Sindoro di kala cerah.
Linda akhirnya turut menikmati puncak
Sindoro, mahasiswi yang juga berprofesi sebagai penari tradisional ini tiba di
puncak pada pukul 08.45. Rasa letih di wajahnya sontak berganti dengan
binar-binar sukacita. Saya, Bincay dan Kosik menghampiri dan memberinya
selamat.
Asap sulfatara yang
terus-menerus keluar dari dasar kawah Sindoro.
Lokasi puncak gunung
Sindoro dengan latar belakang gunung Sumbing. Dilihat dari Google Map.
Sedikit
Tulisan Tentang Sindoro
Sindara atau Sindoro adalah sebuah
gunung volcano aktif yang berlokasi di Jawa Tengah, lebih dekat kepada kota
Temanggung. Gunung ini berdekatan dengan gunung Sumbing dan memiliki koordinat
7,3010463°LS 109,9968767°BT. Jalur pendakian gunung Sindoro bisa melaui
beberapa rute, diantaranya:
1. Jalur Kledung
2. Jalur Tambi
Gunung Sindoro sudah beberapa kali
mengalami letusan, pada tahun 2011 terjadi peningkatan aktivitas vulkanik
dengan menyemburnya asap solfatara dari beberapa dinding dan dasar kawah utama.
Menurut penelitian berdasarkan sejarah dan endapan hasil letusannya, gunung
Sindoro lebih sering erupsi dengan tipe letusan strombolian dengan ciri khas:
1. Sering terjadi letusan kecil yang tidak
begitu kuat namun terjadi terus-menerus dan banyak mengeluarkan efflata atau material padat seperti:
batu-batu besar, batu-batu yang tidak beraturan, kerikil, pasir, debu dan batu
apung.
2. Letusannya memiliki interval waktu yang sama,
contoh: Semeru.
Beberapa waktu lalu, telah terjadi
kebakaran hutan yang menghanguskan sebagian besar tanaman di lereng gunung
Sindoro. Padang Edelweiss yang berada tidak jauh dari puncak Sindoro pun turut
habis dilibas si jago merah. Setahun pasca kebakaran itu, rerumputan belum juga
sepenuhnya menutupi lahan yang terbakar. Memandang ke sekitar puncak Sindoro
setelah terbakar bagaikan melihat rupa Merapi yang porak poranda selepas
dilanda erupsi 2010, hanya bongkah-bongkah bebatuan gunung dan kerikil yang terlihat
jelas. Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa
Tengah, Sarwa Pramana, mengakui upaya pemadaman kebakaran hutan di Sindoro jauh
lebih sulit ketimbang saat memadamkan api di Merapi dan Merbabu karena hembusan
angin di gunung Sindoro yang selalu berubah-ubah dan lokasi titik api yang
sulit dijangkau oleh tim gabungan.
Sebenarnya, sulit juga untuk
menduga-duga siapa pelaku dari kebakaran hutan tersebut. Pada saat itu memang
sedang terjadi kemarau yang sangat panjang, sehingga gesekan antara
ranting-ranting kering pun bisa saja menjadi penyebab kebakaran. Diluar faktor
alam, sebagai orang yang gemar melakukan pendakian, saya tidak memungkiri kalau
pendaki juga bisa menjadi penyebab utama dari terjadinya kebakaran hutan. Suhu
udara di gunung Sindoro yang sangat dingin tentunya bisa memotivasi seorang
pendaki untuk membuat perapian atau setidaknya berusaha menghangatkan tubuhnya.
Bisa saja ada oknum pendaki yang lupa mematikan api unggun atau sisa-sisa
pembakaran lainnya, bahkan puntung rokok yang dibuang secara sembarangan pun berpotensi
menjadi penyebab terbakarnya semak belukar.
Disisi lain, ulah warga yang tinggal
disekitar kaki gunung Sindoro juga perlu diperhitungkan. Pasalnya, saya
menyaksikan sendiri bagaimana seorang warga dengan sengaja membakar pohon
lamtoro yang sudah mengering. Waktu itu saya belum lama turun dari puncak
Sindoro, sekitar pukul 01.00 siang kejadiannya. Seorang pendaki di pos III
tiba-tiba berteriak ‘kebakaran’, sontak orang-orang yang tengah tidur siang
didalam tenda pun berhamburan keluar, termasuk pak Banar. Kami semua mendongak
ke atas dan melihat dengan jelas api yang berkobar sangat besar. Api itu
membakar dahan lamtoro kering sedangkan hembusan angin saat itu sangat memungkinkan
untuk membuat lidah api menjalar ke dahan yang lain. Lokasi sumber api ke pos
III memang cukup jauh, sekitar 80-100 meter. Namun bagaimanapun juga, semua
yang ada disitu jadi merasa gelisah karena terancam keselamatannya. Pak Banar
akhirnya mencoba menenangkan keadaan;
“Itu bukan kebakaran hutan, itu orang
yang lagi bikin arang” ucapnya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah api
tersebut. Saya segera mengeluarkan lensa tele 70-300 dari tas kamera dan segera
mengintipnya melalui viewfinder kamera
SLR. Setelah saya intip melalui bantuan lensa tele tadi maka terlihatlah
seorang lelaki yang tengah berdiri dengan santai, tidak jauh dari dahan yang ia
bakar. Ekspresi wajah pak Banar kembali seperti biasa, seolah hal semacam ini
adalah hal yang lumrah terjadi di gunung Sindoro. Saya pun bertanya perihal
warga yang baru saja membakar dahan pohon tadi, dia dengan nada datar menjawab;
“Itu orang dari sebelah, kalau warga
Kledung ngga ada yang bakar-bakar kayak gitu”. Saya tidak begitu paham dengan istilah sebelah versi ucapannya, tapi saya juga tidak akan membeberkan asal
warga tersebut disini. Dari situ saya pun mengerti, ternyata ada satu lagi yang
bisa dijadikan penyebab atas terbakarnya hutan di gunung ini.
Estimasi
Biaya Transportasi & Simaksi
Bus
Sinar Jaya Pemuda (Jakarta) – Wonosobo Rp.100.000
Ojek
motor terminal Mendolo – basecamp Kledung Rp.25.000
Simaksi Rp.15.000
Total Rp.140.000
Total ongkos Pulang Pergi Rp.280.000
Hal
Yang Harus Diperhatikan:
1. Persediaan air harus dipersiapkan dari sejak
berada di basecamp Kledung, mengingat di sepanjang jalur
pendakian tidak ada sumber air.
2. Periksa ulang perlengkapan penahan dingin
seperti; jaket, sleeping bag, raincoat, windbreaker, ponco, sarung tangan dan kaus kaki. Di pos III memiliki suhu
berkisar 14° hingga 11° Celsius pada
malam hari, suhu di sekitar puncak bisa mencapai 17°Celsius pada siang hari.
3. Jalur di sepanjang perkebunan tembakau hingga
pos I sangat terbuka dan minim
pohon-pohon untuk berteduh. Pendaki yang hendak berjalan kaki tapi tidak ingin terkena sengatan matahari bisa melakukan pendakian pada sore hari. Selain
udara sudah mulai sejuk, stamina pun
tidak terlalu terkuras akibat banyak mengeluarkan
cairan tubuh.
4. Bila akan bermalam di pos III, pastikan tidak
meninggalkan barang-barang berharga
didalam tenda ketika hendak summit attack. Guna mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan seperti pencurian barang,
anda bisa menggunakan jasa pak Banar atau mbah
Kuat untuk menjaga tenda dan barang-barang
yang ditinggalkan didalamnya.
5. Bila tidak terlalu darurat, lebih baik tidak
membuat api unggun mengingat
kebanyakan gunung di Jawa Tengah berkarakter kering dan rawan terjadi kebakaran hutan.
6. Jangan pernah menaruh sampah, sisa-sisa
makanan atau peralatan makan yang sudah
kotor didepan tenda, karena babi hutan akan mendatangi
tenda yang dibagian depannya terdapat sisa-sisa makanan. Sebisa mungkin bersihkan kembali peralatan masak dan makan anda dengan tissue basah.
GALERI FOTO
![]() |
Saya dan Linda, saat akan memulai pendakian. |
![]() |
Berjalan melalui perumahan warga yang padat .
|
![]() |
Bincay dan Kosik selalu berada didepan saya dan Linda. |
Dipertengahan jalan antara basecamp dan pos I.
![]() |
Linda berpose dengan background gunung Sumbing.
|
Pemandangan yang dapat
dilihat dari spot di pos I.
![]() |
Meluruskan badan setelah lelah karena memanggul beban sejauh 2 kilo. |
![]() |
Tampilan pos II atau pos sekadar lewat. |
![]() |
Sebelum melanjutkan perjalanan ke pos III, Bincay, Kosik dan beberapa pendaki asal Bogor terlihat santai dan saling bercengkrama. |
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSmLmxYhIp8lwbRIu_4J6rVj8Rm6NIf3UxU4cWdV_c25hyphenhyphen33SnS_AnXRqx4h2S39ZQkppgPmLCdwSuymqX546FW7ByEPU80_k0xCC0_BEkV0GReho08-LRaqbxMHruvIP-XUoL07yY9EpS/s640/IMG_2844.jpg)
Ditengah belantara, selonjoran diatas tanah pun rasanya nikmat-nikmat
saja.
![]() |
Warna-warni tenda yang menghiasi pos III gunung Sindoro. |
![]() |
Khawatir hujan turun lagi, saya pun menggali tanah untuk membuat jalur air agar air yang mengalir dari permukaan yang lebih tinggi tidak mengenai langsung ke tenda saya. |
Pondokan milik pak Banar, si penunggu pos III. Pak Banar berada di sebelah kiri, yang mengenakan jaket ungu dan topi coklat.
|
![]() |
Kosik dan Bincay sedang bersiap memasak menu makan siang. |
![]() |
Selepas hujan, langit di pos III kembali cerah. |
![]() |
Gumpalan awan kembali menutupi hampir seluruh badan gunung Sumbing.
|
![]() |
It’s time to cook…! |
![]() |
Menikmati detik-detik terbitnya matahari di hutan lamtoro. |
![]() |
Saya dan plang puncak Sindoro. |
![]() |
Gunung Sumbing terlihat jelas dari mulai kaki hingga puncaknya. |
![]() |
Saya dan Linda.
|
![]() |
Saya, Linda dan Kosik. |
![]() |
Saya, Linda dan Bincay. |
![]() |
Jaket Paripurna untuk kesekian kalinya kubawa ke puncak gunung. |
![]() |
Pagi hari di pos III, 1 September 2016. |
![]() |
Waktunya berpamitan kepada pos III.
|
![]() |
Beristirahat di sebuah batu besar yang berada di jalur menuju pos II. |
![]() |
Tengah hari di perkebunan warga, menuju basecamp Kledung.
|
Soto ayam menjadi pembungkam
rasa lapar manakala saya tiba di basecamp.
Para petani Kledung sedang
mengangkut hasil panen ke atas kendaraan untuk dibawa ke pasar.