Pada
Minggu pagi tanggal 11 Oktober 2015, saya dan seorang teman yang juga sama-sama
penggiat fotografi, beranjak dari Rawasari, Jakarta Pusat menuju kawasan wisata
Kota Tua yang berada di utara Jakarta. Kedatangan kami kesana bukanlah untuk
berekreasi di tempat yang beberapa abad lalu mashyur karena julukannya sebagai “Ratu dari Timur” tersebut, melainkan
untuk mengikuti event Jakarta Street
Hunting XI (JASHXI) yang diadakan oleh Fotografernet, salah satu situs
fotografi di Indonesia yang membebaskan para fotografer memasang foto-foto
hasil jepretannya. Event tersebut
merupakan acara kesebelas yang diadakan oleh Fotografernet.
![]() |
Salah satu bangunan
peninggalan Belanda yang hingga kini masih berdiri kokoh di jalan Kali Besar
Barat, di kawasan Kota Tua, jakarta.
|
Pukul delapan lewat kami tiba didepan
halaman museum Fatahillah, ternyata semua peserta event sudah mendapatkan nametag
mereka dan tampak sedang berbaris untuk mendengarkan arahan dari panitia
penyelenggara. Setelah selesai registrasi di kafe Mega Rasa, sebuah kafe yang
sepertinya dijadikan basecamp bagi
para penggiat fotografi, saya dan Riki (nama teman saya) segera masuk kedalam
barisan. Ia mulai mengeluarkan Canon 100D dari dalam tas kameranya. Tidak lama
kemudian, barisan dibubarkan dan semua peserta mulai berpencar namun tetap
mengikuti arahan dari panitia.
![]() |
Poster Jakarta Street
Hunting XI.
|
Ada yang membuat saya tertarik dengan
beberapa peserta di event ini.
Beberapa dari mereka tampak ada yang menggunakan kamera SLR jadul alias jaman dulu yang tentu saja
masih analog, bahkan ada beberapa peserta yang datang tanpa membawa kamera SLR
karena mereka hanya mengandalkan kamera dari tablet dan handphonenya.
Ya, dunia fotografi memang tidak cuma dimonopoli oleh mereka yang berkalungkan
SLR dengan moncong lensanya yang kekar saja, karena semua orang bisa
menghasilkan gambar terbaik meski hanya dengan menggunakan kamera handphone.
Pagi itu suasana disekitar museum
Fatahillah sudah sangat ramai oleh para pengunjung dan pedagang. Aktivitas
pedagang yang tengah bertransaksi dengan para pembelinya pun jadi sasaran
puluhan mata lensa yang sudah mengincarnya dari semenjak briefing beberapa saat lalu. Para peserta JASHXI bebas mengambil
gambar pada objek manapun yang mereka anggap menarik, sementara beberapa
panitia tetap mengikutinya dan mengarahkan mereka untuk tetap berada pada rute hunting. Jalur perburuan JASHXI kali ini
akan melalui sebuah pemukiman warga keturunan Tionghoa atau Pecinan yang terletak tidak begitu jauh
dari Harco Glodok dan museum Fatahillah.
Pengunjung tengah melihat barang dagangan yang dijajakan disekitar Museum Fatahillah. |
Ada kesan emosional tersendiri di
benak saya terhadap kemegahan bangunan-bangunan tua yang saya lalui pagi itu.
Seolah masih ada dengus nafas Batavia lama atau oud Batavia yang menghembuskan sedikit nostalgia dari kisah-kisah
dimasa kejayaannya dulu. Sejenak saya teringat oleh apa yang ditulis oleh Susan
Blackburn didalam bukunya yang berjudul “Jakarta, Sejarah 400 Tahun” bahwa,
Batavia sepertinya diciptakan hanya untuk memenuhi ambisi dan kepentingan dari pihak-pihak
penguasa saat itu saja. Memang di tahun 1700-an wilayah sekitar kota tua ini hanya
bisa dinikmati oleh kalangan kulit putih, sedangkan untuk pendatang asal Cina,
Arab dan India hanya sekian persen saja. Bagaimana dengan penduduk pribumi? Inlander sepertinya harus legowo menempati bagian luar tembok kota,
kecuali mereka yang menikah dengan orang Belanda, Cina atau Arab, diperbolehkan
tinggal didalam kota. Khusus orang Banten dan Jawa dilarang keras tinggal
didalam kota, bisa dimaklumi karena Banten merupakan rival dari pemerintah
kolonial Belanda dan pihak Belanda tidak pernah mempercayai orang Jawa karena
sudah dua kali Mataram menyerang Batavia meski kedua agresi itu gagal total!
Sebuah ontel tua yang
sedang diparkir tidak jauh dari Museum Bank Indonesia dan fly over Pasar Pagi.
|
Setelah
sekian menit mengamati dan mengambil gambar Museum Bank Indonesia, saya dan
beberapa peserta lainnya kembali melanjutkan perjalanan ke arah Glodok.
Memasuki koridor toko disepanjang jalan Pintu Besar Selatan menuju Harco Glodok,
kali ini giliran pedagang batu akik dan para pelukis jalanan yang menjadi objek
mata lensa. Tiga orang panitia yang bertugas mengikuti kami juga terlihat turut
ambil bagian dalam membidik target, satu diantaranya tetap berkoordinasi dengan
panitia yang lain dengan menggunakan handy
talky.
Pelukis jalanan, salah
satu pemandangan yang akan sering dijumpai disepanjang jalan Pintu Besar
Selatan.
|
“Yuk,
lanjut lagi” ucap salah seorang panitia yang menggunakan SLR berbody besar.
Kami pun segera beranjak dari tempat itu sambil tetap mengamati objek disekitar
yang sekiranya bagus untuk difoto.
Sampailah kami dipersimpangan antara
jalan Pancoran, jalan Pintu Besar Selatan dan jalan Gajah Mada. Panitia
mengarahkan kami untuk belok kanan menuju sebuah tempat, yaitu jalan Kemenangan.
Sebuah kawasan bernuansa Cina di Jakarta dengan jalan yang hanya berukuran
kurang lebih tiga meter, yang kiri kanan bahu jalannya disesaki oleh lapak para
pedagang dan mampu menyedot banyak wisatawan untuk berkunjung. Para pedagang
pribumi terlihat berinteraksi dengan pelanggannya yang keturunan Tionghoa,
sebagian dari mereka malah ada yang meladeni pelanggannya dengan menggunakan
bahasa Mandarin. Aroma bumbu dan rempah-rempah ala orang Cina mulai hinggap di
lubang hidung saya, aroma yang masih asing bagi kalangan warga pribumi yang non
Tionghoa. Warna-warni manisan dan kembang gula yang dipajang di toples-toples
beberapa toko kuliner khas Cina membuat saya jadi sedikit penasaran untuk
mencicipinya, namun lagi-lagi panitia JASHXI memberi gesture kepada kami untuk terus melanjutkan perjalanan.
Seorang warga keturunan
Tionghoa di Petak Sembilan yang menjual peralatan sembahyang bagi umat Buddha.
|
Menyelisik bangunan-bangunan tua
disekitar gang tersebut,lamunan saya mengingatkan kembali pada peristiwa
berdarah yang membuat warga etnis Tionghoa harus pindah dari sekitar kota tua
ke tempat ini. Tragedi memilukan itu terjadi di tahun 1740 yang menewaskan
sekitar 10.000 jiwa warga Tionghoa. Adalah seorang gubernur jendral Adriaan
Valckenier yang bertanggungjawab atas pembantaian etnis Tionghoa tersebut. Berawal
dari keresahan warga Tionghoa yang bekerja sebagai buruh pada pabrik gula
akibat menurunnya harga gula di pasar dunia serta pendapatan mereka yang
semakin berkurang, mereka pun memberontak dan membakar pabrik. Kejadian itu
menewaskan puluhan pasukan Belanda. Berang atas kerusuhan ini, Valckenier
segera menurunkan sekitar seribuan pasukan tetap beserta pasukan wajib militer
untuk menghentikan kerusuhan tadi, bahkan ia juga memperbolehkan
serdadu-serdadunya untuk mengambil tindakan keras sekalipun mematikan. Parahnya
lagi, penduduk pribumi menjadi gelisah akibat perbuatan para pemberontak yang
menewaskan banyak serdadu Belanda tersebut. Akhirnya merebaklah desas-desus perihal
kebrutalan warga Tionghoa yang berujung pada kecurigaan dan prasangka warga
pribumi terhadap mereka. Beberapa hari kemudian, akhirnya ratusan warga pribumi
mendatangi tembok kota, mereka membakar rumah-rumah warga Tionghoa dan menjarah
harta benda miliknya. Penderitaan tidak hanya sampai disitu, diluar rumah
pasukan Belanda segera menembaki warga Tionghoa yang berhamburan hendak
menyelamatkan diri ketika rumah-rumah mereka dibakar. Serdadu lainnya juga
memborbardir rumah-rumah itu dengan meriam sehingga banyak orang Cina yang
tewas didalamnya. Mereka yang tertangkap hidup-hidup segera digiring ke tengah jalan
untuk kemudian dibantai secara massal lalu mayatnya dilempar ke sungai di
sepanjang jalan Kali Besar. Potongan kepala dan anggota tubuh korban
pembantaian seperti menjadi pemandangan yang biasa kala itu. Sumber lain juga
menyebutkan, beberapa warga Tionghoa yang berhasil kabur dengan menceburkan
diri ke sungai juga bernasib sama naasnya. Mereka disambut dengan rentetan
senjata para serdadu Belanda yang sudah bersiaga menggunakan perahu kecil.
Pasien-pasien keturunan Tionghoa yang sedang dirawat di rumah sakit dipaksa keluar
menuju jalan raya untuk kemudian turut dibantai pula. Sebagian besar pelaut
Belanda yang miskin dan hobi menghabiskan malamnya dengan berjudi serta mabuk-mabukan,
juga ditemani oleh warga pribumi dari kalangan “etnis tertentu” mendatangi
rumah-rumah yang sudah hancur terbakar, mereka lalu menghabisi warga Tionghoa
yang kedapatan masih hidup. Tidak bisa dibayangkan kengerian juga banjir darah
yang menggenangi jalan-jalan disekitar kota tua dan Kali Besar pada saat itu. Setelah
kerusuhan ini mulai mereda, akhirnya dari pihak Belanda mengusulkan untuk
berdamai serta melarang orang-orang keturunan Tionghoa untuk bermukim didalam
kota. Mereka pun menempati pemukiman yang terletak di batas kota, yaitu
disekitar Glodok, agar segala pergerakannya bisa mudah diawasi oleh Belanda.
Suasana pasar yang
berada di jalan Kemenangan, Petak Sembilan, Jakarta Barat.
|
Saya pun tiba didepan sebuah wihara
yang sudah dibangun sejak 400 tahun yang lalu, yaitu wihara Dharma Bhakti.
Wihara tertua di jakarta ini terlihat tidak begitu ramai dikunjungi oleh mereka
yang hendak bersembahyang pagi itu, kecuali oleh para peserta JASHXI dan
belasan pengemis yang mengharapkan jiwa sosial dan rasa iba dari mereka yang
datang untuk melakukan sembahyang. Puing-puing sisa dari kebakaran beberapa
bulan yang lalu masih bisa saya lihat meski akses kearah situ sudah ditutup
oleh pagar seng dan bentangan spanduk berwarna merah. Agak canggung juga saya
untuk masuk kedalam wihara tersebut. Bukannya apa-apa, yang namanya rumah
ibadah pastinya ditujukan untuk melaksanakan ibadah bagi para penganutnya dan
sudah pasti bersifat sangat sakral. Tidak beberapa lama, akhirnya saya
memberanikan diri untuk memasuki pekarangan wihara setelah melihat banyak peserta
yang juga memburu objek fotonya didalam klenteng tersebut. Warna merah tampak
mendominasi bagian luar dan dalam wihara, dibagian atas tergantung puluhan
lampion serta kertas yang dibubuhi doa-doa dengan tulisan Cina, aroma hio
tercium dari sebuah guci berbahan kuningan yang terletak tidak jauh dari altar,
ukiran-ukiran khas Tionghoa dengan cat berwarna emas terlihat menghiasi meja
altar itu. Didalam ruangan, saya hanya mengambil foto beberapa objek saja
karena tidak tahan terhadap asap hio yang membuat mata terasa panas. Setelah
selesai, saya dan Riki segera melanjutkan perjalanan menuju jalan Kemenangan
III hingga berakhir di jalan Pintu Kecil. Setibanya di Kali Besar, saya dan
Riki tidak segera merapatkan barisan bersama dengan peserta yang lain di kafe
Mega Rasa. Sebuah bangunan tua yang masih berdiri kokoh di jalan Kali Besar
Barat sangat menggoda saya untuk segera mengarahkan lensa dan membidiknya meski
saat itu matahari sudah sedemikian teriknya. Sepuluh menit sudah saya mencari angle untuk mendapatkan gambar bangunan
tersebut, saya pun balik badan hendak menuju kafe Mega Rasa dengan melintasi
sebuah jembatan yang dibawahnya terdapat sungai yang dulu pernah menjadi saksi
bisu atas sebuah tragedi berdarah sekaligus tempat pembuangan bangkai ribuan warga
Tionghoa yang tewas akibat pemberontakan Cina tahun 1740.
Altar yang berada
didalam ruangan klenteng.
|
Dunia fotografi sekali lagi memiliki
daya tarik tersendiri dikalangan para penggemarnya. Dengan kamera yang belum
memiliki fitur canggih pun, seorang fotografer bisa menghasilkan gambar yang
bagus bila ia sudah mengerti dasar-dasar serta tekniknya. Berani dalam mencari angle yang berbeda serta bisa
memanfaatkan moment merupakan salah
satu kuncinya, namun tetap modal utama seorang fotografer adalah “cahaya”.
Saya mengapresiasi event ini yang mana tidak hanya
melibatkan para fotografer profesional, mereka yang amatir pun diperbolehkan
untuk turut serta didalamnya sehingga hobi yang satu ini tidak menciptakan
sekat-sekat antara mereka yang sudah memiliki banyak jam terbang dengan mereka
yang masih newbie. Semoga kedepannya
para penggiat fotografi di tanah air semakin kreatif dengan diadakannya event seperti JASHXI beberapa waktu
lalu.
RUANG BERGAMBAR :
Seorang penjaja mainan
anak-anak di halaman depan Museum Fatahillah, Jakarta.
|
Berbagai macam kerajinan tangan yang dijual di Kota Tua (dok: Riki). |
Salah seorang peserta
JASHXI yang juga tengah memburu objek.
|
Suasana koridor
toko-toko di jalan Pintu Besar Selatan.
|
Sebuah bangunan yang
tengah dipugar tidak jauh dari Harco Glodok.
|
Lapak seorang pedagang
batu akik (dok: Riki).
|
Jasa pembuat kunci
duplikat (dok: Riki).
|
Hio didepan wihara.
|
Riki didepan pintu masuk menuju ruangan persembahyangan. |
Penjaga klenteng Dharma
Bhakti.
|
Persembahan diatas meja
altar.
|
Patung sang Buddha atau
Siddhartha Gautama yang diletakkan disebuah etalase berkaca di wihara Dharma
Bhakti.
|
![]() |
Cahaya lilin diantara lampion do’a. |
Kobar api di meja
altar (dok: Riki).
|
Suasana didepan jalan
Kemenangan 7.
|
Tembok Gapura di jalan Kemenangan 7 yang dihiasi ornamen-ornamen khas Cina. |
Seorang warga yang
tengah membakar persembahan disebuah tempat persembahyangan.
|
Tempat sembahyang yang berada disebelah tembok
gapura jalan Kemenangan (dok: Riki).
|
Aliran sungai disepanjang
jalan Pintu Kecil dengan kerimbunan yang tersisa.
|
Suasana pusat penjualan
buku-buku bekas di Pasar Pagi.
|
Jalan raya yang akan
menuju jalan Kali Besar Barat.
|
Papan petunjuk arah
jalan dan kubah bangunan tua.
|
Pedagang es potong
keliling.
|
Foto bangunan tua yang
berada di jalan Kali Besar Barat setelah diberi sedikit sentuhan bernuansa retro.
|
Meski sudah berusia ratusan tahun, namun gedung ini masih tetap kokoh. |
Tampilan saat ini dari Oud Batavia yang pada abad ke 17 menjadi kebanggaan pihak kolonial Belanda. |
Saya didepan stadhuis Batavia atau yang kini lebih
populer dikenal sebagai Museum Fatahillah Jakarta.
|
Salah seorang manusia
batu atau patung hidup yang ada disekitar pelataran Museum Fatahillah (dok: Riki).
|
Patung hidup dan
kacamata.
|
Lelaki paruh baya yang
bergaya dan menggunakan kostum bak jawara Betawi tempo dulu. Ia mengais rezeki
dari jiwa sosial para pengunjung yang datang ke Kota Tua (dok: Riki).
|