Rona
matahari perlahan mulai menjamah dinding-dinding berbatu yang tampak kekar
mengelilingi pelataran parkir Camp David pagi itu. Pancar keemasan mendominasi
bebatuan terjal, terlihat sangat kontras dengan warna langit yang masih
sempurna membiru tanpa ternoda oleh bercak awan. Angin pagi mendesau diantara
sela-sela dahan Cantigi, merambah halus hingga menyusup kedalam pori-pori sebagian
pendaki yang enggan bersembunyi dibalik jaketnya. Beberapa diantara mereka tampak
ada yang menyerah dengan segera mengenakan sweater, bahkan sarung tangan. Saya
meloncat keluar dari dalam tronton, sontak dinginnya udara pagi pun segera
menggerayangi wajah dan tubuh saya. Tidak lama kemudian terdengar pekik salah
seorang teman yang tengah berada didalam kamar kecil yang berada didekat
mushala. Rupanya ia baru saja dibuat terkejut oleh sensasi air yang mengucur
dari pipa di toilet tersebut.
Truk tronton dan para peserta pendakian yang baru saja tiba di pelataran parkir Camp David, gunung Papandayan, Garut (foto: Dimas Yulianto). |
“Gile,
Aernye udeh kaya aer es aje!” kata Alung dengan nada bergetar,
tangannya pun tampak gemetaran. Hampir seluruh peserta pendakian yang berada
didekatnya tertawa geli ketika melihat gesture
orang itu yang tengah berusaha menahan rasa dingin.
Waktu menunjukkan baru pukul setengah
enam pagi waktu setempat. Di tempat kami hendak melakukan registrasi, saat itu sudah
terpapar cahaya matahari pagi sehingga membuat hangat seluruh pendaki yang
berada di Camp David. Dyah, Widi dan Menggala mengumpulkan fotokopi KTP dari
para peserta untuk didata di pos pemeriksaan. Redi, Dimas dan beberapa peserta
lain terlihat sedang menikmati hangatnya kopi di sebuah warung. Saya sendiri
tengah sibuk menyetel tripod untuk melakukan pemotretan sebelum pendakian ini
dimulai. Bunga, adik saya yang sengaja saya ajak melakukan pendakian bersama
ini, terlihat sudah mulai akrab dengan beberapa peserta lain. Inilah pendakian
pertama dan terakhir kali yang diadakan oleh komunitas kami, Uwer-Uwer.
Ready, steady, go...! |
Manggala mengumpulkan semua peserta
pendakian di pelataran parkir, kemudian dia membuka sebuah trashbag berwarna hitam dihadapan para peserta. Rupanya trashbag barusan berisi gelas berbahan stainless steel yang jumlahnya tentu
saja disamakan dengan jumlah peserta. Gelas berbahan logam itu sengaja dipilih
sebagai sounvenir karena bisa
langsung digunakan pada saat pendakian kali ini maupun pada pendakian
selanjutnya. Dari panitia penyelenggara memang tidak menyediakan souvenir yang terbilang wah karena biaya
open trip ini pun terbilang sangat
murah, hanya dua ratus sepuluh ribu Rupiah saja, yang mencakup simaksi, sewa
truk tronton pulang pergi juga termasuk BBM. Pendakian ini diadakan tidak
mengacu pada keuntungan atau benefit
oriented, melainkan karena rasa kebersamaan kami yang rindu bercengkrama di
alam terbuka. Tidak ada sepeser Rupiah pun yang masuk kedalam kantong panitia,
malah Dyah sampai harus mengeluarkan kocek agar salah seorang peserta bisa ikut
serta. Semuanya murni demi kebersamaan dan menjaga tali persaudaraan yang
terjalin ketika kami melakukan pendakian ke Semeru, Juli 2013 lalu. Karena rasa
keakraban pasca pendakian ke Semeru itulah kemudian terbentuk komunitas Uwer-Uwer.
Tepat
pukul tujuh lewat sepuluh menit kami pun memulai perjalanan menuju camp area yang berada di Pondok Saladah
setelah sebelumnya saya sempat mengabadikan moment di Camp David bersama
seluruh peserta pendakian.
Derap-derap langkah menghujam
permukaan tanah yang kering berbatu, tawa canda menyeruak bebas dari balik
ranting-ranting Cantigi yang berjejer disisi kiri kanan jalur pendakian.
Sekitar dua ratus meter kedepan tampak asap putih yang membumbung ke angkasa
lalu pudar terurai oleh udara dan akhirnya membaur bersama birunya atap langit.
Dimas, Okki dan Dyah tampak sedang menikmati view yang disajikan didepan sana,
tak beberapa lama mereka pun mengabadikan moment di spot tersebut. Jujur selama
melakukan beberapa kali aktifitas pendakian, baru sekarang saya menyaksikan
langit yang biru cemerlang seperti itu.
Tim mulai melakukan perjalanan menuju kawah hingga ke Pondok Saladah. |
Dimas, Okki, Dyah, Manggala, dan Belly
berhasil saya dahului, Bunga sekarang sudah menyelaraskan tempo langkahnya
bersama Riri, Ratri, dan Iput. Saya tetap berjalan meniti bongkahan bebatuan
yang berpotensi menciderai apabila tidak benar-benar teliti dalam memilih celah
yang pas untuk berpijak. Sesekali saya menghentikan langkah untuk mengambil
nafas atau sekedar untuk mengambil gambar dari SLR yang saya bawa. Seorang
wanita tua yang tengah membawa beban di pundaknya terlihat berjalan dari arah
berlawan, kulitnya legam akibat biasa bergumul dibawah terik matahari. Saya
menyapa wanita tua itu, lalu ia membalas sapaan saya dengan senyum renta
bersahaja. Tak selang beberapa lama, kembali saya melanjutkan perjalanan
setelah wanita tua tadi menghilang dari pandangan.
Wanita tua yang saat itu saya jumpai di jalur menuju kawah. |
Baru saja melangkah beberapa depa
dari tempat semula, sayup-sayup telingaku menangkap deru mesin yang entah
bersumber darimana. Awalnya aku berpikiran itu mungkin hanya suara mesin mobil
yang tengah dipanaskan di pelataran parkir yang berada di Camp David, tapi
suara tersebut semakin lama seperti semakin mendekati. Aku menoleh ke arah
belakang karena rasa penasaran tadi. Ternyata bising mesin yang mengusik
keterpukauanku terhadap panorama Papandayan saat itu berasal dari sebuah motor
trail yang tengah dipacu oleh seorang ranger setempat. Orang itu terlihat
sangat lincah diatas motornya meskipun jalur yang tengah ia jajaki merupakan
medan yang cukup terjal berbatu. Sesekali roda motor trail itu mengalami selip
diatas batu yang licin, terkadang sang ranger juga harus jatuh bahkan tertimpa
motornya sendiri karena memilih jalur yang salah. Saya segera memberi ruang
bagi sang ranger untuk berlalu mendahului saya. Wajah orang itu terlihat datar
seolah tidak acuh terhadap orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya,
sedingin ia melewati bongkahan bebatuan yang teronggok diam di sepanjang jalur
pendakian.
Seorang ranger Papandayan yang tengah berpatroli disepanjang jalur pendakian. |
Matahari sudah semakin menjulang,
sementara itu gemulai angin membawa aroma sulfur ke arah para pendaki yang
tengah melintas di sisi kawah yang terus saja mendesah. Dari spot yang lebih
tinggi, saya bisa melihat Dimas, Redi dan Belly yang sedang menyusuri jalan menuju
tempat dimana saya menyaksikan mereka. Orang pertama yang berhasil menyusul
saya adalah Alung, ia segera mengambil posisi ternyaman di dekat saya, dibalik
sebuah batu besar yang membuat kami terhalang dari sengatan matahari pagi itu. Alung
menawarkan air minum kepada saya, kebetulan saya memang sedang haus. Saya
menyodorkan kembali botol air mineral itu kepada Alung setelah sebagian isinya
kandas kedalam kerongkongan.
“Bang Aldi emang ga bawa aer minum?” Alung bertanya sedikit heran
seraya memasukan botol air minumnya kedalam tas yang ia bawa.
*****
Ada suatu tempat yang terletak tidak
begitu jauh dari kawah Papandayan yang bisa digunakan para pendaki untuk
beristirahat sejenak, begitu juga saya dan Alung yang segera bersembunyi dari
terik matahari dibalik pepohonan Cantigi. Alung menjadikan tas pinggang yang ia
bawa sebagai bantalan bagi tengkuk dan kepalanya, orang itupun kemudian
merebahkan tubuhnya disebelah saya. Tidak beberapa lama, rombongan lain yang
berada di belakang saya segera tiba di tempat kami beristirahat. Kami
memutuskan untuk santai sejenak atau hanya sekedar untuk berfoto-foto di tempat
itu hingga semua peserta kembali siap untuk melanjutkan perjalanan.
Dyah, Afgan, Menggala, Bunga dan Riri, tengah beristirahat di tempat yang tidak begitu jauh dari kawah. |
Cukup lama juga kami beristirahat di
tempat ini dan waktu saat itu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Saya bisa
melihat dari kejauhan beberapa pendaki yang sudah terlebih dahulu melanjutkan
perjalanan mereka, tengah berada disebuah tanjakan curam yang mana terdapat
jurang disebelah kirinya. Setelah memastikan tidak ada perlengkapan yang
tertinggal, saya pun memutuskan untuk terlebih dahulu melanjutkan perjalanan,
Bunga beserta yang lain perlahan menyusul.
Saya, Afgan, dan Dimas sebelum mendaki tanjakan yang cukup curam. |
Singkat cerita, akhirnya saya tiba
juga pada sebuah tanjakan curam yang baru saja saya lihat. Saat itu adalah bulan
September, dimana langit sama sekali belum menganugrahi gunung Papandayan dan
beberapa kabupaten yang dinaunginya dengan derai-derai hujan. Tak ayal jalur
sempit menanjak yang terbentang didepan mata terlihat sangat kering berdebu dan
hanya menyisakan jejak-jejak sepatu dari para pendaki saja, untuk kemudian
jejak-jejak tersebut nantinya akan lenyap tertimbun debu yang berterbangan
entah karena tersapu hembusan angin ataupun karena jejak langkah manusia.
Saya sempat mengalami masalah saat
melalui tanjakan curam itu. Dengan tangan kiri yang memegang tas kamera juga
tangan kanan yang berusaha mencari tumpuan pada batang-batang pohon, saya
meniti celah yang kira-kira aman untuk melangkah. Afgan, Bunga, Okki, Dyah dan
Dimas berhasil menyusul saya, kembang pada sol sepatu mereka memang jauh lebih
nyaman dari sepatu yang saya gunakan. Beberapa kali saya tergelincir di jalur
kering berdebu itu gara-gara sol sepatu saya yang tidak mampu mencengkram tanah
dengan baik, bahkan nyaris saja saya terjatuh ke sisi kiri, semuanya terjadi
akibat salah membeli trekking shoes.
Karena kejadian inilah maka saya sarankan bagi para pendaki pemula yang
sekiranya hendak membeli sepatu gunung, lebih baik mengeluarkan kocek lebih
banyak agar bisa mendapatkan barang yang orisinil tapi aman ketimbang membeli
barang KW dengan harga yang jomplang
namun berpotensi mencelakakan keselamatan sendiri.
Setelah cukup puas bergulat dengan
tanjakan curam, akhirnya saya tiba juga disebuah jalanan lebar berbatu yang
nantinya akan menuntun kami pada sebuah persimpangan antara Pengalengan dan
Pondok Saladah. Jalanan lebar ini terputus akibat longsor yang terjadi beberapa
waktu lalu sehingga kami diharuskan memotong jalan melalui tanjakan sempit dan
curam tadi. Ah, kalau saja jalur nyaman ini tidak habis tergerus longsoran,
mungkin tidak akan terjadi adegan dimana saya harus tergelincir seperti barusan.
Sementara itu Dyah, Bunga, Afgan, Oki dan Dimas tengah mengobrol, saya lebih
memilih merebahkan diri disisi jalan yang ditumbuhi Cantigi dan Pakis. Namun
belum lama saya berbaring, seketika itu juga saya merasakan pening dan mual.
Semenjak keberangkatan kami dari Jakarta pada malam hari, saya memang belum tidur sama sekali. Mungkin pening dan mual yang saya rasakan lebih
dikarenakan masuk angin, ditambah lagi ketika tadi pagi tiba di Camp David saya
tidak sempat mengisi perut meski hanya dengan sebungkus nasi atau setangkap
roti.
Terkapar di jalur berbatu dan berdebu. |
Beberapa menit telah berlalu, saya
memaksakan berdiri untuk kembali melanjutkan perjalanan. Berlama-lama di tempat
ini pun tidak baik juga karena bisa terpapar langsung oleh sinar matahari. Saya
memutuskan untuk berjalan santai bersama Afgan dan Dyah, meski sudah berjalan
dengan pelan tapi kepala ini masih saja terasa pening. Botol air mineral yang
masih utuh akhirnya kukeluarkan, kutenggak isinya hingga hanya menyisakan
setengah botol saja. Selang beberapa menit, saya sudah merasa agak baikan. Saya
berhenti sejenak untuk menyaksikan pemandangan yang membentang didepan mata. Dari
tempat ini tampak sangat jelas jalan yang baru saja kami lalui, jauh disebelah
timur sana terlihat sosok kekar gunung Cikuray yang wujudnya mulai memudar dari
pandangan karena hari mulai beranjak siang. Angin yang menjalar dari dinding
bukit-bukit berbatu disekitarku seolah menjadi penyejuk raga yang mengaburkan
rasa letih meski hanya sesaat. Sejauh mata memandang, terlihat jelas sekali
tanaman jenis Cantigi lebih mendominasi di tekstur tanah seperti pada gunung
Papandayan ini.
View disekitar jalur longsoran dan kawah Papandayan. Bila hari belum siang, kita bisa melihat sosok gunung Cikuray dari spot ini (Foto: Dimas Yulianto). |
Ratri dan Iput sudah tampak didepan
mata, mereka pelan beriringan menyusul saya, Afgan, dan Dyah yang masih takjub
akan tampilan alam Papandayan dari sudut ini. Tak beberapa lama kemudian, kami
berlima melanjutkan perjalanan hingga di suatu tempat yang tak berada jauh dari
persimpangan antara Pondok Saladah dan Pengalengan. Saya duduk dan bersandar
pada carrier, kembali saya merasakan
pening dan mual. Beberapa kali saya membuang ludah guna mengurangi rasa mual.
Ratri dan Iput |
“Bang, didalam carrier bang Aldi kan ada roti sobek punya aku, ya? Keluarin aja, bang” ujar Dyah.
“Hah? Masa sih?” timpalku dengan
wajah heran.
Pukul satu siang, saya, Afgan, Dyah,
Bunga, Redi, Oki, Belly dan Riri, tiba di camp
site Pondok Saladah yang berada di ketinggian sekitar 2.400 meter diatas
permukaan laut atau setara dengan ketinggian danau Ranu Kumbolo yang berada di
gunung Semeru, Jawa Timur. Gunung Papandayan sendiri memiliki ketinggian 2.665
MDPL, yang secara geografis terletak di kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat.
Sebetulnya kami bisa tiba di tempat ini sebelum pukul satu, hanya saja kami
tersesat karena salah pilih jalur ketika berada di persimpangan. Firda dan Adit
yang sebelumnya pernah ke tempat ini, melakukan kesalahan dengan tidak stand by di persimpangan sehingga hampir
semua peserta pendakian yang belum pernah ke Papandayan akan kebingungan
manakala berada di tengah-tengah persimpangan tersebut. Selain itu, papan
petunjuk yang terbuat dari kayu yang mengarah ke Pondok Saladah dipasang
terhalang dahan pohon, sehingga besar kemungkinan banyak pendaki yang tidak
melihatnya.
Riri dan Belly yang turut tersesat ke arah Pengalengan, harus balik arah menuju Pondok Saladah. |
“Kemana dulu, bang Aldi?” Canda
Dimas. Ia tampak bertelanjang dada, bajunya yang basah oleh peluh terlihat
sedang dijemur disebuah batang pohon.
“Ke Pengalengan, cari susu!” balas
saya dengan wajah datar, Dimas kembali terbahak diikuti oleh beberapa teman
yang lain.
Ketika saya sampai di area kemping,
sebagian besar teman-teman sudah memasang tenda mereka di tempat yang saling
berdekatan, hanya saya, Afgan dan Dimas yang belum memasang tenda. Tenda Dimas
kebetulan dibawa oleh Belly yang juga ikut tersesat ke arah Pengalengan bersama
saya. Setelah mendapatkan spot yang ideal dan tanah yang cukup rata, tenda pun
saya pasang dengan dibantu oleh Redi juga Adit (yang tentu saja merasa berdosa
karena tidak menanti kami di persimpangan).
Suasana perkemahan yang berada di Pondok Saladah (Foto: Dimas Yulianto). |
Ratri, Iput, Bunga dan Dyah langsung
mengambil posisi mereka di bagian dapur, sementara Dimas, Alung, Teguh, dan
Afgan memasang flysheet di dapur umum
agar bila terjadi hujan, airnya tidak mengenai perkakas memasak yang berada
disitu. Beberapa peserta lain ada yang tengah mengobrol, ada juga yang tertidur
didalam tendanya karena kelelahan. Saya sendiri lebih memilih untuk
melihat-lihat pemandangan disekitar Pondok Saladah.
Ratri, orang yang didapuk sebagai pimpro di dapur umum. |
Menjelang pukul setengah dua siang
waktu setempat, langit mulai sedikit teduh karena terhalang sekawanan awan yang
lambat berjalan. Terlihat sangat menawan sosok Hutan Mati yang berada tidak
begitu jauh dari perkemahan, nan tandus berhiaskan dahan-dahan Cantigi yang
meranggas gersang akibat tersapu awan panas hasil erupsi beberapa waktu lalu. Pohon-pohon
Edelweiss yang didominasi warna coklat keputihan berjejer disepanjang jalur
menuju Hutan Mati, jumlahnya memang sudah tidak banyak lagi namun tetap ikhlas menyumbang
keindahan bagi setiap manusia yang menjejakkan kakinya di Pondok Saladah.
Warna-warni tenda tumpah ruah memenuhi pelataran camp area, seakan tak ingin kalah bersaing dengan gempita tawa dan
canda. Sementara itu, sekelompok muda-mudi terlihat sangat khusyuk bersimpuh. Mereka
menunaikan shalat Dzuhur ditengah hiruk-pikuk manusia yang tetap asyik dengan
aktivitasnya. Disini, di siang hari yang menyejukkan dimana sang alam tetap
berlaku ramah terhadap para tamunya, meski yang kita lakukan ini tak berbeda
halnya dengan hanya sekedar rekreasi yang mengumbar basa-basi, yang tanpa
esensi. Alam senantiasa tulus menerima kehadiran para pendaki meskipun kita
hanya bisa menyumbang sampah dan kotoran.
SISA-SISA KEABADIAN DI PONDOK SALADAH
Diantara dahan-dahan Cantigi yang meranggas gersang
Dibawah hamparan langit biru menjulang
Bersedekah keindahan didalam keheningan
Diam bersemedi dibalik canda gempita
Mengayun bebas kemana belai angin menerpa
Mekarmu menjadi tugas mulia...
Mempersolek rupa Pondok Saladah
Lereng dan lembah hijau membentang tinggi
Satu-persatu pendaki menghampiri
Mengabadikan kesetiaan
Mengisahkan pengabdian...
Dari segala sisa-sisa keabadian
Di Pondok Saladah
Bogor, 20 April 2015
Edelweiss jenis Anaphalis Javanica yang biasa ditemukan di Papandayan. Jumlahnya sudah banyak berkurang semenjak terjadi erupsi beberapa waktu lalu. |
“Bang Aldi, makan dulu! Udah dingin dari tadi tuh nasinya” Dyah memanggil, maka hilanglah
seketika lamunan saya. Saya beranjak menyiuk nasi beserta lauk pauknya, perut
yang keroncongan semenjak tadi pagi akhirnya bisa diredam juga dengan sepiring
nasi, tempe goreng, tumis mie, dan sambel goreng. Menu makan siang kali ini
dipimpin langsung dan dimasak oleh Ratri, sementara Dyah belum unjuk gigi dalam
mengolah bahan makanan yang tersedia namun ia sudah berjanji untuk membuatkan
Sup Jamur kegemaran saya. Siang itu, saya memberikan penilaian untuk masakan
Ratri dengan nilai: 7!
Udara dingin ala Papandayan mulai
mengusik tidur yang lelap, menyusup halus melalui pori-pori kulit hingga
belulang. Badan saya menggigil dan pada akhirnya harus terbangun juga, ternyata
hari sudah petang. Tanganku menggapai-gapai berusaha mendapatkan senter yang
kuletakkan didalam kantung tenda. Setelah mendapat cahaya, barulah saya memburu
down jacket untuk segera dikenakan. Saya
pun beranjak keluar dari dalam tenda untuk menuju dapur umum, beberapa peserta
yang tadi sore berangkat menuju Hutan Mati terlihat sudah kembali ke
perkemahan, kecuali Dimas, Riri, Okki dan Belly, mereka belum juga tiba di perkemahan.
Saya menanyakan keberadaan Dimas cs kepada Afgan dan Dyah.
“Bang Dims (Dimas) barusan misah sama kita, bang. Mereka nggak ke Hutan Mati dulu, tapi langsung
ke puncak. Kita aja cuma sampe Tegal Alun, abis itu langsung turun” ucap Dyah.
Jelas sudah ceritanya, jadi rombongan
ketika itu terbelah menjadi dua bagian. Disatu sisi ada yang betul-betul
berniat untuk menuntaskan misi hingga ke puncak, disisi lain ada yang cukup berbesar
hati langkahnya harus terhenti sampai Tegal Alun saja. Sekarang kami hanya memikirkan
Dimas cs yang masih belum jelas keberadaannya, sementara itu pendaran jingga
senja di riak-riak awan sudah tak menanggalkan bekas.
Pijar api memancar dari kompor gas portable yang dinyalakan oleh Dyah,
petang itu ia akan menepati janjinya untuk membuatkan sup jamur. Saya menemani
Dyah sambil perlahan mereguk segelas sereal yang masih hangat. Adam, Okki, dan
Adit tengah menjalankan shalat Isya disebelah dapur umum, Redi, Manggala, Alung
dan Widi terlihat sedang mengatur letak kayu untuk membuat perapian nanti
malam, sementara Bunga, Firda, dan Iput terdengar sedang asyik mengobrol
didalam tenda berwarna oranye. Saya membantu Dyah membersihkan jagung, jamur
Enoki, dan daging kepiting. Dyah sangat antusias membuat sup jamur lantaran ketika
diadakan acara buka puasa bersama dirumahnya, ia melihat sendiri saya dan
beberapa teman yang lain begitu lahap menikmati sup buatannya dalam keadaan
masih hangat. Beberapa hari sebelum keberangkatan, saya memang memintanya untuk
dibuatkan sup itu lagi karena saya pikir pasti akan terasa semakin enak bila
dinikmati ditengah udara dingin seperti saat ini.
“Bang Aldi, tadinya aku mau beli agak
banyakan Enokinya, tapi pas aku liat
harganya ternyata udah naik. Jadi aku
cuma beli segini” ucap Dyah dengan
nada manja khasnya, saya tertawa geli.
“Udah
dibikin gratis juga udah
alhamdulillah, Dy” timpalku. Tak beberapa lama kemudian, mulai tercium aroma
sedap yang memprovokasi penghuni perut untuk kembali berunjuk rasa meminta
pasokan makanan. Tentu saja aroma penggugah nafsu makan itu tidak dimonopoli
oleh saya sendiri, hembusan angin kiranya cukup berlaku adil dengan
mengirimkannya ke setiap lubang hidung orang yang menghirup udara. Afgan yang
dari semenjak berada di perkemahan jarang sekali melontarkan kata-kata,
tiba-tiba menghampiri kami dengan raut wajah yang berseri-seri.
Sekitar pukul delapan malam, dua
berkas cahaya menyorot perkemahan kami dari jarak yang tidak begitu jauh. Tidak
begitu jelas siapa mereka yang sedang menuju kemari, namun dari perawakannya
bisa dipastikan itu adalah Dimas. Terlihat uap yang mengepul deras dari setiap
dengus nafas keempat orang tadi, dan kekhawatiran kami akhirnya sirna setelah
Dimas, Okki, Riri dan Belly menyapa semua yang ada di situ. Saya dan Dyah
bergegas menyediakan mereka segelas sup jamur yang baru saja dihangatkan. Dimas
dan Okki terlihat bahagia karena misi muncaknya
telah rampung meski harus kemalaman saat tiba diatas sana.
Langit malam kian mengukuhkan
kepekatannya, didalam gelap kami berkumpul mengelilingi perapian untuk
bercengkrama, mendengarkan lagu, ataupun hanya sekedar untuk membebaskan diri
dari udara dingin yang mulai terasa menggeragoti tubuh. Saya dan Ratri duduk di
matras yang berada tak jauh dari perapian, kami memasak air untuk membuat mie
instant, kopi ataupun sereal sambil menikmati suasana malam hari yang penuh
rasa damai. Malam itu kami dapat menyaksikan gugusan gemintang yang tidak lagi
malu untuk menampilkan kemilaunya, tidak seperti di ibukota dimana wujudnya
semakin redup karena kalah berdigjaya oleh lampu gedung-gedung bertingkat dan
bangunan lain. Sayup-sayup terdengar kidung syahdu yang dilantunkan oleh
binatang malam yang memanjatkan puji-pujian atas mahakarya Sang Pencipta,
seolah menyindir segelintir orang yang datang ke tempat ini bukan untuk berintrospeksi
diri atau bertafakur dalam sunyi. Sekali lagi, alam seolah menyuguhkan apa yang
ia miliki demi menjamu kami, para pendaki yang dalam ketiadaberdayaan dibawah
semesta raya yang membentang sedemikian megahnya, subhanallah...
Ditengah-tengah keintiman kami dengan
heningnya malam, saat itu juga terdengar sebuah lagu yang dibawakan oleh grup
band asal Inggris, King Crimson, yang berjudul “I Talk To The Wind” dari handphone usang milik Redi. Alunan
mendayu dari flute dan clarinet yang mendominasi lagu tersebut
bagaikan hembusan angin yang sedang bertutur kisah kepada bukit, lembah,
pepohonan, binatang, dan juga kepada mereka yang masih mau menyisihkan waktunya
untuk berbaur dengan alam.
Said the straight man to the late man
"Where have you been?"
I've been here and I've been there
And I've been in between
"Where have you been?"
I've been here and I've been there
And I've been in between
I talk to the wind
My words are all carried away
I talk to the wind
The wind does not hear, the wind cannot hear
My words are all carried away
I talk to the wind
The wind does not hear, the wind cannot hear
I'm on the outside looking inside
What do I see
Much confusion, disillusion
All around me
What do I see
Much confusion, disillusion
All around me
Selepas lagu itu berkumandang mengisi
malam, lantas saya segera berpamit diri dari teman-teman yang masih ingin
menghabiskan waktu didekat perapian. Malam itu bintang-bintang bermunculan,
menghibur setiap jiwa yang datang membawa dahaga akan karya cipta Sang Kuasa.
THE PICTURES OF US:
Belly dan Dimas. |
Uwer-Uwer In Memoriam. |
Foto di Camp David sesaat sebelum memulai pendakian. |
Dimas, Dyah dan Okki. |
Pendakian dimulai (Foto: Varadina). |
Dibawah langit yang membiru tanpa awan. |
Bunga, the cute one I had. |
Walk on, guys. |
Salah satu keuntungan yang diperoleh dari pendakian di pagi hari : bisa mendapatkan moment dimana langit masih sebiru ini. |
Jalur pendakian Papandayan termasuk jalur yang sangat disukai oleh pendaki pemula. |
Bunga dan Riri (Foto: Dimas Yulianto). |
Redi, Dimas dan Belly. |
Istirahat sejenak. |
Belly (Foto: Dimas Yulianto). |
Alung (Foto: Dimas Yulianto). |
Redi (Foto: Dimas Yulianto). |
Dimas |
Di bibir kawah (Foto: Dimas Yulianto). |
Papandayan ranger, taken from another camera (Foto: Varadina). |
Salah satu spot menarik dengan background kawah (Foto: Rizky Rohayat). |
Dimas dan kamera tempurnya. |
Okki dan Redi. |
Feels comfort with my style. |
Saya, Widi, Firda, Heru, dan Teguh. |
Track berikutnya setelah checking point pertama. |
Spot ini merupakan salah satu bagian dari jalur pendakian yang tergerus longsor. |
Okki dan teman barunya, Redi. |
Bukit, lembah, dan langit. |
With my sister. |
With Afgan. |
Bunga |
Jalur yang terputus karena terkena longsor (Foto: Dimas Yulianto). |
Afgan dan Dyah. |
Jalan lebar berbatu setelah kita melewati tanjakan sempit yang cukup curam. |
Puncak gunung Cikuray samar-samar terlihat di kejauhan. |
Pendaki lain yang sedang menjalankan shalat Dzuhur di Pondok Saladah. |
Sepatu treking yang berkontribusi menciptakan kecelakaan karena kembang pada sol sepatunya yang tidak mampu mencengkram permukaan tanah dengan baik. |
Widi dan Amri yang tak kuasa menahan lelah dan kantuk (Foto: Dimas Yulianto). |
Manggala (Foto: Dimas Yulianto). |
Ratri dan Teguh. |
Alung dan Dimas tengah mengikat tali di dahan Cantigi untuk memasang flysheet. |
Afgan |
Okki yang sedang mencoba memasak nasi menggunakan nesting. |
Perut membuncit jadi beban tersendiri bagi Redi selain ransel, tas slempang dan tenda. |
Bakwan goreng ala Ratri. |
Tetap menjalankan kewajiban meski diantara hiruk-pikuk suasana perkemahan. |
Gelas souvenir murah meriah yang bisa digunakan pada pendakian-pendakian berikutnya. |
Listening... |
Menunggu makan siang yang belum kunjung datang. |
Heru, saya dan Dimas di area merokok. |
Menikmati makan siang. |
Firda, Widi, Dyah, Riri dan Bunga, di hutan mati (Foto: Putri). |
Ladies hiker yang masih berjuang melawan rasa kantuk dan dinginnya angin pagi. |
Pekerjaan pagi seorang seksi dokumentasi. |
Diantara pohon-pohon Edelweiss, di jalur menuju hutan mati. |
Di bibir jurang yang berada di hutan mati, dengan latar belakang kawah Papandayan. |
Ratri dan Iput. |
Ratri |
Kawah Papandayan dari spot di hutan mati. |
Salah satu medan yang cukup menantang di jalur pendakian Papandayan. |
Melintasi sungai yang pada saat itu sedang surut airnya. |
Widi dan Bunga. |
Uwer-Uwer - Papandayan, Garut - West Java. |
Uwer-Uwer Troops:
Dimas Yulianto (Dimas)
Aldianovsky
Sukarno manggalatama (Meng)
Dyah Wulandari (Dyah)
Nurratri Utari (Ratri)
Rizky Rohayat (Okki)
Rahmat Suryadi (Redi)
Afgan Rosyadi (Afgan)
Varadina Ashoka Sekar Arumi (Bunga)
Widh Ciho (Widi)
Yunisa Firda (Firda)
Belly Meuraksa (Belly)
Adit
Adam Putra Perwira
Heru
Amri
Alung
Teguh
Riri
Putri (Iput)