“Ceklek...!” kamera SLR yang ditopang tripod
itu menuntaskan tugasnya dalam mengabadikan moment sesaat sebelum tim “Smile Trip” ini beranjak menuju objek
wisata Kawah Ratu, Gunung Salak, Bogor. Dengan mengandalkan landscape gunung Pongkor serta
perbukitan yang berjejer indah di sebelah barat kota Bogor, membuat setiap
orang yang melewati desa Kebon Kopi, kecamatan Pamijahan, akan tergoda hatinya
untuk berpose dan mengabadikannya, tidak terkecuali kami. Setelah berpamitan
dengan kedua orang tua saya selaku tuan rumah dimana kami transit untuk
bermalam, tim ini pun segera melangkah ke arah bumi perkemahan Gunung Bunder
yang letaknya hanya sekitar 500 meter saja dari rumah peristirahatan tersebut.
Tim "Smile
Trip" foto bersama sesaat sebelum menuju bumi perkemahan Gunung Bunder.
Dari kiri ke kanan : Syaiful, ngkong Usman, Aldi, Bila, Vita, Alin, Claudia,
Dwi, Nevi, Devi, Neva.
|
Hari masih pagi manakala kami tiba di
Bedeng atau sebutan lain untuk bumi perkemahan Gunung Bunder. Sebagian besar
warung terlihat tutup, hanya satu dua saja yang tetap buka walau saat itu bukan
weekend. Sebenarnya 500 meter
bukanlah jarak yang jauh untuk ditempuh, namun dikarenakan kondisi jalan yang
terus menanjak maka cukuplah kiranya jarak seperti itu membuat pakaian kami
basah oleh keringat. Ngkong Usman yang dinobatkan sebagai team guide sekaligus anggota tertua, memutuskan beristirahat
didepan warung ngkong Rahmat Kite, salah satu warga yang lama berdomisili di
tempat tersebut. Warung nkong Kite memang tutup, namun kami merasa cukup
beristirahat di depan warungnya saja. Selain kepada Devi, Neva dan Nevi, saya
masih merasa sedikit kaku terhadap empat orang lainnya, yaitu : Bila, Dwi,
Alin, Claudia dan Vita. Maklum, baru pagi itu saya mengenal keempatnya. Mata
jelalatan milik Syaiful a.k.a Ipul, selalu tertuju pada Dwi Shaniah yang hobi
berdiam diri.
Beristirahat sejenak didepan warung ngkong Kite, di bumi
perkemahan Gunung Bunder.
|
Peluh di baju sudah beranjak kering,
kami pun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan berbatu yang dikiri
kanannya dihiasi batang-batang Pinus yang kekar menjulang. Suasana Bedeng pagi
itu masih sepi dari gelak tawa manusia, namun sesekali tetap terdengar deru
bising knalpot kendaraan yang lalu lalang di jalan beraspal dibawah sana. Jalan
yang kami lalui ini merupakan jalan pintas yang nantinya akan melalui tangga
seribu, jalur teringkas untuk menghemat waktu ketimbang menyusuri jalan aspal
yang berliku. Setibanya di tempat yang cukup lapang dan datar, kami memutuskan
untuk kembali beristirahat sejenak. Tidak jauh dari tempat kami beristirahat,
terlihat oleh saya kotoran babi hutan yang berserakan di jalur dimana nanti
kami akan melaluinya. Beruntung itu bukan kotoran macan, pikir saya. Meski
demikian, pandangan saya dan ngkong Usman tetap awas terhadap keadaan
disekeliling kami sebab tempat itu sudah berada jauh dari keramaian.
“Yuk ah, kita cabs” ujar ngkong Usman. Kami pun segera pergi dari tempat itu.
Melanjutkan perjalanan melalui jalan berbatu dengan pohon-pohon pinus
yang tumbuh dikiri dan kanannya, membuat suasana jadi terasa teduh.
|
Sekitar hampir pukul sebelas siang,
rombongan ini tiba juga di Pasir Reungit, tempat dimana kami harus melakukan
registrasi di pos penjagaan yang dikelola oleh pihak Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Salah seorang penjaga pos tersebut menyarankan kepada kami agar
sebaiknya kami membawa pemandu atau setidaknya ada salah seorang dari tim ini
yang pernah berkunjung ke Kawah Ratu. Setelah saya berikan penjelasan bahwa
saya, Redi dan ngkong Usman sudah sering ke tempat yang akan kami tuju, pegawai
pos penjagaan itu pun akhirnya mengerti dan mempersilahkan kami untuk
melanjutkan perjalanan. Perlahan rombongan “Smile
Trip” mulai meninggalkan pos penjagaan, memasuki belantara gunung Salak
yang senyap dibalik pekatnya rerimbunan.
Track lurus dan datar akan sering kita jumpai di jalur menuju Kawah Ratu, itu sebabnya akses menuju kesana bisa terbilang mudah untuk khalayak umum. |
*****
Nevi dan Devi terlihat sangat intim,
mereka bercanda sedemikian akrabnya, sangat berbeda dengan kembarannya, Neva.
Neva merupakan sosok yang tidak banyak bicara namun sangat gesit dalam meniti
jejak di sepanjang jalur. Saat itu, Neva mungkin sedang ingin mempertontonkan
kemampuan berjalan cepatnya kepada teman-temannya, namun ia juga akan dengan
senang hati menghentikan langkahnya manakala berada di spot yang menurutnya cukup
bernuansa mistis dan membuat bulu kuduknya meremang.
Sementara itu, ngkong Usman, Redi,
dan Ipul harus berurusan dengan empat perempuan lainnya yang ternyata belum
terbiasa dengan kegiatan mendaki seperti ini. Keempat orang itu adalah,
Claudia, Vita, Dwi, dan Alin. Dengan sabar ngkong Usman dan Redi mendampingi
mereka dan tentu saja itu membuatnya jadi semakin tertinggal jauh dibelakang
saya, Neva, Nevi, Devi dan Bila. Rasanya terlalu egois bila harus terburu-buru
untuk jadi bagian yang terdepan, toh kami tidak sedang berlomba mencari
sesuatu. Maka, saya meminta kepada Neva dan yang lainnya untuk menunggu ngkong
Usman, Redi, Ipul, Claudia, Vita, Alin dan Dwi, di sebuah tempat yang agak
terbuka dan berbidang datar. Tak lama kemudian yang ditunggu-tunggu pun datang
menyusul. Redi, Ipul dan Devi segera mengisi persediaan air minum mereka di
sungai kecil yang berair sangat jernih, yang berada tidak jauh dari tempat kami
beristirahat.
Beristirahat di shelter yang memiliki tanah cukup datar dan luas sebelum
menuju ke kali terakhir.
|
Perjalanan kami lanjutkan lagi hingga
akhirnya sayup-sayup dapat saya dengar gemericik air didepan sana. Benar saja,
tak lama kemudian kami pun telah tiba di jalur yang dipenuhi air dengan
ketinggian dari mulai semata kaki hingga nyaris selutut. Airnya sangat jernih
dan terasa begitu menyegarkan, meski demikian jalur ini bisa menjadi sangat
berbahaya dan mematikan ketika musim hujan datang. Menurut penuturan dari
ngkong Usman, pernah ada orang yang tewas karena terseret derasnya arus air di
jalur ini. Memang bila sedang memasuki musim hujan, airnya bisa mencapai
ketinggian sepinggang orang dewasa, beruntung hari sedang cerah meski kami
melakukan trip ini di pertengahan bulan Desember. Selain saya, Redi, ngkong Usman
dan Ipul, kedelapan peserta lainnya yang bergender perempuan harus merelakan
sepatunya kuyup direndam dinginnya air di jalur tersebut. Saya sudah mengetahui
medan menuju Kawah Ratu yang seperti itu sehingga saya memutuskan untuk tidak
menggunakan sepatu, cukup sandal gunung saja.
Hampir disepanjang jalan menuju Kawah Mati kita akan dimanjakan oleh
gemericik air sungai yang jernih dan menyegarkan.
|
Rupa-rupa bebatuan yang terdampar
didasar aliran jalur air itu bisa kita lihat dengan jelas, bahkan Redi sangat
antusias sekali memilah-milah batu yang mungkin bisa ia bawa pulang ke rumah
lalu ia bentuk menjadi sebuah batu cincin. Selidik punya selidik, rupanya
euforia batu akik itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa ia mau turut
serta didalam trip ini. Sayangnya mencari batu yang dapat dijadikan perhiasan
tidaklah semudah yang ia bayangkan. Akhirnya dari sekian banyak batu yang telah
ia sortir, tak ada satupun batu yang memenuhi kriteria sebagai batu akik. Redi
pun kembali melangkah dengan tetap menelisik setiap bongkahan yang dianggapnya
menarik.
Menikmati sensasi kesegaran air sungai yang bening dan segar.
|
*****
Ngkong Usman membuka daypack dan mengeluarkan kompor Trangia miliknya. Ia segera memasak air
untuk membuat mie instant, kopi dan teh manis. Inilah spot dimana kami akan mengisi
perut dengan menu seadanya, orang-orang biasa menyebutnya dengan nama kali terakhir. Disebut sebagai kali
terakhir mungkin lebih bermaksud kepada aliran sungai terakhir yang airnya
masih bisa digunakan untuk minum atau untuk keperluan memasak, sebab selepas
dari tempat itu sudah tidak ditemukan lagi sungai yang airnya jernih dan bisa
dikonsumsi.
Tengah mempersiapkan cooking ware untuk menyediakan makan siang.
|
Di tempat itu pula kami bertemu
dengan serombongan anak SMP yang mengenakan pakaian Pramuka dan pakaian
olahraga, sontak suasana kali terakhir yang semula hening kini dipenuhi oleh
derai tawa mereka. Saya pun bertanya kepada ketua rombongannya;
“Dari kawah, mang?”
“Iya, kang” jawabnya singkat.
“Rame
disana?” tanyaku lagi.
“Lumayan, tadi sih ada yang ngelintas
dari arah Cidahu” timpalnya lagi. Orang itu kemudian berpamit diri setelah saya
berterimakasih atas informasinya. Saya berharap sesampainya nanti di Kawah
Ratu, keadaannya tidak ramai oleh pengunjung mengingat saat itu sudah memasuki
masa-masa liburan sekolah.
Redi dan Ipul terlihat sedang sibuk membantu
ngkong Usman memasak air dan menyediakan teh manis hangat untuk semua peserta
perempuan. Alin, Vita, Dwi dan Claudia sepertinya mendapat prioritas untuk
pertama kali mengecap hangatnya teh tubruk buatan ngkong Usman, paras mereka
sudah terlihat kepayahan padahal baru melakukan setengah perjalanan. Setelah
kopi dan teh manis tersaji, kini giliran mie instant yang harus segera
dihidangkan sebab saat itu sudah hampir pukul satu siang. Saat hidangan matang
dan siap dimakan, Devi segera berinisiatif untuk mengambil alih nesting berisi
mie yang masih mengepulkan asap itu untuk kemudian menyuapi Neva dan Nevi.
Sementara kedelapan anak perempuan tadi makan, saya dan Ipul bergantian memasak
mie, Redi dan ngkong Usman mengambil nafas dulu dengan menikmati segelas kopi
panas sambil menghisap kretek. Dwi yang sudah makan dan minum terlihat masih
saja diam, alhasil beberapa kali Devi dan ngkong Usman mengingatkannya agar
tidak melamun apalagi sampai kosong pikiran. Alin, Vita dan Claudia tampak
sudah kembali segar wajahnya, mereka sudah kembali bisa melontarkan
ejekan-ejekan kepada sesama anggota gengnya. Nabila yang saat itu saya kenal
masih terkesan pemalu, meski demikian ia lah orang yang suatu saat akan
mengocok perut saya pada trip selanjutnya ke puncak Salak I. Sementara Neva
tetap asyik sendiri melihat beberapa rekaman video yang ada pada kamera milik
Devi.
Suasana makan siang di kali terakhir.
Sangat berkesan rasanya menikmati
makan siang di alam terbuka seperti itu, diantara gemericik ria air sungai yang
menjajakan kejernihan dan kesegaran, ditengah rimba liar yang mengawal kami
dalam jubah rerimbunan, dan diantara kicau burung-burung yang masih bisa bebas
bermain di dahan-dahan, walaupun menu saat itu hanyalah sepiring mie instant
dan segelas teh manis hangat saja. Untungnya ini hanya perjalanan singkat ke
Kawah Ratu sehingga kami tidak perlu membawa banyak perlengkapan.
Belum tentu bisa sebulan sekali merasakan dan menikmati suasana menenangkan
seperti ini.
|
Sambil menunggu Ipul dan ngkong Usman
menghabiskan batang kreteknya, terkecuali Devi dan Neva, geng cewek yang lain
mengisi waktunya dengan bermain air. Redi lebih memilih untuk mengeksplorasi
aliran sungai terakhir untuk mencari (lagi) batu-batu yang dianggapnya bisa
dijadikan batu cincin. Saya cukup menikmati suasana saat itu di sebuah batu
besar. Dari tempat saya duduk bisa terlihat sosok gunung Sumbul yang mencuat
dari balik kabut, penampakannya timbul tenggelam seiring bergeraknya kabut yang
terbawa hembusan angin. Dari jauh juga bisa terdengar suara owa gunung atau
sejenis primata lainnya yang loncat dari satu dahan ke dahan yang lain. Lalu
kembali saya menatap ke arah geng cewek tadi, perempuan-perempuan kota itu
membiarkan tubuh dan pakaian mereka basah dijamah oleh dinginnya air
pegunungan, rasa lelah mereka terbayarkan sudah oleh percik-percik kejernihan
yang menghapus kepenatan, kejenuhan mereka terhapus oleh nuansa hijau belantara
yang masih suci dari asap polusi.
Bermain air, mereka sadar di kota tidak dapat mereka temukan hal menyenangkan seperti ini. |
*****
“Selamat datang di Kawah Mati” ucapku
manakala rombongan terakhir yang dipandu oleh ngkong Usman tiba. Beberapa
pasang mata terbelalak tanpa berkedip menyaksikan keeksotisan alam yang tersaji
di tempat tersebut.
Kawah Mati, salah satu spot menarik sebelum mencapai situ Hyang dan
Kawah Ratu.
|
“Ini namanya Kawah Mati” kata ngkong
Usman mencoba menjelaskan pada Nevi. Ia juga memberikan pengertian bahwa Kawah
Mati bukan Kawah ratu, karena Kawah Mati merupakan area kawah gunung Salak yang
sudah lama tidak aktif lagi. Sebelumnya, beberapa peserta ada yang mengira
kalau Kawah Mati adalah destinasi wisata yang akan kami singgahi. Tidak jauh
dari Kawah Mati terdapat aliran sungai yang airnya berwarna putih keruh akibat
tercemar belerang kawah. Ribuan dahan Cantigi yang meranggas gersang seolah
menjadi pemanis di tempat itu, sementara bukit-bukit kapur nan kokoh
membentengi area sekitar Kawah Mati dengan segala kebisuannya. Kami kembali
melanjutkan perjalanan untuk menuju ke titik berikut, yaitu: situ Hyang.
Ngkong Usman sedang memberikan penjelasan kepada Nevi perihal asal-usul
dinamakan Kawah Mati.
|
Tidak mudah jalur yang harus kami
lalui sebelum mencapai turunan curam dimana kami bisa memandang situ Hyang dari
kejauhan. Lumpur yang dihasilkan oleh tanah berkapur serta endapan sulfur yang
bercampur dengan genangan air hujan ditempat tersebut semakin mempersulit kami
dalam melangkah. Tidak jarang ada saja peserta yang terjebak didalam kubangan
lumpur berwarna putih itu akibat salah menjejak. Track di tempat ini
betul-betul menjadi penghambat meskipun pada akhirnya kami bisa mengatasinya.
Dari semua peserta wanita yang ada disitu, hanya Neva yang tetap cool menjelajak tanpa mengumbar sepatah
kata apapun.
Neva yang selalu asyik dengan dunianya sendiri.
|
Sebelum menuruni turunan yang cukup
curam dan licin, saya menyempatkan diri untuk memandang sosok situ Hyang dari
atas sini. Nevi, Neva, Devi dan Bila juga turut serta melihatnya. Tampak ada
kabut tipis yang mengambang tenang diatas permukaan airnya yang berwarna coklat
agak kehijauan, menjadikan situ Hyang kian misterius saja dibalik pesona alam
Kawah Mati. Setiap berkunjung ke Kawah Ratu, saya selalu tertarik menyaksikan
situ Hyang dari spot ini. Danau sunyi itu sepertinya tercipta akibat erupsi
gunung Salak yang terjadi sekitar tahun 1800-an, yang getarannya mampu
meluluhlantakkan istana Bogor yang kala itu masih bertingkat tiga.
Berpose di tempat yang tidak jauh dari situ Hyang.
|
Aroma sulfur yang terhirup kian tajam
menyengat, sayup-sayup bisa terdengar suara gas panas yang mendengus keras dari
dalam perut bumi. Tak lama kemudian, kami pun tiba di tempat yang kami tuju:
Kawah Ratu! Decak kagum beberapa peserta wanita atas keelokan Kawah Ratu mulai
mengisi keheningan di siang itu, tak ada lagi keluh kesah akibat gelisah
memikirkan kapan sampainya atau bagaimana nanti pulangnya. Siang itu tidak kami
temukan pengunjung lain yang berada di Kawah Ratu sehingga kami bisa bebas
memilih tempat untuk mengambil foto.
Sesampainya di Kawah Ratu.
|
Tidak butuh waktu lama bagi kami
untuk menikmati keindahan Kawah Ratu, sementara hari mulai menjelang sore.
Khawatir kadar gas beracun yang dihasilkan oleh uap sulfur semakin meningkat,
kami pun akhirnya bergegas pulang. Saya dan ngkong Usman enggan mengambil
resiko bila harus berada di tempat itu terlalu lama. Kawah Ratu sudah sering
meminta korban jiwa karena kasus menghirup gas beracun. Terakhir yang saya
temui adalah kasus meninggalnya enam anggota Pramuka asal Tangerang, Banten, pada
bulan Juli 2007 silam. Menurut penuturan pihak yang mengevakuasi jenazah
korban, beberapa orang dari rombongan itu sesampainya di Kawah Ratu langsung
menghampiri tepian sungai Cikuluwung yang terlihat menarik karena berwarna
putih namun agak jernih. Aliran sungai Cikuluwung merupakan aliran air yang
berasal dari kawah Cikuluwung Putri, salah satu kawah aktif di Kawah Ratu
selain kawah Hirup. Sesampainya ditepi sungai, mereka berjongkok untuk membasuh
lengan dan wajah mereka. Karena terlalu lama jongkok, besar kemungkinan mereka
menghirup gas beracun sehingga mereka tidak sadarkan diri dan tubuhnya ambruk
ke aliran sungai yang airnya memiliki suhu cukup panas tersebut. Melihat hal
itu, sang komandan regu dengan spontan berlari ke tempat kejadian untuk
memberikan pertolongan kepada anak buahnya, sayangnya sang komandan pun
melupakan peraturan untuk tidak terlalu lama berjongkok (karena gas beracun
mengambang di udara hanya sekitar setengah meter dari permukaan tanah yang
artinya sejajar dengan lubang hidung orang dewasa). Komandan malang itu pun
mengalami hal yang sama dengan anak buahnya, mereka meninggal dunia ditepian
aliran sungai Cikuluwung yang terus menerus mengepulkan asap putihnya ke udara.
Ketika tim evakuasi yang sempat saya temui di puncak Salak I itu mengangkat
jenazah para korban dari aliran sungai, ada sebagian korban yang kulit wajah
dan tangannya terlepas dari dagingnya, itu dikarenakan sudah terlalu lama tubuh
mereka berada didalam air yang bersuhu panas.
Foto bersama sebelum kembali turun ke Pasir Reungit.
|
*****
Saya, Devi dan Nevi menuruni bebatuan
yang tajam dan cukup terjal. Devi bahkan sempat terjatuh dan tubuhnya menimpa
kamera yang ia bawa, beruntung kameranya tak mengalami kerusakan. Saat itu kami
bertiga hendak menuju situ Hyang, sementara peserta yang lain enggan turut
serta dan lebih memilih untuk menunggu kami diatas sana. Jalur menuju situ
Hyang bisa dibilang cukup merepotkan karena bagian yang agak landainya terputus
oleh ranting kering, dahan yang tumbang serta semak belukar yang memiliki duri
tajam, sehingga kami mau tidak mau harus menuruni bebatuan tadi dengan
hati-hati. Sesampainya dibawah, kami pun mengikuti aliran air bercampur sulfur
yang nantinya akan membawa kami menuju tepian situ Hyang.
Seperti inilah jalur menuju situ Hyang, sebelumnya kami harus menuruni
turunan terjal berbatu terlebih dahulu untuk mencapai spot ini.
|
Saya dan Nevi di tepian situ Hyang.
|
PICTURES OF THE MOMENT :
Saya dan Redi.
|
Awal perjalanan yang langsung dimulai dengan jalanan menanjak.
|
Di suatu tempat yang sudah berdekatan dengan tangga seribu.
|
Menyusuri lekuk-lekuk jalanan tanah dan berbatu.
|
Sepatu dan celana basah? Tidak masalah...!
|
Tak pernah puas bermain-main dengan sejuknya air pegunungan.
|
Redi.
|
Menikmati rokok sambil menanti yang lain selesai beristirahat.
|
Devi.
|
Dwi.
|
Neva.
|
Aldi.
|
Nevi.
|
Ngkong Usman.
|
Nabila.
|
Vita.
|
Claudia.
|
Alin.
|
Syaiful.
|
Dampak terlalu intim dengan Redi, Syaiful pun jadi ikut-ikutan terkena
demam batu.
|
Nabila, Devi dan Nevi.
|
Foto menjelang pulang.
|
Foto bersama diantara asap kawah yang mengambang tenang.
|
All together now...!
|
Nevi dan Alin tampak asyik mencari bongkahan belerang untuk dijadikan
sebagai masker.
|
Syaiful dan Redi berpose dengan mengenakan masker belerang selepas
dari Kawah Ratu.
|
Setelah melalui jalur yang cukup menyulitkan, akhirnya saya bisa
mengabadikan situ Hyang dari jarak dekat.
|